Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!
Hari
ini kita akan berhenti sejenak untuk merenungkan sifat buruk kemarahan.
Sekarang kita berbicara tentang keburukan dan kebajikan: hari ini adalah
saatnya untuk merenungkan keburukan kemarahan. Kemarahan adalah sifat buruk
yang sangat gelap, dan mungkin yang paling mudah dideteksi dari sudut pandang
fisik. Orang yang dikuasai kemarahan merasa sulit menyembunyikan dorongan ini:
kamu dapat mengenalinya dari gerakan tubuhnya, agresivitasnya, napasnya yang
tersegal-segal, ungkapannya yang muram dan cemberut.
Dalam
perwujudannya yang paling akut, kemarahan adalah suatu sifat buruk yang tiada
henti. Jika berasal dari ketidakadilan yang diderita (atau diyakini akan
diderita), kemarahan sering kali dilancarkan bukan terhadap pelakunya, namun
terhadap korban pertama yang malang. Ada orang yang menahan kemarahannya di tempat
kerja, menunjukkan dirinya tenang dan tenteram, namun di rumah ia tidak dapat
menahan kemarahannya terhadap istri dan anak-anaknya. Kemarahan adalah suatu
sifat buruk yang menyebar luas: kemarahan mampu membuat kita tidak bisa tidur,
menghalangi jalan menuju akal dan pikiran.
Kemarahan
adalah sifat buruk yang menghancurkan hubungan antarmanusia. Kemarahan
mengungkapkan ketidakmampuan untuk menerima keberagaman orang lain, terutama
ketika pilihan hidup mereka berbeda dengan pilihan kita. Kemarahan tidak
berhenti pada kelakuan buruk salah seorang saja, namun melemparkan segalanya ke
dalam kuali: orang lain, orang lain apa adanya, orang lain sebagaimana adanya,
memicu kemarahan dan kebencian. Kita mulai membenci nada suaranya, gerak-gerik
sehari-harinya yang remeh-temeh, cara berpikir dan perasaannya.
Ketika
hubungan mencapai tingkat kemerosotan ini, kejernihan hilang. Kemarahan membuat
kita kehilangan kejernihan, bukan? Karena salah satu ciri kemarahan,
kadang-kadang, tidak dapat diredakan seiring berjalannya waktu. Dalam kasus
ini, bahkan jarak dan keheningan, bukannya meringankan beban kesalahan, malah
memperbesar kesalahan tersebut. Karena alasan ini, Rasul Paulus – sebagaimana
telah kita dengar – menganjurkan umat Kristiani untuk segera menghadapi masalah
ini, dan mengupayakan rekonsiliasi: “Janganlah matahari terbenam, sebelum padam
kemarahanmu” (Ef. 4:26). Semuanya segera sirna, sebelum matahari terbenam,
penting. Jika terjadi kesalahpahaman di siang hari, dan dua orang tidak dapat
lagi saling memahami, menganggap diri mereka berjauhan, maka malam hari tidak
dapat diserahkan kepada iblis. Sifat buruk akan membuat kita tetap terjaga di
malam hari, memikirkan alasan-alasan kita dan kesalahan-kesalahan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan yang tidak pernah menjadi milik kita dan selalu
menjadi milik orang lain. Begini caranya: ketika sedang marah, kita selalu
mengatakan orang lain adalah masalahnya. Kita tidak pernah mampu mengenali aib
kita, kekurangan kita.
Dalam
Doa Bapa Kami, Yesus mengajak kita mendoakan hubungan antarmanusia, yang
merupakan lahan ranjau: ranah yang tidak pernah berada dalam keseimbangan
sempurna. Dalam kehidupan, kita harus menghadapi orang yang bersalah kepada
kita, sama seperti kita tidak pernah mencintai semua orang sebagaimana
mestinya. Kepada beberapa orang, kita belum membalas cinta yang menjadi hak
mereka. Kita semua adalah orang berdosa, kita semua, dan kita semua mempunyai
masalah yang harus diselesaikan: jangan melupakan hal ini. Kita berhutang budi,
kita semua mempunyai tanggung jawab yang harus diselesaikan, dan oleh karena
itu kita semua perlu belajar bagaimana mengampuni agar bisa diampuni.
Orang-orang tidak bisa tinggal bersama jika mereka tidak mempraktikkan seni
mengampuni, sejauh hal ini memungkinkan secara manusiawi. Kemarahan dihadapi
dengan kebajikan, keterbukaan hati, kelembutan dan kesabaran.
Namun,
mengenai kemarahan, ada satu hal lagi yang perlu dikatakan. Kemarahan dapat
dikatakan merupakan suatu keburukan yang menjadi asal mula perang dan
kekerasan. Proem dari Iliad menggambarkan kemarahan Achilles, yang akan menjadi
penyebab “kesengsaraan yang tak terbatas”. Namun tidak semua hal yang bersumber
dari kemarahan itu salah. Orang-orang zaman dahulu memahami dengan baik bahwa
ada bagian diri kita yang mudah marah serta tidak dapat dan tidak boleh
disangkal. Perasaan tersebut sampai batas tertentu tidak disadari: Perasaan
tersebut terjadi, merupakan pengalaman hidup. Kita tidak bertanggung jawab atas
timbulnya kemarahan, namun selalu atas perkembangan kemarahan tersebut. Dan ada
kalanya kemarahan sebaiknya dilampiaskan secara benar. Jika seseorang tidak
pernah marah, jika seseorang tidak marah terhadap suatu ketidakadilan, jika ia
tidak merasakan sesuatu yang menggetarkan dalam hatinya karena penindasan
terhadap orang yang lemah, maka artinya orang tersebut bukan manusia, apalagi
orang kristiani.
Kemarahan
suci itu ada, yang bukan merupakan kemarahan melainkan suatu gerakan batin,
kemarahan suci. Yesus memahaminya beberapa kali dalam hidup-Nya (bdk. Mrk 3.5):
Ia tidak pernah menanggapi kejahatan dengan kejahatan, tetapi di dalam
jiwa-Nya, Ia merasakan kepekaan perasaan ini, dan dalam kasus para pedagang di
Bait Allah, Ia melakukan tindakan keras dan mengandung nubuat. tindakan yang
didikte bukan oleh kemarahan, melainkan oleh semangat untuk rumah Tuhan (bdk.
Mat 21:12-13). Kita harus membedakannya dengan baik: semangat, kemarahan suci,
adalah satu hal; kemarahan, yang buruk, adalah hal lain.
Dengan
pertolongan Roh Kudus, menemukan ukuran yang tepat untuk kepekaan perasaan
tersebut terserah kita. Mendidik mereka dengan baik agar mereka beralih kepada
kebaikan dan bukan kepada kejahatan. Terima kasih.
[Sapaan Khusus]
Saya
menyapa semua peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian
dalam Audiensi hari ini, khususnya mereka yang datang dari Amerika Serikat.
Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan
kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu!
[Ringkasan dalam
Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]
Saudara-saudari
terkasih: dalam katekese kita tentang kebajikan dan keburukan, kita sekarang
membahas “kemarahan”, yaitu kemarahan yang tidak terkendali yang mungkin
dimulai dengan merenungkan pelanggaran yang diterima, namun berakhir dengan
merusak diri sendiri dan merusak hubungan kita dengan orang lain, yang pada
akhirnya mengarah pada kekerasan dan bahkan perang. Yesus mengajarkan kita
untuk mengampuni mereka yang berdosa terhadap kita, sementara Santo Paulus
mendesak kita untuk tidak membiarkan kemarahan kita hingga matahari terbenam.
Namun ada jenis kemarahan yang pantas, yaitu kemarahan yang benar di hadapan
kejahatan dan ketidakadilan. Sama halnya dengan segenap perasaan, demikian juga
dengan kemarahan: dengan rahmat Roh Kudus yang menopang, mengelola dan
mengarahkan perasaan kita untuk melayani kerajaan rekonsiliasi, keadilan dan
perdamaian Allah, terserah kita.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 1
Februari 2024)