Kemudian
orang itu, yang berusaha membenarkan dirinya,, mengajukan pertanyaan kedua:
“Dan siapa sesamaku manusia?” (Luk 10:29). Jika pertanyaan pertama berisiko
merendahkan Allah hanya untuk memenuhi kebutuhan kita, pertanyaan ini mencoba
memecah belah: memisahkan orang menjadi orang yang harus kita kasihi dan orang
yang harus kita hindari. Pemecahbelahan seperti ini tidak pernah berasal dari
Allah; pemecahbelahan tersebut berasal dari iblis. Yesus tidak menjawab secara
terang-terangan, namun menceritakan perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati,
sebuah kisah tajam yang juga menantang kita. Sebab, saudara dan saudari
terkasih, orang yang gagal berbuat baik, yang terbukti tidak berperasaan,
adalah imam dan orang Lewi, yang lebih mementingkan menghormati tradisi agama
mereka daripada menolong orang yang sedang menderita. Orang yang menunjukkan
apa artinya menjadi “sesama” malahan seorang penganut sempalan agama Yahudi,
seorang Samaria. Ia mendekat, ia merasa kasihan, ia membungkuk dan dengan
lembut merawat luka saudaranya itu. Ia peduli terhadapnya, terlepas dari masa
lalu dan kegagalannya, dan ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk melayaninya
(bdk. Luk 10:33-35). Dengan demikian, Yesus dapat menyimpulkan bahwa pertanyaan
yang tepat bukanlah: “Siapa sesamaku manusia?” tetapi “Apakah aku berlaku
seperti sesama manusia?” Hanya kasih yang menjadi pelayanan yang cuma-cuma,
hanya kasih yang diajarkan dan diwujudkan Yesus, yang akan mendekatkan umat
Kristiani yang terpisah satu sama lain. Hanya kasih, yang tidak mengacu pada
masa lalu yang tetap menyendiri atau menuding, hanya kasih yang dalam nama
Allah menempatkan saudara-saudari kita di hadapan pertahanan ketat tatanan
keagamaan kita, hanya kasih itulah yang akan menyatukan kita. Pertama saudara-saudari
kita, lalu tatanannya.
Saudara-saudari,
di antara kita sendiri, kita tidak perlu lagi bertanya: “Siapa sesamaku
manusia?” Sebab setiap orang yang dibaptis adalah anggota dari satu Tubuh
Kristus; terlebih lagi, semua orang di dunia ini adalah saudara atau saudariku,
dan bersama-sama kita menyusun “simfoni kemanusiaan” yang di dalamnya Kristus
adalah Sang Putra Sulung dan Penebus. Sebagaimana dikatakan Santo Ireneus, yang
dengan senang hati saya nyatakan sebagai “Pujangga Persatuan”, mengatakan:
“Orang yang mencari kebenaran hendaknya tidak memusatkan perhatian pada
perbedaan antara satu nada dengan nada lainnya, berpikir seolah-olah setiap
nada diciptakan terpisah dan tercerai-berai dari nada lainnya; sebaliknya, ia
harus menyadari bahwa nada dan orang yang sama menyusun seluruh melodi” (Adv.
Haer., II, 25, 2). Dengan kata lain, bukan “Siapa sesamaku manusia?” tetapi
“Apakah aku berlaku seperti sesama manusia? Apakah aku, dan kemudian
komunitasku, Gerejaku, spiritualitasku, berlaku seperti sesama manusia? Ataukah
mereka terbarikade demi membela kepentingan mereka, iri dengan otonomi mereka,
terjebak dalam perhitungan apa yang menjadi kepentingan mereka, membangun
hubungan dengan orang lain hanya demi mendapatkan sesuatu untuk diri mereka?
Jika ini persoalannya, maka yang terjadi bukan hanya kesalahan strategi, namun
juga ketidaksetiaan terhadap Injil.
“Apakah
yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Dari sini dialog
antara ahli Taurat dan Yesus dimulai. Namun kini, pertanyaan awal tersebut
dibalik, berkat Rasul Paulus, yang pertobatannya kita rayakan di Basilika yang
didedikasikan baginya ini. Ketika Saulus dari Tarsus, penganiaya umat
Kristiani, bertemu dengan Yesus dalam pancaran cahaya yang menyelimuti dirinya
dan mengubah hidupnya, ia langsung bertanya: “Tuhan, apakah yang harus
kuperbuat?” (Kis 22:10). Bukan “Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh
hidup yang kekal?” tetapi “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?”. Tuhanlah yang
menjadi sasaran pertanyaan; dialah “perolehan” sejati, kebaikan tertinggi.
Kehidupan Paulus tidak berubah karena ia mengubah tujuannya agar lebih baik
dalam mencapai sasaran. Pertobatannya adalah hasil dari pembalikan keberadaan,
yang mana pengabdiannya pada Hukum digantikan oleh kepatuhan kepada Allah dan
keterbukaan penuh terhadap kehendak-Nya. Bukan pengabdiannya, tetapi
ketaatannya: dari pengabdian menuju ketaatan. Jika Allah adalah harta kita,
maka rencana tindakan gerejawi kita tentunya harus mencakup melakukan
kehendak-Nya, memenuhi keinginan-keinginan-Nya. Pada malam sebelum Ia
mempersembahkan nyawa-Nya demi kita, Ia berdoa dengan sungguh-sungguh kepada
Bapa bagi kita semua: “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21). Kita
lihat, itulah kehendak-Nya.
Panggilan
untuk mengerahkan segala upaya guna mencapai kesatuan penuh mengikuti jalan
yang sama seperti Paulus, mendesentralisasikan gagasan-gagasan kita untuk
mendengarkan suara Tuhan dan memberinya ruang untuk mengambil prakarsa. Hal ini
jelas dipahami oleh Paulus yang lain, pionir besar gerakan ekumenis, Abbé Paul
Couturier, yang terbiasa mendoakan persatuan umat Kristiani “seturut kehendak
Kristus dan seturut dengan cara yang dikehendaki-Nya”. Kita membutuhkan
pembalikan sudut pandang ini dan yang terpenting adalah pertobatan hati,
karena, sebagaimana dinyatakan Konsili Vatikan II enam puluh tahun yang lalu:
“Tidak ada ekumenisme sejati tanpa pertobatan batin” (Unitatis Redintegratio, 7). Saat kita berdoa bersama, semoga kita
mengakui, kita masing-masing memulai dari diri kita sendiri, kebutuhan kita
akan pertobatan, untuk memperkenankan Tuhan mengubah hati kita. Inilah jalan
yang ada di hadapan kita: melakukan berjalanan bersama dan melayani bersama,
mengutamakan tempat untuk berdoa. Karena ketika umat Kristiani bertumbuh dalam
pelayanan kepada Allah dan sesama, mereka juga bertumbuh dalam pemahaman timbal
balik. Sebagaimana dikatakan Konsili Vatikan II: “Sebab semakin erat mereka
bersatu dalam persekutuan dengan Bapa, Sang Sabda dan Roh Kudus, semakin mampu
jugalah mereka untuk meningkatkan persaudaraan timbal-balik, dengan cara yang
lebih mesra dan lebih mudah” (Unitatis
Redintegratio, 7).
Itulah
sebabnya kita berada di sini malam ini, datang dari berbagai negara, budaya,
dan tradisi. Saya berterima kasih kepada Yang Mulia Justin Welby, Uskup Agung
Canterbury, kepada Metropolitan Polycarpus, yang mewakili Patriarkat Ekumenis,
dan kepada Anda semua, yang telah menghadirkan banyak komunitas Kristiaini.
Saya menyampaikan salam khusus kepada para anggota Komisi Gabungan
Internasional untuk Dialog Teologi antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja
Ortodoks Timur, yang merayakan ulang tahun kedua puluh dialog tersebut, dan
kepada para uskup Katolik dan Anglikan yang ambil bagian dalam pertemuan Komisi
Internasional untuk Persatuan dan Misi. Hari ini sangat menyenangkan, bersama
saudara saya, Uskup Agung Justin, kita dapat menganugerahkan kepada kelompok
gabungan para uskup ini mandat untuk terus memberikan kesaksian tentang
kesatuan yang dikehendaki Allah bagi Gereja-Nya di wilayah masing-masing,
seiring mereka bergerak maju bersama “untuk memperluas belas kasihan dan damai
Allah bagi dunia yang membutuhkan” (Permohonanari Para Uskup IARCCUM, Roma,
2016). Saya juga menyapa para penerima beasiswa Komite Kerjasama Kebudayaan
dengan Gereja-Gereja Ortodoks di Dikasteri untuk Mempromosikan Persatuan Umat
Kristiani, dan para peserta kunjungan studi yang diselenggarakan untuk para
imam dan biarawan muda dari Gereja-Gereja Ortodoks Timur, dan
kunjungan-kunjungan studi yang diselenggarakan untuk para pelajar Institut
Ekumenis Bossey Dewan Gereja Sedunia.
Bersama-sama,
sebagai saudara-saudari dalam Kristus, marilah kita berdoa bersama Paulus dan
berkata: “Tuhan, apakah yang harus kuperbuat?”. Dengan mengajukan pertanyaan
tersebut kita sudah mempunyai jawabannya, karena jawaban pertama adalah doa.
Doa untuk persatuan adalah tanggung jawab utama dalam perjalanan kita bersama.
Dan suatu tanggung jawab yang sakral, karena berarti berada dalam persekutuan
dengan Tuhan, yang secara khusus berdoa kepada Bapa untuk persatuan. Marilah
kita juga terus berdoa untuk berakhirnya perang, khususnya di Ukraina dan di
Tanah Suci. Hati kita juga menjangkau rakyat Burkina Faso tercinta, dan
khususnya komunitas yang menyiapkan materi Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan
Umat Kristiani ini: Semoga kasih terhadap sesama menggantikan kekerasan yang
menyerang negara mereka.
“Tuhan,
apakah yang harus kuperbuat?” Tuhan, Paulus menceritakan kepada kita, bersabda:
“Bangkitlah dan pergilah” (Kis 22:10). Bangkitlah, kata Yesus kepada kita
masing-masing dan kepada upaya kita atas nama persatuan. Jadi marilah kita
bangkit dalam nama Kristus dari rutinitas kita yang melelahkan dan memulai
hidup baru, karena Ia menghendakinya, dan Ia menghendakinya “supaya dunia
percaya” (Yoh. 17:21). Kalau begitu, marilah kita berdoa, dan terus bergerak
maju, karena itulah yang dikehendaki Allah dari diri kita. Inilah yang
dikehendaki-Nya dari diri kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 26 Januari 2024)