Pada Hari
Minggu Adven IV ini, Injil (Mat 1:18-24) menceritakan kepada kita tentang
peristiwa-peristiwa yang mendahului kelahiran Yesus, penginjil
Matius menyajikan mereka dari sudut pandang Santo Yusuf, suami pertunangan Perawan Maria.
Yusuf dan
Maria tinggal di Nazaret
tetapi mereka masih tidak hidup
bersama karena upacara pernikahan masih belum terjadi.
Sementara itu Maria, setelah menerima pengumuman Malaikat, mengandung oleh karya Roh Kudus.
Ketika Yusuf menyadari bahwa Maria sedang mengharap ia bingung. Injil
tidak menjelaskan kepada kita apa pikirannya tetapi memberitahu kita hal penting : ia mencoba melakukan kehendak Allah
dan bersiap untuk penolakan paling radikal.
Alih-alih membela diri dan menuntut hak-haknya, Yusuf memilih sebuah
jalan keluar yang melukiskan sebuah
pengorbanan yang besar sekali baginya. Dan Injil mengatakan:
"Karena ia seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama
isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (1:19).
Kalimat singkat ini meringkas
sebuah drama batin yang sesungguhnya, jika kita
berpikir tentang kasih yang dimiliki Yusuf bagi Maria! Tetapi malahan keadaan demikian
Yusuf ingin melakukan
kehendak Allah
dan memutuskan, tentunya dengan duka
yang mendalam, untuk berpisah dengan Maria secara diam-diam. Kita harus merenungkan kata-kata
ini untuk memahami pencobaan yang
dialami Yusuf pada
hari-hari yang mendahului kelahiran
Yesus. Itu merupakan pencobaan serupa
dengan pengorbanan yang dimintakan pada Abraham saat Allah memintanya bagi anaknya Ishak (bdk. Kej 22) : menyerahkan hal yang paling berharga, orang yang paling dikasihinya.
Tetapi seperti
dalam kasus Abraham, Tuhan
campur tangan : Ia menemukan iman yang mencari dan membuka
sebuah
jalan yang berbeda, sebuah
jalan kasih dan kebahagiaan
: "Yusuf", Ia berkata kepadanya, "janganlah engkau takut mengambil
Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh
Kudus"(Mat 1:20).
Injil ini mengejawantahkan bagi kita semua kebesaran jiwa Yusuf. Ia sedang
mengejar sebuah rencana yang baik
untuk hidupnya tetapi Allah mempunyai rancangan lain baginya, sebuah perutusan yang lebih besar. Yusuf
adalah seorang yang selalu mendengarkan suara Allah,
amat peka terhadap kehendak-Nya yang tersembunyi,
seorang memperhatikan pesan yang datang kepadanya dari kedalaman hatinya dan
dari atas. Ia tidak bersikeras dalam mengejar rencananya untuk hidupnya, ia tidak membiarkan perasaan benci meracuni jiwanya, tetapi siap
menempatkan dirinya untuk melayani hal yang disajikan kepadanya dengan cara
yang membingungkan. Dan dengan cara inilah agar ia seorang yang baik. Ia tidak membenci dan ia tidak
membiarkan perasaan
benci meracuni jiwanya. Tetapi seberapa sering kebencian dan antipati juga, seberapa
sering perasaan
benci meracuni jiwa kita! Dan ini
buruk bagi kita. Yusuf tidak pernah mengizinkan hal ini terjadi : ia adalah sebuah teladan yang baik dari hal ini. Dan
dengan cara ini Yusuf menjadi lebih bebas dan lebih besar. Menerima
dirinya sesuai dengan rencana Allah, Yusuf benar-benar menemukan dirinya, di luar dirinya. Kebebasan
ini yang
mana ia harus menyerahkan apa yang
menjadi milik-Nya, pemilikan hidupnya sendiri, dan kesediaan batin yang penuh
ini bagi kehendak Allah, menarik perhatian kita dan menunjukkan kepada kita jalan tersebut.
Marilah kita
mempersiapkan diri
kita untuk merayakan Natal dengan
merenungkan Maria dan Yusuf : Maria, perempuan yang penuh
rahmat, yang memiliki keberanian
untuk mempercayakan dirinya
secara penuh kepada Sabda Allah; Yusuf, laki-laki
yang setia dan tulus hati yang lebih
suka percaya kepada Tuhan daripada mendengarkan suara-suara keraguan
dan
kebanggaan manusia. Mari kita melakukan
perjalanan bersama mereka menuju Betlehem.
[Sesudah
pendarasan Doa Malaikat Tuhan, Bapa Suci menyambut mereka yang hadir di
Lapangan Santo Petrus]
Saya membaca di sana tertulis dalam huruf besar : "Orang miskin tidak bisa
menunggu". Itu indah! Dan
ini mengingatkan saya bahwa Yesus lahir dalam sebuah kandang, Ia tidak dilahirkan dalam sebuah rumah. Setelah itu Ia harus melarikan diri, pergi ke Mesir untuk menyelamatkan
hidup-Nya. Pada akhirnya, Ia kembali ke rumah-Nya, ke
Nazaret. Dan
hari ini saya memikirkan, membaca spanduk tersebut, banyak keluarga yang
tunawisma, entah karena mereka tidak pernah memiliki satu pun atau karena mereka kehilangannya karena berbagai alasan. Keluarga
dan rumah berjalan bersama-sama. Sangatlah sukar memelihara
sebuah keluarga tanpa rumah untuk tinggal. Dalam hari-hari Natal ini saya mengundang semua orang – orang-orang, organisasi-organisasi sosial, para
penguasa [politik] - untuk melakukan segala kemungkinan bagi setiap keluarga untuk memiliki rumah.
Saya menyambut dengan kasih sayang Anda semua para peziarah terkasih yang datang
dari berbagai negara untuk ikut serta dalam
pertemuan doa ini. Pikiran saya
tertuju kepada keluarga-keluarga, kelompok-kelompok paroki, lembaga-lembaga dan umat beriman secara pribadi. Saya terutama menyambut Institut
Kepausan untuk Perutusan Luar Negeri, band dari San
Giovanni Valdarno, orang-orang muda dari Paroki San
Francesco Nuovo di Rieti, dan para peserta dalam ranting dari
Alexandria hingga Roma untuk meningkatkan kesadaran
tentang upaya-upaya perdamaian di Somalia.
Keinginan
saya untuk semua orang
yang telah berkumpul di sini hari
ini dari Italia untuk menunjukkan
komitmen sosial mereka yaitu mereka akan
dapat memberikan sebuah kontribusi yang membangun, menolak godaan-godaan konflik dan kekerasan, dan selalu mengikuti jalan
dialog, membela hak-hak
asasi.
Saya mengharapkan bagi semua orang sebuah hari Minggu yang baik dan sebuah Natal pengharapan, Natal keadilan dan persaudaraan. Selamat makan siang dan sampai jumpa!