Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 30 Juli 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 12. PENYEMBUHAN SEORANG TULI DAN GAGAP. MEREKA TERAMAT TAKJUB DAN BERKATA, "IA MELAKUKAN SEGALA-GALANYA DENGAN BAIK; YANG TULI DIJADIKAN-NYA MENDENGAR, YANG BISU DIJADIKAN-NYA BERKATA-KATA." (MRK 7:37)

Saudara-saudari terkasih,

 

Dengan katekese ini, kita mengakhiri perjalanan kita melalui kehidupan publik Yesus, yang ditandai dengan perjumpaan, perumpamaan, dan penyembuhan.

 

Masa yang kita jalani ini juga membutuhkan penyembuhan. Dunia kita ditandai oleh iklim kekerasan dan kebencian yang merendahkan martabat manusia. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin sakit akibat semacam "bulimia" koneksi media sosial: kita terlalu terhubung, dibombardir oleh gambar-gambar, terkadang palsu atau terputar balik. Kita dibanjiri oleh pesan-pesan yang tak terhitung jumlahnya yang membangkitkan badai emosi yang kontradiktif dalam diri kita.

 

Dalam skenario ini, mungkin saja dalam diri kita muncul keinginan untuk mematikan segala-galanya. Kita mungkin memilih untuk tidak merasakan apa pun lagi. Bahkan kata-kata kita pun berisiko disalahpahami, dan kita mungkin tergoda untuk menutup diri dalam keheningan, ke dalam ketiadaan komunikasi di mana, terlepas dari kedekatan kita, kita tidak lagi mampu saling mengatakan hal-hal yang paling sederhana dan mendalam.

 

Sehubungan dengan hal ini, hari ini saya ingin merenungkan sebuah perikop Injil Markus yang menggambarkan kita sebagai seorang yang tidak dapat berbicara atau mendengar (bdk. Mrk 7:31-37). Sebagaimana terkadang dapat terjadi pada diri kita, mungkin orang ini memilih untuk tidak berbicara lagi karena ia merasa tidak dipahami; ia memilih untuk mematikan setiap suara karena ia telah kecewa dan terluka oleh apa yang telah didengarnya. Sebenarnya, yang tidak dapat berbicara atau mendengar bukan orang yang pergi kepada Yesus untuk disembuhkan, melainkan orang-orang yang membawanya. Kita mungkin berpikir bahwa orang-orang yang membawanya kepada Sang Guru khawatir akan keterasingannya. Namun, komunitas kristiani juga telah melihat dalam diri orang-orang ini gambaran Gereja, yang mendampingi setiap orang kepada Yesus agar mereka dapat mendengarkan sabda-Nya. Kisah ini terjadi di wilayah kafir, sehingga kita berada dalam konteks di mana suara-suara lain cenderung menenggelamkan suara Allah.

 

Tingkah laku Yesus mungkin awalnya tampak aneh, karena Ia menarik orang ini ke samping (ayat 33a). Dengan cara ini, Ia seolah menekankan keterasingannya, tetapi jika dicermati lebih dekat, hal itu membantu kita memahami apa yang ada di balik kesunyian dan ketertutupan orang ini, seolah-olah Yesus telah merasakan kebutuhannya akan keintiman dan kedekatan.

 

Sebelum hal lain, Yesus menawarkan kedekatan yang hening kepadanya, melalui gestur yang menunjukkan sebuah perjumpaan yang mendalam: Ia menyentuh telinga dan lidah orang ini (bdk. ayat 33b). Yesus tidak menggunakan banyak kata; Ia hanya mengatakan apa yang diperlukan pada saat itu: "Terbukalah!" (ayat 34). Markus menggunakan kata dalam bahasa Aram — Efata — seolah-olah untuk membiarkan kita mendengar, hampir "secara langsung" bunyi dan napas kata tersebut. Kata yang sederhana dan indah ini mengandung undangan yang ditujukan Yesus kepada orang ini yang telah berhenti mendengarkan dan berbicara. Seolah-olah Yesus berkata kepadanya, "Terbukalah terhadap dunia yang menakutkanmu ini! Terbukalah terhadap hubungan yang telah mengecewakanmu! Terbukalah terhadap kehidupan yang telah kamu tinggalkan!". Menutup diri, pada kenyataannya, bukanlah solusi.

 

Setelah perjumpaan dengan Yesus, orang itu tidak hanya mulai berbicara lagi, tetapi ia melakukannya dengan "terus terang" (ayat 35). Kata keterangan ini, yang disisipkan oleh Penginjil, tampaknya menyiratkan sesuatu yang lebih mendalam tentang alasan ia diam. Mungkin orang ini berhenti berbicara karena ia merasa mengatakan sesuatu dengan cara yang salah, mungkin ia merasa tidak mampu. Kita semua mengalami apa artinya disalahpahami, merasa bahwa kita tidak benar-benar didengar. Kita semua perlu memohon kepada Tuhan untuk memulihkan cara kita berkomunikasi, bukan hanya agar kita menjadi lebih efektif, tetapi juga agar kita tidak melukai orang lain dengan perkataan kita.

 

Kembali mulai berbicara dengan benar adalah awal dari sebuah perjalanan, belum tujuan akhir. Bahkan, Yesus melarang orang itu berbicara tentang apa yang telah terjadi padanya (bdk. ayat 36). Untuk benar-benar mengenal Yesus, kita harus menyelesaikan sebuah perjalanan; kita harus tetap bersama-Nya dan juga melewati sengsara-Nya. Ketika kita telah melihat Dia dihina dan menderita, ketika kita telah mengalami kuasa penyelamatan dari salib-Nya, barulah kita dapat berkata bahwa kita telah sungguh-sungguh mengenal-Nya. Tidak ada jalan pintas untuk menjadi murid Yesus.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon kepada Tuhan agar kita belajar berkomunikasi dengan jujur dan bijaksana. Marilah kita berdoa bagi semua orang yang terluka oleh perkataan orang lain. Marilah kita berdoa bagi Gereja, agar ia tidak pernah gagal dalam misinya untuk menuntun umat kepada Yesus, agar mereka dapat mendengar sabda-Nya, disembuhkan olehnya, dan pada gilirannya menjadi pembawa pesan keselamatan-Nya.

[Imbauan]

Saya kembali menyampaikan duka cita mendalam atas serangan teroris brutal yang terjadi pada malam antara tanggal 26 dan 27 Juli di Komanda, di bagian timur Republik Demokratik Kongo, di mana lebih dari 40 umat kristiani tewas di sebuah gereja saat doa bersama, dan di rumah mereka sendiri. Seraya saya memercayakan para korban kepada kerahiman Allah yang penuh kasih, saya berdoa bagi mereka yang terluka dan umat kristiani di seluruh dunia yang terus menderita kekerasan dan penganiayaan. Saya mendesak mereka yang memiliki tanggung jawab lokal dan internasional untuk bekerja sama guna mencegah tragedi semacam itu.

 

Pada tanggal 1 Agustus akan diperingati 50 tahun penandatanganan Akta Final Helsinki. Terdorong oleh keinginan untuk menjamin keamanan selama Perang Dingin, 35 negara memulai babak geopolitik baru, yang mendorong pemulihan hubungan antara Timur dan Barat. Peristiwa ini juga menandai kebangkitan kembali minat terhadap hak asasi manusia, dengan penekanan khusus pada kebebasan beragama — yang dianggap sebagai salah satu landasan arsitektur kerja sama yang saat itu sedang berkembang, "dari Vancouver hingga Vladivostok." Partisipasi aktif Takhta Suci dalam Konferensi Helsinki — diwakili oleh Uskup Agung Agostino Casaroli — membantu memajukan komitmen politik dan moral terhadap perdamaian. Saat ini, lebih dari sebelumnya, sangatlah penting untuk menjaga semangat Helsinki: berdialog secara terus-menerus, memperkuat kerja sama, dan menjadikan diplomasi sebagai jalan yang dipilih untuk mencegah dan menyelesaikan konflik.


[Sapaan]

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Swedia, Afrika Selatan, Selandia Baru, Hong Kong, India, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Kanada, dan Amerika Serikat. Seraya menyapa dengan penuh kasih sayang kepada seluruh kaum muda yang hadir hari ini yang berpartisipasi dalam Yubileum Orang Muda, saya mendorongmu untuk membuka hati terhadap kasih Allah yang menyembuhkan, agar kamu dapat menjadi mercusuar pengharapan yang semakin terang di dunia. Tuhan memberkati kamu semua!


[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Yesus Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita menutup refleksi kita tentang pelayanan publik Yesus dengan penyembuhan seorang tuli dan gagap. Sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Injil, dalam sebuah sikap kedekatan, Yesus memisahkan orang itu dari orang banyak dan menyembuhkannya dengan kata-kata dan sentuhan-Nya. Saat ini, banyak orang mengasingkan diri dalam keputusasaan dan tampaknya kehilangan kemampuan berkomunikasi, mungkin karena mereka sering merasa terluka dan disalahpahami dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kita membutuhkan saat-saat intim dengan Yesus agar kita dapat mendengar Ia berkata, "Efata," yang berarti, "Terbukalah." Ia memampukan kita untuk melihat melampaui masalah kita dan menempatkan keterampilan mendengarkan dan berkomunikasi kita untuk melayani orang lain. Sebagaimana teman-teman orang tuli itu membawanya kepada Yesus, kita juga dipanggil untuk menjadi saksi kuasa penyembuhan Yesus dan membawa orang lain kepada-Nya, agar mereka dapat mendengarkan kata-kata-Nya, mengalami sentuhan-Nya, dipenuhi dengan pengharapan, dan disembuhkan.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Juli 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 27 Juli 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil hari ini menyajikan Yesus yang mengajarkan doa Bapa Kami kepada murid-murid-Nya (bdk. Luk 11:1-13). Doa inilah yang mempersatukan seluruh umat kristiani, yang di dalamnya Tuhan mengundang kita untuk menyapa Allah sebagai "Abba", "Bapa", dengan "dengan kepercayaan seorang anak ... keberanian yang rendah hati, dan kepastian bahwa dicintai" (Katekismus Gereja Katolik, 2778).

 

Katekismus Gereja Katolik mengungkapkan hal ini dengan sangat baik: "Di dalam doa Tuhan kita diwahyukan kepada diri kita sendiri, karena serentak Bapa diwahyukan kepada kita." (idem, 2783). Hal ini sungguh benar adanya karena semakin kita berdoa dengan penuh keyakinan kepada Bapa surgawi kita, semakin kita menyadari bahwa kita adalah anak-anak terkasih dan semakin kita mengenal kebesaran kasih-Nya (bdk. Rm. 8:14-17).

 

Bacaan Injil hari ini selanjutnya menggambarkan ciri-ciri kebapaan Allah melalui gambaran yang gamblang: seseorang yang bangun di tengah malam untuk membantu seorang sahabatnya menyambut tamu tak terduga; dan seorang orang tua yang peduli untuk memberikan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya.

 

Gambaran ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak pernah berpaling dari kita ketika kita datang kepada-Nya, bahkan jika kita terlambat mengetuk pintu-Nya, mungkin setelah kesalahan, kesempatan yang terlewat, kegagalan, atau bahkan jika, untuk menyambut kita, Ia harus "membangunkan" anak-anak-Nya yang sedang tidur di rumah (bdk. Luk 11:7). Sungguh, dalam keluarga besar Gereja, Bapa tidak ragu untuk menjadikan kita semua peserta dalam setiap tindakan kasih-Nya. Tuhan selalu mendengarkan kita ketika kita berdoa kepada-Nya. Jika Ia terkadang menanggapi dengan cara atau di saat-saat yang sulit dipahami, itu karena Ia bertindak dengan kebijaksanaan dan pemeliharaan, yang melampaui pemahaman kita. Maka, bahkan di saat-saat seperti ini, marilah kita tidak berhenti berdoa — dan berdoa dengan keyakinan — karena di dalam Dia kita akan selalu menemukan terang dan kekuatan.

 

Ketika kita mendaraskan doa Bapa Kami, selain merayakan rahmat menjadi anak-anak Allah, kita juga mengungkapkan komitmen kita untuk menanggapi karunia ini dengan saling mengasihi sebagai saudara-saudari di dalam Kristus. Merenungkan hal ini, salah seorang Bapa Gereja menulis: “Kita harus ingat... dan tahu bahwa ketika kita menyebut Allah ‘Bapa kita’, kita harus berperilaku sebagai anak-anak Allah” (Santo Siprianus dari Kartago, De Dom. orat., 11), dan yang lain menambahkan: “Engkau tidak dapat menyebut Allah sumber segala kebaikan sebagai Bapamu jika engkau memelihara hati yang kejam dan tidak manusiawi; karena dalam hal ini engkau tidak lagi memiliki tanda kebaikan Bapa surgawi dalam dirimu” (Santo Yohanes Krisostomus, De orat. Dom., 3). Kita tidak dapat berdoa kepada Allah sebagai “Bapa” dan kemudian bersikap kasar dan tidak peka terhadap orang lain. Sebaliknya, penting untuk membiarkan diri kita diubah rupa oleh kebaikan, kesabaran, belas kasih-Nya, sehingga wajah-Nya dapat tercermin dalam wajah kita seperti dalam sebuah cermin.

 

Saudara-saudari terkasih, liturgi hari ini mengajak kita, melalui doa dan amal, untuk merasa dikasihi dan mengasihi sebagaimana Allah mengasihi kita: dengan keterbukaan, keleluasaan, kepedulian bersama, dan tanpa tipu daya. Marilah kita mohon kepada Maria untuk membantu kita menanggapi panggilan ini, agar kita dapat mewujudkan manisnya wajah Bapa.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia V, yang bertema: "Berbahagialah orang yang tidak kehilangan pengharapan." Marilah kita memandang kakek-nenek dan lansia sebagai saksi pengharapan, yang mampu menunjukkan jalan bagi generasi mendatang. Janganlah kita meninggalkan mereka sendirian, melainkan, jalinlah ikatan kasih dan doa bersama mereka.

 

Hati saya dekat dengan semua orang yang sedang menderita akibat konflik dan kekerasan di seluruh dunia. Secara khusus, saya berdoa bagi mereka yang terdampak bentrokan di sepanjang perbatasan antara Thailand dan Kamboja, terutama anak-anak dan keluarga yang mengungsi. Semoga Sang Raja Damai menginspirasi semua orang untuk mengupayakan dialog dan rekonsiliasi.

 

Saya juga berdoa bagi para korban kekerasan di Suriah selatan.

 

Saya sedang mengikuti dengan penuh keprihatinan situasi kemanusiaan yang memprihatinkan di Gaza, di mana penduduk sipil menderita kelaparan parah serta terus terpapar kekerasan dan kematian. Saya kembali menyampaikan permohonan tulus untuk gencatan senjata, pembebasan sandera, dan penghormatan penuh terhadap hukum humaniter.

 

Setiap manusia memiliki martabat yang melekat, yang dianugerahkan oleh Allah sendiri. Saya mendesak semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk mengakui martabat ini dan mengakhiri setiap tindakan yang melanggarnya. Saya menyerukan negosiasi yang bertujuan untuk mengamankan masa depan yang damai bagi semua orang, dan penolakan terhadap apa pun yang dapat membahayakannya.

 

Saya memercayakan kepada Maria, Ratu Perdamaian, para korban konflik yang tak berdosa dan para pemimpin yang memiliki kuasa untuk menyelesaikannya.

 

Saya menyapa rekan-rekan dari Radio Vatikan/Berita Vatikan, yang, untuk lebih dekat dengan umat dan para peziarah selama Tahun Yubileum, telah meresmikan sebuah stasiun kecil di bawah tiang Bernini bersama dengan L’Osservatore Romano. Terima kasih atas pelayananmu dalam berbagai bahasa, yang membawa suara Paus ke dunia. Dan terima kasih kepada semua jurnalis yang berkontribusi dalam menyampaikan perdamaian dan kebenaran.

 

Saya menyapa kamu semua yang datang dari Italia dani berbagai belahan dunia, khususnya para kakek-nenek dari San Cataldo, para biarawan muda Kapusin Eropa, para calon penerima Sakramen Krisma dari gugus Paroki Grantorto-Carturo, kaum muda dari Montecarlo di Lucca, dan para Pramuka Licata.

 

Saya menyapa dengan penuh kasih sayang kaum muda dari berbagai negara yang telah berkumpul di Roma untuk Yubileum Orang Muda. Saya berharap hal ini akan menjadi kesempatan bagi kamu masing-masing untuk berjumpa dengan Kristus, dan dikuatkan oleh-Nya dalam iman dan komitmenmu untuk mengikuti Kristus dengan keutuhan hidup.

 

Petang ini, perarakan "Madonna Fiumarola" akan berlangsung di Sungai Tiber. Semoga semua yang berpartisipasi dalam tradisi Maria yang indah ini belajar dari Bunda Yesus bagaimana menghayati Injil dalam kehidupan sehari-hari! Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Juli 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 20 Juli 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Liturgi hari ini mengajak kita untuk merenungkan keramahtamahan yang ditunjukkan oleh Abraham dan istrinya, Sara, dan kemudian oleh dua bersaudari, Marta dan Maria, yang adalah sahabat-sahabat Yesus (bdk. Kej. 18:1-10; Luk. 10:38-42). Setiap kali kita diundang ke Perjamuan Tuhan dan ambil bagian dalam santapan Ekaristi, Allah sendirilah yang "datang melayani kita" (bdk. Luk. 12:37). Namun, Allah terlebih dahulu tahu apa artinya menjadi tamu, dan hari ini juga, Ia berdiri di depan pintu kita dan mengetuk (bdk. Why. 3:20). Dalam bahasa Italia, kata "tamu" juga bisa berarti "tuan rumah". Pada hari Minggu musim panas ini, marilah kita merenungkan interaksi antara memberi dan menerima keramahtamahan, karena tanpanya hidup kita akan terasa miskin.

 

Kerendahan hati dibutuhkan untuk menawarkan keramahtamahan, tetapi juga untuk menerimanya. Kesopanan, perhatian, dan keterbukaan juga dibutuhkan. Dalam Bacaan Injil, Marta berisiko kehilangan sebagian sukacita dari pertukaran ini. Ia begitu sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut Yesus sehingga ia hampir merusak momen perjumpaan yang unik. Marta adalah orang yang murah hati, tetapi Tuhan kita memanggilnya untuk sesuatu yang lebih dari sekadar kemurahan hati. Ia memanggilnya untuk meninggalkan persiapannya dan datang serta menghabiskan waktu bersama-Nya.

 

Saudara-saudari terkasih, hidup kita hanya dapat berkembang jika kita belajar untuk terbuka terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan bagi kita. Marta mengeluh karena saudaranya telah meninggalkannya sendirian untuk melayani (lih. ayat 40), tetapi Maria sepenuhnya hanyut dalam perkataan Yesus. Ia tidak kalah praktis dibandingkan saudarinya, juga tidak kurang murah hati, tetapi ia menyadari apa yang paling penting. Itulah sebabnya Yesus menegur Marta. Ia kehilangan kesempatan untuk ambil bagian dalam momen yang akan mendatangkan sukacita besar baginya (lih. ayat 41-42).

 

Musim panas dapat membantu kita belajar untuk memperlambat langkah dan menjadi lebih seperti Maria daripada Marta. Terkadang kita juga gagal memilih bagian yang lebih baik. Kita perlu meluangkan waktu untuk beristirahat dan mencoba mempelajari seni keramahtamahan dengan lebih baik. Industri liburan ingin menjual segala macam "pengalaman" kepada kita, tetapi mungkin bukan yang benar-benar kita cari. Setiap perjumpaan sejati gratis; tidak dapat dibeli, baik itu perjumpaan dengan Allah, dengan sesama, maupun dengan alam. Kita hanya perlu mempelajari seni keramahtamahan, yang mencakup menyambut orang lain dan membiarkan diri kita disambut. Kita memiliki banyak hal untuk diterima, bukan hanya untuk diberikan. Abraham dan Sara, meskipun usia mereka sudah lanjut, mendapati diri mereka menjadi orang tua setelah mereka menyambut Tuhan sendiri melalui ketiga tamu mereka. Kita juga memiliki begitu banyak kehidupan di depan kita, yang masih harus disambut dan dirangkul.

 

Marilah kita berdoa kepada Santa Maria, Bunda kita, yang menyambut Tuhan kita, mengandung-Nya dalam rahimnya, dan bersama Yusuf memberikan-Nya rumah. Di dalam dirinya, kita melihat keindahan panggilan kita, panggilan Gereja, untuk menjadi rumah yang terbuka bagi semua orang dan dengan cara ini menyambut Tuhannya, yang mengetuk pintu kita dan meminta kita untuk memperkenankan-Nya masuk.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Pagi ini saya merayakan Ekaristi di Gereja Katedral Albano. Momen ini merupakan momen penting persekutuan gerejawi dan perjumpaan dengan komunitas keuskupan. Saya berterima kasih kepada Yang Mulia Uskup Viva yang hadir di sini dan semua pihak yang telah bekerja keras untuk menyelenggarakan perayaan yang indah ini. Saya sampaikan harapan terbaik saya kepada seluruh komunitas keuskupan!

 

Berita tragis terus berdatangan akhir-akhir ini dari Timur Tengah, terutama dari Gaza.

 

Saya menyampaikan kesedihan yang mendalam atas serangan Kamis lalu oleh tentara Israel terhadap Paroki Katolik Keluarga Kudus di Kota Gaza, yang sebagaimana kamu ketahui menewaskan tiga orang kristiani dan melukai beberapa lainnya dengan serius. Saya berdoa untuk para korban, Saad Issa Kostandi Salameh, Foumia Issa Latif Ayyad, Najwa Ibrahim Latif Abu Daoud, dan saya sangat dekat dengan keluarga mereka dan seluruh umat paroki. Sayangnya, tindakan ini menambah serangan militer yang terus-menerus terhadap penduduk sipil dan tempat-tempat ibadah di Gaza.

 

Saya kembali menyerukan penghentian segera kebiadaban perang dan penyelesaian konflik secara damai.

 

Saya kembali mengimbau masyarakat internasional untuk menaati hukum kemanusiaan dan menghormati kewajiban melindungi warga sipil, serta larangan hukuman kolektif, penggunaan kekuatan tanpa pandang bulu, dan pemindahan paksa penduduk.

 

Kepada umat kristiani Timur Tengah yang terkasih, saya sampaikan: Saya sangat bersimpati dengan perasaanmu bahwa kamu tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi situasi yang genting ini. Kamu berada dalam hati Paus dan seluruh Gereja. Terima kasih atas kesaksian imanmu. Semoga Perawan Maria, perempuan Matahari terbit, fajar Matahari baru yang telah terbit dalam sejarah, senantiasa melindungimu dan mendampingi dunia menuju fajar perdamaian.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Castel Gandolfo dan semua peziarah yang hadir di sini.

 

Saya menyapa para peserta muda peziarahan yang diselenggarakan oleh Catholic Worldview Fellowship, yang akan mengunjungi Roma setelah beberapa pekan doa dan pembinaan.

 

Saya berterima kasih kepada Forum Internasional Aksi Katolik yang telah mempromosikan "Maraton Doa untuk Para Pemimpin": undangan yang ditujukan kepada kita semua adalah berhenti sejenak hari ini antara pukul 10.00 hingga 22.00 untuk berdoa selama satu menit, memohon kepada Tuhan agar mencerahkan para pemimpin kita dan menginspirasi mereka dengan proyek-proyek perdamaian.

 

Dalam pekan-pekan ini, beberapa keluarga dari gerakan Focolare berada di Loppiano untuk mengikuti "Sekolah Internasional Keluarga Baru". Saya berdoa semoga pengalaman spiritualitas dan persaudaraan ini akan membuatmu teguh dalam iman dan bersukacita dalam pendampingan rohani keluarga-keluarga lainnya.

 

Saya menyapa para mahasiswa, dosen, dan staf Institut Teknologi Katolik, yang berkantor pusat di Castel Gandolfo. Saya menyapa Kelompok Pramuka Agesci Gela 3, yang sedang menjalani peziarahan Yubileum yang akan berakhir di makam Beato Carlo Acutis. Saya juga menyapa kaum muda Castello di Godego, yang sedang menjalani pelayanan bersama Caritas Roma, dan saya menyapa umat Palermo dan Sarsina.

 

Turut hadir anggota kelompok cerita rakyat "O Stazzo", serta grup musik Alba de Tormes.

 

Dalam beberapa hari lagi, saya akan kembali ke Vatikan setelah dua pekan tinggal di Castel Gandolfo. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas keramahan kamu semua dan mengucapkan selamat hari Minggu!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Juli 2025)

PESAN PAUS LEO XIV DALAM RANGKA HARI KAKEK-NENEK DAN ORANG TUA SEDUNIA KE-5 27 Juli 2025

Berbahagialah orang yang tidak kehilangan pengharapan” (lihat Sir 14:2)

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Yubileum yang sekarang sedang kita rayakan membantu kita menyadari bahwa pengharapan adalah sumber sukacita yang tak tergoyahkan, berapa pun usia kita. Ketika pengharapan itu juga telah ditempa oleh api sepanjang hidup, ia terbukti menjadi sumber kebahagiaan yang mendalam.

 

Kitab Suci memberi kita banyak contoh laki-laki dan perempuan yang dipanggil Tuhan di usia senja untuk berperan dalam rencana keselamatan-Nya. Kita bisa memikirkan Abraham dan Sara, yang, di usia tua, merasa sulit untuk percaya ketika Allah menjanjikan mereka seorang anak. Ketiadaan anak seolah menghalangi mereka mengharapkan apa pun untuk masa depan.

 

Reaksi Zakharia terhadap berita kelahiran Yohanes Pembaptis pun tak berbeda: "Bagaimanakah aku tahu bahwa hal ini akan terjadi? Sebab, aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya" (Luk. 1:18). Usia tua, kemandulan, dan penurunan fisik tampaknya menghalangi pengharapan apa pun akan kehidupan dan kesuburan bagi laki-laki dan perempuan ini. Pertanyaan yang diajukan Nikodemus kepada Yesus ketika Sang Guru berbicara kepadanya tentang "dilahirkan kembali" juga tampak murni retorika: "Bagaimanakah mungkin seseorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?" (Yoh. 3:4). Namun, setiap kali kita berpikir bahwa segala sesuatu tidak dapat berubah, Tuhan mengejutkan kita dengan sebuah tindakan kuasa yang menyelamatkan.

 

𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗧𝘂𝗮 𝗦𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗧𝗮𝗻𝗱𝗮 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝗮𝗽𝗮𝗻

 

Dalam Kitab Suci, Allah berulang kali menunjukkan pemeliharaan ilahi-Nya tertuju kepada orang-orang di usia tua mereka. Hal ini tidak hanya terjadi pada Abraham, Sara, Zakharia, dan Elisabet, tetapi juga pada Musa, yang dipanggil untuk membebaskan umat-Nya ketika ia telah berusia delapan puluh tahun (bdk. Kel 7:7). Dengan demikian, Allah mengajarkan kita bahwa, di mata-Nya, usia tua adalah masa berkat dan anugerah, dan bagi-Nya, orang tua adalah saksi pertama pengharapan. Agustinus bertanya, "Apa yang kita maksud dengan usia tua?" Ia memengatakan kepada kita bahwa Allah sendiri menjawab pertanyaan tersebut: "Biarkan kekuatanmu lenyap, sehingga kekuatan-Ku tetap ada di dalam dirimu, dan engkau dapat berkata bersama Rasul Paulus, 'Jika aku lemah, aku kuat'" (Tentang Mzm 71:11). Meningkatnya jumlah orang tua merupakan tanda zaman yang harus kita pahami, agar dapat memaknai momen sejarah ini dengan tepat.

 

Kehidupan Gereja dan dunia hanya dapat dipahami dalam terang lintasan generasi. Merangkul orang tua membantu kita memahami bahwa hidup lebih dari sekadar saat ini, dan tidak boleh disia-siakan dalam perjumpaan yang dangkal dan hubungan yang sepintas lalu. Hidup justru senantiasa mengarahkan kita ke masa depan. Dalam Kitab Kejadian, kita menemukan kisah mengharukan tentang berkat yang diberikan oleh Yakub yang sudah lanjut usia kepada cucu-cucunya, putra-putra Yusuf; kata-katanya merupakan ajakan untuk menatap masa depan dengan penuh pengharapan, sebagai saat di mana janji-janji Allah akan digenapi (bdk. Kej. 48:8-20). Jika benar bahwa kelemahan orang tua membutuhkan kekuatan orang muda, maka benar pula bahwa kekurangan pengalaman orang muda membutuhkan kesaksian orang tua untuk membangun masa depan dengan hikmat. Betapa seringnya kakek-nenek kita telah menjadi teladan iman dan pengabdian, kebajikan sipil dan komitmen sosial, memori dan ketekunan di tengah pencobaan! Warisan berharga yang telah mereka wariskan kepada kita dengan pengharapan dan kasih akan selalu menjadi sumber rasa syukur dan panggilan untuk bertekun.

 

𝗧𝗮𝗻𝗱𝗮-𝘁𝗮𝗻𝗱𝗮 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝗮𝗽𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗴𝗶 𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗧𝘂𝗮

 

Sejak zaman biblis, Yubileum telah dipahami sebagai masa pembebasan. Para budak dibebaskan, utang dihapuskan, dan tanah dikembalikan kepada pemilik aslinya. Yubileum adalah masa ketika tatanan sosial yang dikehendaki Allah dipulihkan, dan kesenjangan serta ketidakadilan yang terakumulasi selama bertahun-tahun diatasi. Yesus membangkitkan kembali momen-momen pembebasan itu ketika, di rumah ibadat di Nazaret, Ia menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, penglihatan bagi orang-orang buta, dan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan orang-orang tertindas (lih. Luk 4:16-21).

 

Memandang para lansia dalam semangat Yubileum ini, kita dipanggil untuk membantu mereka mengalami pembebasan, terutama dari kesepian dan keterlantaran. Tahun ini adalah waktu yang tepat untuk melakukannya. Kesetiaan Allah terhadap janji-janji-Nya mengajarkan kita bahwa ada kebahagiaan di usia tua, sukacita injili sejati yang menginspirasi kita untuk mendobrak batasan ketidakpedulian yang seringkali mengurung orang tua. Masyarakat kita, di seluruh dunia, semakin terbiasa membiarkan bagian yang penting dan memperkaya kehidupan mereka ini terpinggirkan dan dilupakan.

 

Mengingat situasi ini, diperlukan perubahan kiprah yang akan langsung terlihat bila seluruh Gereja menerima tanggung jawab tersebut. Setiap paroki, lembaga, dan kelompok gerejawi dipanggil untuk menjadi protagonis dalam sebuah "revolusi" rasa syukur dan kepedulian, yang akan diwujudkan melalui kunjungan rutin kepada orang tua, penciptaan jaringan dukungan dan doa bagi mereka dan bersama mereka, serta penempaan hubungan yang dapat memulihkan pengharapan dan martabat bagi mereka yang merasa dilupakan. Pengharapan kristiani selalu mendorong kita untuk lebih berani, berpikir besar, dan merasa tidak puas dengan segala sesuatu sebagaimana adanya. Dalam hal ini, pengharapan kristiani mendorong kita untuk mengupayakan perubahan yang dapat memulihkan penghargaan dan kasih sayang yang menjadi hak orang tua.

 

Itulah sebabnya Paus Fransiskus menginginkan Hari Kakek-Nenek dan Orang Tua Sedunia dirayakan terutama melalui upaya mencari orang tua yang hidup sendirian. Karena alasan ini, mereka yang tidak dapat datang ke Roma untuk berziarah selama Tahun Suci ini dapat "memperoleh Indulgensi Yubileum jika mereka mengunjungi, untuk rentang waktu yang tepat, orang tua yang hidup sendirian... dengan demikian, dalam arti tertentu, sebuah peziarahan kepada Kristus yang hadir dalam diri mereka (bdk. Mat 25:34-36)" (Penitentiarium Apostolik, Norma-norma Pemberian Indulgensi Yubileum, III). Mengunjungi orang tua adalah cara untuk berjumpa dengan Yesus, yang membebaskan kita dari ketidakpedulian dan kesepian.

 

𝗦𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗢𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗧𝘂𝗮, 𝗞𝗶𝘁𝗮 𝗗𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝗵𝗮𝗿𝗮𝗽

 

Kitab Sirakh menyebut mereka yang tidak kehilangan pengharapan sebagai orang yang berbahagia (lihat 14:2). Barangkali, terutama jika umur kita panjang, kita mungkin tergoda untuk tidak melihat ke masa depan, melainkan ke masa lalu. Namun, sebagaimana ditulis Paus Fransiskus saat terakhir kali dirawat di rumah sakit, "tubuh kita lemah, tetapi meskipun demikian, tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk mengasihi, berdoa, memberi diri, dan saling mendampingi, dalam iman, sebagai tanda-tanda pengharapan yang cemerlang" (Doa Malaikat Tuhan, 16 Maret 2025). Kita memiliki kebebasan yang tidak dapat dirampas oleh kesulitan apa pun: kebebasan untuk mengasihi dan berdoa. Setiap orang, selalu, dapat mengasihi dan berdoa.

 

Kasih sayang kita kepada orang-orang yang kita kasihi – kepada istri atau suami yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama kita, anak-anak, cucu-cucu kita yang mencerahkan hari-hari kita – tidak pudar ketika kekuatan kita melemah. Kasih sayang mereka justru sering kali menyegarkan energi kita serta memberi kita pengharapan dan penghiburan.

 

Tanda-tanda kasih yang hidup ini, yang berakar pada Allah sendiri, memberi kita keberanian dan mengingatkan kita bahwa "meskipun manusia lahiriah kita semakin merosot, manusia batiniah kita diperbarui dari hari ke hari" (2 Kor 4:16). Terutama seiring bertambahnya usia, marilah kita terus maju dengan keyakinan kepada Tuhan. Semoga kita diperbarui setiap hari melalui perjumpaan kita dengan-Nya dalam doa dan Misa Kudus. Marilah kita dengan penuh kasih mewariskan iman yang telah kita jalani selama bertahun-tahun, kepada keluarga kita dan dalam perjumpaan kita sehari-hari dengan sesama. Semoga kita senantiasa memuji Allah atas kebaikan-Nya, memupuk persatuan dengan orang-orang yang kita kasihi, membuka hati kita bagi mereka yang jauh, dan khususnya, bagi semua orang yang membutuhkan. Dengan demikian, kita akan menjadi tanda-tanda pengharapan, berapa pun usia kita.

 

Vatikan, 26 Juni 2025

 

PAUS LEO XIV

____

 

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 13 JulI 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya senang berada bersamamu di Castel Gandolfo. Saya menyapa para pejabat sipil dan militer yang hadir serta berterima kasih atas sambutan hangat kamu semua.

 

Kemarin, di Barcelona, Lycarion May (yang nama sekulernya adalah François Benjamin), seorang biarawan dari Institut Saudara-saudara Sekolah Marist, yang dibunuh pada tahun 1909 karena kebencian terhadap iman, dibeatifikasi. Dalam situasi yang tidak bersahabat, ia menjalani misi pendidikan dan pastoralnya dengan penuh dedikasi dan keberanian. Semoga kesaksian heroik martir ini menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama mereka yang bekerja untuk pendidikan kaum muda.

 

Saya menyapa para peserta kursus musim panas Akademi Liturgi dari Polandia, dan juga memikirkan para peziarah Polandia yang mengikuti peziarahan tahunan hari ini ke tempat ziarah Częstochowa.

 

Hari ini menandai berakhirnya peziarahan Yubileum Keuskupan Bergamo. Saya menyapa para peziarah yang, bersama Uskup mereka, telah datang ke Roma untuk melewati Pintu Suci.

 

Saya menyapa komunitas pastoral Beato Agustinus Tarano dari Colegio S. Augustin di Chiclayo, Peru, yang juga berada di Roma untuk merayakan Yubileum. Saya menyapa para peziarah dari Paroki San Pedro Apóstol di Keuskupan Alcalá de Henares, yang sedang merayakan 400 tahun berdirinya paroki tersebut; para Legioner Maria dari Uribia-La Guajira, Kolombia; para anggota Keluarga Kasih yang Murah Hati; Kelompok Pramuka Pertama Agesci Alcamo; dan, terakhir, para biarawati Agustinian yang sedang menjalani pembinaan di sini.

 

Kita menyapa paduan suara anak-anak dari Académie Musicale de Liesse, Prancis. Terima kasih atas kehadiran dan komitmenmu terhadap nyanyian dan musik.

 

Bersama kita hari ini, 100 kadet dari kursus Carabinieri di Sekolah Velletri, yang dinamai menurut Venerabilis Salvo D’Acquisto. Saya menyapa komandan, bersama para perwira dan bintara, dan mendorongmu untuk melanjutkan pelatihan demi pengabdian kepada negara dan masyarakat sipil. Terima kasih! Marilah kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas pengabdian mereka.

 

Selama bulan-bulan musim panas, terdapat banyak prakarsa yang melibatkan anak-anak dan remaja, dan saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pendidik dan animator yang telah mendedikasikan diri untuk pengabdian ini. Dalam konteks ini, saya ingin menyampaikan prakarsa penting Festival Film Giffoni, yang mempertemukan kaum muda dari seluruh dunia, dengan tema tahun ini "Menjadi Manusiawi".

 

Saudara-saudari, marilah kita senantiasa berdoa memohon untuk perdamaian dan semua orang yang, karena kekerasan atau perang, berada dalam penderitaan dan membutuhkan.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juli 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 6 Juli 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil hari ini (Luk 10:1-12,17-20) mengingatkan kita akan pentingnya perutusan yang harus kita jalani, sesuai dengan panggilan kita masing-masing dan dalam situasi khusus yang telah ditempatkan Tuhan bagi kita.

 

Yesus mengutus tujuh puluh dua murid-Nya (ayat 1). Angka simbolis ini menunjukkan bahwa harapan Injil ditujukan bagi semua orang, karena seperti itulah luasnya hati Allah dan berlimpahnya tuaian-Nya. Sesungguhnya, Allah terus bekerja di dunia ini agar semua anak-Nya dapat mengalami kasih-Nya dan diselamatkan.

 

Pada saat yang sama, Yesus berkata, “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang punya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (ayat 2).

 

Di satu sisi, Allah, seperti seorang penabur, dengan murah hati telah pergi ke dunia, sepanjang sejarah, dan menabur di hati manusia keinginan akan yang tak terbatas, kehidupan yang terpenuhi, dan keselamatan yang membebaskan kita. Jadi, tuaian memang banyak. Kerajaan Allah tumbuh seperti benih di tanah, dan manusia zaman sekarang, bahkan ketika tampaknya kewalahan oleh begitu banyak hal lain, masih mendambakan kebenaran yang lebih besar; mereka mencari makna yang lebih penuh bagi kehidupan mereka, menginginkan keadilan, dan membawa dalam diri mereka kerinduan akan kehidupan kekal.

 

Di sisi lain, hanya sedikit pekerja yang mau pergi ke ladang yang ditabur Tuhan; sedikit yang mampu membedakan, dengan mata Yesus, biji-bijian yang baik yang sudah siap dituai (bdk. Yoh 4:35-38). Tuhan ingin melakukan sesuatu yang besar dalam kehidupan kita dan sejarah umat manusia, tetapi hanya sedikit yang menyadari hal ini, berhenti sejenak untuk menerima karunia itu, lalu mewartakan dan membagikannya kepada orang lain.

 

Saudara-saudari terkasih, Gereja dan dunia tidak membutuhkan orang-orang yang memenuhi tugas keagamaan mereka seolah-olah iman hanyalah label lahiriah. Kita membutuhkan para pekerja yang bersemangat untuk bekerja di ladang perutusan, murid-murid yang penuh kasih yang menjadi saksi Kerajaan Allah di semua tempat. Mungkin tidak ada kekurangan "orang kristiani yang tidak menentu" yang kadang-kadang bertindak berdasarkan perasaan keagamaan atau berpartisipasi dalam acara-acara sporadis. Namun, hanya sedikit yang siap, setiap hari, untuk bekerja dalam tuaian Allah, menumbuhkan benih Injil di dalam hati mereka sendiri untuk kemudian membagikannya dalam keluarga, tempat kerja atau tempat belajar, konteks sosial mereka dan dengan orang-orang yang membutuhkan.

 

Untuk melakukan hal ini, kita tidak memerlukan terlalu banyak gagasan teoritis tentang rencana pastoral. Sebaliknya, kita perlu berdoa kepada Tuhan yang punya tuaian. Oleh karena itu, prioritas harus diberikan kepada hubungan kita dengan Tuhan dan pengembangan dialog kita dengan-Nya. Dengan cara ini, Ia akan menjadikan kita para pekerja-Nya dan mengutus kita ke ladang dunia untuk memberi kesaksian tentang Kerajaan-Nya.

 

Marilah kita mohon kepada Santa Perawan Maria, yang dengan murah hati memberikan jawaban “ya” untuk ikut serta dalam karya keselamatan, agar menjadi perantara kita dan menyertai kita di jalan mengikuti Tuhan, sehingga kita juga dapat menjadi pekerja yang penuh sukacita dalam Kerajaan Allah.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Juli 2025)