Saudara-saudari terkasih,
Setelah merenungkan perjumpaan Yesus
dengan beberapa tokoh dalam Injil, saya ingin berhenti sejenak, dimulai dengan
katekese ini, pada beberapa perumpamaan. Sebagaimana kita ketahui, perumpamaan
adalah kisah yang mengambil gambaran dan situasi kenyataan sehari-hari. Itulah
sebabnya perumpamaan juga menyentuh kehidupan kita. Perumpamaan menggugah kita.
Dan perumpamaan meminta kita untuk mengambil posisi: di mana aku berada dalam
kisah ini?
Marilah kita mulai dengan perumpamaan
yang paling terkenal, yang mungkin kita semua ingat sejak kita masih anak-anak:
perumpamaan tentang seorang bapa dan dua orang anaknya (Luk 15:1-3,11-32). Di
sini kita menemukan pokok Injil Yesus, yaitu kemurahhatian Allah.
Penginjil Lukas mengatakan bahwa Yesus
menceritakan perumpamaan ini kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat,
yang bersungut-sungut karena Ia makan bersama orang-orang berdosa. Itulah
sebabnya dapat dikatakan bahwa perumpamaan ini ditujukan kepada orang-orang
yang hilang, tetapi tidak menyadarinya, dan menghakimi orang lain.
Injil dimaksudkan untuk memberi kita
pesan pengharapan, karena Injil memberitahu kita bahwa di mana pun kita hilang,
dan bagaimanapun kita hilang, Allah selalu datang mencari kita! Mungkin kita
telah hilang seperti seekor domba, yang tersesat dari jalan saat merumput, atau
tertinggal karena kelelahan (lih. Luk 15:4-7). Atau mungkin kita telah hilang
seperti dirham, yang mungkin telah jatuh ke tanah dan tidak dapat ditemukan
lagi, atau seseorang telah meletakkannya di suatu tempat dan tidak dapat
mengingatnya. Atau mungkin kita hilang seperti kedua anak laki-laki bapa ini:
si bungsu karena ia lelah berada dalam hubungan yang menurutnya terlalu
menuntut; namun si sulung juga hilang, karena hanya tinggal di rumah tidak
memadai jika ada kesombongan dan kebencian di dalam hatinya.
Cinta selalu merupakan komitmen, selalu
ada sesuatu yang harus kita korbankan untuk bisa bersama dengan orang lain.
Namun, anak bungsu dalam perumpamaan itu hanya memikirkan dirinya sendiri,
seperti yang terjadi pada tahap tertentu masa kanak-kanak dan remaja. Pada
kenyataannya, kita juga melihat di sekitar kita banyak orang dewasa yang
seperti ini, yang tidak mampu mempertahankan hubungan karena mereka egois.
Mereka menipu diri sendiri bahwa mereka akan menemukan diri mereka dan justru
mereka kehilangan diri mereka, karena hanya ketika kita hidup untuk seseorang,
kita benar-benar hidup.
Anak bungsu ini, seperti kita semua,
haus akan kasih sayang, ia ingin dicintai. Namun kasih adalah anugerah yang
berharga; ia harus diperlakukan dengan penuh perhatian. Sebaliknya, ia
menyia-nyiakannya, ia mengabaikannya, ia tidak menghargai dirinya sendiri. Ia
menyadari hal ini di saat-saat sulit, ketika tidak ada seorang pun yang peduli
padanya. Risikonya adalah pada saat-saat seperti itu kita memohon kasih sayang
dan melekatkan diri kita pada majikan pertama yang kita temui secara kebetulan.
Pengalaman-pengalaman inilah yang
menimbulkan keyakinan keliru dalam diri kita bahwa kita hanya bisa menjalin
hubungan sebagai hamba, seolah-olah kita harus menebus kesalahan atau
seolah-olah kasih sejati tidak mungkin ada. Bahkan, anak bungsu, ketika ia
mencapai titik terendah, berpikir bahwa ia akan kembali ke rumah ayahnya untuk
mengambil sedikit remah kasih sayang dari tanah.
Hanya mereka yang benar-benar mengasihi
kita yang dapat membebaskan kita dari pandangan keliru tentang kasih ini. Dalam
hubungan dengan Allah, kita memiliki pengalaman ini. Pelukis besar Rembrandt,
dalam sebuah lukisan terkenal, dengan indah menggambarkan kembalinya anak yang
hilang. Dua rincian terutama menarik perhatian saya: kepala pemuda itu dicukur,
seperti kepala orang yang bertobat, tetapi juga tampak seperti kepala seorang
anak, karena anak laki-laki ini sedang dilahirkan kembali. Dan kemudian tangan
si bapa: satu tangan laki-laki dan tangan yang lain perempuan, menggambarkan
kekuatan dan kelembutan dalam pelukan pengampunan.
Namun, anak sulung mewakili orang-orang
yang diceritakan perumpamaan ini: dialah anak yang selalu tinggal di rumah
bersama bapanya, tetapi jauh dari dia, hatinya jauh. Anak ini mungkin juga
ingin pergi, tetapi karena takut atau berkewajiban tetap tinggal di sana, dalam
hubungan itu. Namun, ketika enggan beradaptasi, kamu mulai memendam kemarahan
di dalam dirimu, dan cepat atau lambat kemarahan ini akan meledak. Paradoksnya,
justru anak sulunglah yang pada akhirnya berisiko ditinggalkan, karena ia tidak
ambil bagian dalam sukacita bapanya.
Si bapa pun menghampirinya. Ia tidak
mencela atau memanggilnya untuk bertugas. Ia hanya ingin agar si sulung
merasakan cintanya. Ia mengundangnya untuk masuk dan membiarkan pintu terbuka.
Pintu itu tetap terbuka bagi kita juga. Memang, inilah alasan untuk berharap:
kita mampu berharap karena kita tahu bahwa Bapa sedang menunggu kita, Ia
melihat kita dari jauh, dan Ia selalu membiarkan pintu terbuka.
Saudara-saudari terkasih, marilah kita
bertanya kepada diri kita sendiri, di manakah kita berada dalam kisah yang luar
biasa ini. Dan marilah kita memohon kepada Allah Bapa agar kita juga dapat
menemukan jalan pulang.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 16 April 2025)