Liturgical Calendar

SIAPA YANG BERHAK MENYEBUT NAMA ALLAH?

Umat Islam Malaysia melancarkan kampanye pelarangan bagi umat Kristen memakai nama "Allah" untuk menyebut Tuhan. Alasannya, "Allah" adalah nama diri yang tidak bisa diikuti dengan kata milik "ku", "mu", dan "nya". Sedangkan umat Kristen biasa merangkai kata milik untuk "Allah" sehingga terbiasa mengucapkan kata Allahku, Allahmu, Allahnya. Alasannya, umat Kristen meyakini doktrin, Yesus sama dengan Allah. Bagi umat Islam Malaysia, sebutan ini adalah pelecehan kepada Allah, Tuhan semesta alam, sehingga pemakaian kata Allah oleh pihak Kristen dikhawatirkan bisa membingungkan dan "menipu" umat Islam. Kita akan melihat sekilas pemetaan silang pendapat mengenai asal-usul nama Allah berikut ini.

Dalam Islam
Sebelum Islam berkembang sebagai agama definitif yang diproklamirkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan syahadat ”La Ilahila Allah", nama Allah telah jauh dikenal di dunia Arabia. Dalam Ensiklopedi Islam diuraikan, kata Allah sudah dikenal masyarakat Arab sebelum Islam. Itu terlihat dari nama mereka, seperti nama Abdullah (Abdi Allah). Sejarah menunjukkan, pada masa Nabi Muhammad SAW terdapat orang-orang yang menganut agama wahyu sebelum Islam, yang hanya menyembah Allah SWT, sebagaimana dilakukan kaum Hanif. Kaum Hanif adalah orang-orang yang diyakini hidup sebelum Islam, dan dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang benar keyakinannya. Hanif adalah sebutan untuk kaum monoteis yang tidak memeluk agama tertentu dan tinggal dan tinggal di Jazirah Arabia. Selanjutnya, dijelaskan bahwa konsep masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekah, mengenai Allah SWT dapat diketahui melalui Al-Qur'an.

Allah SWT bagi Islam adalah pencipta langit dan bumi yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan. Dalam ilmu khalam (teologi Islam), istilah "Allah" telah mengalami perluasan makna. Bahkan, banyak kemiripan dengan konsep teologi yang ada dalam Yudaisme. Menurut Ahmad Roestandi, "Allah" nama sebutan yang tercantum dalam Alquran bagi Dzat Tuhan Maha Pencipta, Dzat Yang Mahaabdi, digunakan oleh seluruh umat Islam dari segala bangsa dan bahasa.

Dalam Al-Qur’an, kata "Allah” disebut sebanyak 2.679 kali, semuanya dalam bentuk mufrad (singular, tunggal) karena lafzhul jalalah (lafal yang agung) ini adalah Esa dan Mutlak, sesuai ayat Al-Qur’an berikut : "Katakanlah: Dialah Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia" (Qs Al-Ikhlash 1-4).

Dalam bahasa Arab, kita menemukan di dalam Kitab Suci Al-Qur'an kata "Allah". Kata ini sama dengan kata dalam bahasa Ibrani "Eloah" (bentuk singular/tunggal), tetapi orang Yahudi menyebutnya dalam bentuk jamak/plural "Elohim". Kata "Allah” lebih dekat dengan kata bahasa Aram 'Alaha' yang digunakan oleh Yesus sendiri (Nabi Isa Alaihissalam).

Satu nama
YHWH sebagai salah satu nama Allah dalam Kristen, muncul pertama kali saat Ia memanggil Musa (Keluaran 3:13-15). YHWH adalah nama Allah untuk menyebut khusus satu suku bangsa, yaitu Israel. Nama tersebut bukan sebutan wajib untuk seluruh umat manusia dan semua suku bangsa. Bangsa Israel tidak pernah mengucapkan nama YHWH sebagai Yahweh, Yehuwah, Yahuwah atau Yehovah.

Dalam pengucapan nama YHWH, orang Israel menggunakan pengganti, antara lain Ha Shem (Sang Nama), Adonay (Tuanku atau Tuhanku). Mereka tidak mengucapkan YHWH mungkin karena lebih mementingkan relasi atau hubungan dengan Dia. Hal terpenting adalah bahwa Allah itu Mahakuasa, Mahaadil.

Amos 9:7 dan Yes 44:28 berbicara tentang Allah (YHWH) dari dan bagi semua suku bangsa. Kej 16:10-11, Kejadian 12:1, Kej 17:20, Kej 21:13 tentang Allah (YHWH) mengasihi Ismael dan keturunannya.

Hal lain berkaitan dengan nama YHWH adalah bahwa nama tersebut mengandung makna selama-lamanya (Mzm 113:2 dan Bi 25:10-13), turun-temurun (Kel 3:15a), Kurios (bahasa Yunani) memiliki arti sama dengan Tuhan. Kata ini sama dengan Yahwe (bahasa Ibrani, Perjanjian Lama). Theos (bahasa Yunani) berarti Allah sama dengan El, Elohim, dan Eloah dalam Perjanjian Lama.

Tuhan tidak mengutamakan penyebutan nama-Nya (Yes 1:14, 1 Raj 8:27). Allah mengizinkan diri-Nya dipanggil dengan berbagai nama. Dengan demikian, tidak terbatas pada nama atau sebutan YHWH. Sebutan atau nama Allah, yaitu El (kuat, besar, dan kuasa) sebanyak 250 kali dalam Alkitab. El Shadday (Allah yang Mahakuasa, Kej 17:1). El Bethel (Allah menampakkan diri di Bethel, Kej 31:13).

El Elyon (Allah Mahatinggi, Kej 14:19-20, Kel 32:8-9). Eloah (dalam El aku bersumpah), nama ini tertulis 57 kali dalam Alkitab (Ayb, Hab 3:3, Neh 9:17, Mzm 18:32a). Elohim (ungkapan kata jamak dari Eloah) tertulis 2.570 kali (Kej l:26a, Kel 20:3, Ul 5:9 dan lain-lain). Dengan demikian, Allah tidak membatasi diri-Nya dengan sebutan satu nama saja (YHWH).

Perlukah diganti?
Allah sebagai objek penyembahan adalah satu. Allah berakar dari sesembahan Abraham, Ishak, dan Yakub (monoteisme). Perbedaan terletak pada konsep ajaran tentang Allah dan hal ini tidak perlu diperdebatkan.

Rasul Paulus menuliskan hal ini seperti 'tidak ada berhala di dunia ini', 'memang benar ada banyak allah' dan ada banyak 'tuhan' namun bagi kita hanya ada satu Allah (Elohim) seperti tertulis di 1 Kor 8:4-6 dan Yoh 3:16.

Penggantian nama Allah bukan sesuatu yang mendesak dan penting. Allah pencipta bukan monopoli satu bangsa saja. Kis 2:9-10 menuliskan, ketika Roh Kudus tercurah pada Hari Raya Pentakosta, para murid berbicara bahasa dan istilah orang Persia, Median, Mesopotamia, Roma, dan bangsa-bangsa lain. Jelas pada waktu itu bangsa-bangsa non Yahudi mempergunakan nama Yang Ilahi sesuai dengan bahasa mereka masing-masing.

Seluruh Asia Barat Daya Kuno (Semitik) pada zaman sebelum Abraham, istilah El, Eloah (jamak = Elohim) telah dikenal. Nama Yahwe bukan monopoli keturunan Abraham (bangsa Israel) tetapi bangsa lain sudah mengenalnya. Contohnya, Yitro (mertua Musa) asal Median, Akhis (Raja Filistin) menyebut nama Yahwe (1 Sam 29:6), inskripsi Samaria menuliskan nama Yahwe yang dikaitkan dengan konotasi pagan (non-monoteisme) dan Dewa Asyera.

Yesus tidak mengutamakan sebutan nama Allah (Mat 7:22 dan Mat 25:34-36). Injil Kerajaan Allah diberitakan dalam berbagai bahasa manusia (Kis 2:8-11). Tuhan melihat hati bukan sisi lahiriah (ucapan) belaka, seperti tertulis di Mat 7:21, Yer 4:4, Kol 2:11. Tuhan muak jika seseorang hanya mementingkan hukum Taurat secara lahiriah (Yes 1:11-16). Nama Allah di Negara Timur Tengah baik Kristen maupun non-Kristen tidak menjadi persoalan. Mereka memakainya dalam konotasi yang positif (Sang Khalik).

Nama umum
Agama Kristen masuk ke Indonesia sejak abad ke-16. Nama Allah telah diadaptasi oleh kekristenan di Indonesia melalui teks terjemahan Kitab Suci berbahasa Melayu, sampai berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia hingga saat ini.

Kata "Allah" tersebut berasal dari singkatan Al-Ilah yang bermakna sesembahan (God, as the one and only) sebagai nama umum, bukan nama diri. Pengertian kata tersebut dalam bahasa Ibrani, yaitu 'Sang', Elah, dan Alaha dari bahasa Arab. Beberapa kitab para nabi tertulis dalam bahasa Aram, seperti dalam Dan 2:19 nama Allah tertulis Elah yang berarti Allah esa untuk seluruh bumi dan bangsa.

Karena nama 'Allah' sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, maka tepat kalau Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dan Lembaga Biblika Indonesia (LBI) menggunakannya sebagai padan kata 'El, Elohim, Eloah' maupun 'Theos' karena kata ini bukan terjemahan, melainkan perkembangan dialek yang asli. Berbeda dengan kata 'God' yang merupakan terjemahan.

Dalam terjemahan Injil bahasa Melayu dan Indonesia, kata 'Allah' sudah digunakan terus-menerus. Penyebutan nama Tuhan oleh Islam dan Kristen dengan "Allah" patut disyukuri dan jangan dipermasalahkan. Yang terpenting, setiap pemeluk agama memahami hakikat esensial Allah yang diimaninya dan menghayatinya dalam hidup.

Penyebutan nama yang sama pada suatu wujud tertinggi dari tiap agama dengan nama "Allah" dapat menjadi sarana dialog untuk menjalin kesatuan, persaudaraan, toleransi, dan kerukunan. Sebab, meskipun masing-masing agama memiliki cara peribadatan, cara pemahaman yang berbeda tentang Tuhan, tetapi semuanya mengimani Allah yang satu dan sama.

Pemahaman dan penggunaan kata Allah jangan menimbulkan konflik dan perpecahan. Pakar Islamologi Bambang Noorsena, alumni Perguruan Tinggi terkemuka di Mesir dalam tulisannya berjudul "Soal Kata 'Allah': Pentingnya Pelacakan Filologis dan Makna Teologisnya," mengatakan, jangan menyalahkan orang lain yang menyebut nama Allah atau Yahweh dan jangan sampai karena soal nama ini, pelayanan seseorang menjadi kontra produktif.

Penyebab konflik antarumat beragama antara lain karena masing-masing umat beragama bersikap eksklusif, menganggap agamanya paling benar dan agama lain salah, tidak memahami ajaran iman keagamaannya sendiri, dan tidak terbuka untuk memahami iman keagamaan orang lain. Orang yang bersikap inklusif, mengerti, dan menghayati iman keagamaannya sendiri dan terbuka untuk memahami iman kepercayaan orang lain, akan lebih terbuka, lebih menerima orang lain, tidak arogan, mudah diajak kerjasama dan dialog.