Orang
muda terkasih, selamat pagi!
Senang
sekali bertemu denganmu! Terima kasih! Saya telah menantikan momen ini dengan
penuh semangat. Berada bersamamu mengingatkan saya pada masa-masa ketika saya
mengajarkan matematika kepada orang muda yang bersemangat sepertimu. Terima
kasih telah menerima undangan untuk datang ke sini hari ini serta berbagi
refleksi dan harapanmu, yang akan saya sampaikan kepada teman-teman kita di
seluruh dunia.
Saya
ingin memulai dengan mengenang Pier Giorgio Frassati, seorang mahasiswa Italia
yang, sebagaimana kamu ketahui, dikanonisasi pada Tahun Yubileum ini. Dengan
cintanya yang membara kepada Allah dan sesama, santo muda ini menciptakan dua
frasa yang sering ia ulangi, hampir seperti sebuah moto: "Hidup tanpa iman
... bukanlah hidup, melainkan sekadar bertahan" dan "Menuju
puncak." Kata-kata yang sangat tepat dan menyemangati. Maka saya juga berkata
kepadamu: Milikilah keberanian untuk menjalani hidup sepenuhnya. Jangan puas
dengan penampilan atau kecenderungan sesaat; hidup yang dikekang oleh
kesenangan sesaat tidak akan pernah memuaskan kita. Sebaliknya, perkenankanlah
kamu masing-masing berkata dalam hati: "Aku memimpikan lebih banyak,
Tuhan; aku merindukan sesuatu yang lebih besar; berilah aku inspirasi!"
Kerinduan ini adalah kekuatanmu dan dengan tepat mencerminkan komitmen kaum
muda yang membayangkan masyarakat yang semakin baik dan menolak untuk hanya menjadi
penonton. Oleh karena itu, saya mendorongmu untuk terus berjuang "menuju
puncak," menyalakan mercusuar pengharapan di masa-masa gelap sejarah.
Alangkah indahnya jika suatu hari nanti generasimu dikenang sebagai “generasi
plus”, dikenang karena dorongan ekstra yang kamu bawa kepada Gereja dan dunia.
Namun,
orang muda terkasih, hal ini tidak bisa hanya menjadi impian satu orang saja.
Marilah kita bersatu untuk mewujudkannya, bersama-sama bersaksi tentang
sukacita beriman kepada Yesus Kristus. Bagaimana kita dapat mencapainya?
Jawabannya sederhana: melalui pendidikan, salah satu sarana terindah dan ampuh
untuk mengubah dunia.
Lima
tahun yang lalu, Paus Fransiskus yang kita kasihi meluncurkan proyek besar
Pakta Global tentang Pendidikan, sebuah aliansi semua pihak yang, dengan
berbagai cara, bekerja di bidang pendidikan dan kebudayaan, untuk melibatkan
generasi muda dalam persaudaraan universal. Kamu, sesungguhnya, bukan sekadar
penerima pendidikan, melainkan pelaku utamanya. Itulah sebabnya hari ini saya
mengajakmu untuk bergabung membuka masa baru pendidikan, di mana kita semua —
orang muda dan dewasa — menjadi saksi kebenaran dan perdamaian yang dapat
dipercaya. Saya katakan kepadamu: kamu dipanggil untuk menjadi pewarta
kebenaran dan pembawa damai, orang-orang yang teguh pada kata-katanya dan
merupakan pembangun perdamaian. Libatkanlah rekan-rekanmu dalam pengupayaan
kebenaran dan pengembangan perdamaian, ungkapkan kedua hasrat ini dengan hidup,
perkataan, dan tindakan sehari-harimu.
Dalam
hal ini, saya ingin menambahkan teladan Santo Pier Giorgio Frassati, sebuah
refleksi dari Santo John Henry Newman, seorang santo terpelajar yang akan
segera diangkat sebagai Pujangga Gereja. Beliau mengatakan bahwa pengetahuan
bertumbuh ketika dibagikan, dan melalui percakapan batin api kebenaran
dinyalakan. Demikian pula, kedamaian sejati lahir ketika banyak kehidupan,
bagaikan bintang, berkumpul dan membentuk sebuah pola. Bersama-sama, kita dapat
membentuk rasi pendidikan yang menuntun jalan ke depan.
Sebagai
mantan guru matematika dan fisika, perkenankan saya melakukan beberapa
perhitungan denganmu. Mungkin kamu akan segera mengikuti ujian matematika. Kita
lihat saja nanti. Tahukah kamu berapa banyak bintang yang ada di alam semesta
yang dapat diamati? Sebuah angka yang mengesankan dan menakjubkan: sekstiliun
bintang — yaitu, angka 1 diikuti oleh 21 angka nol! Jika kita membaginya di
antara 8 miliar orang di Bumi, setiap orang akan memiliki ratusan miliar
bintang. Dengan mata telanjang, pada malam yang cerah, kita dapat melihat
sekitar lima ribu bintang. Meskipun ada miliaran bintang, kita hanya melihat
rasi bintang yang paling dekat; namun ini cukup untuk mengarahkan kita, seperti
saat berlayar di lautan.
Para
penjelajah selalu menemukan jalan mereka dengan bintang-bintang. Para pelaut
mengikuti Bintang Utara; orang Polinesia menyeberangi lautan dengan menghafal
peta bintang. Menurut para petani Andes, yang saya kenal ketika saya sebagai
misionaris di Peru, langit adalah buku terbuka yang menandai musim menabur,
mencukur bulu domba, dan siklus kehidupan. Bahkan orang Majus mengikuti bintang
untuk mencapai Betlehem dan menyembah Bayi Yesus.
Seperti
mereka, kamu juga memiliki bintang penuntun: orang tua, guru, imam, dan
sahabat, yang bagaikan kompas yang membantumu agar tidak tersesat di tengah
pasang surut kehidupan. Seperti mereka, kamu dipanggil untuk menjadi saksi
gemilang bagi orang-orang di sekitarmu. Namun, seperti yang telah saya katakan,
sebuah bintang tunggal tetaplah sebuah titik cahaya. Namun, ketika ia bergabung
dengan bintang-bintang lain, ia membentuk sebuah rasi, seperti Salib Selatan.
Begitulah adanya denganmu: kamu masing-masing adalah bintang, dan bersama-sama
kamu dipanggil untuk menuntun masa depan. Pendidikan menyatukan orang-orang ke
dalam komunitas yang hidup dan mengorganisasikan gagasan-gagasan ke dalam rasi
makna. Sebagaimana ditulis Nabi Daniel, "Orang-orang yang telah menuntun
banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang untuk
selama-lamanya" (Dan. 12:3). Sungguh luar biasa! Kita memang bintang,
karena kita adalah percikan-percikan Allah. Mendidik berarti menumbuhkan
karunia ini.
Pendidikan,
sesungguhnya, mengajarkan kita untuk memandang ke atas, selalu lebih tinggi.
Ketika Galileo Galilei mengarahkan teleskopnya ke langit, ia menemukan dunia-dunia
baru: bulan-bulan Jupiter, pegunungan Bulan. Pendidikan bagaikan sebuah
teleskop yang memungkinkan kamu melihat lebih jauh dan menemukan apa yang tak
akan kamu lihat sendiri. Jadi, jangan terpaku pada gawaimu dan rentetan
gambarnya yang cepat berlalu; sebaliknya, pandanglah ke langit, ke ketinggian.
Orang
muda yang terkasih, kamu sendiri yang mengusulkan tantangan baru pertama yang
menuntut komitmen kita dalam Pakta Global tentang Pendidikan, dengan
mengungkapkan keinginan yang kuat dan jelas. Kamu berkata, "Bantulah kami
dalam pendidikan kehidupan batiniah kami." Saya sungguh tersentuh oleh
permintaan ini. Memiliki banyak pengetahuan tidaklah cukup jika kita tidak tahu
siapa diri kita atau apa arti hidup. Tanpa keheningan, tanpa mendengarkan,
tanpa doa, bahkan cahaya bintang pun padam. Kita bisa mengetahui banyak hal
tentang dunia namun tetap mengabaikan hati kita. Kamu juga mungkin pernah
mengalami perasaan hampa atau gelisah yang menghantuimu. Dalam kasus-kasus yang
paling serius, kita melihat episode-episode tekanan, kekerasan, perundungan,
dan penindasan — bahkan kaum muda yang mengasingkan diri dan tidak lagi ingin
berinteraksi dengan orang lain. Saya pikir di balik penderitaan ini juga
terdapat kekosongan yang diciptakan oleh masyarakat yang telah melupakan
bagaimana membentuk dimensi spiritual manusia, dan hanya berfokus pada
aspek-aspek teknis, sosial, atau moral kehidupan.
Semasa
muda, Santo Agustinus memang brilian, tetapi sangat tidak puas, sebagaimana
kita baca dalam autobiografinya, Pengakuan-pengakuan. Ia mencari ke mana-mana —
dalam kesuksesan dan kesenangan — dan terlibat dalam segala macam hal, tetapi
ia tidak dapat menemukan kebenaran maupun kedamaian. Ketika ia menemukan Allah
di dalam hatinya, ia menulis sebuah frasa yang sangat mendalam yang berlaku
bagi kita semua: "Hatiku gelisah sampai ia beristirahat di dalam
Engkau." Inilah arti mendidik diri kita sendiri untuk kehidupan batin:
mendengarkan kegelisahan kita dan tidak melarikan diri darinya atau mengisinya
dengan hal-hal yang tidak memuaskan. Kerinduan kita akan yang tak terbatas
adalah kompas yang memberitahu kita: "Jangan berpuas diri — kamu
diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar;" "jangan hanya berdiam
diri, tetapi hayatilah."
Tantangan
kedua pendidikan baru adalah komitmen yang memengaruhi kita setiap hari dan di
mana kamu adalah pengajarnya: pendidikan digital. Kamu hidup di dalamnya, dan
pendidikan digital bukan hal yang buruk; ada banyak sekali peluang untuk
belajar dan berkomunikasi. Namun, jangan biarkan algoritma menulis kisahmu!
Jadilah penulisnya; Gunakan teknologi secara bijak, tetapi jangan biarkan
teknologi menggunakanmu.
Kecerdasan
buatan juga merupakan hal baru yang luar biasa — salah satu rerum novarum, atau
"hal baru", di zaman kita. Namun, menjadi "cerdas" dalam
kenyataan virtual saja tidak cukup; kita juga harus memperlakukan satu sama
lain secara manusiawi, memelihara kecerdasan emosional, spiritual, sosial, dan
ekologis. Karena itu, saya katakan kepadamu: belajarlah memanusiawikan dunia
digital, membangunnya sebagai ruang persaudaraan dan kreativitas — bukan
kurungan tempatmu mengurung diri, bukan kecanduan atau pelarian. Alih-alih
menjadi turis di dunia maya, jadilah nabi di dunia digital!
Dalam
hal ini, kita memiliki teladan kekudusan yang sangat tepat waktu: Santo Carlo
Acutis. Ia adalah seorang pemuda yang tidak menjadi budak internet, melainkan
menggunakannya dengan terampil untuk kebaikan. Santo Carlo memadukan imannya
yang indah dengan kecintaannya pada komputer, menciptakan situs web tentang mukjizat
Ekaristi dan dengan demikian menjadikan internet sebagai alat evangelisasi.
Prakarsanya mengajarkan kita bahwa dunia digital bersifat mendidik ketika ia
tidak menutup kita pada diri sendiri tetapi membuka diri kita terhadap orang
lain — ketika ia tidak menempatkan kita di pusat tetapi mengarahkan kita kepada
Allah dan orang lain.
Sahabat-sahabat
terkasih, akhirnya kita sampai pada tantangan besar ketiga yang saya percayakan
kepadamu hari ini — tantangan yang menjadi inti Pakta Global Pendidikan yang baru:
pendidikan untuk perdamaian. Kamu dapat melihat betapa masa depan kita terancam
oleh perang dan kebencian, yang memecah belah manusia. Bisakah masa depan ini
diubah? Tentu! Bagaimana? Dengan pendidikan untuk perdamaian yang terlucuti
senjata. Nyatanya, tidak cukup hanya membungkam senjata: kita harus melucuti
hati, meninggalkan segala kekerasan dan kekasaran. Dengan cara ini, pendidikan
yang terlucuti senjata menciptakan kesetaraan dan pertumbuhan bagi semua orang,
mengakui martabat yang sama dari setiap orang muda, tanpa memecah belas orang
muda di antara segelintir orang yang memiliki akses ke sekolah mahal dan banyak
orang yang tidak memiliki akses ke pendidikan. Dengan keyakinan yang besar
terhadapmu, saya mengundangmu untuk menjadi pembawa damai, pertama dan terutama
di tempat tinggalmu — di keluargamu, di sekolah, dalam olahraga, dan di antara
teman-temanmu — menjangkau mereka yang berasal dari budaya lain.
Sebagai
penutup, sahabat-sahabat terkasih, janganlah memandang bintang jatuh, yang
kepadanya pengharapan yang rapuh dititipkan. Pandanglah lebih tinggi lagi,
kepada Yesus Kristus, “surya kebenaran” (bdk. Luk 1:78-79), yang akan selalu
menuntunmu di sepanjang jalan kehidupan.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 31 Oktober 2025)

 Print this page