Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 1 Juni 2022 : KATEKESE TENTANG USIA TUA (BAGIAN 11)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Indahnya doa dari orang tua yang kita temukan dalam Mazmur 71, yang telah kita dengarkan, mendorong kita untuk merenungkan adanya ketegangan yang kuat dalam keadaan usia tua, ketika ingatan akan kerja keras dan berkat yang diterima menjadi ujian iman dan harapan.

 

Ujian tersebut sudah muncul dengan sendirinya dalam perjalanan yang disertai kelemahan melalui kerapuhan dan kerentanan usia tua. Dan Pemazmur – seorang tua yang berbicara kepada Tuhan – secara tersurat menyebutkan fakta bahwa proses ini menjadi kesempatan untuk penelantaran, penipuan, serta kepalsuan dan kesombongan, yang terkadang memangsa orang tua. Memang benar! Dalam masyarakat yang membuang ini, budaya membuang ini, orang tua disingkirkan dan menderita hal-hal ini. Suatu bentuk kepengecutan khusus yang ada di dalam diri kita dalam masyarakat kita yang pengecut ini. Memang, selalu ada orang-orang yang mengambil keuntungan dari orang tua, memperdaya dan mengintimidasi mereka dengan berbagai cara. Seringkali, kita membaca di surat kabar atau mendengar berita tentang orang tua yang tabungannya secara tidak bermoral diperdaya, atau dibiarkan tanpa perlindungan atau ditinggalkan tanpa perawatan; atau dilanda bentuk-bentuk penghinaan dan diintimidasi untuk melepaskan hak-hak mereka. Kekejaman seperti itu juga mucul di dalam keluarga – dan ini sungguh-sungguh, bahkan juga terjadi dalam keluarga. Orang tua yang disingkirkan, ditinggalkan di rumah jompo, tanpa anak-anak mereka yang datang mengunjungi, atau hanya beberapa kali dalam setahun. Orang tua ditempatkan di sudut keberadaan. Dan hal ini terjadi : terjadi hari ini, terjadi dalam keluarga, terjadi sepanjang waktu. Kita harus merenungkan hal ini.

 

Seluruh masyarakat harus bergegas untuk peduli terhadap para orang tua – mereka adalah hartanya! – yang semakin banyak dan seringkali juga yang paling ditelantarkan. Ketika kita mendengar tentang orang tua yang kehilangan kemandirian, jaminan, bahkan rumah mereka, kita memahami bahwa dua pertentangan dalam masyarakat saat ini sehubungan dengan usia tua bukanlah masalah keadaan darurat sesekali, tetapi ciri budaya membuang yang meracuni dunia yang kita tinggali. Penatua Mazmur menceritakan kekecewaannya kepada Allah : “Musuh-musuhku berkata-kata tentang aku, orang-orang yang mengincar nyawaku berunding bersama-sama dan berkata: 'Allah telah meninggalkan dia, kejar dan tangkaplah dia, sebab tidak ada yang melepaskan dia!'" (ayat 10-11).

 

Akibatnya fatal. Usia tua tidak hanya kehilangan martabatnya, tetapi bahkan diragukan layak untuk dilanjutkan. Dengan cara ini, kita semua tergoda untuk menyembunyikan kerentanan kita, menyembunyikan penyakit kita, usia kita dan senioritas kita, karena kita takut bahwa mereka adalah para pendahulu hilangnya martabat kita. Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri : apakah manusiawi memperkenankan perasaan ini? Bagaimana peradaban modern, yang begitu maju dan efisien, begitu tidak nyaman dengan penyakit dan usia tua? Bagaimana bisa menyembunyikan penyakit, menyembunyikan usia tua? Dan bagaimana politik, yang begitu berkomitmen untuk mendefinisikan batas-batas kelangsungan hidup yang bermartabat, pada saat yang sama tidak peka terhadap martabat hidup berdampingan yang penuh kasih dengan orang tua dan orang sakit?

 

Penatua Mazmur yang telah kita dengar, orang tua yang melihat usia tuanya sebagai kekalahan ini, menemukan kembali kepercayaan kepada Tuhan. Ia merasa perlu ditolong. Dan ia berpaling kepada Allah. Santo Agustinus, mengulas Mazmur ini, menasihati para orang tua : “Janganlah takut, karena kamu akan disingkirkan dalam kelemahan tersebut, dalam usia tua tersebut … Mengapa kamu takut apabila Ia akan meninggalkanmu, apabila Ia menyingkarkanmu pada masa tua, ketika kekuatanmu akan habis? Ya, pada waktu itu di dalam dirimu akan ada kekuatan-Nya, ketika kekuatanmu telah habis” (Penjelasan Terperinci tentang Mazmur 36, 881-882), inilah yang dikatakan Agustinus. Dan pemazmur tua tersebut berseru : “Lepaskanlah aku dan luputkanlah aku, sendengkanlah telinga-Mu kepadaku dan selamatkanlah aku! Jadilah bagiku gunung batu, tempat berteduh, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku; sebab Engkaulah bukit batuku dan pertahananku” (ayat 2-3). Seruan itu membuktikan kesetiaan Allah dan mengetengahkan kemampuan-Nya untuk membangkitkan hati nurani yang telah diselewengkan oleh ketidakpekaan kepada sejengkal kehidupan fana, yang secara keseluruhan harus dilindungi. Ia kembali berdoa demikian : “Ya Allah, janganlah jauh dari padaku! Allahku, segeralah menolong aku! Biarlah mendapat malu dan menjadi habis orang-orang yang memusuhi jiwaku; biarlah berselubungkan cela dan noda orang-orang yang mengikhtiarkan celakaku!” (ayat 12-13).

 

Sungguh, rasa malu hendaknya menimpa orang-orang yang memanfaatkan kelemahan penyakit dan usia tua. Doa memperbaharui hati penatua janji kesetiaan Allah dan berkat-Nya. Orang tua tersebut menemukan kembali doa dan menjadi saksi kekuatannya. Yesus, dalam keempat Injil, tidak pernah menampik doa orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Orang tua, berdasarkan kelemahan mereka, dapat mengajar orang-orang yang hidup di masa kehidupan lain bahwa kita semua perlu menyerahkan diri kepada Allah, memohon pertolongan-Nya. Dalam pengertian ini, kita semua harus belajar dari usia tua : ya, ada karunia dengan menjadi tua, dipahami sebagai meninggalkan diri sendiri untuk peduli terhadap orang lain, dimulai dengan Allah sendiri.

 

Kemudian ada sebuah "magisterium kerapuhan", jangan menyembunyikan kerapuhan, jangan. Memang benar, ada sebuah kenyataan dan ada sebuah magisterium kerapuhan, yang mampu diingatkan usia tua kepada kita dengan cara yang dapat dipercaya untuk seluruh rentang kehidupan manusia. Jangan menyembunyikan usia tua, jangan menyembunyikan kerapuhan usia tua. Ini adalah sebuah pelajaran bagi kita semua. Ajaran ini membuka cakrawala yang menentukan bagi reformasi peradaban kita. Sebuah reformasi yang sekarang sangat diperlukan untuk kepentingan hidup berdampingan semua orang. Peminggiran orang tua – baik konseptual maupun praktis – merusak seluruh masa kehidupan, bukan hanya usia tua. Hari ini kita masing-masing dapat memikirkan para orang tua dalam keluarga : bagaimana aku berhubungan dengan mereka, apakah aku mengingat mereka, dengan aku pergi mengunjungi mereka? Apakah aku berusaha memastikan mereka tidak kekurangan apapun? Apakah aku menghormati mereka? Orang tua yang ada di dalam keluargaku : pikirkanlah ibu, ayah, kakek, nenek, bibi dan paman, teman-temanmu ... Apakah aku telah menyingkirkan mereka dari kehidupanku? Atau apakah aku pergi kepada mereka untuk mendapatkan kebijaksanaan, kebijaksanaan hidup? Ingatlah bahwa kamu juga akan menjadi tua. Usia tua datang untuk semua orang. Dan hari ini perlakukanlah orang tua sebagaimana kamu ingin diperlakukan di hari tuamu. Mereka adalah ingatan keluarga, ingatan umat manusia, ingatan negara. Lindungilah orang tua, yang merupakan kebijaksanaan. Semoga Tuhan menganugerahkan kepada para orang tua yang merupakan bagian dari Gereja kemurahan hati dari permohonan dan dorongan ini. Semoga kepercayaan kepada Tuhan ini merambah kita. Dan ini, demi kebaikan semua, demi mereka.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa banyak kelompok siswa yang hadir. Saat kita bersiap untuk merayakan Hari Raya Pentakosta, saya memohonkan atas kamu dan keluargamu pencurahan karunia Roh Kudus yang berlimpah. Semoga Tuhan memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang makna dan nilai usia tua dalam terang sabda Allah, kita sekarang membahas doa sepenuh hati yang ditemukan dalam ayat-ayat pertama Mazmur 71 : “Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah” (ayat 5). Merasakan kelemahan dan kerapuhan yang bertumbuh seiring dengan berlalunya tahun, Pemazmur memohon perlindungan dan pemeliharaan Allah yang berkelanjutan. Di zaman kita sekarang, keprihatinannya yang mencemaskan juga dialami oleh banyak orang tua, yang melihat martabat dan bahkan hak-hak mereka terancam oleh menyebarnya “budaya membuang” yang memandang mereka tidak berguna dan sungguh menjadi beban masyarakat. Dalam menghadapi perasaan lemah dan tidak pasti ini, Pemazmur menegaskan kembali kepercayaannya pada kesetiaan perjanjian Allah dan pemeliharaan-Nya. Dalam setiap generasi, para orang tua dapat memberikan kepada kita teladan ketekunan yang sangat dibutuhkan dalam doa dan penyerahan penuh harapan kepada Allah. Kehadiran dan keteladanan mereka dapat membuka pikiran dan hati, serta menginspirasi pembangunan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi – masyarakat yang menghormati seluruh tahapan kehidupan dan menghargai kontribusi setiap anggotanya demi kebaikan bersama.
_______

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Juni 2022)