Paus
Benediktus XVI melalui Surat Apostolik Porta
Fidei (Pintu kepada Iman) mengabdikan tahun 2013 sebagai Tahun Iman. Sang Gembala Gereja Semesta
mengajak segenap umat Kristen untuk merefleksikan imannya dan sekaligus
mengambil langkah kreatif untuk membangun iman dalam ziarah sepanjang tahun
2013.
Dalam
rangka membangun iman yang solid, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
mengajak umat Katolik Indonesia mendalami dokumen-dokumen Konsili Vatikan II
sebagai dasar pijak yang kokoh untuk terus bertumbuh dalam iman akan Kristus,
Sang Penyelamat. Para Bapa Uskup serentak pula mengajak umat untuk menghayati
iman dalam respek dan tanggung jawab kepada alam sekitar.
Menanggapi
seruan itu, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dalam kiprah gerakan Kerasulan
Kitab Suci di Indonesia menjadikan keluarga sebagai locus yang ideal bagi pewartaan iman perdana. Melalui Pertemuan
Nasional Kitab Suci yang dilaksanakan di Wisma Samadi, Klender, Jakarta Timur, 1-5
Agustus 2012, segenap delegatus Kitab Suci sekeuskupan di Indonesia sepakat
mengusung tema "Kitab Suci dalam Keluarga" sebagai fokus kerasulan
Kitab Suci selama empat tahun (2013-2016). Melalui tema ini diharapkan setiap
keluarga bisa bertumbuh dalam iman berkat permenungan dan penghayatan akan
Sabda Allah yang tertulis dalam Kitab Suci.
Tahun
2013 merupakan tahun perdana ziarah keluarga Katolik Indonesia dalam tema
"Kitab Suci dalam Keluarga". Untuk itu, LBI menyiapkan bahan
pertemuan dalam kelompok selama bulan September 2013. Dalam subtema:
"Keluarga Bersekutu dalam Sabda", segenap umat Katolik, baik
anak-anak, para remaja, orang muda, maupun para orang tua, diajak untuk
mengadakan sharing iman di tingkat kelompok guna membangun iman yang solid,
matang, dan kreatif. Melalui perjumpaan dengan tokoh-tokoh biblis, baik dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, setiap peserta diharapkan merefleksikan
imannya dan menemukan cara yang memadai untuk menumbuhkan imannya dalam dunia
yang sekuler, yang penuh dengan tantangan dan kesulitan.
Kami
menghimbau segenap umat Katolik Indonesia untuk memiliki dan memberikan
apresiasi atas buku panduan ini sebagai salah satu wujud nyata untuk memberi
makna kepada Tahun Iman. Dan lebih
dari itu. kami mengajak segenap umat Katolik, di manapun berada, untuk
menghadiri pertemuan kelompok sebagai momen saling berbagi iman dalam aneka
pengalaman kecemasan dan kedukaan, juga dalam aneka pengalaman kegembiraan dan
kebahagiaan. Saling berbagi dalam aneka pengalaman hidup adalah sebuah praksis
iman yang paling konkret dan nyata sebagaimana dihayati jemaat perdana. Selamat
menggunakan buku ini dan semoga ziarah iman kita sungguh berbuah limpah.
1.
KELUARGA
YANG BERIMAN : KELUARGA ABRAHAM DAN SARA (Kej 12:1-6)
Abraham
sering disebut bapa kaum beriman (Rm. 4:16) tentu karena ia telah menunjukkan
dirinya sebagai orang beriman (Gal. 3:9). Iman ini pertama-tama ditunjukkan
oleh Abraham dengan kesiapsediaannya melaksanakan perintah Tuhan untuk
meninggalkan negeri kelahiran dan sanak saudaranya (Kej. 12:1-6). Apa yang bisa
kita pelajari perihal iman dari kisah panggilan Abraham ini?
Susunan
Teks
Perikop
Kej. 12:1-6 merupakan bagian dari kisah panggilan Abraham (Kej. 12:1-9).
Perikop ini berisi pengulangan-pengulangan yang memberi informasi tambahan atau
agak berbeda. Misalnya, dalam ayat 4a dikatakan Abraham pergi bersama Lot
seperti yang difirmankan TUHAN, lalu ayat 5 diulang lagi dengan mengatakan
bahwa Abraham pergi juga bersama Sarai, istrinya. Bahkan ada pengulangan yang
sepertinya bertentangan. Misalnya, ayat 1 mengatakan Abraham diminta pergi oleh
TUHAN ke negeri yang akan ditunjukkan kepadanya, namun dalam ayat 5 Abraham
sepertinya sudah tahu ke mana ia harus pergi, yakni Kanaan. Adanya
pengulangan-pengulangan seperti itu mendorong banyak penafsir untuk melihat
Kej. 12:1-9 sebagai teks yang berasal dari dua sumber yang berbeda: tradisi
Yahwis (ayat l-4a,6-9) dan tradisi Imamat (ayat 4b-5). Namun, pembagian itu
tidak perlu terlalu membuat kita memisahkan perikop ini dalam dua tradisi,
melainkan tetap melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh sebagaimana adanya.
Kej.
12:1-9 tersusun dari tiga bagian, yakni perintah untuk meninggalkan negeri
(ayat 1), janji berkat (ayat 2-3), dan berita perjalanan Abraham (ayat 4-9).
Perintah
untuk Meninggalkan Negeri (Kej. 12:1)
Tuhan
memerintahkan Abraham untuk meninggalkan "negerinya, sanak saudaranya, dan
rumah bapanya" (Kej. 12:1). Negeri mana yang harus Abraham tinggalkan?
Berdasarkan
konteksnya, negeri yang dimaksud di sini tentu Haran, karena di sinilah Abraham
menerima panggilan Tuhan. Haran adalah kota di Mesopotamia Utara yang menjadi
salah satu pusat perdagangan yang penting dalam rute perjalanan antara Niniwe
dan Damaskus. Namun, bila kita melihat konteksnya yang lebih luas, negeri ini
bisa mengacu ke Ur Kasdim, Mesopotamia Selatan. Sebelum kisah panggilan ini,
dikatakan bahwa Terah, ayah Abraham, berasal dari Ur Kasdim (Kej. 11:28). Atas
kemauannya sendiri, Terah berangkat meninggalkan negerinya bersama Abraham,
anaknya, dan Sarai, istri Abraham, serta Lot, cucunya, menuju Kanaan (Kej.
11:31).
Keluarga
besar Abraham tampaknya suku semi-nomaden yang hidup di negara-kota Mari, dekat
Sungai Efrat, antara abad ke-20 SM hingga abad ke-14 SM. Mereka mempunyai
banyak ternak. Untuk memperoleh padang penggembalaan yang subur dan untuk
kelangsungan hidup mereka, sering kali mereka berpindah-pindah sebagai imigran
ke daerah Bulan Sabit yang subur. Mungkin karena alasan itu pulalah Terah pergi
menuju Kanaan. Namun, sebelum mencapai Kanaan, mereka sepertinya mengubah
rencana dan tujuan perjalanan mereka. Mereka berhenti dan menetap di Haran
(Kej. 11:31). Berdasarkan latar belakang ini, negeri yang harus Abraham
tinggalkan tampaknya Ur Kasdim (Kasdim = Babel), negeri asal-usulnya.
Jadi,
negeri yang harus Abraham tinggalkan ialah baik Ur Kasdim maupun Haran.
Mengingat tujuan awal perjalanan Terah meninggalkan Ur Kasdim ialah Kanaan
(Kej. 11:31), apa yang diperintahkan oleh Tuhan kepada Abraham dalam arti
tertentu adalah melanjutkan dan menggenapi perjalanan yang sudah dimulai oleh
ayahnya.
Siapa
sanak saudaranya yang harus ditinggalkan oleh Abraham? Kata sanak saudara
(Ibrani: moledet) mengacu pada kaum
kerabat, mereka yang bersaudara karena hubungan darah atau perkawinan. Beberapa
sanak saudara Abraham yang disebut dengan namanya dalam Alkitab adalah Terah
(ayahnya), Nahor dan Haran (saudara kandungnya), dan Milka (istri Nahor).
Ungkapan
"rumah bapamu" (Ibrani: bet
‘abika) tidak dipakai dalam arti harfiah "rumah milik bapamu"
atau "rumah di mana bapamu tinggal", melainkan "orang-orang yang
masih ada hubungan saudara dengan engkau", "keluarga besarmu",
atau "klanmu". Mungkin lebih kasarnya bisa disebut "orang
sekampungmu". Speiser yang menganggap kata "negeri" dan
"sanak saudara" merupakan hendiyadys
(dua kata untuk mengungkapkan satu ide), dan harus dimengerti sebagai ungkapan
"tanah kelahiran", mengartikan ungkapan "rumah bapamu"
dengan "semua mereka yang tinggal dengan ayahmu".
Singkatnya,
Abraham diminta pergi meninggalkan akar hidupnya, dasar yang menopang hidupnya,
yang memberi dia rasa aman, yakni tanahnya, masyarakatnya, dan keluarga
dekatnya.
Janji
Berkat (Kej. 12:2-3)
Alasan
Tuhan memanggil Abraham ialah karena Ia mempunyai rencana besar yang hendak Ia
wujudkan melalui Abraham. Rencana besar itu ialah: "Aku akan membuat
engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu
masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang
memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu
semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kej. 12:2-3). Rencana besar
ini berupa janji berkat bagi Abraham dan semua orang yang diharapkan akan
terjadi di masa mendatang.
·
Berkat bagi Abraham
"Aku akan membuat engkau
menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur;
dan engkau akan menjadi berkat" (ayat
2).
Pertama, Abraham akan dibuat menjadi
bangsa (goy) yang besar (ayat 2a).
Bahasa Ibrani mengenal dua istilah untuk kata "bangsa", yakni 'am dan goy. Kata 'am mengacu
pada bangsa dalam arti kelompok manusia yang anggotanya disatukan oleh hubungan
darah. Semuanya berasal dari orangtua atau nenek moyang yang sama. Sedangkan goy mengacu ke bangsa (Inggris: nation) yang mengandung konotasi politis
(mempunyai bentuk pemerintahan yang merdeka), administratif, geografis
(mempunyai wilayah), dan identitas kultur yang membedakan komunitas tertentu
dengan kelompok yang lain. Yang dijanjikan kepada Abraham ialah menjadi goy yang besar, menjadi suatu kekuatan
politis yang besar, yang mengandaikan jumlah penduduk yang banyak, wilayah
geografis yang luas, dan merdeka (tidak ada di bawah kekuatan bangsa lain).
Kedua, "membuat namamu
masyhur". Janji ini bertentangan dengan apa yang terjadi pada peristiwa
Menara Babel (Kej. 11:1-9). Manusia ingin mencari nama ("marilah kita cari
nama", Kej. 11:4) dengan mendirikan Menara Babel, namun mereka tidak
mendapatkannya. Abraham tidak mencari nama, namun ia akan mendapat dari Allah
sendiri "nama" yang mashyur, yang begitu didambakan oleh umat
manusia. Kemasyhuran juga mengandung nuansa politis, sebab dulu kemasyhuran
sering dicapai dengan mengalahkan bangsa-bangsa lain (bdk. 2Sam. 8:13).
Sekarang pun orang sering meraih kemashyuran dengan terlibat dalam politik
praktis.
Ketiga,
"dan engkau akan menjadi berkat”. Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa ayat
yang menunjukkan bahwa seseorang atau suatu bangsa dapat menjadi berkat bagi
bangsa lain. Misalnya, Za. 8:13, "Dan kalau dahulu kamu telah menjadi
kutuk di antara bangsa-bangsa, hai kaum Yehuda dan kaum Israel, maka sekarang
Aku akan menyelamatkan kamu, sehingga kamu menjadi berkat. Janganlah takut,
kuatkanlah hatimu!" (lih. juga Yes. 19:24). Namun, tidak begitu gampang
memahami apa sebenarnya arti "menjadi berkat". Ada yang
mengartikannya dalam arti pasif, "Engkau akan diberkati", artinya,
"Engkau akan menjadi perwujudan berkat". Ada pula yang mengartikannya
dalam arti aktif, "Engkau akan menjadi sumber berkat bagi orang
lain". Barangkali pengertian "menjadi berkat" di sini harus
dimengerti dalam arti aktif, menjadi "sumber berkat" dalam kaitannya
dengan ayat 3 di bawah ini.
·
Berkat bagi semua orang
"Aku akan memberkati
orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk
engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (ayat 3).
Abraham
akan menjadi sumber berkat, sehingga nasib seseorang tergantung dari
hubungannya dengan Abraham. Mereka yang memberkati Abraham akan diberkati,
sedangkan yang mengutuknya akan dikutuk. Mengutuk ialah mengucapkan kata-kata
yang mengandung kuat kuasa untuk memisahkan sesuatu atau seseorang dari dunia
Tuhan, yakni dari hidup maupun dari lingkungannya (keluarga, suku, kota, dan
sebagainya). Mengutuk bertentangan dengan memberkati. Berkat dimaksudkan untuk
berkembang biak, untuk mengembangkan kehidupan, sebaliknya kutukan untuk
menghancurkan kehidupan. Mereka yang memberkati Abraham artinya mereka yang
berhubungan baik dengan Abraham, mau membuat hidup Abraham berkembang menjadi
besar, dengan mengakui berkat yang diberikan Tuhan kepadanya (bdk. Kej. 14:19).
Orang yang demikian ini akan diberkati, artinya akan memiliki banyak keturunan,
berhasil, dan makmur.
Kata
"olehmu" (Ibrani: beka)
dalam janji "olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat"
sulit dipahami. Kata Ibrani beka di
sini biasanya diterjemahkan dengan "olehmu", "oleh karena
engkau". Namun, kata ini juga bisa diterjemahkan dengan "dalam
engkau": semua bangsa di bumi "akan diberkati dalam engkau" atau
"menemukan berkat dalam engkau". Betapapun juga, kedua terjemahan ini
mengandung makna adanya janji berkat bagi segala bangsa melalui Abraham.
Misalnya, ketika Israel mengalami berkat kemakmuran besar pada zaman Daud dan
Salomo, bangsa-bangsa di sekitarnya pun menikmatinya. Mereka dapat ambil bagian
dalam berkat yang diberikan kepada Israel.
Abraham
Melaksanakan Perintah Tuhan (Kej. 12:4-6)
Abraham
tidak melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. Dia langsung melaksanakan perintah
Tuhan, "Lalu pergilah Abraham seperti yang difirmankan TUHAN
kepadanya" (ayat 4a). Dia pergi meninggalkan Haran menuju Kanaan bersama
Sarai, istrinya, dan Lot, anak Haran, saudaranya. Mengapa ia tidak mengajak
Terah, ayahnya, ikut serta? Bukankah Kanaan merupakan tujuan utama
keberangkatan Terah dan Ur Kasdim (Kej. 11:31)? Apakah karena ayahnya sudah
meninggal atau tidak kuat jalan karena sudah tua?
Abraham
lahir ketika Terah, ayahnya, berumur 70 tahun (Kej. 11:26). Ketika berangkat
dari Haran ke Kanaan Abraham berusia 75 tahun (Kej. 12:5), sedangkan Terah
berusia 145 tahun (70+75=145). Menurut Kej. 11:32 Terah meninggal pada usia 250
tahun, artinya masih hidup ketika Abraham berangkat meninggalkan Haran. Ia pun
kemungkinan masih kuat, karena masih hidup 105 tahun lagi (250-145=105).
Kenyataan bahwa Terah tidak diajak mungkin merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan perintah TUHAN untuk meninggalkan sanak "saudaramu".
Ayat
5-6 melukiskan perjalanan Abraham dari Haran sampai ke suatu tempat dekat
Sikhem, yakni di pohon tarbantin di More. Sikhem adalah sebuah kota yang
terletak sekitar 65 kilometer di sebelah utara Yerusalem, antara Gunung Ebal
dan Gunung Gerizim. Dekat Sikhem, ada pohon tarbantin, pohon besar yang
dianggap keramat. More sebenarnya mempunyai makna dasar "peramal".
Peramal bisa mengacu ke orang atau ke tempat yang dipakai oleh Yang Ilahi untuk
menyampaikan pengetahuan tersembunyi. Oleh karena itu, beberapa terjemahan
menyebut "pohon tarbantin di More", sedangkan yang lain menyebutnya
"pohon tarbantin milik More" (RSV, NIV). Tempat yang dimaksud mungkin
tempat suci orang Sikhem. Kelak, Tuhan pun menampakkan diri kepada Abraham di
tempat ini (Kej. 18:1).
Refleksi
Apa
yang bisa kita pelajari tentang iman Abraham yang disebut bapa kaum beriman
(Rm. 4:16)? Perikop yang kita baca tidak mengungkapkan secara eksplisit iman
Abraham, namun secara implisit ia sudah menunjukkan awal kehidupan beriman.
Iman
diawali oleh kemampuan mendengarkan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberangkatan Abraham dari Haran dapat saja merupakan suatu keharusan baginya
karena tuntutan hidup, seperti yang dialami Terah, ayahnya, yang harus
meninggalkan Ur Kasdim. Namun, di mata Abraham, keberangkatan ini adalah
jawabannya atas perintah Tuhan. Jawaban itulah ungkapan imannya.
Perbedaan
antara orang beriman dan tidak beriman kadang kala sangat tipis. Ketika orang
tidak beriman lulus ujian, ia berkata, "Saya lulus karena saya rajin
belajar". Tetapi, orang beriman mengatakan, "Semua itu karena
anugerah Tuhan". Dia pun lalu bersyukur kepada Tuhan dan tidak
menyombongkan dirinya. Apakah saya melihat peristiwa hidup sehari-hari
semata-mata sebagai sesuatu yang alami ataukah merupakan campur tangan Allah
dalam hidup saya?
Iman
merupakan jawaban atas firman atau panggilan Tuhan. Inisiatifnya selalu dari
Tuhan. Asal-usul Abraham menunjukkan kepada kita bahwa panggilan dari Tuhan
tidak menuntut prasyarat tertentu, entah itu latar belakang keluarga yang baik,
kekayaan, iman, ataupun kesalehan yang istimewa. Abraham hidup dalam lingkungan
kafir. Dia tidak mengenal hukum Tuhan, dan oleh karenanya ia juga tidak pernah
menunjukkan secara eksplisit kesetiaannya kepada perintah Tuhan. Namun, Tuhan
memanggil dia. Dengan kata lain, panggilan dan berkat Tuhan diberikan menurut
kehendak bebas Tuhan. Panggilan itu benar-benar rahmat yang diberikan secara
cuma-cuma. Jika Tuhan menghendaki, orang setua Abraham pun (75 tahun) bisa
menapaki perjalanan yang dikehendaki-Nya.
Menjawab
panggilan Tuhan dalam iman berarti berani meninggalkan zona aman dalam hidup
kita, seperti Abraham yang meninggalkan negeri kelahiran dan sanak saudaranya
yang memberi rasa aman kepadanya. Meninggalkan zona aman berarti juga siap
memasuki zona gelap, wilayah yang tidak jelas, seperti Abraham yang siap pergi
ke tempat "yang akan ditunjukkan" (berarti belum ditunjukkan).
Abraham belum tahu atau tidak tahu persis ke mana ia harus pergi. Namun, karena
iman, karena percaya sepenuhnya kepada Tuhan, Abraham siap berjalan dalam
kegelapan, dalam ketidakjelasan. Kej. 15:6 mengatakan, "Lalu percayalah
Abraham kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai
kebenaran".
Kata
iman diambil dari kata Ibrani aman
yang berarti percaya. Namun, makna dasarnya sebenarnya "mengokohkan"
atau "mendukung", yang mengacu kepada suatu perbuatan memukul patok
utama dengan palu untuk mendirikan sebuah tenda. Patok utama ini sangat penting
karena sangat menentukan tegak atau robohnya tenda itu. Dalam arti ini, beriman
tiada lain dari menancapkan patok utama sebuah tenda, yakni hidup kita, di batu
karang yang kuat, yang bagi kita orang Kristen tiada lain dari Kristus. Beriman
berarti menerima Allah sebagai tempat pertama dalam hidup kita, mempercayakan
diri sepenuhnya kepada-Nya, bersandar pada-Nya, dan mengakui-Nya sebagai
penopang, tonggak di mana kita membangun hidup kita.
Perjalanan
sejarah hidupnya kemudian menunjukkan bagaimana dia bergumul dalam wilayah yang
tidak jelas itu. Tidak jarang keraguan menyelimuti hati dan pikirannya
sampai-sampai ia melakukan tindakan bodoh karena meragukan kemahakuasaan Tuhan
dan kesetiaan Tuhan pada janji-Nya. Misalnya, ia menyebut Sarai sebagai
saudaranya, bukan istrinya (Kej. 12:10-20; 20:1-2), dan mengawini Hagar,
hambanya (Kej. 16:1-6). Namun, berkat penyertaan Tuhan, dia berhasil taat
sampai akhir. Bagaimana kita bergulat, jatuh bangun dalam iman kita? Meski kita
sudah beriman, kita perlu memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa iman
kita masih terlalu kecil. Seperti ayah seorang yang bisu dalam Injil, kita pun
patut berkata, "Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini"
(Mrk. 9:24).
Kita
ingin disebut keturunan Abraham yang akan mewarisi berkat Abraham. Menurut
Paulus, unsur yang paling menentukan untuk menjadi keturunan Abraham bukanlah
hubungan darah, melainkan iman yang diungkapkan dalam perbuatan dan kesetiaan.
"Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah
anak-anak Abraham. Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah
membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu
memberitakan Injil kepada Abraham: 'Olehmu segala bangsa akan diberkati'. Jadi
mereka yang hidup dari iman, merekalah yang diberkati bersama-sama dengan
Abraham yang beriman itu" (Gal. 3:7-9; bdk. Kej. 15:6).
Semoga
iman Abraham mewarnai kehidupan keluarga kita, dan kita semua pantas disebut
anak-anak Abraham.***
2. KELUARGA
YANG BERAKAR PADA SABDA ALLAH : KELUARGA ZAKHARIA DAN ELISABET (Luk 1:57-66)
Setiap
keluarga Kristen diharapkan hidup berdasarkan firman Tuhan. Namun, firman Tuhan
sering kali tidak begitu jelas dan sering dikaburkan oleh suara-suara lainnya.
Sebagai pegangan untuk hidup, firman Tuhan bersaing dengan norma-norma dan
aturan-aturan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Maka, tidak
mengherankan jika banyak keluarga Kristen melanggar firman Tuhan tetapi tidak
menyadarinya.
Pengalaman
hidup Zakharia, pergumulannya dalam mempercayai firman Tuhan dan mau
melaksanakannya, memberi inspirasi serta dorongan bagi kita untuk mengutamakan
firman Tuhan di atas yang lainnya. Salah satu peristiwa yang sangat inspiratif
ialah kelahiran Yohanes Pembaptis dan upacara sunat yang dilaksanakan oleh
keluarga ini. Kisah yang dituangkan dalam Luk. 1:57-66 ini dapat dibagi dalam
tiga tema pokok: kelahiran Yohanes (ayat 57-58), sunat dan pemberian nama (ayat
59-63), serta tanggapan Zakharia dan orang banyak terhadap karya agung Allah
berupa pujian dan keheranan (ayat 64-66).
Kelahiran
Yohanes (Luk. 1:57-58)
Tidak
memiliki anak merupakan suatu aib bagi wanita Israel di zaman dulu, dan beberapa
orang menganggap mandul sebagai kutukan atau hukuman dari Tuhan. Maka, tidak
jarang ketika tidak mempunyai keturunan seorang wanita sangat sedih karena
merasa tidak berguna. Sebaliknya, melahirkan anak mereka yakini sebagai tanda
Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepada dia yang dikasihi-Nya. Dalam latar belakang
budaya seperti ini, bisa dibayangkan betapa besar sukacita seorang wanita
Yahudi ketika melahirkan seorang anak, apalagi kalau yang dilahirkan itu anak
lagi-laki.
Apa
yang dialami Elisabet benar-benar mendatangkan sukacita yang besar. Dia bukan
saja melahirkan anak dan anak itu anak laki-laki, melainkan juga karena ia
mendapatkannya pada usia yang lanjut dan setelah bertahun-tahun dinyatakan
mandul (Luk. 1:7). Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, menyajikan banyak kisah
tentang wanita yang semula dianggap mandul kemudian melahirkan anak berkat
kemurahan Tuhan. Bahkan wanita-wanita itu adalah istri dari tokoh-tokoh besar
atau ibu dari tokoh penting dalam sejarah keselamatan. Selain Elisabet, beberapa
nama yang patut diingat ialah Sarai, istri Abraham (Kej. 11:30); Ribka, istri
Ishak (Kej. 25:21); Rahel, istri Yakub (Kej. 30:22); istri Manoah atau ibu
Simson (Hak. 13:2-3); serta Hana, istri Elkana dan ibu Samuel (1Sam. 1:5).
Dari
sekian banyak cerita tentang wanita mandul tetapi kemudian melahirkan, ada
beberapa hal yang menarik. Pertama,
mereka sangat rindu memiliki anak, serta sangat sedih dan menderita karena
belum memilikinya. Kedua, mereka
tiada hentinya memohon kepada Tuhan dengan penuh harapan dan setia kepada-Nya. Ketiga, mereka harus menunggu begitu
lama, sehingga beberapa di antara mereka akhirnya merasa mustahil akan mendapat
anak karena usia yang sudah lanjut. Namun, Tuhan berjanji akan mengabulkan doa
mereka (Luk. 1:13) dan menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya (Kej.
18:14; Luk. 1:37). Wanita yang mandul itu pun melahirkan anak. Sarai misalnya,
mempunyai anak setelah berusia 90 tahun. Selanjutnya, anak yang diperoleh
dengan penantian yang lama dan perjuangan iman yang berat itu akhirnya menjadi
tokoh yang luar biasa dan berjasa bagi umat manusia.
Lahirnya
seorang anak dari seorang yang dianggap mandul menandaskan bahwa anak itu
benar-benar anugerah Tuhan dan Tuhan mempunyai rencana yang indah untuknya.
Kegembiraan atas anugerah ini begitu besar, sehingga tidak cukup dirayakan oleh
Elisabet dan Zakharia, melainkan juga oleh tetangga-tetangga dan sanak
saudaranya (ayat 58). Rasa syukur dan sukacita atas begitu besarnya rahmat yang
Tuhan tunjukkan memang harus dibagi bersama, bukan untuk dinikmati sendiri.
Tetapi apakah orang lain mau diajak berbagi?
Reaksi
para tetangga dan sanak saudaranya sangat positif, mereka mau diajak berbagi
sukacita. Mereka tidak iri hati melainkan seperti yang dikatakan Paulus
"bersukacita dengan orang yang bersukacita" (bdk. Rm. 12:15).
Demikianlah mereka bersukacita bersama-sama.
Sunat
dan Pemberian Nama (Luk. 1:59-63)
·
Sunat
Di
kalangan banyak bangsa di dunia ini, sunat dikaitkan dengan masalah sosial,
yakni tanda seorang anak memasuki jenjang dewasa, dan masalah kesehatan. Dalam
tradisi Yahudi, sunat dikaitkan dengan perjanjian Allah dengan Abraham (Kej.
17:7). Sunat dibuat dengan memotong kulit khatan atau kulup kelamin laki-laki,
dan menjadi tanda perjanjian Israel dengan Tuhan yang diikat dalam daging.
Israel mengimani bahwa Tuhan mengadakan perjanjian bukan dengan Abraham sebagai
perorangan melainkan sebagai kepala keluarga, bapa bangsa yang besar.
Perjanjian Tuhan berlaku untuk keturunan Abraham sampai selama-lamanya,
"Antara Aku dengan kamu serta keturunanmu turun-temurun" (Kej.
17:7-11). Sunat lalu dijadikan sebagai tanda lahiriah seseorang menjadi anggota
umat perjanjian. Itulah sebabnya mengapa seorang anak laki-laki Yahudi disunat
bukan ketika ia menginjak remaja, melainkan ketika ia masih kecil, tepatnya
ketika berusia delapan hari. Yesus pun disunat tepat ketika berusia delapan
hari (Luk. 2:21).
Ada
yang mengatakan bahwa vitamin K dan prothrombin
yang sangat dibutuhkan untuk membekukan darah mencapai puncaknya pada usia
delapan tahun. Karena itu, sunat paling ideal dilakukan pada hari kedelapan
karena akan sangat aman dan lukanya cepat sembuh. Namun, sunat dilakukan pada
hari kedelapan bukanlah karena hal itu, melainkan karena anak harus segera
dimasukkan dalam anggota umat perjanjian, menjadi ciptaan baru. Hari kedelapan
merupakan hari baru setelah tujuh hari penciptaan. Inilah hari yang tepat untuk
menunjukkan bahwa anak yang disunat lahir sebagai manusia baru.
·
Pemberian nama
Upacara
penyunatan biasanya disertai dengan pemberian nama. Nama sangat penting karena
merupakan pembeda identitas. Nama memungkinkan kita membedakan sesuatu dengan
yang lainnya, anjing dengan kucing, juga Setiawan dengan Budiman. Sebuah nama
diharapkan mencerminkan identitas seseorang. Dalam budaya Israel, nama bersifat
deskriptif, menggambarkan identitas orang yang memakainya. Misalnya, manusia
pertama diberi nama Adam karena ia dibuat dari tanah (Ibrani: adamah), sedangkan istrinya disebut Hawa
(Ibrani: hayah, artinya
"hidup"), yang berarti "ibu semua yang hidup" (Kej. 3:20).
Pemimpin yang mengantar Israel ke tanah terjanji bernama Yosua,.yang berarti
"TUHAN menyelamatkan" atau "TUHAN adalah juruselamat". Nabi
Hosea yang menikah dengan Gomer, perempuan sundal, menamai anak-anaknya Yizreel
(artinya "Tuhan menabur"), Lo-Ruhama (artinya "tidak
disayangi", Hos. 1:6), dan Lo-Ami (artinya "bukan umat-Ku", Hos.
1:9) untuk menggambarkan relasi Tuhan dengan Israel. Adik Esau disebut Yakub
(Ibrani 'akeb = tumit) karena ketika
lahir ia memegang tumit Esau (Kej. 25:26).
Biasanya
kalau mereka kesulitan menemukan nama yang mendeskripsikan sesuatu yang khas,
mereka memberi nama orangtuanya atau nenek moyangnya. Anak laki-laki pertama
biasanya diberi nama sesuai nama ayahnya. Maka, tidaklah mengherankan bahwa
para tetangga dan sanak saudara Elisabet hendak menamai anak yang baru lahir
itu Zakharia, sesuai nama ayahnya (ayat 59). Tetapi, Elisabet tidak
menyetujuinya dan mengatakan bahwa ia harus diberi nama Yohanes (ayat 60). Nama
ini sesuai dengan apa yang dipesankan oleh malaikat kepada suaminya (Luk.
1:13). Orang-orang itu sulit menerima penolakan Elisabet karena bertentangan
dengan tradisi (ayat 61). Mereka lalu menanyakannya kepada Zakharia. Karena
Zakharia bisu dan kelihatannya juga tuli, mereka bertanya kepadanya dengan
bahasa isyarat (ayat 62). Zakharia meminta batu tulis, semacam lempengan tanah
liat yang dipakai untuk membuat catatan sementara, lalu menulis, "Namanya
adalah Yohanes" (ayat 63). Yohanes merupakan transliterasi dalam bentuk
singkat dari kata Ibrani Iehochanan,
artinya "Allah adalah rahim". Nama orang-orang yang kelahirannya
telah dinubuatkan biasanya mempunyai makna tertentu yang berkaitan dengan
panggilan khusus yang direncanakan Tuhan baginya. Yohanes dipanggil untuk
menyerukan pertobatan agar orang menerima kerahiman Allah dan Sang Penebus.
Menyaksikan semua itu tentu saja orang banyak heran karena tidak sesuai dengan
apa yang lazim atau tradisi mereka (ayat 63b).
Zakharia
Memuji Allah (Luk. 1:64-66)
Ayat
64-66 berisi reaksi Zakharia dan orang-orang di sekitarnya terhadap karya agung
Allah. Pertama kita melihat reaksi Zakharia. Dengan mulutnya, Zakharia telah
menunjukkan ketidakpercayaannya kepada Tuhan, sehingga mulut itu terkutuk dan
tidak bisa berbicara (Luk. 1:11-23). Kini, ketaatan Zakharia kepada firman
Tuhan, yang membuktikan bahwa dia benar-benar percaya kepada Allah, menghapus
kutuk yang dia terima. Mulutnya terbuka dan ia mulai berbicara kembali (ayat
64a). Hukuman bisunya berakhir dan sebagai tanggapan atas karya Allah ini
Zakharia memuji-Nya (ayat 64b).
Bahasa
Ibrani kuno mengenal beberapa kata untuk istilah memuji (Yunani: eulogeo). Pertama, halal artinya
"memuji", misalnya seruan haleluya
(pujilah Tuhan) yang merupakan gabungan dua kata Ibrani halelu (pujilah) dan Yah
(singkatan nama Tuhan, YHWH; bdk. Mzm. 111:1;112:1;113:1,9;150:1;dll.). Kedua, yadah artinya "mengucap syukur" dalam arti mengakui dan
memuji kebaikan hati seseorang. Ketiga,
barak artinya "memberkati"
dalam arti mengakui dan memuji kebaikan Allah (lih. Kej. 24:27). Kata memuji
memiliki makna yang hampir tidak terpisahkan dengan bersyukur. Zakharia memuji
Allah, artinya ia bersyukur kepada Allah dengan mengakui dan memuji kebaikan
hati-Nya.
Israel
memuji Allah bukan pertama-tama dengan mempersembahkan kurban kepada-Nya,
melainkan terutama dengan mengakui di depan umum apa yang diperbuat-Nya. Itulah
yang dilakukan oleh Zakharia. Zakharia memuji dan bersyukur kepada Allah karena
ia mengalami kasih Allah yang mengikutsertakan umat manusia dalam mengungkapkan
kasih dan kekuasaan-Nya yang mengagumkan dan mengatasi pikiran manusia.
Sebetulnya inilah salah satu kekhasan kekristenan. Orang Kristen mengakui
keselamatan sebagai anugerah Allah, karena itu mereka selalu bersyukur kepada
Tuhan seperti dinasihatkan oleh Paulus, "Ucaplah syukur senantiasa atas
segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa
kita" (lih. Ef. 5:20; Kol. 3:17; Flp. 4:6).
Kedua,
kita melihat reaksi orang-orang di sekitar Zakharia. Mereka ketakutan bukan
ketakutan dalam arti harfiah, melainkan hormat dan kagum, seperti sikap seorang
anak terhadap orangtuanya (ayat 65). Karena kekaguman itu, mereka pun
membicarakannya di mana-mana sehingga berita tentang hal ini semakin tersebar
luas, bahkan sampai ke telinga Lukas, pengarang Injil ini. Semua orang yang
mendengarnya "merenungkannya". Bahasa Yunaninya berbunyi "ethento ... en te kardia auton"
yang secara harfiah berarti "menempatkannya dalam hatinya". Maksudnya
mungkin bukan pertama-tama merenungkannya atau menyimpan dalam hati seperti
Maria, melainkan lebih berarti "mengaguminya" atau "heran"
penuh tanda tanya. Mereka heran dan berkata, "Menjadi apakah anak ini
nanti?" (ayat 66a). Di dalam keheranannya, mereka bertanya-tanya soal masa
depan, soal rencana Tuhan terhadap anak ini. Mereka yakin bahwa Tuhan menyertai
anak ini dan mempunyai rencana besar di inasa depan untuknya (ayat 66b).
Refleksi
Beberapa
pokok-pokok refleksi yang bisa kita buat berdasarkan ulasan teks di atas:
·
Menghargai anak
Sabda
Tuhan menunjukkan kepada kita pentingnya seorang anak. Apakah sebagai
suami-istri, kita benar-benar mendambakan dan menghargai anak sebagai anugerah
istimewa dari Tuhan? Bagaimana pandangan kita dengan sikap orang yang menikah tetapi
tidak mau mempunyai anak? Bagaimana sikap kita terhadap aborsi, terhadap kasus
bayi yang dibuang begitu saja orang-orang yang melahirkannya?
Bagaimana
sikap kita terhadap orang yang mandul? Apa yang kita buat bila sebagai
suami-istri kita belum juga dikaruniai keturunan? Usaha-usaha apa saja yang
kita buat dan apakah usaha itu sesuai dengan iman dan kesetiaan kita kepada
Tuhan? Bila sudah begitu lama kita menantikannya, masih beranikah kita berharap
dan percaya bahwa "tiada yang mustahil bagi Tuhan"?
·
Sunat
Sunat
dalam Perjanjian Lama pertama-tama merupakan tanda lahiriah perjanjian Israel
dengan Allah. Namun, sunat tidak boleh terbatas sebagai tanda lahiriah,
melainkan juga tanda rohani. Sunat berkaitan erat dengan ketaatan, menjadi
tanda jawaban manusia atas kasih karunia Allah yang memilih dan menandai umat
milik-Nya. Jawaban itu berupa penyerahan diri kepada Allah dan kesetiaan dalam
menaati hukum-Nya. "Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela".
Darah yang tumpah dalam sunat menunjukkan tuntutan yang mahal yang harus dibayar
oleh manusia yang hidup dalam perjanjian dengan Tuhan.
Perjanjian
Lama sebenarnya sudah menekankan pentingnya sunat hati, sunat rohani.
"Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk"
(Ul. 10:16); "Allahmu, akan menyunatkan hatimu dan hati keturunanmu,
sehingga engkau mengasihi TUHAN" (Ul. 30:6). Yeremia mengajak orang Yehuda
bertobat dengan berkata, "Sunatlah dirimu bagi TUHAN, dan jauhkanlah kulit
khatan hatimu" (Yer. 4:4). Namun, Perjanjian Baru lebih tegas lagi dalam
menandaskan pentingnya sunat rohani, terutama ketika hukum sunat hendak
dijadikan sebagai syarat untuk keselamatan. Paulus dengan keras menentang
kewajiban sunat jasmani, "Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak
penting. Yang penting ialah menaati hukum-hukum Allah" (1Kor. 7:19);
"Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau
tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih
(Gal. 5:6). Keselamatan diperoleh bukan karena sunat, melainkan karena Kristus,
"Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama
sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17).
Sunat
dalam Perjanjian Baru bukan lagi sunat lahiriah, melainkan sunat dalam Kristus,
yaitu terpisah, putus hubungan dengan dosa. "Dalam Dia kamu telah disunat,
bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus,
yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa" (Kol. 2:11). Sunat
yang sejati adalah sunat "di dalam hati, secara rohani, bukan secara harfiah"
(Rm. 2:29). Seperti alat kelamin laki-laki, hati dalam arti tertentu juga
merupakan tempat bertumbuhnya benih, baik benih-benih kasih maupun benih-benih
kejahatan. Pembungkus hati yang menodai hati kita harus dibuang agar kita
terbuka dan bersih, bebas dari perbuatan-perbuatan daging: percabulan,
kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan,
iri hati, kemarahan, kepentingan diri sendiri, percekcokan, perpecahan,
kedengkian, bermabuk-mabukan, pesta pora, dan sebagainya (Gal. 5:19-21). Sunat
baru yang menandai kita masuk menjadi umat perjanjian ialah sakramen baptis.
Dengan dibaptis kita dibersihkan dari dosa-dosa kita oleh Kristus dan mulai
menjalani hidup baru yang dipimpin Roh.
Bagaimana
sikap saya terhadap sunat dan baptis? Apakah saya melihatnya hanya sebagai
upacara formal, lahiriah, ataukah sudah saya hayati nilai-nilai rohaninya
dengan hidup dalam kekudusan?
·
Hidup dalam janji
Kelahiran
anak laki-lakinya dan berakhirnya kebisuan menunjukkan kepada Zakharia bahwa Allah
pasti menepati janji-Nya dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk. 1:37). Dia
harus membayar mahal ketidakpercayaannya, namun ketidakpercayaannya itu sendiri
tidak dapat menghalangi Allah dalam melaksanakan rencana-Nya.
Kita
pun umat perjanjian, umat yang hidup dalam janji. Hidup dalam janji tidaklah
mudah apalagi kalau apa yang dijanjikan itu seakan mustahil dan lama tidak
terpenuhi. Pengalaman Zakharia menyadarkan kita bahwa Allah tidak pernah
melupakan janji-Nya. Janji Allah bisa dipercaya dan kita tidak perlu
meragukannya karena Allah tidak mungkin berdusta (Ibr. 6:18). Tapi, bagaimana
dengan janji kita yang menyebut diri anak-anak Allah? Masih pantaskah kita
disebut anak Allah bila janji kita tidak bisa dipercaya lagi?
·
Ketaatan pada firman mendatangkan
berkat
Belajar
dari pengalaman, Zakharia dan Elisabet berusaha sebisa mungkin menaati firman
Tuhan. Mereka menyunatkan anak mereka pada hari kedelapan dan menamainya
Yohanes. Dalam memberi nama ini, mereka lebih memilih taat kepada firman Tuhan
daripada kepada tradisi yang berlaku. Akibatnya, mereka menjadi orang yang
terberkati dan Allah menyertai anak mereka. Betapa banyak tradisi dan
peraturan-peraturan duniawi yang sepertinya kurang sesuai bahkan bertentangan
dengan firman Tuhan. Bagaimana kita menyikapinya?
·
Nama menunjukkan identitas diri
Nama
merupakan pembeda identitas dan menggambarkan siapa saya, juga apa yang Tuhan
dan orang lain harapkan dari saya. Betapa sering kita memilih nama secara
sembarangan, atau menyebut nama orang lain secara tidak benar. Nama atau
sebutan yang diberikan kepada kita menunjukkan dan menggambarkan identitas
kita. Sebuah pepatah Cina berbunyi, "Awal kebijaksanaan adalah memanggil
sesuatu dengan namanya yang benar". Apakah kita menghargai nama? Ataukah
kita menyepelekannya seperti Shakespeare, pujangga besar Inggris, yang
mengatakan, "Apalah arti sebuah nama? Setangkai mawar tetap harum entah ia
bernama rose atau rosa"?
·
Memuji
Ketika
bisa berbicara kembali seperti sediakala, hal pertama yang dilakukan oleh
Zakharia ialah memuji Allah (ayat 64b). Apakah kita termasuk orang yang bisu
seperti Zakharia yang sedang menjalani hukuman, ataukah orang yang memujiTuhan?
Berapa lama kita membisu? Apakah kita sedang menunggu karya ajaib supaya bisa
melepaskan kebisuan kita? Ataukah kita sudah dijiwai oleh pesan Paulus untuk
selalu memuji dan bersyukur kepada Allah dalam situasi apapun?***
3.
KELUARGA
YANG BERSEKUTU : KELUARGA KUDUS NAZARET (Luk 2:41-52)
Keluarga
Kristiani sering disebut Ecclesia
Domestica artinya Gereja Domestik atau Gereja Rumah Tangga. Maksudnya,
keluarga kristiani diharapkan menjadi perwujudan Gereja, persekutuan hidup
dalam iman akan Yesus Kristus yang menghadirkan nilai-nilai Injili. Nilai-nilai
itu terutama kasih dan ketaatan kepada Allah dan sesama, serta kerendanan hati.
Tiga
pilar ini menjadi tiang utama penyangga persatuan hidup berkeluarga. Keluarga
dipanggil untuk melayani hal-hal jasmani dan sekaligus juga hal-hal rohani. Hal
ini dapat kita pelajari dari Keluarga Kudus Nazaret, khususnya dari kisah
tentang Yesus yang ditemukan di Bait Allah dalam Luk. 2:41-52. Maria dan Yusuf
yang setiap tahun pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah menjadi teladan
bagi kita dalam kesetiaan melayani Allah dan menaati hukum-hukum-Nya.
Kisah
dalam Luk. 2:41-52 dapat dibagi dalam tiga bagian, yakni Yesus yang berusia dua
belas tahun diajak orangtuanya pergi ke Yerusalem (ayat 41-42), Yesus
tertinggal di Yerusalem (ayat 43-50), dan Yesus kembali ke Nazaret (ayat
51-52).
Yesus
yang Berusia Dua Belas Tahun Diajak ke Yerusalem (Luk. 2:41-42)
Kisah
Yesus ditemukan di Bait Allah diawali dengan pernyataan bahwa "tiap-tiap
tahun orangtua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah" (ayat 41).
Sebenarnya yang diwajibkan pergi ke Yerusalem tiga kali setahun untuk merayakan
Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun hanyalah orang laki-laki Yahudi dewasa
(Kel. 23:14-17;34:23; Ul. 16:16). Namun, tidak sedikit perempuan-perempuan
saleh, seperti Hana misalnya (1Sam. 1:7), juga pergi ke Yerusalem. Maria sadar
bahwa kebersamaan itu perlu dibangun bukan saja dalam hidup keseharian, waktu
makan minum dan bermain bersama, melainkan juga dalam ibadah bersama.
Persekutuan dalam hidup keluarga belum sempurna tanpa persekutuan dalam ibadah
bersama. Oleh karena itu, Maria selalu menemani Yusuf pergi ke Yerusalem untuk
merayakan Paskah.
Kali
ini perjalanan mereka ke Yerusalem sangat istimewa, karena Yesus sudah berusia
dua belas tahun (ayat 42). Pada usia ini, anak laki-laki Yahudi dinyatakan
secara resmi sebagai anggota masyarakat dewasa melalui upacara inisiasi yang
disebut Bar Mitzvah. Istilah ini
berasal dari bahasa Aram dan berarti "anak ajaran Taurat", maksudnya
anak yang hidupnya diarahkan untuk menaati Taurat. Setelah menerima upacara
inisiasi itu, seorang anak bisa berperan penuh dalam jemaat, ambil bagian
secara penuh dalam perayaan Paskah atau ibadat lainnya. Mereka bertanggung
jawab penuh dalam menaati hukum Taurat, oleh karena itu, agar memahami Taurat
dengan baik, mereka pun mulai diterima dalam sekolah Taurat. Ketika bayi hingga
disapih, ia diasuh oleh ibunya, kemudian oleh ayahnya, dan setelah berusia dua
belas tahun, ia memperoleh guru baru lagi, yakni Taurat itu sendiri.
Menyadari
pentingnya masa setelah usia dua belas tahun, Yusuf mempersiapkan Yesus
sebaik-baiknya agar benar-benar dewasa secara fisik maupun rohani. Ia memahami
bahwa dalam memelihara dan mendidik anak, yang perlu diperhatikan bukan saja
segi fisik (perkembangan dan kesehatan tubuh), melainkan juga kecerdasan
(otak), pengolahan batin (perasaan atau emosi), rasa religius (agama), dan segi
sosial. Itulah sebabnya Yusuf tidak hanya mengajari Yesus hukum Taurat,
melainkan juga melatih-Nya berpuasa, mengajak-Nya ikut dalam perayaan-perayaan
bersama sebagaimana lazimnya dilakukan oleh orangtua Yahudi pada waktu itu.
Mengajak
Yesus pergi ke Yerusalem bukan saja memberi Yesus pengalaman pertama merayakan
Paskah, melainkan juga mengembangkan-Nya di bidang kehidupan sosial. Pengalaman
pertama ini pasti sangat menyenangkan. Suasana hati Yesus tersirat dalam Mzm.
122:1, "Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: 'Mari kita pergi
ke rumah TUHAN”. Sebab, Dia pasti sudah lama merindukannya, "Seperti rusa
yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya
Allah" (Mzm. 42:1).
Jarak
dari Nazaret ke Yerusalem cukup jauh, sekitar 150 km, atau empat hari
perjalanan. Biasanya, dalam melakukan ziarah suci, penduduk sebuah desa atau
distrik pergi bersama-sama dalam suatu rombongan. Rombongan anak-anak paling
depan, kemudian rombongan perempuan, disusul dengan rombongan laki-laki. Mereka
akan bertemu di suatu tempat perhentian atau penginapan yang mereka sepakati.
Berjalan dalam rombongan seperti ini sangat berguna bukan saja untuk
perlindungan atau keamanan, melainkan juga memberi kenyamanan karena adanya
teman seperjalanan dan teman ngobrol yang membuat perjalanan jauh yang berat
dan meletihkan menjadi kurang terasa. Terlebih bagi anak-anak, perjalanan ini
merupakan kesempatan bagi mereka untuk bermain bersama, bersosialisasi,
beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman seperjalanan. Mereka belajar
bagaimana menghargai teman, melepaskan ego, peduli pada teman, dan
memperlakukan orang lain secara benar.
Kita
tidak tahu apakah Yesus menerima upacara Bar
Mitzvah di Bait Suci sebelum perayaan Paskah atau tidak, sebab tidak
diceritakan. Yang dikatakan Lukas hanyalah bahwa Ia sudah bisa mengikuti
upacara Paskah dan mendengarkan pengajaran Taurat yang disampaikan para rabi.
Yesus
Tertinggal di Yerusalem (Luk. 2:43-50)
Perayaan
Paskah biasanya berlangsung selama tujuh hari, meski tidak semua peziarah wajib
merayakannya dalam tujuh hari. Seusai perayaan itu, Yusuf dan Maria kembali ke
Nazaret, tetapi Yesus tinggal di Yerusalem tanpa sepengetahuan mereka (ayat
43). Manusia mempunyai dua kewajiban: berdoa dan bekerja. Ada waktu untuk
berdoa, ada waktu untuk bekerja. Ada waktu untuk pergi ke Yerusalem, ada waktu
untuk kembali dan melaksanakan kegiatan sehari-hari di Nazaret. Perlu ada
keseimbangan: yang satu dibuat, yang lain jangan diabaikan. Menyadari hal itu,
Yusuf dan Maria kembali ke Nazaret bersama peziarah lainnya.
Mereka
kembali dalam rombongan masing-masing: Yusuf di rombongan laki-laki, sedang
Maria dengan rombongan perempuan. Ada banyak rombongan peziarah. Pada umumnya
mereka yang berada dalam rombongan-rombongan itu saling mengenal, bahkan ada
hubungan saudara. Itulah sebabnya Yusuf dan Maria kurang mencemaskan Yesus.
Mereka yakin Yesus "ada di antara orang-orang seperjalanan mereka"
(ayat 44). Yusuf mungkin mengira Yesus di rombongan anak-anak atau rombongan
ibu-Nya, sebaliknya Maria mungkin mengira Yesus dengan Yusuf, sehingga mereka
tenang-tenang saja. Setelah berjalan sehari perjalanan jauhnya. mereka mulai
mencari Yesus, namun tidak menemukan-Nya (ayat 45a). Mereka pun panik, gelisah,
dan cemas, takut kehilangan anak. Kegelisahan dan kecemasan ini merupakan bukti
betapa dalamnya cinta mereka terhadap anak. Mereka mencari-Nya di antara
rombongan lain, rombongan sanak saudara dan kenalan mereka. Karena tetap tidak
menemukan Dia, "kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari
Dia" (ayat 45b).
Inilah
salah satu contoh yang menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam keluarga.
Tiadanya komunikasi dapat mengakibatkan salah pengertian yang berujung pada
malapetaka. Yusuf mengira Yesus bersama Maria, sedang Maria mengira Yesus
bersama Yusuf. Keduanya tidak cepat-cepat berkomunikasi memastikannya. Orangtua
mengandaikan anak mereka sudah ikut pulang, sementara si anak ternyata tetap
tinggal di Yerusalem (ayat 43). Memberi keleluasaan kepada anak memang baik
asalkan dibarengi dengan komunikasi yang baik agar si anak tidak lepas kendali.
Keleluasaan memungkinkan Yesus bisa menikmati pengalaman pertama di rumah
Bapa-Nya. Cinta-Nya pada rumah Bapa-Nya begitu besar, "TUHAN, aku cinta
pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam" (Mzm.
26:8). Ia asyik mengikuti sekolah Taurat yang untuk pertama kalinya boleh Ia
masuki. Apalagi ada banyak kelompok sekolah Taurat di pelataran Bait Allah,
sehingga Ia bisa berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain.
Begitu asyiknya Dia menikmati semua itu, sampai-sampai Ia lupa pulang dan tidak
menyadari orangtua-Nya sudah berangkat kembali ke Nazaret.
Sesudah
tiga hari pencarian yang melelahkan, Yusuf dan Maria yang sangat cemas dan
gelisah akhirnya menemukan Yesus di Bait Allah. "Ia sedang duduk di
tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada mereka" (ayat 46).
Sudah
menjadi kebiasaan bahwa pada hari raya dan hari Sabat, Mahkamah Agama dan para
alim ulama, yakni para rabi, memberi pelajaran di Bait Allah tentang hal-hal
keagamaan, tentang Taurat, kepada para peziarah. Metode pengajaran yang dipakai
umumnya dialog: para peziarah bertanya dan mereka menjawab. Yang mengagumkan
orang banyak ialah bahwa Yesus bukan sekadar berada di antara para peziarah
untuk mendengarkan, melainkan aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan bahkan
juga memberikan jawaban yang cerdas (ayat 47).
Kemampuan
Yesus memberi jawaban tentulah karena keistimewaan-Nya. Yang dibahas para rabi
umumnya teks-teks Kitab Suci yang menunjukkan kehendak dan rencana Allah. Yesus
datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Allah, oleh sebab itu Ia tentu tahu
apa yang menjadi kehendak Allah. Namun, kita tidak bisa mengabaikan pendidikan
yang diberikan oleh Yusuf yang telah membuat Keluarga Kudus menjadi tempat
persemaian cinta kepada Allah dan sesama. Dalam keluarga ini, sabda Allah dan
hal-hal yang berhubungan dengan Allah dibicarakan, diperdalam, dan dihayati.
Pendidikan ini tentu membuat Yesus makin terbuka dan mudah memahami kehendak
Bapa-Nya.
Yesus
tidak menganut budaya instan. Ia
menjalani hidup-Nya tahap demi tahap secara alami. Ia tidak pernah mendahului
bila saatnya belum tiba. Sebelum menjadi pengkhotbah, Ia menjadi pendengar yang
baik. Sebelum menjadi pengajar, Ia menjadi murid yang belajar penuh minat.
Sebelum menyampaikan hukum Allah, Ia menjadi murid yang benar-benar mencintai
hukum Allah, seperti kata pemazmur, "Hancur jiwaku karena rindu kepada
hukum-hukum-Mu setiap waktu" (Mzm. 119:20). Tetapi, lebih dari semua itu,
yang mengagumkan ialah, bahwa meskipun tahu, Yesus tidak sok tahu.
·
Mengapa Engkau berbuat demikian
terhadap kami?
Ketika
menemukan Dia, orangtua-Nya tercengang (ayat 48). Maria lalu berkata,
"Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku
dengan cemas mencari Engkau" (ayat 49). Panggilan "nak" (Yunani:
technon) secara harnah berarti
"anak" atau juga "anak muda". Pertanyaan "mengapa
Engkau berbuat demikian terhadap kami" merupakan sebuah teguran, teguran
seorang ibu yang kecewa dan marah, tetapi bercampur gembira karena telah
menemukan anak yang begitu dicemaskannya.
Alasan
teguran itu ialah karena "bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari
Engkau". Maria menganggap apa yang Yesus perbuat tidak benar karena telah
membuat mereka cemas dan susah payah mencari-Nya. Seharusnya Yesus pulang
bersama mereka, tidak tetap tinggal di Bait Allah. Kata-katanya itu juga
menunjukkan betapa mereka mencintai Yesus dan peduli pada-Nya. Namun, secara
tidak langsung, ia juga mengingatkan Yesus akan kewajiban-Nya terhadap orangtua. '
·
Mengapa kamu mencari Aku?
Jawaban
Yesus benar-benar mengejutkan, "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu
tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (ayat 49). Sepintas
jawaban Yesus mencerminkan jawaban khas anak muda yang cerdas namun kurang
berpikir panjang. Mereka tenggelam dalam kesibukannya sendiri, begitu
menikmatinya sehingga tidak peduli atau tidak sempat memikirkan akibat-akibat
yang mungkin menimpa orang lain, khususnya orangtuanya. Mereka pikir orangtua
tidak perlu repot-repot memikirkan dia. Namun, bila disimak lebih dalam,
jawaban Yesus sebenarnya sangat teologis. Dia mempertentangkan urusan bapa
duniawi-Nya dengan Bapa surgawi, "Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus
berada di dalam rumah Bapa-Ku?". Ketika Maria mengingatkan Dia akan
kewajiban-Nya terhadap Yusuf, bapa-Nya, Yesus mengingatkan Maria akan
kewajiban-Nya terhadap "Bapa-Ku", yakni Allah.
Yesus
merasa, seharusnya Maria tahu bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya.
Dalam bahasa aslinya (Yunani) frasa "di dalam rumah Bapa-Ku" berbunyi
"en tois tou patros mou",
yang secara harfiah berarti "dalam hal-hal Bapa-Ku", maksudnya
"dalam urusan Bapa-Ku". Yesus bermaksud mengatakan bahwa Dia harus
terserap dalam urusan-urusan Bapa-Nya, menyibukkan diri dengan perkara-perkara
Bapa-Nya. Dia harus mengutamakan kewajiban-Nya terhadap Allah daripada terhadap
orangtuanya. Kata "harus" menandaskan bahwa hal itu sudah menjadi
kehendak Allah.
Apa
yang dikatakan Yesus ini sulit dipahami. Kedua orangtua-Nya tidak mengerti
(ayat 50). Hal ini termasuk dalam misteri keputraan ilahi Yesus. Banyak orang
tidak mengerti ketika berhadapan dengan keputraan Yesus. Bahkan para murid yang
bergaul sehari-hari dengan Yesus pun tidak mengerti ketika Yesus memberitahukan
kepada mereka bahwa Ia harus menderita dan disalibkan (Luk. 9:45; 18:34).
Ketidakmengertian ini biasa dialami oleh manusia ketika berhadapan dengan
misteri keputraan ilahi Yesus.
Yesus
Kembali ke Nazaret (Luk. 2:51-52)
Akhirnya
Yesus pulang bersama kedua orangtua-Nya ke Nazaret (ayat 51a). Sungguh
mengejutkan. Yesus yang pada ayat sebelumnya sepertinya bandel, kini tampak
manis. Ketika tampil sebagai Putra Bapa, Anak Allah, Ia sering bersikap dan
melakukan hal-hal yang mengherankan dan sulit dipahami. Namun, sebagai anak
Yusuf, ia selalu tampil sebagai anak yang penurut, taat, setia, serta
menghormati orangtua-Nya. "Ia tetap hidup dalam asuhan mereka" (ayat
51b), terjemahan harfiahnya, "Ia terus-menerus ditundukkan (hipotassomenos) kepada mereka". Ini
berarti Yesus senantiasa taat dan patuh kepada orangtua-Nya.
·
Maria menyimpan semua perkara itu
di dalam hatinya
Menyimpan
dalam hati bukan berarti merahasiakan, melainkan malah sebaliknya:
menceritakannya kepada orang lain, sehingga Lukas bisa mengetahui hal itu dan
menuliskannya untuk kita. Menyimpan dalam hati tidak identik dengan menerima
begitu saja karena tidak mau repot atau susah-susah, melainkan mencoba makin
memahami misteri itu. Menyimpan dalam hati merupakan ungkapan yang berarti
memikirkannya berulang-ulang, dan setiap kali memikirkannya, ia menemukan arti
yang makin dalam dari apa yang dipikirkannya itu. Maria belum memahami apa yang
dilakukan dan dikatakan Yesus. Pandangannya sepertinya berbeda dengan pandangan
Yesus, bahkan dalam pengertiannya, sikap Yesus kadang keliru dan sulit
diterima. Namun, Maria cukup rendah hati untuk mengakui bahwa banyak hal
tentang Putranya, khususnya tentang keputraan ilahi-Nya, tidak mudah dipahami.
Dulu, ketika diberitahu oleh para gembala tentang apa yang dikatakan malaikat
tentang Putranya, ia pun menyimpannya dalam hati (Luk. 2:19). Maria tidak
berhenti pada apa yang terjadi, melainkan terarah ke masa depan karena ia sadar
bahwa tidak segala sesuatu bisa dipahami serta merta. Maria bergumul dengan
misteri itu, sehingga hari demi hari ia makin memahaminya dan bisa menghargai
perbedaan dan keunikan putranya.
·
Yesus makin dikasihi Allah dan
manusia
Sebagai
penutup kisah ini, Lukas mengatakan secara ringkas bahwa "Yesus makin
bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh
Allah dan manusia" (ayat 52). Yesus bukan hanya bertambah besar secara
fisik dan cerdas secara intelektual, melainkan juga "bertambah
hikmat-Nya". Hikmat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan dan
tindakan secara tepat. Berkat hikmat-Nya, Yesus tahu apa dan siapa yang menjadi
prioritas hidup-Nya. Hikmat membuat-Nya semakin peka dalam melihat dan memahami
kebutuhan orang lain serta solider dengan sesama manusia. Taurat pun menjadi
sesuatu yang hidup, bukan ajaran mati atau kewajiban yang kaku, melainkan hidup
yang dianugerahkan Bapa kepada manusia. Hikmat ini diperoleh-Nya bukan saja
dari pengalaman hidup sehari-hari, melainkan terutama karena keakraban-Nya
dengan Tuhan, sumber hikmat.
Demikianlah,
pembinaan yang dilakukan oleh Yusuf sejak dini, secara bertahap, menyeluruh,
dan berkesinambungan menghasilkan buah yang menggembirakan. Hidup dalam
kehangatan kasih sayang di tengah keluarga yang saleh, membuat Yesus bertumbuh
menjadi orang yang penuh perasaan, peka terhadap orang lain. Hati-Nya penuh
dengan belas kasihan, sehingga tidak mengherankan kalau Lukas mengatakan bahwa
Yesus "makin dikasihi oleh Allah dan manusia". Itu berarti Yesus
bertumbuh secara utuh dan menjadi berkat. Ia hidup bagi kepentingan Tuhan dan
manusia. Ia menyadari bahwa hidup-Nya dibaktikan demi urusan-urusan Bapa-Nya.
Ia berkomitmen untuk terus melakukan ini hingga di atas salib, ketika Ia
menyerahkan diri-Nya kepada Bapa (Luk. 23:46). Namun, di sisi lain, Dia tidak
mengabaikan manusia. Yesus benar-benar telah bertumbuh secara fisik, pikiran,
perasaan, dan kerohanian-Nya hingga menjadi pribadi yang utuh dan dewasa.
Refleksi
Beberapa
pertanyaan refleksi:
·
Maria
dan Yusuf sangat patuh pada peraturan peribadatan. Mereka membangun keluarganya
berpusat pada ibadah dan berusaha menjaga keseimbangan antara melayani Tuhan
dan bekerja untuk hidup sehari-hari. Bagaimana dengan keluarga kita? Apakah
liturgi, khususnya Ekaristi, sudah menjadi puncak dan sumber kehidupan kita?
Bagaimana dengan ibadat keluarga di rumah?
·
Yusuf
dan Maria cemas mencari Yesus karena mereka merasa kehilangan Dia. Pernahkah
keluarga kita merasa kehilangan Yesus, merasa sepertinya Yesus tidak hadir
dalam keluarga kita? Apakah kita bersusah payah mencari-Nya? Ke mana?
Sebenarnya Yesus tidak pernah hilang karena Ia ada dalam Bait Allah, dan
seperti Paulus katakan, "Kamu adalah bait Allah" (1Kor. 3:16). Paulus
katakan "kamu" (jamak) bukan “engkau", artinya kita bersama
dalam persekutuan, keluarga domestik, merupakan bait Allah. Kita merasa
kehilangan mungkin karena kita kurang peduli dengan Dia atau terlalu menyepelekan
Dia.
·
Jika
seandainya kita kehilangan anak, ke mana kita akan mencarinya? Mungkinkah kita
akan menemukannya di gereja, ataukah di tempat-tempat hiburan dan permainan?
Mengapa anak-anak kita merasa lebih nyaman di diskotek atau tempat hiburan
daripada di gereja?
·
Jawaban
Yesus kepada Maria, "Mengapa kamu mencari Aku?" menyadarkan kita
bahwa Yesus bukanlah pertama-tama milik Maria dan Yusuf, melainkan milik Allah.
Pernahkah kita berpikir bahwa anak itu bukan obyek yang harus kita miliki,
melainkan subyek yang dipercayakan kepada kita? Apakah kita termasuk orangtua
yang terlalu mau mengontrol anak, mengatur, dan mengarahkannya sesuai dengan
kemauan kita tanpa mempedulikan keinginannya? Apakah kita kurang memberi
keleluasan kepada anak? Terkadang anak melangkah tidak sesuai dengan harapan
kita, tetapi apa yang dilakukannya itu bisa jadi merupakan langkah untuk berada
lebih dekat dengan Bapa di surga.
·
Maria
dan Yusuf menunjukkan kepada kita pentingnya pembinaan iman sejak usia dini.
Sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan berdoa, beribadat, dan membaca Kitab
Suci, baik itu melalui pembinaan di rumah maupun kegiatan bersama dalam
komunitas. Bagaimana dengan pendidikan anak kita? Apakah kita hanya
mementingkan pendidikan intelektualnya, dan kurang memperhatikan segi spiritual
dan sosialnya, sehingga anak-anak kita tidak bisa dewasa secara menyeluruh dan
dikasihi Tuhan dan sesama?***
4.
KELUARGA
SEBAGAI SARANA MENUJU KESUCIAN (Ef 5:21-6:4)
Perintah
“Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus”, berlaku bukan hanya bagi
Israel, namun juga umat Kristen dewasa ini. Tempat pertama yang diharapkan
membantu manusia mencapai kekudusan ialah keluarga. Relasi yang harmonis dan
sesuai dengan kehendak Tuhan di antara anggota keluarga merupakan jalan menuju
kekudusan. Salah satu teks yang sangat membantu kita dalam hal ini ialah Ef
5:21-6:4.
Ef.
5:21-6:4 berisi ajaran yang kaya sekali tentang perkawinan kristiani. Di
dalamnya bisa kita temukan dasar biblis pemahaman Gerej tentang perkawinan
sebagai sakramen dan hubungan cinta suami-istri yang menyerupai hubungan kasih
antara Yesus Kristus dengan jemaat-Nya. Mungkin benar sebagaimana diperkirakan
oleh banyakrang, Paulus mengambil pengajarannya ini dari tata relasi keluarga
besar (suami, istri, anak, dan budak) yang dipakai oleh budaya-budaya
sekitarnya pada abad pertama. Namun, harus kita akui bahwa Paulus telah memberi
warna baru terhadap relasi itu dengan menempatkan kasih Kristus sebagai
modelnya.
Perikop
ini terdiri dari nasihat kepada istri (5:22-24), kepada suami (5:25-32), kepada
suami-istri (5:3), dan nasihat kepada anak-anak (6:1-4) tentang bagaimana
mereka harus bersikap dalam membangun keluarga kristiani yang harmonis dan
sesuai dengan kehendak Tuhan. Nasihat ini sebenarnya dilanjutkan dengan nasihat
untuk budak dan tuan (6:5-9), namun tidak kita bahas karena dewasa ini keluarga
biasanya terbatas pada suami, istri, dan anak. Nasihat ini diawali dengan
nasihat yang berlaku untuk semua anggota komunitas agar saling merendahkan diri
(5:21) yang harus mendasari setiap relasi antarmanusia.
Nasihat
kepada Setiap Orang agar Merendahkan Diri (Ef. 5:21)
"Dan rendahkanlah dirimu
seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus."
Seluruh
anggota komunitas diminta oleh Paulus untuk saling merendahkan diri (Yunani: hypotassomai). Secara harfiah, hypotasso berarti "menaruh di
bawah", sedangkan hypotassomai
berarti "menempatkan diri di bawah" atau "tunduk". Dari
konteksnya jelas bahwa yang dimaksud di sini adalah takluk atau tunduk secara
sukarela. Merendahkan diri tidak sama dengan menjadi rendah diri, melainkan
rendah hati seperti yang dinasihatkan Paulus dalam Ef. 4:2, "Hendaklah
kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar," meskipun kata yang
dipakai di sini bukan hypotassomai melainkan
tapeinofrosune.
Kata
Yunani tapeinos yang biasa
diterjemahkan dengan rendah hati, dapat berarti rendah, miskin, tertindas,
lembut (2Kor. 7:6; 10:1). Dalam Perjanjian Lama ada tiga kata yang sering
dipakai untuk kerendahan hati yakni anaw
(miskin, menderita, rendah hati, lemah lembut), kana (malu, hormat), dan hapar
(malu). Ketiga kata ini mengandung makna dasar "tunduk" atau
"takluk". Orang tunduk karena ada kekuatan lain yang memaksanya, atau
karena ada kuasa yang keluar dari diri orang itu sendiri (merendahkan diri),
atau karena kemiskinan. Kemiskinan bisa mengakibatkan seseorang ditaklukkan
oleh orang yang mampu. Jadi, makna dasar kerendahan hati ialah meletakkan diri
di bawah orang lain, tunduk.
Bagi
Paulus, kerendahan hati sangat penting dalam membangun relasi yang harmonis. Ia
menganjurkan agar orang rendah hati seperti Yesus yang merendahkan diri-Nya
menjadi manusia. Inti kerendahan hati tiada lain menganggap yang lain lebih
utama daripada diri sendiri dan peduli akan kepentingan orang lain (Flp.
2:3-8).
Alasan
untuk tunduk atau merendahkan diri tersirat dari kata-kata yang menyusulnya,
"di dalam takut akan Kristus". Kata "takut" di sini
merupakan terjemahan kata Yunani phobos
yang sepadan dengan kata Ibrani yirah atau
kata kerja yare. Dalam Perjanjian
Lama, makna istilah "takut akan Tuhan" berkembang dari pengertian
harfiah ke pengertian sakral atau religius dan moral. Aslinya kata phobeomai berarti "takut"
dalam pengertian biasa, takut terhadap TUHAN yang kudus, dahsyat, dan
misterius. Namun, dalam perkembangannya, kata phobeomai banyak dipakai dalam arti devosi religius, ungkapan
kesalehan, dan penyembahan. Demikian orang kafir yang masuk agama Yahudi
disebut phoboumenoi ton theon, artinya orang-orang yang
takut akan Allah, yakni orang yang menyembah Allah (Kis. 13:16,26). Peralihan
ini bisa dimengerti mengingat keagungan dan kekudusan Allah menimbulkan rasa
kagum yang mengantar manusia kepada kerendahan hati dan selanjutnya
mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah serta menyembah-Nya.
Selain
itu, takut akan Tuhan juga sering dikaitkan dengan tingkah laku moral: hormat
dan taat kepada hukum Tuhan yang bergandengan dengan hormat terhadap hak dan
kebebasan orang lain (Kej. 20:11; Yer. 5:24-25). Pemakaiannya dalam arti ini
banyak kita jumpai dalam teks-teks kebijaksanaan, misalnya "takut akan
TUHAN adalah permulaan pengetahuan" (lih. Ams. 1:7,29;2:5;9:10;15:33; Ayb.
28:28; bdk. Mzm. 111:10; Yes. 11:2; 33:6).
Dalam
ayat ini, kata "takut akan Tuhan" tentu tidak dipakai dalam arti
harfiah, melainkan religius. Setiap anggota komunitas diminta saling
merendahkan diri, melihat kepentingan orang lain lebih utama daripada
kepentingannya sendiri, terdorong oleh rasa hormat, kagum, dan cinta kepada
Kristus. Cinta yang mengantarnya kepada kesatuan dengan Kristus membuatnya
melihat saudara-saudarinya sebagai bagian dari tubuh Kristus (4:25; 5:30). Dia
menghayati apa yang pernah Yesus katakan, "Sesungguhnya segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat. 25:40).
Nasihat
dalam ayat 21 ini dipakai untuk membantu dan mendasari pemahaman kita tentang
tata relasi yang disebutkari dalam 5:22-6:4.
Nasihat
untuk Istri agar Tunduk kepada Suami (Ef. 5:22-24)
Paulus
menunjukkan apa yang harus dilakukan istri (ayat 22a) dan bagaimana
melakukannya (ayat 22a-24). Dalam teks aslinya (Yunani), ayat 22 tidak
mempunyai kata kerja. Namun, dari konteksnya orang tahu bahwa kata kerja yang
diharapkan di sini ialah hypotassein artinya
tunduk (bdk. ayat 21), karena ayat 24 berbunyi, "Sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus." Jadi yang
harus dilakukan oleh istri ialah tunduk kepada suami, "Hai istri,
tunduklah kepada suamimu..." (ayat 22a).
Bagaimana
istri harus tunduk kepada suaminya disebutkan dalam kalimat yang menyusulnya,
"Seperti kepada Tuhan" (ayat 22b), artinya "Sebagaimana mereka
tunduk kepada Tuhan." Cara istri tunduk kepada suami harus analog atau
serupa dengan cara dia tunduk kepada Kristus, yakni secara tulus. Selain itu,
tunduknya istri kepada suami haruslah merupakan ungkapan tunduknya dia kepada
Kristus.
Alasan
mengapa istri tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan dijelaskan dalam ayat
23-24. Pertama-tama dikatakan "karena suami adalah kepala istri".
Metafor "kepala" dimaksudkan untuk menempatkan suami di atas istri.
Dalam tata hubungan keluarga besar zaman Paulus, posisi suami sebagai kepala
dianggap sebagai hukum kodrat. Budaya yang lebih luas pada masa itu pun
mengandaikan istri harus tunduk kepada suami. Misalnya, Aristoteles mengatakan,
"Hukum keluarga besar adalah monarki, karena setiap rumah ada di bawah
satu kepala" (Pol. 1.1255b; 1254ab). Dionisius dari Halicarnassus memuji
relasi keluarga besar Romawi karena menekankan ketaatan istri, anak, dan budak
(Ant. Rom. 2.24.3-2.27.4). Karena posisi suami di atas istri dalam tata hubungan
di keluarga besar, maka Paulus menasihati para istri untuk menempatkan diri
mereka di bawah suami mereka. Bagaimana suami menjadi kepala tidak dijelaskan.
Namun, yang jelas kita tidak bisa mempersempit makna "kepala" di sini
ke "mempunyai otoritas atas" sebagaimana nanti jelas dalam ayat
28-31.
Tata
urutan suami di atas istri diambil Paulus dari kisah penciptaan (Kej. 2) yang
menyatakan bahwa laki-laki diciptakan pertama, lalu perempuan dari rusuknya
(1Kor. 11:3,8-9; 1Tim. 2:12-13). Paulus tidak melihat tata urutan ini
bertentangan dengan kisah penciptaan dalam Kej. 1:27 yang menyatakan bahwa
laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah, sama-sama luhur,
sederajat.
Yang
mengejutkan ialah pernyataan Paulus, "Seperti Kristus adalah kepala jemaat"
(bdk. Ef. 4:15). Bagaimana sesuatu yang transenden (hubungan Kristus dan
jemaat) bisa dibandingkan dengan sesuatu yang manusiawi (relasi suami-istri)?
Membandingkan sesuatu tidak sama dengan menyamakan sesuatu. Sebuah analogi atau
perbandingan selalu mengandung kesamaan, tetapi sekaligus juga perbedaan.
Paulus menyadarkan kita bahwa ada perbedaan di antara suami sebagai kepala
istri dan Kristus sebagai kepala jemaat. Perbedaan itu terletak dalam
pernyataan, "Dialah yang menyelamatkan tubuh" (ayat 23c). Peran Yesus
dalam relasi-Nya dengan jemaat lebih besar daripada peran suami terhadap istri.
Yesus bukan saja menjadi kepala, melainkan juga penyelamat. Meskipun ada
perbedaan itu, Paulus tetap membandingkan tunduknya jemaat kepada Kristus
dengan tunduknya istri kepada suami. "Tetapi sebagaimana jemaat tunduk
kepada Kristus demikian jugalah istri (harus tunduk) kepada suami dalam segala
sesuatu" (ayat 24).
Dapatkah
kita menyamakan istri dengan anak dan budak yang dituntut untuk tunduk? Kata hypotassein mempunyai makna
"tunduk", "takluk". Dalam Tit. 2:9 dan 1Ptr. 2:18 hypotassein dipakai baik untuk budak
maupun untuk istri. Selain itu, 1Ptr. 3:1,5-6 memakai kata "tunduk"
dan "taat" secara bergantian. Peralihan dari "tunduk" ke
"taat" dalam Ef. 5-6 hanyalah gaya. Istri diminta melakukan hal yang
sama seperti anak dan budak, yakni tunduk dan taat. Tunduk di sini bukanlah
tunduk yang pasif karena suatu kewajiban, melainkan tunduk secara sukarela dan
tulus sebagai jawaban cinta.
Istri
diminta tunduk kepada suami "dalam segala hal", bukan dalam arti
mutlak tanpa kecuali, melainkan sebagai pernyataan prinsip. Buktinya, ketika
Paulus berbicara tentang kewajiban suami terhadap istrinya, ia mengatakah,
"Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian
pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya" (IKor.
7:4). Jika suami meminta melakukan sesuatu dan si istri tahu bahwa hal itu dosa
maka ia tidak perlu menaatinya. Seperti dikatakan oleh Paus Pius XI,
"Ketertundukan di sini tidak menyangkal atau mengambil kebebasan yang
sepenuhnya menjadi milik perempuan karena keluhurannya sebagai pribadi
manusiawi... istri juga tidak terikat untuk menaati setiap permintaan suaminya
jika hal itu tidak sesuai dengan alasan yang benar atau keluhurannya sebagai
istri..." (Casti connubii, 27).
Paulus
memang mengambil tata hubungan suami-istri yang dianut paham tradisional, namun
pendekatannya terhadap perkawinan berbeda dengan apa yang dianut masyarakat
sekelilingnya. Tunduknya istri kepada Kristus dalam Gereja merupakan model
untuk tunduknya istri kepada suami dalam keluarga besar. Di sinilah perbedaan
etika Kristen dan etika dalam budaya pada umumnya.
Perintah
kepada Suami: Kasihilah Istrimu Sebagaimana Kristus Telah Mengasihi Jemaat (Ef.
5:25-32)
Ef.
5:25-32 berbicara tentang apa yang harus dilakukan suami terhadap istrinya dan
bagaimana melakukannya. Berdasarkan dua perintah dalam ayat 25 dan 28 yang
menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh suami, perikop ini bisa kita bagi
dalam dua bagian: ayat 25-27 dan ayat 28-32, yang masing-masing memberikan
model yang menggambarkan bagaimana suami harus mencintai istri.
·
Model pertama: kasih Kristus
terhadap Gereja yang diungkapkan dengan pengurbanan diri (ayat 25-27)
Yang
harus dilakukan suami adalah mengasihi istrinya (ayat 25a). Bagaimana?
Sebagaimana Kristus telah mengasihi, yakni memberikan diri-Nya untuk jemaat
(ayat 25b). "Mengasihi" di sini bukan soal cinta yang romantis atau
erotis, melainkan agape. Cinta yang
romantis itu cinta yang berlandaskan keinginan yang muncul secara alami dan
diungkapkan dengan keintiman hubungan suami-istri, sedangkan agape itu cinta yang lahir dari pilihan
kehendak dan tidak tergantung pada layak tidaknya seseorang ataupun jawaban
orang yang dicintai. Meskipun lahir dari kehendak, agape melibatkan seluruh keberadaan manusia, termasuk emosinya.
Jadi, perintah "cintailah istrimu" dapat dikalimatkan dengan,
"Suami-suami, pasanglah hatimu pada istrimu: hormati, hargai, dan
peliharalah mereka. Bersikap mesralah terhadapnya dan carilah
kebaikan-kebaikannya".
Paulus
tidak memberikan detail atau hal-hal
praktis bagaimana suami harus memperlakukan istrinya, melainkan teladan yang
harus ditiru dalam mengasihi: sebagaimana Kristus telah mengasihi, yakni
memberikan diri-Nya untuk jemaat (ayat 25b). Seperti Yesus yang rela mati di
salib, demikian hendaknya para suami rela menyerahkan hidup bagi istri mereka.
Mati secara harfiah bagi istri mungkin jarang dilakukan oleh suami, namun mati
bagi istri dalam pengertian mati terhadap diri sendiri dengan mengutamakan
kepentingan istri bisa dilakukan setiap hari. Suami diminta menyangkal diri
seperti ia meminta istri menyangkal diri mereka dengan menundukkan diri di
bawah suami mereka (Ef. 5:22,24).
Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru sering membandingkan hubungan Tuhan dan umat-Nya
(Israel atau Gereja) seperti hubungan perkawinan (Yes. 54:4-8;62:4-5; Yeh. 16;
Hos. 2:16-20). Dalam hubungan ini mempelai laki-laki surgawi mengurbankan
diri-Nya untuk tiga tujuan yang saling berkaitan.
Pertama, untuk menguduskannya, sesudah
Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman (ayat 26).
Menguduskan berarti memisahkan seseorang atau sesuatu dari apa yang profan dan mengkualifikasi orang atau objek itu
untuk Allah. Cara yang dipakai ialah melalui baptisan ("dibenamkan dalam
air", Kis. 22:16; 1Kor. 6:11; Tit. 3:5) dan "firman", maksudnya
dengan pesan injil (Ef. 1:13; Yoh. 15:3; 17:17; 1Kor. 6:11; Ibr. 10:22),
pengakuan iman yang dibuat oleh para baptisan baru (Rm. 10:9-10) atau rumusan
yang dipakai dalam pembaptisan. Singkatnya, Yesus mengurbankan hidup-Nya supaya
melalui sabda Allah dan pembaptisan kita dapat menjadi umat yang kudus, yang
pantas bagi Allah.
Kedua, untuk "menempatkan jemaat
di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa
itu" (ayat 27a). Menurut kebiasaan kuno di Timur Dekat, dan kini masih
dipraktikkan di beberapa tempat, upacara perkawinan dibuat dalam dua tahap. Pertama, pertunangan. Pada saat itu
kontrak ditandatangani dan sejak itu laki-Iaki dan perempuan sah secara hukum
sebagai suami-istri. Kedua, saat
ketika mempelai perempuan dibawa ke rumah mempelai laki-laki dan diserahkan
kepadanya. Sejak itu mereka mulai hidup bersama sebagai suami-istri. Setelah
upacara persiapan itu barulah perayaan pokoknya dimulai.
Pada
tahap kedua itu, ada upacara memandikan mempelai perempuan dengan minyak wangi
agar ia bersih sebersih muhgkin dan cantik secantik mungkin (lihat Yeh.
16:8-14). Paulus membandingkan upacara mandi yang mempersiapkan mempelai wanita
bersatu dengan mempelai laki-Iaki itu dengan upacara pembersihan umat Allah
melalui baptis dan firman. Namun, ada yang istimewa di sini. Yang memandikan
mempelai wanita bukanlah pelayannya atau keluarganya, seperti yang lazim waktu
itu, melainkan mempelai laki-laki itu sendiri. Dengan perbuatannya itu,
mempelai laki-laki, yakni Kristus, menempatkan dirinya di posisi yang lebih
rendah (bdk. Flp. 2:6-8). Selain itu, kalau dalam 2Kor. 11:2 bapa mempelai
wanita berperan menampilkan jemaat kepada Kristus, di sini Kristus sendiri
menampilkan mempelai wanita kepada diri-Nya, mempelai laki-Iaki. Yesus
membersihkan mempelai-Nya (jemaat), sehingga mereka bisa hadir di hadapan-Nya
sebagai yang mulia, yang tidak memiliki noda atau cacat atau kerut sehingga ia
menjadi kudus dan tak bercela.
Gambaran
yang diberikan Paulus ini mengingatkan kita akan peristiwa Yesus membasuh kaki
para murid-Nya (Yoh. 13:1-7). Dengan menampilkan kerendahan hati dan cinta
Yesus, Paulus menunjukkan kepada para suami bagaimana "tunduk" (5:21)
dan melayani istri.
Menurut
Gereja, perayaan inti perkawinan setelah upacara persiapan di atas akan terjadi
di masa yang akan datang, ketika Kristus kembali untuk menyatakan mempelai-Nya
sebagai milik-Nya, dan umat-Nya akan ambil bagian dalam "pesta pernikahan
Anak Domba" (Why. 9:9). Meskipun pemenuhannya terjadi di masa depan,
Kristus sudah merawat mempelai-Nya dengan sakramen-sakramen dan karunia Roh
(5:29). Pengurbanan Yesus di salib, yang buahnya kita terima melalui baptis,
menyucikan kita, dan karunia Roh-Nya menghiasi kita dengan semarak-Nya (bdk.
Yeh. 16:14).
Ketiga, "supaya jemaat kudus dan
tidak bercela" (ayat 27b; bdk. 1:4). Tujuan ini mengulang tujuan pertama
(menguduskan jemaat), namun di sini tekanannya ada pada kekudusan sebagai
privilese jemaat. Setiap mempelai perempuan ingin tampil secantik mungkin pada
hari pernikahannya. Yesus sudah mempersiapkan mempelai-Nya untuk bisa menghias
dirinya dengan keindahan kekudusan, dengan tingkah laku dan sifat yang akan
menjadi dandanan dan hiasannya dalam pesta perkawinan Anak Domba (lihat Why.
19:7-8). Yesus memberikan diri-Nya sebagai kurban baik untuk membersihkan kita
maupun untuk memberi kita kuasa agar dapat menghidupi kekudusan.
·
Model kedua: mengasihi istri sama
seperti tubuh sendiri (ayat 28-30)
Model
kedua perihal cara suami mengasihi istri ialah "memelihara istrinya
seperti memelihara tubuhnya sendiri (ayat 28a). Orang yang normal tidak akan
membenci tubuhnya sendiri, melainkan mengasuhnya dan merawatnya (ayat 29).
Suami-suami hendaknya sebanyak mungkin memikirkan kebaikan istrinya sebagaimana
ia memikirkan kebaikan dirinya. Sesungguhnya, "Siapa yang mengasihi
istrinya mengasihi dirinya sendiri" (ayat 28b). Dalam hal ini pun suami
harus meneladani Yesus, "Sama seperti Kristus terhadap jemaat" (ayat
29b). Jemaat yang dimaksud oleh Paulus di sini adalah "kita", yakni
kumpulan umat yang percaya yang membentuk satu tubuh, tubuh milik Kristus (ayat
30).
Bagaimana
Yesus mengasuh dan merawat jemaat-Nya? Kata Yunani ‘ektrefoi yang diterjemahkan dengan "mengasuh",
sebenarnya secara harfiah berarti "memberi makan". Kristus memberi
kita makan dengan sabda Allah dan tubuh-Nya sendiri daiam Ekaristi (Mat. 4:4;
Yoh. 6:51-58). Kata Yunani thalfo
mempunyai arti "memelihara", "merawat';
"menghangatkan" Kedua kata ini mengandung makna emosional,
mengungkapkan kelembutan hati dan perhatian, seperti perbuatan seorang ibu
terhadap anaknya (bdk. 1Tes. 2:7). Kristus memelihara kita dengan menyediakan
kebutuhan-kebutuhan kita, mendengarkan doa-doa kita, dan tetap dekat dengan
kita (Mat. 28:20).
Kesatuan
Suami dan Istri, Kristus dan Gereja (Ef. 5:31-32)
"Sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah
hubungan Kristus dan jemaat."
Paulus
mengutip Kej. 2:24, ayat yang menjelaskan asal dan arti perkawinan. Kej. 2:24
dan Ef 5:31 mengajarkan bahwa perkawinan, yang disempurnakan dalam hubungan
seksual, menyatukan suami dan istri menjadi satu entitas, satu daging, satu tubuh.
Meskipun mereka tetap dua pribadi yang berbeda, keduanya kini berbagi satu
hidup, membentuk satu keluarga. Allah membuat mereka menjadi satu (Mrk. 10:9).
Karena itu, sudah sepantasnya pula suami mencintai istri "seperti tubuhnya
sendiri".
Pernyataan
bahwa suami adalah "kepala istri" (5:23) kini menjadi jelas. Kata
"kepala" tidak boleh dipersempit dalam arti memiliki "otoritas
atas", seperti dalam istilah "kepala pemerintahan" misalnya.
Sebaliknya, karena "kepala" dikaitkan dengan "tubuh'; maka yang
ditekankan di sini adalah kesatuan keduanya dan hubungan ketersalingan mereka.
Apa yang menguntungkan seseorang, akan menguntungkan yang lain. Apa yang
merusak yang satu, juga akan merusak yang lain. Kepala tidak dapat bermngsi
tanpa tubuh, demikian juga sebaliknya. Jadi, harus ada kerja. sama. Ikatan
perkawinan juga tidak terpisahkan, karena seperti memisahkan kepala dengan
tubuh yang berarti mengakhiri hidup. "Karena itu, apa yang disatukan oleh
Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia" (Mat. 19:6).
"Rahasia
ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat"
(ayat 32). Maksud perkataan ini, perkawinan manusia yang ditetapkan dalam kisah
penciptaan kini menunjuk ke realitas yang lebih besar, yakni perkawinan Kristus
dengan jemaat. Keduanya menjadi satu tubuh.
Nasihat
Penutup (Ef. 5:33)
"Bagaimanapun juga, bagi
kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri
hendaklah menghormati suaminya".
Ayat
ini meringkas apa yang sudah disampaikan sebelumnya. Pertama-tama Paulus
menyampaikan nasihatnya kepada setiap suami ("kamu masing-masing")
bahwa mereka harus mengasihi istri mereka seperti diri mereka sendiri (ayat
33). Perintah ini menggemakan perintah Yesus untuk mencintai sesama seperti
diri sendiri (Mat. 22:39; bdk. Im. 19:18). Kemudian kepada istri-istri, Paulus
tidak mendesak mereka untuk "tunduk" melainkan untuk
"menghormati suaminya". Kata menghormati di sini secara harfiah
sebenarnya berarti "takut", namun takut dalam arti hormat dan
mengagumi orang yang berada di atas kita (Luk. 1:50; Rm. 13:7; 1Ptr. 2:17).
Nasihat
untuk Anak-anak dan Orangtua (Ef. 6:1-4)
Anak-anak
dinasihati untuk menaati orangtuanya "di dalam Tuhan, karena haruslah
demikian". Menaati merupakan bentuk takluk yang mencakup baik mendengarkan
pengajaran maupun mengikuti perintah. Mereka harus menaatinya "di dalam
Tuhan" artinya sebagai ungkapan relasi mereka dengan Yesus. "Karena
haruslah demikian" artinya karena hal itu sesuai dengan kehendak Allah,
seperti tertulis dalam hukum Musa, "Hormatilah ayahmu dan ibumu"
(Kel. 20:12; Ul. 5:16).
Perintah
ini penting karena inilah perintah pertama yang disertai dengan janji,
"Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi". Banyak
pengalaman telah membuktikan bahwa menghormati orangtua memberikan kepada
seseorang umur panjang dan kese)ahteraan. Semua janji Allah ini akan menemukan
pemenuhannya dalam Yesus (2Kor. 1:20). Mereka yang menghormati orangtuanya di
dalam Tuhan, tetapi ternyata mati muda atau sangat menderita dalam hidupnya,
tidak dianggap bertentangan dengan hukum ini. "Umur panjang di bumi"
dimengerti sebagai bentuk hidup abadi dalam Kerajaan Allah (Mat. 5:5; Rm.
4:13).
Bagaimana
tanggung jawab ayah terhadap anak-anaknya? Mereka diminta untuk tidak
"membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu" (6:4a). Misalnya,
mungkin dengan menerapkan otoritasnya secara kasar, kurang menyenangkan, atau
mungkin terlalu menuntut si anak. Sebaliknya, mereka diminta untuk mendidik
"di dalam ajaran dan nasihat Tuhan". Inilah tanggung )awab terbesar
orangtua: mendidik anak-anak sebagai murid Yesus. Mendidik di sini dipakai
dalam arti seluruh proses pendidikan dan pembentukan dalam hidup. Mereka wajib
mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anak mereka (Ams. 13:24;19:18) dan
mengajarkan firman Tuhan kepada mereka (Ul. 6:4-9,24).
Refleksi
·
Sama dan tunduk
Nasihat
Paulus agar istri tunduk kepada suami sepertinya tidak relevan bahkan
bertentangan dengan gagasan kesetaraan yang didengung-dengungkan dewasa ini dan
oleh Paulus sendiri dalam Gal. 3:28. Namun, bila disimak lebih dalam, kesamaan
dan kesetaraan yang diwartakan oleh Paulus dalam Gal. 3:28 tidak bermaksud
menyangkal perbedaan gender, etnis, maupun sosial, melainkan menekankan
kesatuan dan kesamaan orang Yahudi dan non-Yahudi di hadapan Allah. Semuanya memperoleh
pembenaran dan keanggotaan yang penuh dalam umat Allah melalui iman akan
Kristus. Kesatuan dan kesamaan keluhuran kita dalam Kristus tidak menghapus
perbedaan. Sebaliknya perbedaan perlu untuk saling melengkapi (1Kor. 12:12-28).
Bila
kita baca teks Ef. 5:2-10:32 secara keseluruhan, tentu tidak sulit menerima
perintah "tunduk" kepada suami, karena konteksnya suami mengasihi
istri. Selain itu, suami juga harus merendahkan diri dan melayani istri, bukan
bersikap main kuasa. Apalagi dalam ayat 21 dianjurkan agar setiap orang saling
merendahkan diri. Tapi bagaimana kita bisa menghubungkan kesamaan dan tunduk?
Gagasan
kesamaan dan tunduk perlu dilihat dalam terang relasi yang terdapat dalam
pribadi-pribadi Allah Tritunggal, khususnya antara Bapa (Allah) dan Putra
(Kristus). Dalam 1Kor. 11:3, Paulus menggambarkan hubungan perempuan dan
laki-Iaki seperti hubungan Kristus dan Allah, "Kepala dari perempuan ialah
laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah". Gambaran kepala di sini
jelas menunjukkan tunduknya Kristus pada Allah, seperti nyata pula dalam 1Kor.
15:28, "Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus,
maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia".
Tunduknya Kristus pada Allah hanyalah untuk menunjukkan perbedaan peranan yang
terdapat dalam Allah Tritunggal dan perbedaan relasi di antara mereka,
sedangkan masing-masing pribadi itu memiliki kodrat yang sama. Perbedaan,
bahkan takluk-Nya Putra kepada Bapa, sama sekali tidak meniadakan kesamaan
fundamental mereka. Oleh karena itu, persekutuan Allah Tritunggal patut menjadi
model persekutuan semua anggota Gereja, khususnya persekutuan antara suami dan
istri dalam perkawinan. Suami dan istri tetap sama dan sederajat, meskipun
suami adalah kepala istri.
·
Perbedaan istri dan suami
Paulus
meminta istri untuk tunduk (ayat 21) dan hormat (ayat 33) kepada suami,
sedangkan para suami diminta untuk mengasuh (memberi makan) dan merawat istri
(ayat 29). Mengapa ada perbedaan seperti itu, apakah tidak cukup bahwa relasi
mereka dibangun atas dasar saling merendahkan diri? Perbedaan ini mungkin
merefleksikan perbedaan kebutuhan laki-Iaki dan perempuan. Laki-laki lebih
membutuhkan hormat, sedangkan perempuan lebih membutuhkan perhatian dan
kehangatan. Suami merasa nyaman dan bahagia ketika istrinya menunjukkan rasa
hormat kepadanya, percaya dan mengandalkan dia. Sebaliknya istri merasa bahagia
ketika suaminya menempatkan kebutuhannya sendiri sesudah kebutuhan istrinya.
Apakah memang demikian?
·
Kewajiban dan bukan hak
Ketika
membahas hubungan suami-istri, Paulus hanya menunjukkan tanggung jawab
masing-masing pihak dan bukan hak-hak mereka. Hal ini tidak berarti bahwa ia
tidak peduli dengan hak masing-masing pasangan. Yang mau dia tekankan ialah
agar masing-masing pihak melakukan tanggung jawabnya masing-masing tanpa
syarat. Dia tidak meminta suami mencintai istrinya jika si istri menghormati
dan tunduk kepadanya. Ia juga tidak menyuruh istri-istri untuk tunduk kepada
suami mereka jika suami mereka mengasihi dan mengurbankan dirinya untuk mereka.
Bagaimana dengan relasi dalam keluarga kita? Apakah masing-masing pihak lebih
memikirkan kewajiban orang lain daripada tanggung jawabnya sendiri? Menuntut
orang lain berubah, dan bukan dirinya sendiri?
·
Kuasa dan kerendahan hati
Dalam
keluarga perlu ada tata susunan relasi. Ada yang menjadi kepala dan ada yang
menjadi tubuh. Tidak bisa semuanya menjadi kepala. Namun, meskipun ada
perbedaan itu, pusat perhatian masing-masing anggota keluarga, khususnya suami,
bukanlah menunjukkan otoritasnya, melainkan merendahkan diri, melihat
kepentingan orang lain lebih dari kepentingannya sendiri.
·
Kewajiban orangtua mendidik anak
Perubahan-perubahan
nilai dalam budaya modern cenderung mendorong anak kurang menghargai dan
menghormati orangtuanya. Selain itu, tanggung jawab orangtua untuk mendidik
anak di dalam Tuhan juga menjadi tugas yang sulit dijalankan, padahal itu
sangat vital. Ketika dunia dan media massa menawarkan nilai-nilai yang berbeda
bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kristiani, orangtua diharapkan mampu
memberi pengarahan agar anak tidak bingung dalam memilih jalannya. Adanya
sekolah Katolik dan katekese di paroki tidak menggantikan peran orangtua
sebagai yang pertama mendidik anak-anaknya dalam hal keagamaan.
Banyak
orangtua telah menyadari tanggung jawab mereka memperkenalkan liturgi,
sakramen, katekismus, dan rosario kepada anak-anaknya, tetapi mengapa begitu
sedikit yang sudah memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anaknya? Orangtua
dapat belajar berbicara tentang firman Tuhan dengan anak-anak mereka dan
membangun keluarga yang mempunyai kebiasaan mengakui pentingnya dan kudusnya
Kitab Suci, misalnya dengan membiasakan diri membuat ibadat keluarga memakai
buku yang sudah diterbitkan oleh LBI. Orangtua dapat memakai
kesempatan-kesempatan atau perayaan-perayaan khusus, seperti Natal, Paskah, dan
Pentakosta untuk menerangkan iman Katolik dari Kitab Suci.***