Liturgical Calendar

SURAT PAUS EMERITUS BENEDIKTUS XVI KEPADA STANISLAW KARDINAL DZIWISZ DALAM RANGKA 100 TAHUN KELAHIRAN PAUS SANTO YOHANES PAULUS II (18 Mei 2020)


SURAT PAUS EMERITUS BENEDIKTUS XVI KEPADA STANISLAW KARDINAL DZIWISZ DALAM RANGKA 100 TAHUN KELAHIRAN PAUS SANTO YOHANES PAULUS II (18 Mei 2020)[1]

Seratus tahun yang lalu, pada tanggal 18 Mei, Paus Yohanes Paulus II lahir di kota kecil Polandia, Wadowice.

Setelah terbagi selama lebih dari 100 tahun oleh tiga kekuatan besar bertetangga yaitu Prusia, Rusia, dan Austria, Polandia mendapatkan kembali kemerdekaannya pada akhir Perang Dunia I. Kemerdekaan tersebut merupakan peristiwa bersejarah yang melahirkan harapan besar; tetapi juga menuntut banyak kesulitan sebagai negara baru, dalam proses pengorganisasiannya kembali, terus merasakan tekanan dari dua kekuatan Jerman dan Rusia. Dalam situasi penindasan ini, tetapi terutama dalam situasi yang ditandai oleh harapan ini, Karol Wojtyla muda tumbuh. Ia kehilangan ibu dan saudaranya cukup awal dan, pada akhirnya, ayahnya juga, yang daripadanya ia mendapatkan kesalehan yang hangat dan mendalam. Karol muda terutama tertarik pada sastra dan teater. Setelah lulus ujian akhir sekolah menengah, ia memilih untuk menekuni mata pelajaran ini.


"Untuk menghindari deportasi, pada musim gugur tahun 1940 ia pergi bekerja di tambang pabrik kimia Solvay" (bdk. Karunia dan Misteri). “Pada musim gugur tahun 1942, ia akhirnya memutuskan untuk masuk Seminari Kraków, yang secara diam-diam didirikan oleh Uskup Agung Kraków Sapieha di tempat kediamannya. Sebagai pekerja pabrik, Karol sudah mulai belajar teologi dalam buku-buku teks kuno; dan karenanya, pada tanggal 1 November 1946, ia bisa ditahbiskan menjadi imam” (bdk. Karunia dan Misteri). Tentu saja, Karol tidak hanya mempelajari teologi dalam buku-buku tetapi juga melalui pengalamannya tentang situasi sulit yang dihadapinya dan negaranya. Ini agaknya merupakan ciri khas dari seluruh kehidupan dan karyanya. Ia mempelajari buku-buku tetapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan buku-buku tersebut menjadi kenyataan karena ia sangat mengalami dan menghayatinya. Sebagai Uskup muda - sebagai Uskup Auksilier sejak tahun 1958 dan kemudian Uskup Agung Kraków dari tahun 1964 - Konsili Vatikan II menjadi sekolah dari segenap kehidupan dan karyanya. Pertanyaan-pertanyaan penting yang muncul, terutama sehubungan dengan apa yang disebut Skema 13 yang kemudian akan menjadi Konstitusi Gaudium et Spes, juga merupakan pertanyaan-pertanyaannya. Jawaban yang dikembangkan oleh Konsili akan membuka jalan bagi perutusannya sebagai Uskup dan, kemudian, sebagai Paus.

Ketika Kardinal Wojtyła terpilih sebagai Penerus Santo Petrus pada 16 Oktober 1978, Gereja berada dalam situasi dramatis. Pertimbangan Konsili telah disampaikan kepada publik sebagai silang pendapat tentang Iman itu sendiri, yang tampaknya mencabut Konsili dari kepastian yang tak dapat sesat dan tak tergoyahkan. Seorang pastor paroki Bavaria, misalnya, mengomentari situasi itu dengan mengatakan, "Pada akhirnya, kita jatuh ke dalam iman yang salah." Perasaan bahwa tidak ada yang tidak pasti lagi, bahwa segala sesuatu dipertanyakan ini, bahkan semakin dikobarkan oleh metode pelaksanaan reformasi liturgi. Pada akhirnya, hampir tampak bahwa liturgi dapat diciptakan dari dirinya sendiri. Paus Paulus VI mengakhiri Konsili dengan energi dan tekad, tetapi setelah kesimpulannya, ia menghadapi masalah yang semakin mendesak yang pada akhirnya mempertanyakan keberadaan Gereja itu sendiri. Pada saat itu, para sosiolog membandingkan situasi Gereja dengan situasi Uni Soviet di bawah pemerintahan Gorbachev, yang selama masa pemerintahannya struktur kekuasaan negara Soviet runtuh di bawah proses reformasinya.

Oleh karena itu, pada pokoknya, suatu tugas yang hampir mustahil sedang menanti Paus baru. Namun, sejak saat pertama, Yohanes Paulus II membangkitkan antusiasme baru bagi Kristus dan Gereja-Nya. Kata-katanya pada saat khotbah  inagurasi pontifikasinya : “Jangan takut! Buka, buka pintu lebar-lebar bagi Kristus!” Panggilan dan nada ini akan menjadi ciri khas seluruh pontifikasinya dan menjadikannya seorang pemulih Gereja yang membebaskan. Hal ini dikondisikan oleh fakta bahwa Paus baru datang dari sebuah negara di mana penerimaan Konsili bersifat positif : salah satu pembaruan yang menggembirakan dari segala sesuatu, bukan sikap keraguan dan ketidakpastian dalam segalanya.

Paus Yohanes Paulus II berkeliling dunia, telah melakukan 104 perjalanan pastoral, mewartakan Injil ke mana pun ia pergi sebagai sebuah pesan sukacita, menjelaskan dengan cara ini kewajiban untuk membela apa yang baik dan demi Kristus.

Dalam 14 ensikliknya, ia secara menyeluruh menyajikan iman Gereja dan ajarannya secara manusiawi. Dengan melakukan hal ini, ia mau tidak mau memicu perbantahan di dalam Gereja Barat, yang diselimuti oleh keraguan dan ketidakpastian.

Hari ini tampaknya penting untuk mendefinisikan pusat yang sebenarnya, dari sudut pandang yang daripadanya kita dapat membaca pesan yang terkandung dalam berbagai teks. Kita bisa memperhatikannya pada saat kematiannya. Paus Yohanes Paulus II wafat pada saat-saat pertama Pesta Kerahiman Ilahi yang baru saja dicanangkan. Pertama-tama saya ingin menambahkan ulasan pribadi singkat yang tampaknya merupakan aspek penting dari sifat dan karya Paus Yohanes Paulus II. Sejak awal, Yohanes Paulus II sangat tersentuh oleh pesan Santa Faustina Kowalska, seorang biarawati dari Kraków, yang menekankan Kerahiman Ilahi sebagai pusat yang sangat penting dari iman Kristiani. Santa Faustina berharap akan dicanangkannya pesta tersebut. Setelah berkonsultasi, Paus Yohanes Paulus II memilih Hari Minggu Paskah II. Namun, sebelum keputusan akhir dibuat, ia meminta Kongregasi untuk Ajaran Iman guna menyampaikan pandangannya tentang kesesuaian tanggal ini. Kami menanggapi secara negatif karena tanggal kuno, tradisional, dan bermakna seperti hari Minggu "in Albis" yang mengakhiri Oktaf Paskah tidak boleh dibebani dengan gagasan-gagasan modern. Tentu tidak mudah bagi Bapa Suci untuk menerima jawaban kami. Namun, ia melakukannya dengan rendah hati dan menerima tanggapan negatif kami untuk kedua kalinya. Akhirnya, ia merumuskan sebuah tawaran yang mewariskan Hari Minggu Paskah II dalam bentuk sejarahnya tetapi memasukkan Kerahiman Ilahi dalam pesan aslinya. Sering ada kasus serupa di mana saya terkesan dengan kerendahan hati Paus yang luar biasa ini, yang mengabaikan gagasan-gagasan yang ia harapkan karena ia tidak mendapatkan persetujuan dari perangkat resmi yang harus diajukan sesuai dengan norma yang berlaku.

Ketika Yohanes Paulus II menghembuskan napas terakhirnya di dunia ini, doa Vesper Pertama Pesta Kerahiman Ilahi baru saja berakhir. Hal ini menerangi saat kematiannya : terang kerahiman Allah berpihak sebagai sebuah pesan yang menghibur atas kematiannya. Dalam buku terakhirnya Kenangan dan Jatidiri, yang diterbitkan pada petang kematiannya, Paus Yohanes Paulus II sekali lagi merangkum pesan Kerahiman Ilahi. Ia menunjukkan bahwa Suster Faustina meninggal sebelum kengerian Perang Dunia II tetapi sudah memberikan jawaban Tuhan untuk segala perselisihan yang tak tertahankan ini. Seolah-olah Kristus ingin mengatakan melalui Faustina : “Kejahatan tidak akan mendapatkan kemenangan akhir. Misteri Paskah menegaskan bahwa kebaikan pada akhirnya akan menang, bahwa kehidupan akan menang atas maut, dan bahwa kasih akan mengatasi kebencian”.

Sepanjang hidupnya, Paus Yohanes Paulus II secara subyektif berusaha memperuntukkan pusat obyektif iman Kristiani, ajaran keselamatan, dan membantu sesama untuk menjadikannya milik mereka. Melalui Kristus yang telah bangkit, kerahiman Allah dimaksudkan untuk setiap individu. Meskipun pusat keberadaan Kristiani ini diberikan kepada kita hanya dalam iman, secara filosofis juga penting, karena jika kerahiman Allah bukan sebuah fakta, maka kita harus menemukan jalan kita di dalam sebuah dunia di mana kekuasaan tertinggi kebaikan menentang kejahatan tidak dikenali. Akhirnya, di luar kepentingan sejarah yang obyektif ini, sangat penting bagi setiap orang untuk memahami bahwa pada akhirnya kerahiman Allah lebih kuat daripada kelemahan kita. Terlebih lagi, pada titik ini, kesatuan batin dari pesan Yohanes Paulus II dan niat dasar Paus Fransiskus juga dapat ditemukan : Yohanes Paulus II bukanlah pelaku kekakuan moral sebagaimana digambarkan sebagian orang secara tidak lengkap. Dengan pemusatan kerahiman ilahi, ia memberi kita kesempatan untuk menerima persyaratan moral bagi manusia, bahkan jika kita tidak pernah dapat sepenuhnya memenuhinya. Selain itu, upaya moral kita dilakukan dalam terang kerahiman ilahi, yang terbukti menjadi kekuatan yang memulihkan kelemahan kita.

Ketika Paus Yohanes Paulus II sedang mendekati ajal, Lapangan Santo Petrus dipenuhi dengan orang-orang, terutama banyak kaum muda, yang ingin bertemu dengan Paus mereka untuk terakhir kalinya. Saya tidak bisa melupakan momen ketika Uskup Agung Sandri mengumumkan pesan kepergian Paus Yohanes Paulus II. Terutama, momen ketika lonceng besar Santo Petrus menerima pesan ini tetap tak terlupakan. Pada hari pemakamannya, ada banyak poster bertuliskan "Santo subito!" Sebuah seruan yang muncul dari perjumpaan dengan Yohanes Paulus II dari semua sisi. Tidak hanya dari Lapangan Santo Petrus tetapi juga berbagai kalangan intelektual membahas gagasan untuk memberi gelar "Agung" bagi Paus Yohanes Paulus II.

Kata "santo" menunjukkan ranah Allah dan kata "agung" dimensi manusia. Menurut baku Gereja, kekudusan dapat dikenali oleh dua persyaratan : kebajikan heroik dan sebuah mukjizat. Kedua baku ini saling terkait erat. Karena kata "kebajikan heroik" tidak berarti semacam prestasi Olimpiade melainkan sesuatu menjadi terlihat dalam dan melalui diri seseorang bukan karyanya tetapi karya Allah yang menjadi dikenali dalam dan melalui dirinya. Ini bukan semacam kompetisi moral, tetapi hasil dari penanggalan kebesaran diri. Intinya yaitu seseorang memperkenankan Allah berkarya pada dirinya, sehingga karya dan kuasa Allah menjadi terlihat melalui dirinya.

Hal yang sama berlaku untuk persyaratan mukjizat : di sini juga, yang diperhitungkan bukanlah terjadinya sesuatu yang sensasional tetapi pewahyuan yang terlihat berkenaan dengan kebaikan penyembuhan Allah, yang melampaui semua kemungkinan manusia. Orang kudus adalah orang yang terbuka pada Allah dan diresapi oleh Allah. Orang kudus adalah orang yang menjauh dari dirinya dan memperkenankan kita melihat dan mengenali Allah. Memeriksa ha; ini secara yuridis, sejauh mungkin, adalah tujuan dari dua proses untuk beatifikasi dan kanonisasi. Dalam kasus Yohanes Paulus II, keduanya dilakukan secara ketat sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi, sekarang ia berdiri di hadapan kita sebagai Bapa, yang membuat kerahiman dan kebaikan Allah terlihat oleh kita.

Mendefinisikan dengan benar istilah "agung" lebih sulit. Dalam perjalanan panjang sejarah kepausan selama hampir 2.000 tahun, gelar “Agung” dipertahankan hanya untuk dua paus : Leo I (440-461) dan Gregorius I (590-604). Dalam kasus kedua paus tersebut, kata "agung" memiliki konotasi politik, tetapi justru karena sesuatu dari misteri Allah sendiri menjadi nyata melalui keberhasilan politik mereka. Melalui dialog, Leo Agung mampu meyakinkan Attila, Pemimpin Bangsa Hun, untuk menyelamatkan kota Roma – kota pemimpin kerasulan Petrus dan Paulus. Tanpa senjata, tanpa kekuatan militer atau politik, melalui kekuatan pendiriannya karena imannya, ia mampu meyakinkan penguasa lalim yang ditakuti itu untuk menyelamatkan kota Roma. Dalam pergulatan antara roh dan kekuasaan, roh terbukti lebih kuat.

Keberhasilan Gregorius I tidak spektakuler, tetapi ia berulang kali dapat melindungi kota Roma dari bangsa Lombard - di sini juga, dengan menentang roh di balik kekuasaan dan memenangkan kemenangan roh.

Jika kita membandingkan kedua kisah tersebut dengan kisah Yohanes Paulus II, tidak salah lagi ada kesamaan. Yohanes Paulus II juga tidak memiliki kekuatan militer atau politik. Selama silang pendapat tentang bentuk masa depan Eropa dan Jerman pada bulan Februari 1945, dikatakan bahwa reaksi Paus Yohanes Paulus II juga seharusnya diperhitungkan. Stalin kemudian bertanya : "Berapa banyak divisi yang dimiliki Paus Yohanes Paulus II?" Yah, ia tidak mempunyai divisi yang tersedia. Namun, kekuatan iman ternyata menjadi kekuatan yang akhirnya menghancurkan sistem kekuasaan Soviet pada tahun 1989 dan memungkinkan awal yang baru. Tidak dapat disangkal lagi, iman Paus Yohanes Paulus II adalah unsur penting dalam keruntuhan kekuasaan. Jadi, kebesaran yang muncul dalam diri Leo I dan Gregorius I tentu saja juga terlihat di sini.

Mari kita buka pertanyaan apakah julukan "agung" akan menang atau tidak. Memang benar bahwa kuasa dan kebaikan Allah menjadi nyata bagi kita semua dalam diri Yohanes Paulus II. Dalam masa ketika Gereja sekali lagi sedang menderita  penindasan kejahatan, bagi kita dialah tanda harapan dan kepercayaan diri.

Santo Yohanes Paulus II yang terkasih, doakan kami!

Benediktus XVI