Liturgical Calendar

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI PERDAMAIAN DUNIA KE-57 (1 Januari 2024)


Kecerdasan Buatan dan Perdamaian

 

Di awal Tahun Baru, masa rahmat yang diberikan Tuhan kepada kita masing-masing, saya ingin menyampaikan kepada umat Allah, berbagai bangsa, para kepala negara dan pemerintahan, para pemimpin berbagai agama dan masyarakat sipil, dan semua orang di zaman kita, harapan baik saya yang tulus untuk perdamaian.

 

1.       Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai jalan menuju perdamaian

 

Kitab Suci membuktikan bahwa Allah mengaruniakan Roh-Nya kepada umat manusia agar mereka mempunyai “hikmat, pengertian, pengetahuan, dan berbagai keahlian” (Kel 35:31). Kecerdasan manusia merupakan ungkapan martabat yang telah dianugerahkan kepada kita oleh Sang Pencipta, yang menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya (bdk. Kej 1:26), dan memungkinkan kita menanggapi kasih-Nya secara sadar dan bebas. Secara khusus, ilmu pengetahuan dan teknologi mewujudkan kualitas relasional dasariah kecerdasan manusia; ilmu pengetahuan dan teknologi adalah produk brilian potensi kreatifnya.

 

Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II menyatakan kembali kebenaran ini, dengan menyatakan bahwa “manusia selalu telah berusaha mengembangkan hidupnya dengan jerih-payah dan berkat-pembawaannya”.[1] Ketika manusia, “melalui teknologi”, mengelola alam supaya “menjadi kediaman yang layak bagi segenap keluarga manusia"[2], mereka melaksanakan rencana Allah dan bekerjasama dengan kehendak-Nya untuk menyempurnakan ciptaan dan mewujudkan perdamaian di antara bangsa-bangsa. Kemajuan lmu pengetahuan dan teknologi, sepanjang berkontribusi pada tatanan yang lebih baik dalam masyarakat manusia dan persekutuan persaudaraan serta mengembangkan kebebasan, maka akan mengarah pada kemajuan umat manusia dan transformasi dunia.

 

Kita patut bergembira dan bersyukur atas pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa, sehingga banyak sekali penyakit yang dahulu mengganggu kehidupan manusia dan menimbulkan penderitaan besar telah disembuhkan. Pada saat yang sama, kemajuan tekno-ilmiah, yang memungkinkan kita melakukan kendali atas kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya, memberikan banyak pilihan kepada manusia, termasuk beberapa pilihan yang mungkin menimbulkan risiko bagi kelangsungan hidup kita dan membahayakan rumah kita bersama.[3]

 

Kemajuan luar biasa dalam teknologi informasi baru, khususnya di bidang digital, menawarkan peluang menarik dan risiko besar, yang mempunyai implikasi serius terhadap upaya mencapai keadilan dan keharmonisan di antara masyarakat. Sejumlah pertanyaan mendesak perlu ditanyakan. Apa dampaknya, dalam jangka menengah dan panjang, dari teknologi digital baru ini? Dan apa dampaknya terhadap kehidupan individu dan masyarakat, terhadap stabilitas dan perdamaian dunia?

 

2.     Masa depan kecerdasan buatan: antara janji dan risiko

 

Kemajuan teknologi informasi dan perkembangan teknologi digital dalam beberapa dekade terakhir sudah mulai membawa perubahan besar pada masyarakat global dan berbagai dinamikanya. Sarana-sarana digital baru kini mengubah wajah komunikasi, administrasi publik, pendidikan, konsumsi, interaksi pribadi, dan banyak aspek lain dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Selain itu, dari jejak digital yang tersebar di Internet, teknologi yang menggunakan beragam algoritme dapat mengekstraksi data yang memungkinkan teknologi tersebut mengendalikan kebiasaan mental dan relasional untuk tujuan komersial atau politik, seringkali tanpa sepengetahuan kita, sehingga membatasi pelaksanaan secara sadar kebebasan memilih kita. Dalam ruang seperti Web, yang ditandai dengan informasi yang kelebihan muatan, teknologi tersebut dapat menyusun aliran data berdasarkan kriteria seleksi yang tidak selalu dirasakan oleh pengguna.

 

Kita perlu ingat bahwa penelitian ilmiah dan inovasi teknologi bukanlah sesuatu yang tidak berwujud dan “netral”,[4] namun tunduk pada pengaruh budaya. Sebagai aktivitas manusia seutuhnya, arah yang diambil mencerminkan pilihan-pilihan yang dikondisikan oleh nilai-nilai pribadi, sosial dan budaya pada zaman tertentu. Hal yang sama harus dikatakan mengenai produk-produk yang mereka hasilkan: tepatnya sebagai buah dari cara-cara tertentu manusia dalam mendekati dunia di sekitar kita, yang selalu memiliki dimensi etis, terkait erat dengan keputusan-keputusan yang dibuat oleh mereka yang merancang percobaan mereka dan mengarahkan produksi mereka ke arah yang sama. tujuan tertentu.

 

Hal serupa juga terjadi dalam bentuk kecerdasan buatan. Sampai saat ini, belum ada definisi tunggal mengenai kecerdasan buatan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Istilah itu sendiri, yang kini telah menjadi bahasa sehari-hari, mencakup berbagai ilmu pengetahuan, teori, dan teknik yang bertujuan untuk membuat mesin mereproduksi atau meniru dalam fungsinya kemampuan kognitif manusia. Berbicara dalam bentuk jamak “bentuk-bentuk kecerdasan” dapat membantu untuk menekankan kesenjangan yang tidak dapat dijembatani antara sistem-sistem tersebut, betapapun menakjubkan dan kuatnya, dan pribadi manusia: pada akhirnya, sistem-sistem tersebut hanyalah “bersifat terpisah-pisah”, dalam arti hanya dapat meniru atau mereproduksi fungsi tertentu dari kecerdasan manusia. Penggunaan bentuk jamak juga menunjukkan fakta bahwa perangkat-perangkat ini sangat berbeda satu sama lain dan harus selalu dianggap sebagai “sistem sosio-teknis”. Dampak dari perangkat kecerdasan buatan – apa pun teknologi yang mendasarinya – tidak hanya bergantung pada desain teknisnya, namun juga pada tujuan dan kepentingan pemilik dan pengembangnya, serta pada situasi di mana perangkat tersebut akan digunakan.

 

Oleh karena itu, kecerdasan buatan harus dipahami sebagai galaksi beraneka ragam kenyataan. Kita tidak dapat berasumsi secara apriori bahwa perkembangannya akan memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masa depan umat manusia dan perdamaian antarbangsa. Hasil positif tersebut hanya akan tercapai jika kita mampu menunjukkan diri kita mampu bertindak secara bertanggung jawab dan menghormati nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti “penyertaan, transparansi, keamanan, kesetaraan, keleluasaan pribadi, dan keandalan”.[5]

 

Tidaklah cukup hanya dengan mengasumsikan adanya komitmen dari pihak yang merancang algoritma dan teknologi digital untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab. Terdapat kebutuhan untuk memperkuat atau, jika perlu, membentuk badan-badan yang bertugas memeriksa permasalahan etika yang timbul di bidang ini dan melindungi hak-hak mereka yang menggunakan bentuk-bentuk kecerdasan buatan atau yang terkena dampaknya.[6]

 

Oleh karena itu, perluasan teknologi yang sangat besar perlu dibarengi dengan formasi yang tepat yang bertanggung jawab atas perkembangannya di masa depan. Kebebasan dan hidup berdampingan secara damai terancam ketika manusia menyerah pada godaan egoisme, kepentingan diri sendiri, keinginan akan keuntungan dan kehausan akan kekuasaan. Oleh karena itu, kita mempunyai tugas untuk memperluas pandangan kita dan mengarahkan penelitian tekno-ilmiah menuju upaya mencapai perdamaian dan kebaikan bersama, demi kepentingan pembangunan terpadu individu dan komunitas.[7]

 

Martabat yang melekat pada setiap umat manusia dan persaudaraan yang menyatukan kita sebagai anggota satu keluarga umat manusia harus mendasari perkembangan teknologi baru dan menjadi kriteria yang tidak dapat disangkal untuk mengevaluasi teknologi tersebut sebelum digunakan, sehingga kemajuan digital dapat terjadi dengan penuh hormat. untuk keadilan dan berkontribusi pada tujuan perdamaian. Perkembangan teknologi yang tidak mengarah pada peningkatan kualitas hidup seluruh umat manusia, namun malah memperparah kesenjangan dan pertikaian, tidak akan pernah bisa dianggap sebagai kemajuan sejati.[8]

 

Kecerdasan buatan akan menjadi semakin penting. Tantangan yang ditimbulkannya tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga antropologis, pendidikan, sosial dan politik. Kecerdasan buatan menjanjikan, misalnya, pembebasan dari pekerjaan yang membosankan, manufaktur yang lebih efisien, transportasi yang lebih mudah dan pasar yang lebih siap, serta revolusi dalam proses pengumpulan, pengorganisasian dan konfirmasi data. Kita perlu menyadari transformasi cepat yang sedang terjadi dan mengelolanya dengan cara yang melindungi hak asasi manusia serta menghormati lembaga dan hukum yang mendorong pembangunan manusia secara terpadu. Kecerdasan buatan harus melayani potensi terbaik manusia dan aspirasi tertinggi kita, bukan bersaing dengan potensi dan aspirasi tersebut.

 

3.     Teknologi masa depan: mesin yang “belajar” sendiri

 

Dalam berbagai bentuknya, kecerdasan buatan yang didasarkan pada teknik pembelajaran mesin, meskipun masih dalam tahap awal, telah membawa banyak perubahan pada tatanan masyarakat dan memberikan pengaruh besar pada budaya, perilaku masyarakat, dan pembangunan perdamaian.

 

Perkembangan seperti pembelajaran mesin atau pembelajaran mendalam, menimbulkan pertanyaan yang melampaui bidang teknologi dan teknik, serta berkaitan dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna hidup manusia, konstruksi pengetahuan, dan kapasitas pikiran untuk mencapai kebenaran.

 

Kemampuan perangkat tertentu untuk menghasilkan teks yang sesuai secara sintaksis dan semantik, misalnya, tidak menjamin keandalannya. Dapat dikatakan “berhalusinasi”, yaitu membuat pernyataan yang sekilas tampak masuk akal namun tidak berdasar atau praduga yang mengkhianati. Hal ini menimbulkan masalah serius ketika kecerdasan buatan digunakan dalam kampanye informasi keliru yang menyebarkan berita palsu dan meningkatkan ketidakpercayaan terhadap media komunikasi. Keleluasaan pribadi, kepemilikan data, dan kekayaan intelektual adalah ranah lain di mana teknologi ini menimbulkan risiko besar. Kita juga dapat menambahkan dampak buruk lain penyalahgunaan teknologi ini, seperti diskriminasi, campur tangan dalam pemilihan, meningkatnya pengawasan masyarakat, pengecualian digital, dan semakin parahnya individualisme yang semakin terputus dari masyarakat. Semua faktor ini berisiko memicu pertikaian dan menghambat perdamaian.

 

4.     Rasa keterbatasan dalam paradigma teknokratis

 

Dunia kita terlalu luas, beragam, dan rumit untuk dapat diketahui dan dikategorikan sepenuhnya. Pikiran manusia tidak akan pernah bisa menguras habis kekayaannya, bahkan dengan bantuan algoritma yang paling canggih sekalipun. Algoritma semacam ini tidak menawarkan jaminan pendugaan masa depan, namun hanya perkiraan statistik. Tidak semuanya bisa diduga, tidak semuanya bisa dihitung; pada akhirnya, “kenyataan melebihi gagasan”.[9] Betapapun hebatnya kemampuan penghitungan kita, akan selalu ada sisa yang tidak dapat diakses sehingga terhindar dari upaya penghitungan apa pun.

 

Selain itu, banyaknya data yang dianalisis oleh kecerdasan buatan tidak menjamin ketidakberpihakan. Saat meramalkan kemungkinan informasi, algoritma selalu menghadapi risiko penyimpangan, mereplikasi ketidakadilan dan prasangka di lingkungan tempat algoritma tersebut berasal. Semakin cepat dan rumit proses tersebut, semakin sulit untuk memahami mengapa hal tersebut memberikan hasil tertentu.

 

Mesin “cerdas” dapat melakukan tugas yang diberikan kepadanya dengan efisiensi yang semakin besar, namun tujuan dan makna operasinya akan terus ditentukan atau dimungkinkan oleh manusia yang memiliki nilai-nilainya sendiri. Ada risiko kriteria di balik keputusan-keputusan tertentu akan menjadi kurang jelas, tanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut disembunyikan, dan para produsen dimungkinkan untuk menghindari kewajiban mereka untuk bertindak demi kepentingan masyarakat. Dalam beberapa hal, hal ini lebih disukai oleh sistem teknokratis, yang menyatukan perekonomian dengan teknologi dan mengutamakan kriteria efisiensi, cenderung mengesampingkan apa pun yang tidak terkait dengan kepentingan instan mereka.[10]

 

Hal ini seharusnya mengarahkan kita untuk merenungkan sesuatu yang sering diabaikan dalam mentalitas teknokratis dan berorientasi pada efisiensi saat ini, karena sangat menentukan bagi perkembangan pribadi dan sosial: “rasa keterbatasan”. Manusia, menurut definisinya, adalah makhluk fana; dengan mengusulkan untuk mengatasi setiap batasan melalui teknologi, dalam keinginan obsesif untuk mengendalikan segalanya, kita berisiko kehilangan kendali atas diri kita; dalam upaya mencapai kebebasan mutlak, kita berisiko terjerumus ke dalam spiral “kediktatoran teknologi”. Mengenali dan menerima keterbatasan kita sebagai makhluk adalah kondisi yang sangat diperlukan untuk mencapai, atau lebih baik lagi, menyambut pemenuhan sebagai anugerah. Dalam konteks ideologis paradigma teknokratis yang diilhami oleh anggapan Promethean mengenai kecukupan diri, kesenjangan bisa menjadi tidak proporsional, pengetahuan dan kekayaan menumpuk di tangan segelintir orang, dan risiko besar terjadi pada masyarakat demokratis dan hidup berdampingan secara damai.[11]

 

5.     Isu-isu penting mengenai etika

 

Di masa depan, keandalan pemohon hipotik, kesesuaian seseorang untuk suatu pekerjaan, kemungkinan residivisme di pihak terpidana, atau hak untuk menerima suaka politik atau bantuan sosial dapat ditentukan oleh sistem kecerdasan buatan. Ketiadaan tingkat mediasi yang berbeda-beda yang diterapkan oleh sistem-sistem ini khususnya menimbulkan bentuk-bentuk bias dan diskriminasi: kesalahan sistemis dapat dengan mudah berlipat ganda, tidak hanya menghasilkan ketidakadilan dalam kasus-kasus individual namun juga, karena efek domino, bentuk-bentuk kesenjangan sosial yang nyata.

 

Kadang-kadang juga, bentuk-bentuk kecerdasan buatan tampaknya mampu mempengaruhi keputusan individu dengan beroperasi melalui pilihan-pilihan yang telah ditentukan sebelumnya terkait dengan rangsangan dan penolakan, atau dengan beroperasi melalui sistem yang mengatur pilihan masyarakat berdasarkan desain informasi. Bentuk-bentuk manipulasi atau kontrol sosial ini memerlukan perhatian dan pengawasan yang cermat, dan menyiratkan tanggung jawab hukum yang jelas di pihak produsen, pihak yang menyebarkannya, dan otoritas pemerintah.

 

Ketergantungan pada proses otomatis yang mengkategorikan individu, misalnya, melalui penggunaan pengawasan yang meluas atau penerapan sistem kredit sosial, juga dapat menimbulkan dampak besar pada tatanan sosial dengan menetapkan peringkat di antara warga negara. Proses kategorisasi yang dibuat-buat ini juga dapat menimbulkan pertikaian kekuasaan, karena pertikaian tersebut tidak hanya menyangkut pengguna virtual namun juga masyarakat nyata. Penghormatan dasariah terhadap martabat manusia menuntut kita untuk menolak membiarkan keunikan seseorang diidentifikasi dengan serangkaian data. Algoritma tidak boleh dibiarkan menentukan bagaimana kita memahami hak asasi manusia, mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki yaitu kasih sayang, belas kasihan dan pengampunan, atau menyingkirkan kemungkinan seseorang berubah dan meninggalkan masa lalunya.

 

Kita juga tidak bisa mengabaikan, dalam konteks ini, dampak teknologi baru di tempat kerja. Pekerjaan yang dulunya merupakan satu-satunya pekerjaan manusia kini dengan cepat diambil alih oleh penerapan kecerdasan buatan dalam industri. Di sini juga terdapat risiko besar berupa manfaat yang tidak proporsional bagi segelintir orang dan mengakibatkan pemiskinan banyak orang. Penghormatan terhadap martabat pekerja dan pentingnya pekerjaan bagi kesejahteraan ekonomi individu, keluarga, dan masyarakat, terhadap keamanan kerja dan upah yang adil, harus menjadi prioritas utama bagi masyarakat internasional seiring dengan semakin banyaknya bentuk teknologi yang masuk ke tempat kerja kita.

 

6.     Akankah kita mengubah pedang menjadi mata bajak?

 

Saat ini, ketika kita melihat dunia di sekitar kita, tidak ada jalan keluar dari pertanyaan etika serius terkait sektor persenjataan. Kemampuan untuk melakukan operasi militer melalui sistem kendali jarak jauh telah mengurangi persepsi mengenai kehancuran yang disebabkan oleh sistem senjata tersebut dan beban tanggung jawab atas penggunaannya, yang mengakibatkan pendekatan yang lebih dingin dan tidak memihak terhadap tragedi perang yang sangat besar. Penelitian mengenai teknologi baru di bidang Sistem Senjata Otonomi Mematikan (Lethal Autonomous Weapon Systems), termasuk persenjataan kecerdasan buatan, menimbulkan kekhawatiran etika yang serius. Sistem senjata otonom tidak akan pernah menjadi subyek yang bertanggung jawab secara moral. Kapasitas manusia yang unik dalam penilaian moral dan pengambilan keputusan yang etis lebih dari sekedar kumpulan algoritma yang rumit, dan kapasitas tersebut tidak dapat direduksi menjadi pemrograman sebuah mesin, yang walaupun “cerdas”, tetaplah sebuah mesin. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memastikan pengawasan manusia yang memadai, bermakna dan konsisten terhadap sistem persenjataan.

 

Kita juga tidak bisa mengabaikan kemungkinan senjata canggih jatuh ke tangan yang salah, sehingga memfasilitasi, misalnya, serangan teroris atau campur tangan yang bertujuan untuk mengganggu stabilitas kelembagaan sistem pemerintahan yang sah. Singkatnya, dunia tidak memerlukan teknologi baru yang berkontribusi terhadap perkembangan perdagangan dan jual beli senjata yang tidak adil serta berakibat malah mendorong kebodohan perang. Dengan melakukan hal ini, bukan hanya kecerdasan namun hati manusia itu sendiri akan berisiko menjadi semakin “buatan”. Penerapan teknologi paling maju sekalipun tidak boleh digunakan untuk memfasilitasi penyelesaian pertikaian dengan kekerasan, melainkan untuk membuka jalan bagi perdamaian.

 

Sisi positifnya, jika digunakan untuk mendorong pembangunan manusia seutuhnya, kecerdasan buatan dapat memperkenalkan inovasi-inovasi penting di bidang pertanian, pendidikan dan kebudayaan, peningkatan taraf hidup seluruh bangsa dan masyarakat, serta pertumbuhan persaudaraan manusia dan persahabatan sosial. Pada akhirnya, cara kita memanfaatkannya untuk melibatkan saudara-saudari kita yang paling hina, lemah dan membutuhkan, akan menjadi ukuran sesungguhnya kemanusiaan kita.

 

Pandangan yang sungguh manusiawi dan keinginan untuk masa depan yang lebih baik bagi dunia kita tentu saja menunjukkan perlunya dialog lintas disiplin yang bertujuan untuk pengembangan algoritma yang etis – sebuah etika algoritmik – di mana nilai-nilai akan membentuk arah yang diambil oleh teknologi baru.[12] Pertimbangan etis juga harus dipertimbangkan sejak awal penelitian, dan dilanjutkan melalui tahap penelitian, desain, produksi, distribusi, dan pemasaran. Ini adalah pendekatan etika yang memang dirancang, dan merupakan pendekatan yang di dalamnya lembaga pendidikan dan pengambil keputusan mempunyai peran penting.

 

7.     Tantangan bagi dunia pendidikan

 

Perkembangan teknologi yang menghormati dan melayani martabat manusia mempunyai dampak yang jelas bagi lembaga pendidikan dan dunia kebudayaan. Dengan melipatgandakan kemungkinan komunikasi, teknologi digital memungkinkan kita saling bertemu secara baru. Namun masih ada kebutuhan untuk refleksi berkelanjutan mengenai jenis hubungan yang akan mengarahkan kita. Generasi muda kita tumbuh dalam lingkungan budaya yang dipenuhi oleh teknologi, dan hal ini menantang metode pengajaran, pendidikan, dan pelatihan kita.

 

Pendidikan dalam penggunaan bentuk-bentuk kecerdasan buatan harus bertujuan untuk mendorong pemikiran kritis. Pengguna dari segala usia, terutama kaum muda, perlu mengembangkan pendekatan cerdas terhadap penggunaan data dan konten yang dikumpulkan di web atau dihasilkan oleh sistem kecerdasan buatan. Sekolah, universitas, dan komunitas ilmiah ditantang untuk membantu peserta didik dan insan pendidikan memahami aspek sosial dan etika pengembangan dan penggunaan teknologi.

 

Pelatihan penggunaan sarana komunikasi baru juga harus mempertimbangkan tidak hanya informasi yang keliru, “berita palsu”, namun juga munculnya kembali “ketakutan turun-temurun … yang  mampu bersembunyi dan bertambah kuat di balik teknologi baru”.[13] Sedihnya, kita sekali lagi mendapati diri kita harus melawan “godaan untuk menciptakan budaya tembok, untuk meninggikan tembok … untuk mencegah perjumpaan dengan budaya lain, dengan”,[14] dan pengembangan hidup berdampingan perdamaian yang penuh kedamaian dan  persaudaraan.

 

8.     Tantangan bagi perkembangan hukum internasional

 

Skala global kecerdasan buatan memperjelas bahwa, selain tanggung jawab negara-negara berdaulat untuk mengatur penggunaannya secara internal, organisasi-organisasi internasional juga dapat memainkan peran yang menentukan dalam mencapai perjanjian multilateral dan mengoordinasikan penerapan dan penegakannya.[15] Dalam hal ini, saya mendesak komunitas negara-negara global untuk bekerja sama guna mengadopsi perjanjian internasional yang mengikat yang mengatur pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan dalam berbagai bentuknya. Tujuan peraturan tersebut, tentu saja, tidak hanya untuk menghindari praktik-praktik buruk, tetapi juga untuk mendorong praktik-praktik baik, merangsang kreativitas yang mencari cara-cara baru, dan memfasilitasi inisiatif pribadi dan kolektif.[16]


Dalam upaya mencari model normatif yang dapat memberikan panduan etis bagi pengembang teknologi digital, sangatlah penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai kemanusiaan yang harus mendasari upaya masyarakat untuk merumuskan, mengadopsi, dan menegakkan kerangka peraturan yang sangat dibutuhkan. Pekerjaan merancang pedoman etika untuk menghasilkan bentuk-bentuk kecerdasan buatan tidak bisa lepas dari pertimbangan isu-isu yang lebih mendalam mengenai makna keberadaan manusia, perlindungan hak asasi manusia, serta upaya mencapai keadilan dan perdamaian. Proses penegasan etika dan yuridis ini dapat menjadi peluang berharga untuk melakukan refleksi bersama mengenai peran teknologi dalam kehidupan individu dan komunal kita, serta bagaimana penggunaannya dapat berkontribusi pada penciptaan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Oleh karena itu, dalam perdebatan mengenai regulasi kecerdasan buatan, suara seluruh pemangku kepentingan harus diperhitungkan, termasuk masyarakat miskin, masyarakat yang tidak berdaya, dan pihak-pihak lain yang seringkali tidak terdengar dalam proses pengambilan keputusan global.


* * *

 

Saya berharap refleksi di atas akan mendorong upaya untuk memastikan bahwa kemajuan dalam pengembangan bentuk kecerdasan buatan pada akhirnya akan bermanfaat bagi persaudaraan dan perdamaian umat manusia. Upaya tersebut bukan tanggung jawab segelintir orang, melainkan tanggung jawab seluruh keluarga umat manusia. Karena perdamaian adalah buah hubungan yang mengakui dan menyambut orang lain dalam martabat mereka yang tidak dapat diganggu-gugat, dan dari kerja sama serta komitmen dalam mengupayakan pembangunan terpadu segenap individu dan masyarakat.

 

Di awal Tahun Baru saya berdoa agar perkembangan pesat bentuk-bentuk kecerdasan buatan tidak akan meningkatkan kasus-kasus kesenjangan dan ketidakadilan yang terjadi di dunia saat ini, namun akan membantu mengakhiri perang dan pertikaian, serta mengurangi berbagai bentuk penderitaan yang menimpa keluarga manusia kita. Semoga umat Kristiani, para penganut berbagai agama, serta orang-orang yang berkehendak baik dapat bekerja sama secara harmonis untuk memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh revolusi digital serta dengan demikian mewariskan kepada generasi mendatang dunia yang semakin bersetia kawan, adil dan damai.

 

Vatikan, 8 Desember 2023

 

FRANSISKUS

 

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi – Bogor, 30 Desember 2023)



[1]No. 33.

[2]Idem, 57.

[3]Bdk. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 104.

[4]Bdk. idem., 114.

[5]Wejangan kepada para peserta “Dialog Minerva” (27 Maret 2023).

[6]Bdk. idem.

[7]Bdk. Pesan kepada Ketua Eksekutif Pertemuan “Forum Ekonomi Dunia” di Davos (12 Januari 2018).

[8]Bdk. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 194; Pidato kepada Peserta Seminar “Kebaikan Bersama di Era Digital” (27 September 2019)

[9]Seruan Apostolik Evangelii Gaudium (24 November 2013), 233.

[10]Bdk. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 54.

[11]Bdk. Pertemuan dengan Para Peserta Sidang Pleno Akademi Kepausan Untuk Kehidupan (28 Februari 2020).

[12]Bdk. idem.

[13]Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober 2020), 27.

[14]Idem.

[15]Bdk. idem., 170-175.

[16]Bdk. Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015), 177.