Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 29 Mei 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG ROH KUDUS DAN SANG MEMPELAI PEREMPUAN. ROH KUDUS MENUNTUN UMAT ALLAH MENUJU YESUS, SANG PENGHARAPAN. 1 : ROH ALLAH MELAYANG-LAYANG DI ATAS PERMUKAAN AIR

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, dengan katekese ini kita memulai rangkaian permenungan dengan tema ‘Roh Kudus dan Sang Mempelai Perempuan” – sang mempelai perempuan adalah Gereja – “Roh Kudus menuntun umat Allah menuju Yesus, sang pengharapan kita’. Kita akan melakukan perjalanan ini melalui tiga tahapan besar dalam sejarah keselamatan: Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan zaman Gereja. Pandangan kita selalu tertuju kepada Yesus, Sang Pengharapan kita.

 

Dalam katekese pertama tentang Roh Kudus dalam Perjanjian Lama ini, kita tidak akan membahas ‘arkeologi biblis’. Bahkan, kita akan menemukan bahwa apa yang diberikan sebagai janji dalam Perjanjian Lama telah terwujud sepenuhnya dalam Kristus. Katekase seperti mengikuti jalur matahari dari fajar hingga siang hari.

 

Marilah kita mulai dengan dua ayat pertama dari keseluruhan Kitab Suci. Dua ayat pertama Kitab Suci berbunyi: ‘Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong, Gelap gulita meliputi samudra semesta, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air’ (Kej 1:1-2). Roh Allah muncul di hadapan kita sebagai kekuatan misterius yang menggerakkan dunia dari keadaan awalnya yang tidak berbentuk, terlantar dan suram menjadi keadaan yang teratur dan selaras. Karena Roh Allah menjadikan keselarasan, keselarasan dalam hidup, keselarasan dalam dunia. Dengan kata lain, Ia menjadikan dunia dari chaos menuju kosmos, yaitu dari kebingungan menuju sesuatu yang indah dan teratur. Sebenarnya, kata Yunani kosmos, dan juga kata Latin mundus ini berarti sesuatu yang indah, sesuatu yang teratur, bersih, selaras, karena Roh Kudus adalah keselarasan.

 

Petunjuk yang masih samar-samar mengenai tindakan Roh Kudus dalam penciptaan ini menjadi lebih pas dalam pewahyuan berikutnya. Dalam sebuah mazmur kita membaca: ‘Oleh firman Tuhan langit telah dijadikan, oleh napas mulut-Nya segala tentaranya’ (Mzm 33:6); dan juga: ‘Apabila Engkau mengirim roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi’ (Mzm 104:30).

 

Garis perkembangan ini menjadi sangat jelas dalam Perjanjian Baru, yang menggambarkan campur tangan Roh Kudus dalam penciptaan baru, dengan tepat menggunakan gambaran yang kita baca sehubungan dengan asal usul dunia: burung merpati yang terbang di atas Sungai Yordan pada saat Yesus dibaptis (bdk. Mat 3:16); Yesus yang berada di Ruang Atas mengembusi para murid dan berkata, 'Terimalah Roh Kudus' (Yoh 20:22), sama seperti pada mulanya Allah mengembuskan napas-Nya kepada Adam (bdk. Kej 2:7).

 

Rasul Paulus memperkenalkan unsur baru ke dalam hubungan antara Roh Kudus dan ciptaan. Ia berbicara tentang segala ciptaan yang ‘mengeluh dan merasa sakit bersalin’ (bdk. Rm 8:22). Segala ciptaan ini menderita oleh karena manusia telah menjadikannya ‘hamba korupsi’ (bdk. ay 20-21). Kenyataan yang sangat dramatis memprihatinkan kita. Rasul Paulus melihat penyebab penderitaan segala ciptaan dalam korupsi dan dosa umat manusia yang telah menyeretnya ke dalam keterasingan dari Allah. Ini masih tetap berlaku pada saat ini dan juga pada masa lalu. Kita melihat kerusakan yang telah terjadi, dan hal ini terus dilakukan oleh umat manusia terhadap ciptaan, terutama pihak yang memiliki kapasitas lebih besar untuk mengeksploitasi sumber dayanya.

 

Santo Fransiskus dari Asisi menunjukkan kepada kita jalan keluar, jalan yang indah, jalan keluar untuk kembali kepada keselarasan Roh Kudus: jalan kontemplasi dan pujian. Ia ingin segala ciptaan mengumandangkan kidung pujian kepada Sang Pencipta. Kita mengingat, ‘Laudato Si, mi Signore...’ nyanyian Fransiskus dari Asisi.

 

Salah satu mazmur (19:1) mengatakan, ‘Langit menceritakan kemuliaan Allah’, namun laki-laki dan perempuan dibutuhkan untuk menyuarakan jeritan mereka yang bisu ini. Dan setiap kali Misa, kita mengulangi ‘Sanctus’ : ‘Langit dan bumi penuh dengan kemuliaan-Mu’. Boleh dikatakan, mereka 'hamil' dengan hal itu, namun mereka membutuhkan tangan bidan yang baik untuk melahirkan pujian mereka. Panggilan kita di dunia, Paulus mengingatkan kita kembali, adalah ‘menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya’ (Ef. 1:12). Mengedepankan sukacita merenung ketimbang sukacita memiliki. Dan tidak ada seorang pun yang lebih bersukacita atas segala ciptaan selain Fransiskus dari Asisi, yang tidak ingin memiliki satupun dari mereka.

 

Saudara-saudari, Roh Kudus, yang pada awalnya mengubah chaos menjadi kosmos, sedang bekerja untuk mewujudkan transformasi ini dalam diri setiap orang. Melalui Nabi Yehezkiel, Allah berjanji: ‘Aku akan memberikan kepadamu hati yang baru dan roh yang baru dalam batinmu ... Roh-Ku akan Kutaruh dalam batinmu’ (Yeh 36:26-27). Karena hati kita mirip dengan jurang yang sepi dan gelap dalam ayat pertama Kitab Kejadian. Perasaan dan keinginan yang berlawanan muncul di dalamnya: keinginan daging dan keinginan roh. Kita semua, dalam arti tertentu, adalah 'kerajaan yang terpecah' sebagaimana dikatakan Yesus dalam Injil (bdk. Mrk 3:24). Di dalam diri kita, kita dapat mengatakan bahwa ada kekacauan batiniah – kekacauan sosial, kekacauan politik. Kita memikirkan perang, kita memikirkan begitu banyak anak laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai cukup pemanas, begitu banyak ketidakadilan sosial. Inilah kekacauan lahiriah. Namun ada juga kekacauan batiniah: batiniah dalam diri kita masing-masing. Kekacauan batiniah tidak dapat disembuhkan kecuali kita mulai menyembuhkan kekacauan lahiriah! Saudara-saudari, marilah kita melakukan pekerjaan yang baik untuk membuat kebingungan batin kita menjadi kejernihan Roh Kudus. Kuasa Allah melakukan hal ini, dan kita membuka hati sehingga Ia dapat melakukannya.

 

Semoga permenungan ini membangkitkan dalam diri kita keinginan untuk mengalami Roh Pencipta. Selama lebih dari satu milenium, Gereja telah menaruh seruan permohonan di bibir kita: ‘Veni creator Spiritus!, 'Datanglah Roh Pencipta!‘ Kunjungilah pikiran kita. Penuhilah dengan rahmat surgawi hati yang telah Engkau ciptakan.’ Marilah kita memohon agar Roh Kudus datang kepada kita dan menjadikan kita manusia baru, dengan kebaharuan Roh. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya ingin memastikan doa saya bagi para korban bencana longsor besar yang melanda beberapa desa di Papua Nugini. Semoga Tuhan menghibur para anggota keluarga, mereka yang telah kehilangan tempat tinggal, dan rakyat Papua yang jika Allah berkenan akan saya temui pada bulan September mendatang.

 

Hari Minggu lalu di Novara, Pastor Joseph Rossi, imam dan martir, pastor paroki yang bersemangat dalam bidang amal kasih, dibeatifikasi. Ia tidak meninggalkan kawanan dombanya selama periode tragis Perang Dunia II namun menjaganya bahkan sampai menumpahkan darahnya. Semoga kesaksian heroiknya membantu kita menghadapi cobaan hidup dengan tabah. Marilah kita bertepuk tangan atas sang beato baru.

 

Dengan hangat saya menyapa para peziarah berbahasa Italia. Secara khusus, saya menyapa para imam Bergamo yang sedang memperingati 25 tahun tahbisan mereka, dan saya mendorong mereka untuk tetap setia pada panggilan Tuhan dan pelayanan Injil yang penuh sukacita. “Bergamaschi” [orang-orang dari Bergamo] ini mempunyai reputasi sebagai imam yang baik, bukan? Majulah, dengan keberanian! Saya juga menyapa para Putri Salib dari Liege, yang sedang merayakan Kapitel Umum, dan saya mendorong mereka untuk memperkuat cita-cita keagamaan mereka guna mengungkapkan dedikasi mereka kepada Allah dan saudara-saudari mereka dengan semakin murah hati.

 

Dengan hangat saya menyapa umat Solopaca, Persatuan Olahraga “Grosseto 1912”, para prajurit Komando Sinyal Angkatan Darat Cecchignola dan para prajurit Nettuno.

 

Akhirnya, pikiran saya tertuju pada kaum muda, orang-orang sakit, kaum tua, dan para pengantin baru. Hari ini kita merayakan peringatan liturgi Santo Paulus VI, seorang gembala yang berkobar-kobar dengan mengasihi Kristus, Gereja, dan umat manusia. Semoga peringatan ini membantu semua orang untuk menemukan kembali sukacita menjadi umat Kristiani, menginspirasi komitmen baru untuk membangun peradaban kasih. Dan mohon, jika kamu punya waktu, bacalah surat Paulus VI ‘Evangelii Nuntiandi’, yang masih relevan hingga saat ini.

 

Pikiran saya tertuju kepada Ukraina yang tersiksa. Suatu hari saya menerima anak laki-laki dan perempuan yang menderita luka bakar, mereka kehilangan kaki mereka karena perang: perang selalu kejam. Anak-anak lelaki dan perempuan ini harus mulai berjalan, bergerak dengan tangan palsu... mereka kehilangan senyuman. Sungguh menyedihkan, sangat menyedihkan bila seorang anak kehilangan senyumnya. Marilah kita mendoakan anak-anak Ukraina.

 

Dan jangan lupakan Palestina dan Israel yang sangat menderita: perkenankanlah perang ini berakhir.

 

Dan jangan lupakan Myanmar, dan banyak negara yang sedang berperang.

 

Anak-anak menderita, anak-anak yang berperang menderita. Marilah kita berdoa kepada Tuhan agar dekat dengan semua orang dan memberi kita rahmat kedamaian. Amin.

 

Berkat saya untuk semuanya!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Hari ini kita memulai rangkaian katekese baru tentang “Roh Kudus dan Sang Mempelai Perempuan”, yang berfokus pada bagaimana Roh Kudus menuntun umat Allah sepanjang sejarah keselamatan. Sejak awal, Roh Tuhan sedang bekerja, membawa keteraturan dan keindahan ketimbang kekacauan. Transformasi yang berkelanjutan ini diwujudkan sepenuhnya dalam diri Yesus Kristus. Santo Paulus mengatakan kepada kita bahwa “segala ciptaan sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm 8:22), sebuah kenyataan yang tetap ada, dan menekankan perlunya kita mengatasi kekacauan batiniah dan lahiriah. Mengingat hal ini, Santo Fransiskus dari Asisi menawarkan permenungan dan pujian sebagai solusi serta menunjukkan bagaimana merangkul ciptaan dengan bebas. Marilah kita mengundang Roh Allah ke dalam hidup kita, untuk mengubah hati kita dan menyembuhkan dunia kita: “Datanglah Roh Kudus, Sang Pencipta, datanglah, terangi pikiran kami dan penuhi dengan rahmat surgawi hati yang telah Engkau ciptakan.”

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Mei 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 22 Mei 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 20 : PERJUANGAN ROHANI) : KERENDAHAN HATI

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Kita akan mengakhiri rangkaian katekese ini dengan melihat sebuah kebajikan yang tidak termasuk tujuh kebajikan utama dan ilahi, namun merupakan landasan kehidupan kristiani: kebajikan ini adalah kerendahan hati. kerendahan hati merupakan antagonis terbesar dari dosa yang paling mematikan, yaitu kesombongan. Sementara kesombongan dan keangkuhan menggerogoti hati manusia, membuat kita tampak melebihi apa yang sebenarnya, kerendahan hati mengembalikan segalanya ke dimensi yang benar: kita adalah ciptaan yang luar biasa, namun kita terbatas, dengan kelebihan dan kekurangan kita. Sejak awal, Kitab Suci mengingatkan kita bahwa kita adalah debu, dan kita akan kembali menjadi debu (bdk. Kej 3:19); sesungguhnya, kata "rendah hati" berasal dari kata "humus", yaitu tanah. Namun gila kemahakuasaan, yang begitu berbahaya, sering kali muncul dalam hati manusia, dan hal ini sangat merugikan kita.

 

Hanya dibutuhkan sedikit waktu untuk membebaskan diri dari kesombongan; cukuplah merenungkan langit berbintang untuk mendapatkan ukuran yang benar, sebagaimana dikatakan pemazmur: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengingatnya?” (8:4-5). Ilmu pengetahuan modern memungkinkan kita untuk memperluas cakrawala lebih jauh lagi, dan lebih merasakan misteri yang mengelilingi kita dan yang kita huni.

 

Berbahagialah orang yang menyimpan dalam hatinya persepsi betapa kecilnya diri mereka! Mereka ini adalah orang-orang terpelihara dari sifat buruk: kesombongan. Dalam Sabda Bahagia, secara tepat Yesus memulainya dari mereka: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga” (Mat 5:3). Ini adalah Sabda Bahagia yang pertama, karena merupakan landasan Sabda Bahagia berikutnya: sesungguhnya, kelemahlembutan, belas kasihan, dan kesucian hati berasal dari perasaan kecil tersebut yang ada di dalam diri kita. Kerendahan hati adalah pintu gerbang menuju segenap kebajikan.

 

Dalam halaman-halaman pertama Injil, kerendahan hati dan kemiskinan jiwa tampaknya menjadi sumber segalanya. Pemberitahuan malaikat tidak terjadi di depan pintu Yerusalem, namun di sebuah desa terpencil di Galilea, begitu tidak penting sehingga orang sering berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh 1:46). Namun justru dari sanalah dunia terlahir kembali. Pahlawan perempuan yang dipilih bukanlah seorang ratu cilik yang tumbuh dalam keadaan dimanjakan, melainkan seorang gadis tak dikenal: Maria. Dia sendirilah yang pertama kali terheran-heran ketika malaikat menyampaikan pemberitahuan Allah. Dan dalam kidung doanya, justru keheranan inilah yang menonjol: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya” (Luk 1:46-48 ). Allah - bisa dikatakan - tertarik oleh kekecilan Maria, yang terutama merupakan kekecilan batin. Dan Ia juga tertarik dengan kekecilan kita, ketika kita menerimanya.

 

Dimulai dari sini, Maria akan berhati-hati agar tidak menjadi pusat perhatian. Keputusan pertamanya setelah pemberitahuan malaikat adalah pergi dan membantu, pergi dan melayani kerabatnya. Maria menuju pegunungan Yudea untuk mengunjungi Elizabet: Maria membantunya di bulan-bulan terakhir kehamilannya. Tetapi siapa yang melihat perilaku ini? Tidak seorang pun, selain Allah. Perawan Maria tampaknya tidak ingin keluar dari ketersembunyian ini. Sama seperti, ketika suara seorang perempuan dari tengah orang banyak menyatakan keberbahagiaannya: “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau!” (Luk 11:27). Namun Yesus segera menjawab, “Yang lebih berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya” (Luk 11:28). Bahkan kebenaran paling suci dalam hidupnya – menjadi Bunda Allah – tidak menjadi alasan baginya untuk bermegah di hadapan manusia. Di dunia yang ditandai dengan mengejar penampilan, menunjukkan diri lebih unggul dari orang lain, Maria berjalan dengan tegas, berkat kekuatan rahmat Allah semata, ke arah yang berlawanan.

 

Kita dapat membayangkan bahwa ia juga pernah mengalami saat-saat sulit, hari-hari ketika imannya berkembang dalam kegelapan. Namun hal ini tidak pernah membuatnya goyah dalam kerendahan hati, yang dalam diri Maria merupakan suatu kebajikan yang luar biasa. Saya ingin menekankan hal ini: kerendahan hati adalah suatu kebajikan yang luar biasa. Marilah kita memikirkan Maria: ia selalu kecil, selalu tidak mementingkan diri sendiri, selalu bebas dari ambisi. Kekecilannya ini adalah kekuatannya yang tiada tandingannya: dialah yang tetap berada di kaki salib, sementara khayalan kemenangan Mesias hancur. Marialah, pada hari-hari menjelang Pentakosta, yang akan mengumpulkan kawanan murid, yang tidak mampu berjaga satu jam saja bersama Yesus, dan telah meninggalkan Dia ketika badai datang.

 

Saudara-saudari, kerendahan hati adalah segalanya. kerendahan hati yang menyelamatkan kita dari si Jahat, dan dari bahaya menjadi kaki tangannya. Dan kerendahan hati adalah sumber kedamaian dalam dunia dan Gereja. Di mana tidak ada kerendahan hati, di situlah ada peperangan, perselisihan perpecahan. Allah telah memberi kita teladan tentang hal ini melalui Yesus dan Maria, demi keselamatan dan kebahagiaan kita. Dan kerendahan hati tepatnya merupakan jalan menuju keselamatan. Terima kasih!

 

[Sapaan Khusus]


Kini kita mengakhiri rangkaian katekese tentang kebajikan dengan merefleksikan kebajikan kerendahan hati, yang dengannya kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan Allah dan berusaha untuk hidup sesuai dengan kebajikan tersebut. Kerendahan hati sebenarnya adalah pintu menuju kebajikan-kebajikan lain dan, dengan kemiskinan jiwa, yang pertama dari Sabda Bahagia. Kita melihat hal ini secara khusus dalam kehidupan Santa Perawan Maria. Kerendahan hatinya terlihat tidak hanya dalam penerimaan penuh sukacita terhadap kehendak Tuhan, namun juga dalam amal kasih terhadap Elisabet kerabatnya, dalam ketekunannya di kaki salib, dan dalam kehadirannya yang penuh doa di antara para Rasul di Ruang Atas, ketika mereka menantikan pencurahan Roh Kudus. Semoga teladan dan perantaraannya yang kuat membantu kita mengatasi godaan untuk menjadi sombong, dengan rendah hati mengikuti jejak Yesus, dan memberikan kesaksian tentang sukacita dan kedamaian Kerajaan-Nya.

 

Marilah kita mendoakan perdamaian. Kita membutuhkan perdamaian. Dunia sedang berperang. Janganlah kita melupakan Tersiksanya Ukraina yang sangat menderita. Janganlah kita melupakan Palestina dan Israel: semoga perang ini berhenti. Jangan sampai kita melupakan Myanmar. Dan jangan lupakan banyak negara yang sedang berperang. Saudara dan saudari, kita harus mendoakan perdamaian di masa perang di seluruh dunia ini.

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Afrika Selatan, Hong Kong, India, Korea Selatan, Filipina, dan Amerika Serikat. Saya memohonkaqn atasmu dan keluargamu sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatmui!
______

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Mei 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 19 Mei 2024 : HARI RAYA PENTAKOSTA

Saudara-saudarI terkasih, selamat Hari Raya Pentakosta, selamat pagi!

 

Hari ini, Hari Raya Pentakosta, kita merayakan turunnya Roh Kudus ke atas Maria dan para Rasul. Dalam Bacaan Injil liturgi hari ini, Yesus berbicara tentang Roh Kudus dan mengatakan bahwa Ia akan mengajari kita “segala sesuatu yang Ia dengar” (bdk. Yoh 16:13). Tetapi apa arti ungkapan ini? Apa yang telah didengar Roh Kudus? Apa yang akan Ia katakan?

 

Ia berbicara kepada kita dengan kata-kata yang mengungkapkan perasaan yang indah, seperti kasih sayang, rasa syukur, kepercayaan, belas kasihan. Kata-kata yang membuat kita mengenal hubungan yang indah, bercahaya, nyata dan langgeng sebagaimana Sang Kasih Allah yang kekal: kata-kata yang saling diucapkan Bapa dan Putra. Kata-kata cinta yang transformatif, yang diulangi oleh Roh Kudus di dalam diri kita, dan yang baik untuk kita dengarkan, karena kata-kata ini melahirkan dan menumbuhkan perasaan dan niat yang sama di dalam hati kita: kata-kata yang bermanfaat. .

 

Inilah sebabnya mengapa penting bagi kita untuk memupuk diri kita setiap hari dengan sabda Allah, sabda Yesus, yang diilhami oleh Roh Kudus. Dan berkali-kali saya berkata: bacalah sebuah perikop Injil, ambillah Injil kecil berukuran saku dan simpanlah bersamamu, manfaatkanlah saat-saat yang menyenangkan untuk membacanya. Imam dan penyair Clemente Rebora, berbicara tentang pertobatannya, menulis dalam buku hariannya: “Dan Sabda membungkam obrolanku!” (Riwayat Hidup). Sabda Allah membungkam obrolan kita yang dangkal dan membuat kita mengucapkan kata-kata yang serius, kata-kata yang indah, kata-kata yang penuh sukacita. “Dan Sabda membungkam obrolanku!” Mendengarkan sabda Allah membuat obrolan terhenti. Inilah cara memberikan ruang dalam diri kita untuk suara Roh Kudus. Kemudian dalam Adorasi – janganlah kita melupakan doa Adorasi dalam keheningan – terutama yang sederhana, hening, laksana penyembahan. Dan di sanalah, mengucapkan kata-kata yang baik dalam diri kita, mengucapkannya dalam hati agar mampu mengucapkannya kepada sesama, setelah itu, kepada satu sama lain. Dan dengan cara ini kita melihat bahwa semua itu berasal dari suara Sang Penghibur, dari Roh Kudus.

 

Saudara-saudari terkasih, membaca dan merenungkan Injil, berdoa dalam keheningan, mengucapkan kata-kata yang baik: semua itu bukan hal yang sulit, tidak, kita semua bisa melakukannya. Semua itu lebih mudah daripada menghina, menjadi marah… Jadi, marilah kita bertanya pada diri kita: apa tempat kata-kata ini dalam hidupku? Bagaimana aku dapat memupuknya agar dapat mendengarkan Roh Kudus dengan lebih baik, dan menjadi gema Roh Kudus bagi sesama?

 

Semoga Maria, yang hadir pada hari Pentakosta bersama para Rasul, membuat kita taat kepada suara Roh Kudus.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Roh Kuduslah yang menciptakan kerukunan, kerukunan! Dan Ia menciptakannya dari kenyataan yang berbeda, bahkan terkadang bertentangan. Hari ini, Hari Raya Pentakosta, marilah kita berdoa kepada Roh Kudus, Sang Kasih Bapa dan Putra, agar Ia menciptakan kerukunan dalam hati, kerukunan dalam keluarga, kerukunan dalam masyarakat, kerukunan di seluruh dunia; semoga Roh Kudus membuat persekutuan dan persaudaraan bertumbuh di antara umat kristiani dari denominasi yang berbeda; memberikan keberanian kepada para pemimpin pemerintahan untuk melakukan dialog yang dapat mengakhiri perang. Banyaknya peperangan yang terjadi saat ini: pikirkanlah Ukraina – pikiran saya khususnya tertuju kepada kota Kharkiv, yang mengalami serangan dua hari yang lalu; pikirkanlah Tanah Suci, Palestina, Israel; pikirkanlah banyak tempat di mana terjadi perang. Semoga Roh Kudus membimbing para pemimpin negara dan kita semua untuk membuka pintu perdamaian.

 

Saya mengucapkan terima kasih atas sambutan dan kasih sayang masyarakat Verona, kemarin: mereka baik, warga Verona! Terima kasih terima kasih. Secara khusus saya memikirkan penjara Verona, saya memikirkan para narapidana yang sekali lagi memberikan kesaksian kepada saya bahwa di balik tembok penjara, kehidupan kemanusiaan dan harapan berdenyut. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada seluruh staf penjara, dan khususnya kepada sang direktur, Dr. Francesca Gioieni.

 

Saya menyapa kamu semua, para peziarah dari Roma dan berbagai belahan Italia dan dunia. Secara khusus, saya menyapa warga Timor-Leste – saya akan segera datang mengunjungimu! – komunitas Latvia dan Uruguay, serta komunitas Paraguay di Roma, yang merayakan Virgen de Caacupé, dan Misi Katolik Portugal di Lucerne.

 

Saya menyapa kaum muda Immacolata; saya menyapa para suster yang ada di sini, bagus! Saya menyapa umat Benevento, Porto Azzurro dan Terracina, serta Institut “Caterina di Santa Rosa” Roma.

 

Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu. Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Mei 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 15 Mei 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 19 : PERJUANGAN ROHANI) : KASIH

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan berbicara tentang kebajikan ilahi yang ketiga, kasih. Dua lainnya, mari kita ingat, adalah iman dan harapan: hari ini kita akan membicarakan yang ketiga, kasih. Kasih adalah puncak seluruh rencana perjalanan yang telah kita lakukan dengan katekese tentang kebajikan. Memikirkan kasih segera melapangkan hati, dan melapangkan pikiran, mengingatkan kita akan kata-kata inspiratif Santo Paulus dalam Surat Pertama kepada Jemaat di Korintus. Mengakhiri madah yang indah tersebut, Santo Paulus mengutip tiga serangkai kebajikan ilahi dan seruan: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, tetapi yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Kor 13:13).

 

Paulus menyampaikan kata-kata ini kepada sebuah komunitas yang sama sekali tidak sempurna dalam kasih persaudaraan: umat kristiani di Korintus agak taat hukum, ada perpecahan internal, dan ada orang-orang yang mengaku selalu benar dan tidak mendengarkan orang lain, menganggap mereka lebih rendah. Paulus mengingatkan mereka bahwa pengetahuan membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun (bdk. 1Kor 8:1). Rasul Paulus kemudian mencatat sebuah skandal yang bahkan menyentuh momen kesatuan maksimum komunitas kristiani, yaitu “perjamuan Tuhan”, perayaan Ekaristi: bahkan di sana pun, ada perpecahan, dan ada pula yang memanfaatkan hal ini untuk makan dan minum, tidak menyertakan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (bdk. 1 Kor 11:18-22). Menghadapi hal ini, Paulus memberikan penilaian yang tegas: “Apabila kamu berkumpul, kamu berkumpul bukan untuk makan perjamuan Tuhan” (ayat 20), kamu memiliki ritual lain, yang bersifat kafir, ritual yang bukan merupakan perjamuan Tuhan.

 

Siapa tahu, mungkin dalam jemaat Korintus, tidak ada seorang pun yang mengira mereka telah berbuat dosa, dan kata-kata kasar Rasul Paulus itu terdengar agak tidak dapat dipahami oleh mereka. Mungkin mereka semua yakin bahwa mereka adalah orang-orang baik, dan jika ditanya tentang kasih, mereka akan menjawab bahwa kasih tentu merupakan nilai yang sangat penting bagi mereka, seperti halnya persahabatan atau keluarga. Saat ini juga, kasih ada di bibir banyak “pemberi pengaruh” dan dalam refren banyak lagu. Kita banyak berbicara tentang kasih, tetapi apakah kasih itu?

 

“Tetapi kasih yang lain?”, Paulus sepertinya bertanya kepada jemaat kristiani di Korintus. Bukan kasih yang naik, melainkan kasih yang turun; bukan yang mengambil, melainkan yang memberi; bukan yang tampak, melainkan yang tersembunyi. Paulus prihatin bahwa di Korintus – seperti juga di antara kita saat ini – terdapat kebingungan dan sebenarnya tidak ada jejak kebajikan ilahi kasih, yang tiba kepada kita dari Allah semata. Dan bahkan jika dengan kata-kata setiap orang meyakinkan bahwa mereka adalah orang-orang baik, mereka mencintai keluarga dan sahabat-sahabat mereka, pada kenyataannya mereka hanya tahu sedikit tentang kasih Allah.

 

Umat kristiani zaman dahulu memiliki beberapa kata Yunani untuk mendefinisikan cinta. Pada akhirnya muncullah kata agape yang biasa kita terjemahkan dengan kasih. Karena sebenarnya umat kristiani mampu melakukan segala bentuk kasih di dunia: mereka bisa jatuh cinta, kurang lebih seperti yang terjadi pada semua orang. Mereka bisa merasakan kebajikan yang dirasakan dalam persahabatan. Mereka bisa merasakan cinta terhadap negara mereka dan cinta universal terhadap seluruh umat manusia. Namun ada cinta yang lebih besar, cinta yang berasal dari Allah dan ditujukan kepada Allah, yang memampukan kita untuk mengasihi Allah, menjadi sahabat-Nya, dan memungkinkan kita untuk mengasihi sesama kita sebagaimana Allah mengasihinya, dengan keinginan untuk berbagi. persahabatan dengan Allah. Kasih ini, berkat Kristus, mendorong kita ke tempat yang secara manusiawi tidak kita inginkan: mengasihi kaum miskin, mereka yang tidak patut dikasihi, mereka yang tidak mempedulikan kita dan tidak tahu berterima kasih. Kasih terhadap sesuatu yang tak seorang pun akan menyukainya, bahkan terhadap musuh kita. Bahkan terhadap musuh. Ini bersifat “ilahi”: ini berasal dari Allah, karya Roh Kudus di dalam diri kita.

 

Yesus berkhotbah, dalam Khotbah di Bukit: “Jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Sebab, orang berdosa pun mengasihi orang yang mengasihi mereka” (Luk 6:32-33). Dan Ia menyimpulkan: “Tetapi, kasihilah musuh-musuh-mu” – kita terbiasa berbicara buruk tentang musuh kita – “kasihilah musuh-musuhmu dan berbuatlah baik, dan pinjamkanlah tanpa mengharapkan balasan apa pun. Upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Maha Tinggi; sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan yang jahat” (ayat 35). Marilah kita ingat hal ini: “Kasihilah musuh-musuhmu dan berbuatlah baik, dan pinjamkanlah tanpa mengharapkan balasan apa pun”. Janganlah kita melupakan hal ini!

 

Dengan kata-kata ini, cinta mengungkapkan dirinya sebagai suatu kebajikan ilahi dan mengambil nama kasih. Cinta adalah kasih. Kita segera menyadari bahwa kasih itu sulit, bahkan mustahil untuk dipraktikkan jika kita tidak hidup di dalam Allah. Sifat manusiawi kita membuat kita secara spontan mengasihi apa yang baik dan indah. Atas nama cita-cita atau kasih sayang yang besar, kita bahkan bisa bermurah hati dan melakukan tindakan heroik. Namun kasih Allah melampaui kriteria ini. Kasih Kristiani mencakup apa yang tidak patut dikasihi, menawarkan pengampunan – betapa sulitnya untuk mengampuni! Betapa besarnya kasih yang dibutuhkan untuk mengampuni! – Kasih Kristiani memberkati mereka yang mengutuk, sedangkan ketika dihadapkan pada hinaan atau kutukan, kita terbiasa membalas dengan hinaan lain, dengan kutukan lain. Kasih yang begitu berkobar sehingga tampaknya hampir mustahil, namun itulah satu-satunya hal yang akan tersisa dari diri kita. Kasih adalah “gerbang sempit” yang akan kita lalui untuk memasuki Kerajaan Allah. Karena di usia senja, kita tidak akan dinilai berdasarkan cinta generik; kita akan dinilai justru berdasarkan kasih, berdasarkan cinta sejati yang kita miliki. Dan Yesus mengatakan hal ini kepada kita, yang sangat indah: “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Ini adalah hal yang indah, hal terbesar tentang kasih. Maju dan berkembanglah!

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa seluruh peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya perwakilan Kelompok Seluruh Parlemen Inggris di Takhta Suci dan kelompok-kelompok dari Uganda, Australia, India, Filipina, Vietnam, Kanada dan Amerika Serikat. Saat kita bersiap merayakan Hari Raya Pentakosta, saya memohonkan atasmu dan keluargamu pencurahan karunia-karunia Roh Kudus yang melimpah. Semoga Tuhan memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita mengenai kebajikan-kebajikan ilahi, kini kita beralih pada kasih, yang merupakan kebajikan terbesar (1 Kor. 13:13). Lebih dari sekadar persahabatan, kasih sayang terhadap keluarga, atau kebajikan terhadap orang lain, kasih adalah karunia Allah, yang ditujukan untuk mengasihi Dia di atas segalanya dan sesama kita seperti diri kita sendiri. Dengan rahmat Roh Kudus dan melalui kuasa kasih penebusan Kristus, kita dapat saling mengasihi dengan cara yang melampaui kecenderungan alami kita. Kasih Kristiani atau agape dihidupi dengan mengasihi orang-orang miskin, orang-orang yang tidak mampu dicintai dan orang-orang yang tidak mengasihi kita, dengan mengampuni semua orang yang telah menyakiti kita dan dengan memberkati orang-orang yang mengutuk kita (Luk. 6:28). Semoga kita menjadi pembawa kasih kristiani kepada semua orang, memberikan kesaksian tentang kasih kita kepada Allah dengan kemurahan hati dan pelayanan yang rendah hati.

_______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Mei 2024)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KAKEK-NENEK DAN LANSIA SEDUNIA IV 28 Juli 2024


PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK HARI KAKEK-NENEK DAN LANSIA SEDUNIA IV 28 Juli 2024

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi)

 

“Janganlah membuang aku pada masa tuaku” (bdk. Mzm 71:9)

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Allah tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya, tidak pernah. Bahkan ketika usia kita bertambah dan kekuatan kita menurun, ketika rambut kita memutih dan peran kita dalam masyarakat berkurang, ketika hidup kita menjadi kurang produktif dan berisiko terlihat tidak berguna. Allah tidak memperhatikan penampilan (bdk. 1 Sam 16:7); Ia tidak segan-segan memilih orang-orang yang, bagi kebanyakan orang, mungkin tampak tidak bertalian. Allah tidak membuang satu batu pun; batu yang “tertua” sungguh merupakan landasan yang kokoh yang di atasnya batu-batu “baru” dapat diletakkan, dipergunakan untuk pembanguan suatu rumah rohani (bdk. 1 Ptr 2:5).

 

Secara keseluruhan Kitab Suci merupakan kisah kasih setia Tuhan. Kitab Suci memberi kita kepastian yang menghibur bahwa Allah terus-menerus menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita, senantiasa, di setiap tahap kehidupan, dalam situasi apa pun yang kita hadapi, bahkan ketika kita mengkhianati-Nya. Mazmur dipenuhi oleh keheranan hati manusiawi di hadapan Allah yang memperhatikan kita meski kita tidak berarti (bdk. Mzm 144:3-4); Mazmur meyakinkan kita bahwa Allah telah menenun kita masing-masing sejak dari kandungan ibu kita (bdk. Mzm 139:13) dan bahkan di neraka pun Ia tidak akan meninggalkan hidup kita (bdk. Mzm 16:10). Maka, kita dapat yakin bahwa Ia juga akan berada di dekat kita pada masa tua, terlebih lagi karena, dalam Kitab Suci, menjadi tua menandakan berkat.

 

Pada saat yang sama, dalam Mazmur kita juga menemukan permohonan yang tulus kepada Tuhan: “Janganlah membuang aku pada masa tuaku” (bdk. Mzm 71:9). Kata-kata yang kuat, bahkan kasar. Kata-kata tersebut membuat kita memikirkan penderitaan Yesus yang luar biasa, yang berseru di kayu salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46).

 

Maka di dalam Kitab Suci, kita menemukan kepastian kedekatan Allah di setiap tahap kehidupan serta rasa takut akan pengabaian, khususnya dalam masa tua dan saat-saat penderitaan. Tidak ada kontradiksi di sini. Jika kita melihat sekeliling, kita tidak akan kesulitan untuk melihat bahwa sabda Kitab Suci mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Seringkali, kesepian merupakan pendamping yang suram dalam hidup kita sebagai kaum lansia dan kakek-nenek. Seringkali, ketika saya menjadi Uskup Buenos Aires, saya mengunjungi rumah peristirahatan dan menyadari betapa jarangnya orang-orang tersebut menerima kunjungan. Beberapa orang sudah berbulan-bulan tidak bertemu anggota keluarga mereka.

 

Ada banyak alasan yang menyebabkan kesepian ini: di banyak tempat, terutama di negara-negara miskin, kaum lansia merasa sendirian karena anak-anak mereka terpaksa bermigrasi. Saya juga memikirkan banyak situasi pertikaian. Berapa banyak kaum lansia yang dibiarkan sendirian karena kaum laki-laki – muda dan dewasa – dipanggil untuk berperang, dan kaum perempuan, terutama para perempuan yang memiliki anak kecil, telah meninggalkan negara mereka demi menjamin keselamatan anak-anak mereka. Di kota-kota dan desa-desa yang hancur akibat perang, banyak kaum lansia yang ditinggalkan sendirian; mereka adalah satu-satunya tanda kehidupan di wilayah di mana pengabaian dan kematian tampaknya menjadi yang paling utama. Di belahan dunia lain, kita menemukan kepercayaan yang salah, yang berakar dalam budaya lokal tertentu, yang menyebabkan permusuhan terhadap kaum lansia, yang dicurigai menggunakan ilmu sihir untuk menguras energi vital kaum muda; ketika kematian dini atau penyakit, atau kemalangan lainnya menimpa kaum muda, kesalahan ditimpakan pada kaum lansia. Mentalitas ini harus ditentang dan disingkirkan. Mentalitas ini merupakan salah satu prasangka tak mendasar yang telah membebaskan kita dari iman kristiani, namun terus memicu pertikaian antargenerasi, generasi muda dan generasi tua.

 

Padahal kalau dipikir-pikir, tuduhan bahwa kaum lansia “merampas masa depan kaum muda” kini ada di mana-mana. Tuduhan tersebut muncul dalam kedok lain bahkan dalam masyarakat yang paling maju dan modern. Misalnya, saat ini terdapat keyakinan luas bahwa kaum lansia membebani kaum muda dengan tingginya biaya layanan sosial yang mereka perlukan, dan dengan cara ini mengalihkan sumber daya yang seharusnya diperuntukkan bagi pengembangan masyarakat dan juga kaum muda. Sebuah penyimpangan persepsi dari kenyataan. Asumsinya, kelangsungan hidup kaum lansia akan membahayakan kaum muda, sehingga demi memihak kaum muda, kita perlu mengabaikan atau bahkan menekan kaum lansia. Pertikaian antargenerasi adalah sebuah kekeliruan dan buah beracun budaya pertikaian. Memposisikan kaum muda melawan kaum lansia adalah suatu bentuk manipulasi yang tidak dapat diterima: “Yang penting adalah kesatuan berbagai usia kehidupan, yang merupakan titik acuan yang sesungguhnya untuk memahami dan menghargai kehidupan manusia secara keseluruhan” (Katekese, 23 Februari 2022).

 

Mazmur yang dikutip di atas – dengan permohonannya agar tidak dibuang pada masa tua – berbicara tentang konspirasi seputar kehidupan kaum lansia. Hal ini mungkin tampak berlebihan, namun tidak terjadi jika kita menganggap kesepian dan pengabaian kaum lansia bukan merupakan sebuah kebetulan atau tidak dapat dihindari, namun merupakan buah keputusan – keputusan politik, ekonomi, sosial dan pribadi – yang gagal untuk mengakui martabat tak terhingga setiap orang, “mengatasi setiap keadaan, keadaan atau situasi yang mungkin dihadapi seseorang” (Deklarasi Dignitas Infinita, 1). Hal ini terjadi ketika kita tidak lagi melihat nilai setiap individu dan orang-orang kemudian dinilai berdasarkan biaya yang harus mereka keluarkan, yang dalam beberapa kasus dianggap terlalu tinggi untuk dibayar. Yang lebih parah lagi, seringkali kaum lansia sendiri yang menjadi korban dari pola pikir ini; mereka dibuat menganggap diri mereka sebagai beban dan merasa bahwa mereka harus menjadi orang pertama yang menyingkir.

Kemudian saat ini juga banyak perempuan dan laki-laki yang mencari kepuasan pribadi dalam kehidupan yang mandiri dan terlepas dari orang lain. Keanggotaan kelompok berada dalam krisis dan individualisme dirayakan: perubahan dari “kita” menjadi “aku” adalah salah satu tanda paling nyata zaman kita. Keluarga, yang merupakan argumen pertama dan paling radikal yang menentang gagasan bahwa kita bisa menyelamatkan diri kita sendiri, telah menjadi salah satu korban budaya individualistis ini. Namun begitu kita bertambah tua dan kekuatan kita mulai menurun, khayalan individualisme, bahwa kita tidak membutuhkan siapa pun dan dapat hidup tanpa ikatan sosial, terungkap apa adanya. Memang benar, kita mendapati diri kita membutuhkan segalanya, namun pada saat kita sendirian, tidak lagi bersama orang lain yang membantu, tanpa seorang pun yang dapat kita andalkan. Sebuah penemuan suram yang baru diketahui banyak orang ketika sudah terlambat.


Kesendirian dan pengabaian telah menjadi unsur yang sering terjadi dalam lanskap sosial saat ini. Keduanya memiliki banyak akar. Dalam beberapa kasus, keduanya merupakan hasil dari pengucilan yang diperhitungkan, semacam “konspirasi sosial” yang menyedihkan; di lain pihak, tragisnya, sebuah masalah keputusan pribadi seseorang. Dalam kasus lain, kaum lansia tunduk pada kenyataan ini, berpura-pura bahwa ini adalah pilihan bebas mereka. Kita semakin kehilangan “selera untuk persaudaraan” (Fratelli Tutti, 33); kita merasa sulit bahkan untuk memikirkan alternatif lain.

 

Dalam diri kebanyakan kaum lansia, kita dapat mengamati perasaan pasrah yang digambarkan dalam Kitab Rut, yang menceritakan kisah Naomi yang sudah lanjut usia, yang, setelah kematian suami dan kedua anaknya, memberi semangat kepada kedua menantunya, Orpa dan Rut, untuk kembali ke kota asal dan rumah mereka (bdk. Rut 1:8). Naomi – seperti kebanyakan kaum lansia saat ini – takut ditinggal sendirian, namun ia tidak dapat membayangkan hal lain. Sebagai seorang janda, ia tahu bahwa dirinya tidak begitu berharga di mata masyarakat; ia melihat dirinya sebagai beban bagi kedua perempuan muda yang, tidak seperti dirinya, seluruh hidup mereka terbentang di hadapan mereka. Karena alasan ini, ia menganggap yang terbaik adalah menyingkir, dan oleh karena itu ia menyuruh kedua menantu perempuannya yang masih muda untuk meninggalkannya dan membangun masa depan di tempat lain (bdk. Rut 1:11-13). Kata-katanya mencerminkan ketentuan sosial dan keagamaan yang kaku pada zamannya, yang tampaknya menyegel nasibnya.

 

Narasi biblis kemudian memaparkan kepada kita dua tanggapan berbeda terhadap kata-kata Naomi dan terhadap masa tua itu sendiri. Salah seorang dari dua menantu perempuan Naomi, Orpa, yang mencintai Naomi, menciumnya dan, menerima apa yang tampaknya merupakan satu-satunya solusi yang mungkin, pergi. Namun Rut tidak meninggalkan Naomi dan, yang mengejutkan Naomi, ia mengatakan kepada: “Jangan desak aku meninggalkan engkau” (Rut 1:16). Rut tidak takut menantang adat istiadat dan pola pikir yang sudah ada sejak lahir. Ia merasakan bahwa perempuan lanjut usia itu membutuhkannya dan ia dengan berani tetap berada di sampingnya dalam awal perjalanan baru bagi keduanya. Bagi kita semua, yang terbiasa dengan gagasan bahwa kesendirian adalah hal yang tidak dapat dihindari, Rut mengajarkan bahwa sebagai tanggapan atas permohonan “Jangan tinggalkan aku”, kita bisa mengatakan, “Aku tidak akan meninggalkanmu”. Rut tidak segan-segan membalikkan situasi yang tampaknya tidak dapat diubah: hidup sendirian bukan satu-satunya alternatif! Bukan suatu kebetulan, Rut – yang tetap mendampingi Naomi yang lanjut usia – adalah nenek moyang Mesias (bdk. Mat 1:5), nenek moyang Yesus, Sang Imanuel, “Allah beserta kita”, yang membawa kedekatan Allah dan keakraban dengan semua orang, dari segala usia dan kondisi kehidupan.

 

Kebebasan dan keberanian Rut mengundang kita untuk mengambil jalan baru. Marilah kita mengikuti jejaknya. Marilah kita berangkat bersama perempuan asing muda ini dan Naomi yang sudah lanjut usia, serta jangan takut untuk mengubah kebiasaan kita dan membayangkan masa depan yang berbeda bagi kaum lansia kita. Perkenankanlah kami mengungkapkan rasa terima kasih kami kepada semua orang yang, sering kali dengan pengorbanan besar, mengikuti teladan Rut, dalam merawat kaum lansia atau sekadar menunjukkan kedekatan sehari-hari dengan kerabat atau kenalan yang tidak lagi memiliki orang lain. Rut yang memilih untuk tetap dekat dengan Naomi kemudian dikaruniai pernikahan yang bahagia, sebuah keluarga, dan sebuah rumah baru. Hal ini senantiasa terjadi: dengan tetap dekat dengan kaum lansia dan mengakui peran unik mereka dalam keluarga, dalam masyarakat dan dalam Gereja, kita juga akan menerima banyak karunia, rahmat dan berkat!

 

Pada Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia IV yang didedikasikan untuk mereka ini, marilah kita menunjukkan kasih sayang kita yang lembut kepada kakek-nenek dan anggota keluarga kita yang lanjut usia. Marilah kita menghabiskan waktu bersama mereka yang berkecil hati dan tidak lagi berharap akan kemungkinan masa depan yang berbeda. Ketimbang bersikap mementingkan diri sendiri yang mengarah pada kesepian dan pengabaian, marilah kita menunjukkan hati yang terbuka dan wajah gembira manusia yang memiliki keberanian untuk mengatakan “Aku tidak akan meninggalkanmu”, dan mengarungi jalan yang berbeda.

 

Bagi kamu semua, kakek-nenek dan kaum lansia yang terkasih, dan semua orang yang dekat denganmu, saya menyampaikan berkat saya, disertai dengan doa-doa saya. Dan saya mohon kepadamu, jangan lupa untuk mendoakan saya.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 25 April 2024

 

FRANSISKUS
_____

(Bogor, 14 Mei 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA RATU SURGA 12 Mei 2024 : DENGAN KENAIKAN-NYA KE SURGA, YESUS MENUNTUN PERJALANAN KITA KE SURGA

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dan kini, saya ingin mengucapkan selamat hari Minggu kepada kaum muda Genoa.

 

Hari ini, di Italia dan negara-negara lain, Hari Raya Kenaikan Tuhan dirayakan. Bacaan Injil Misa menyatakan bahwa Yesus, setelah mempercayakan tugas untuk melanjutkan karya-Nya kepada para Rasul, “terangkat ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah” (Mrk 16:19). Inilah yang dikatakan Bacaan Injil: Ia “terangkat ke surga, lalu duduk di sebelah kanan Allah”.

 

Bagi kita kepulangan Yesus kepada Bapa tampak bukan sebagai keterpisahan diri-Nya dari kita, melainkan seperti mendahului kita ke tempat tujuan, yaitu surga. Sama seperti, ketika berada di pegunungan, kita mendaki ke puncak: kita berjalan dengan susah payah, dan akhirnya, pada belokan jalan, cakrawala terbuka dan kita melihat panorama. Kemudian segenap tubuh menemukan kekuatan untuk melakukan pendakian terakhir. Segenap tubuh – lengan, kaki dan setiap otot – menegang dan berkonsentrasi untuk mencapai puncak.

 

Dan kita, Gereja, adalah tubuh yang Yesus, setelah naik ke Surga, tarik bersama-Nya, seperti sebuah kumpulan yang diikat dengan tali. Dialah yang membangunkan kita dan menyampaikan kepada kita, dengan Sabda-Nya dan rahmat sakramen-sakramen, keindahan tanah air yang kita tuju. Oleh karena itu, kita juga, anggota-anggota-Nya – kita adalah anggota-anggota Yesus – dengan bersukacita naik bersama Dia, sang pemimpin kita, mengetahui bahwa langkah kita masing-masing adalah langkah untuk kita semua, dan tak seorang pun boleh hilang atau tertinggal, karena kita justru satu tubuh (bdk. Kol 1:18; 1 Kor 12:12-27).

 

Dengarkanlah baik-baik: langkah demi langkah, satu demi satu, Yesus menunjukkan jalan kepada kita. Apa saja langkah-langkah yang harus diambil? Bacaan Injil hari ini mengatakan, “memberitakan Injil, membaptis, mengusir setan, memegang ular, meletakkan tangan atas orang sakit” (bdk. Mrk 16:15-16.18); Singkatnya, melaksanakan karya kasih: memberi kehidupan, mendatangkan harapan, menjauhi segala bentuk kejahatan dan keburukan, menyikapi kejahatan dengan kebaikan, dekat dengan orang-orang yang menderita. Ini adalah “langkah demi langkah”. Dan semakin kita melakukan hal ini, semakin kita membiarkan diri kita diubah oleh Roh, semakin kita mengikuti teladan-Nya, seperti di pegunungan, kita merasakan udara di sekitar kita menjadi ringan dan bersih, cakrawala luas dan tujuan dekat, kata-kata dan gerak tubuh menjadi baik, pikiran dan hati melapang dan menghirup.



Maka kita bisa bertanya pada diri kita: apakah hasrat akan Allah, hasrat akan kasih-Nya yang tak terhingga, akan kehidupan-Nya yang merupakan kehidupan kekal, hidup dalam diriku? Atau apakah aku agak majal dan terpaku pada hal-hal yang berlalu-lalang, atau uang, atau kesuksesan, atau kesenangan? Dan apakah kerinduanku akan surga mengucilkanku, apakah menutup diriku, atau malah menuntunku untuk mengasihi saudara-saudariku dengan hati yang lapang dan tanpa pamrih, merasakan mereka adalah sahabat-sahabatku dalam perjalanan menuju surga?

 

Semoga Maria yang sudah sampai di tempat tujuan, membantu kita berjalan bersama dengan sukacita menuju kemuliaan surga.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Saat kita merayakan Kenaikan Tuhan yang bangkit, yang membebaskan kita dan menginginkan kita bebas, saya kembali menyerukan pertukaran umum segenap tahanan antara Rusia dan Ukraina, memastikan kesediaan Takhta Suci untuk mendukung segala upaya dalam hal ini, terutama bagi mereka yang terluka parah dan sakit. Dan marilah kita terus mendoakan perdamaian di Ukraina, Palestina, Israel dan Myanmar… Marilah kita mendoakan perdamaian.

 

Hari ini adalah Hari Komunikasi Sosial Sedunia yang mengusung tema “Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Hati”. Hanya dengan memulihkan kebijaksanaan hati kita dapat menafsirkan tuntutan zaman kita dan menemukan kembali jalan menuju komunikasi yang sepenuhnya manusiawi. Terima kasih kami sampaikan kepada semua pekerja komunikasi atas karya mereka!

 

Hari ini banyak negara merayakan Hari Ibu: marilah kita bersyukur kepada semua ibu, dan marilah kita juga mendoakan para ibu yang telah pergi ke surga. Dan marilah kita percayakan para ibu pada perlindungan Maria, bunda surgawi kita. Tepuk tangan meriah untuk semua ibu!

 

Saya menyapa para peziarah dari Roma dan berbagai penjuru Italia dan dunia, khususnya mereka yang berasal dari Hungaria dan Malta, mahasiswa Colégio da São Tomás Lisbon, dan kelompok musik dari Austria dan Jerman, yang memberikan penghormatan kepada Paus Benediktus XVI. Mereka bermain bagus! Terima kasih. Saya juga menyapa umat Pesaro, Cagliari, Giulianova Lido, dan umat Ponti sul Mincio yang datang dengan bersepeda, para donor darah AVIS, Lembaga “Gunung Muda” Turin, para calon penerima sakramen krisma dari Genoa, dan orang-orang yang menderita fibromyalgia, pada hari yang didedikasikan untuk patologi ini.

 

Saya berterima kasih kepada penyelenggara pameran fotografi “Perubahan”, yang dipajang di bawah barisan tiang Lapangan Santo Petrus. Foto-foto dari seluruh dunia mendokumentasikan keindahan rumah kita bersama, anugerah Sang Pencipta yang wajib kita jaga. Saya mengundangmu untuk mengunjungi pameran ini!

 

Saya menyapa kamu semua, dan kaum muda Immacolata. Kepada kamu semua saya mengucapkan selamat hari Minggu, dan selamat melakukan perjalanan ke Genoa! Tolong, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Mei 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 8 Mei 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG KEBURUKAN DAN KEBAJIKAN (BAGIAN 18 : PERJUANGAN ROHANI) : HARAPAN

Saudara-saudari terkasih!

 

Dalam katekese terakhir kita mulai merenungkan kebajikan-kebajikan ilahi. Tiga di antaranya: iman, harapan, dan kasih. Terakhir kali, kita merenungkan iman. Sekarang giliran harapan. “Harapan adalah kebajikan ilahi yang olehnya kita rindukan Kerajaan Surga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji Kristus dan tidak mengandalkan kekuatan kita, tetapi bantuan rahmat Roh Kudus” (Katekismus Gereja Katolik Roma, no 1817). Kata-kata ini menegaskan kepada kita bahwa harapan adalah jawaban yang ditawarkan kepada hati kita, ketika pertanyaan mutlak muncul dalam diri kita: “Apa yang akan terjadi pada diriku? Apa tujuan perjalanan? Apa nasib dunia ini?”.

 

Kita semua menyadari bahwa jawaban negatif terhadap pertanyaan-pertanyaan ini menghasilkan kesedihan. Jika perjalanan hidup tidak ada artinya, jika pada awal dan akhir tidak ada apa-apa, maka kita bertanya pada diri kita sendiri mengapa kita harus berjalan: maka lahirlah keputusasaan manusia, perasaan tidak bergunaan segala sesuatu. Dan banyak yang mungkin memberontak: “Aku telah berusaha untuk melakukan kebajikan, bijaksana, adil, tangguh, dan bersahaja. Aku juga telah menjadi laki-manusia yang beriman.... Apa gunanya perjuanganku, jika semuanya berakhir di sini?”. Jika harapan hilang, seluruh kebajikan lainnya berisiko hancur dan akhirnya menjadi abu. Jika tidak ada hari esok yang dapat diandalkan, tidak ada cakrawala cerah, kita hanya perlu menyimpulkan bahwa kebajikan adalah usaha yang sia-sia. “Hanya ketika masa depan pasti dan merupakan sebuah kenyataan positif barulah kita bisa menjalani masa kini juga”, kata Benediktus XVI (Ensiklik Spe Salvi, 2).

 

Umat kristiani mempunyai harapan bukan karena kemampuan mereka. Jika mereka akan masa depan, itu karena Kristus telah wafat dan bangkit kembali serta memberikan Roh-Nya kepada kita. “Penebusan ditawarkan kepada kita dalam arti bahwa kita telah diberi harapan, harapan yang dapat dipercaya, yang melaluinya kita dapat menghadapi masa kini” (idem, 1). Dalam pengertian ini, sekali lagi, kita mengatakan bahwa harapan adalah suatu kebajikan ilahi: harapan tidak berasal dari diri kita, bukan suatu sifat keras kepala yang ingin kita yakinkan pada diri kita, namun merupakan karunia yang langsung berasal dari Allah.

 

Kepada banyak umat kristiani yang ragu-ragu, yang belum sepenuhnya dilahirkan kembali untuk memiliki harapan, Rasul Paulus memaparkan nalar baru pengalaman kristiani kepada mereka, dan ia berkata, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini menaruh pengharapan pada Kristus, kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1Kor. 15:17-19). Seolah-olah ia berkata: jika kamu percaya pada kebangkitan Kristus, maka kamu tahu dengan pasti bahwa tidak ada kekalahan dan kematian yang abadi. Namun jika kamu tidak percaya akan kebangkitan Kristus, maka semuanya menjadi keropos, termasuk pemberitaan para rasul.

 

Harapan adalah suatu kebajikan yang sering kali kita lawankan dengan dosa: dalam nostalgia kita yang buruk, dalam kesedihan kita, ketika kita berpikir bahwa kebahagiaan masa lalu terkubur selamanya. Kita berdosa melawan harapan ketika kita menjadi sedih atas dosa-dosa kita, lupa bahwa Allah itu penuh belas kasihan dan lebih besar dari hati kita. Dan jangan sampai kita melupakan hal ini saudara-saudari: Allah mengampuni segalanya, Allah selalu mengampuni. Kitalah yang lelah memohonkan pengampunan. Namun jangan sampai kita melupakan kebenaran ini: Allah mengampuni segalanya, Allah selalu mengampuni. Kita berdosa melawan harapan ketika kita menjadi putus asa atas dosa-dosa kita; kita berdosa melawan harapan ketika musim gugur dalam diri kita membatalkan musim semi; ketika kasih Allah tidak lagi menjadi api abadi dan kita tidak memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang mengikat kita seumur hidup.

 

Dunia dewasa ini sangat membutuhkan kebajikan kristiani ini! Dunia membutuhkan harapan, sama seperti dunia membutuhkan kesabaran, suatu kebajikan yang berhubungan erat dengan harapan. Manusia yang sabar adalah penenun kebaikan. Mereka bersikeras menginginkan perdamaian, dan meskipun ada di antara mereka tergesa-gesa dan menginginkan segalanya, dan langsung, orang yang sabar mampu menunggu. Bahkan ketika di sekitar kita banyak yang menyerah pada kekecewaan, mereka yang terinspirasi oleh harapan dan bersabar mampu melewati malam-malam paling kelam. Harapan dan kesabaran berjalan seiring.

 

Harapan adalah kebajikan mereka yang berjiwa muda; dan di sini usia tidak diperhitungkan. Karena ada juga orang lanjut usia yang bermata cerah, yang hidup terus-menerus berjuang menuju masa depan. Bayangkanlah dua orang lanjut usia yang hebat dalam Injil, Simeon dan Hana: mereka tidak pernah lelah menunggu dan mereka melihat bagian terakhir perjalanan duniawi mereka diberkati oleh perjumpaan dengan Mesias, yang mereka kenali di dalam diri Yesus, yang dibawa ke Bait Allah oleh kedua orang tua-Nya. Alangkah baiknya jika hal seperti itu terjadi pada kita semua! Jika setelah perjalanan peziarahan yang panjang, meletakkan tas pelana dan tongkat kita, hati kita dipenuhi dengan kegembiraan yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dan kita pun dapat berseru: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan-Mu bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel." (Luk 2:29-32).

 

Saudara-saudari, marilah kita berjalan maju dan memohon rahmat untuk memiliki harapan, harapan dengan kesabaran. Selalu melihat ke arah perjumpaan yang pasti itu; selalu melihat bahwa Tuhan selalu berada di dekat kita, bahwa kematian tidak akan pernah menang. Marilah kita berjalan maju dan memohon kepada Tuhan agar memberi kita kebajikan agung harapan ini, disertai dengan kesabaran. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa seluruh peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya yang berasal dari Kamerun, India, Filipina, dan Amerika Serikat. Saat kita bersiap untuk merayakan Hari Raya Kenaikan Tuhan, saya memohonkan atasmu dan keluargamu sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah bangkit dan naik ke surga. Semoga Tuhan memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita mengenai kebajikan-kebajikan ilahi, kita sekarang mengkaji harapan, yang melaluinya kita menginginkan kebahagiaan hidup kekal. Tanpa harapan, kehidupan kebajikan akan tampak tidak dapat diperoleh. Harapan kristiani didasarkan pada Tuhan sendiri yang telah wafat dan bangkit untuk kita. Sebagai para pengikut-Nya, kita memercayai janji-janji-Nya, khususnya karunia Roh Kudus, dan berusaha setiap hari untuk hidup sesuai dengan panggilan kita. Kesabaran berjalan seiring dengan harapan, memberikan jalan maju yang mantap. Saat kita ditemani keduanya dalam perjalanan hidup, kita mengingat kemurahan dan kasih setia Allah. Hal ini membantu kita untuk tidak terjebak oleh nostalgia masa lalu, kesedihan atau keputusasaan. Dengan hati yang muda semoga kita, seperti Simeon dan Hana, bertekun dalam harapan. Bapa Suci sekarang akan menyapa kita dalam bahasa Italia.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Mei 2024)