Saudara dan saudari terkasih,
1.
Kelahiran Yesus dari Nazaret adalah
misteri kelahiran yang mengingatkan kita bahwa “manusia, meskipun harus mati,
tidak dilahirkan untuk mati, tetapi untuk memulai”,[1]
sebagaimana diamati secara mencolok dan tajam oleh filsuf Yahudi, Hannah
Arendt. Arendt membalikkan pemikiran gurunya Heidegger, yang mengemukakan bahwa
manusia dilahirkan untuk dilemparkan menuju kematian. Di tengah reruntuhan
rezim totaliter abad ke-20, Arendt mengakui kebenaran yang cemerlang ini :
“Keajaiban yang menyelamatkan dunia, ranah urusan manusiawi, dari kehancuran
wajar, 'alami'-nya pada akhirnya adalah fakta kelahiran ... Inilah keyakinan
dan harapan yang memungkinkan dunia menemukan ungkapan yang paling luhur dan
padat dalam beberapa kata yang dengannya Injil memaklumkan 'kabar gembira'-nya
: 'Seorang anak telah lahir bagi kita'”.[2]
2.
Merenungkan misteri penjelmaan, di
hadapan Sang Anak yang terbaring di palungan (bdk. Luk 2:16), tetapi juga
misteri Paskah, di hadapan Yesus yang disalibkan, kita menemukan tempat yang
tepat hanya jika kita tidak berdaya, rendah hati dan sederhana. Hanya jika kita
mengikuti, di mana pun kita tinggal dan bekerja (termasuk Kuria Romawi),
program kehidupan yang ditetapkan oleh Santo Paulus : “Segala kepahitan,
kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu,
demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap
yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam
Kristus telah mengampuni kamu” (Ef 4:31-32). Hanya jika kita “mengenakan
kerendahan hati” (bdk. 1 Ptr 5:5) dan meneladan Yesus, yang “lemah lembut dan
rendah hati” (Mat 11:29). Hanya setelah kita menempatkan diri kita "di
tempat yang paling rendah" (Luk 14:10) dan menjadi "hamba untuk
semuanya" (bdk. Mrk 10:44). Dalam hal ini, Santo Ignatius, dalam Latihan
Rohani-nya, bahkan meminta kita untuk membayangkan diri kita sebagai bagian
adegan di hadapan palungan. "Aku akan menjadi", tulisnya,
"seorang hamba yang miskin, rendah dan tidak layak, dan seakan-akan hadir,
tataplah mereka, renungkan mereka dan layani mereka sesuai kebutuhan
mereka" (114, 2).
Saya berterima
kasih kepada Ketua Dewan Kardinal atas salam Natalnya atas nama semuanya.
Terima kasih, Kardinal Re.
3.
Inilah Natal pandemi, Natal krisis
kesehatan, ekonomi, sosial dan bahkan gerejawi yang tanpa pandang bulu melanda
seluruh dunia. Krisis tidak lagi menjadi percakapan biasa dan pembentukan
intelektual; krisis telah menjadi kenyataan yang dialami oleh semua orang.
Pandemi telah
menjadi masa percobaan dan ujian, tetapi juga merupakan peluang pentingnya
pertobatan dan pembaruan keaslian.
Pada tanggal 27
Maret yang lalu, di lapangan terbuka Basilika Santo Petrus, di depan lapangan
kosong yang tetap mempersatukan kita, dalam semangat, dari segenap penjuru
dunia, saya ingin mendoakan, dan bersama-sama, semua orang. Saya berbicara
dengan jelas tentang pentingnya potensi "badai" (bdk. Mrk 4:35-41)
yang melanda dunia kita : "Badai telah menyingkap kerentanan kita dan
menyingkap kepastian yang palsu dan berlebihan yang telah kita susun dalam
jadwal harian kita, proyek kita, kebiasaan dan prioritas kita. Badai telah
menunjukkan kepada kita bagaimana kita telah membiarkan menjadi kusam dan lemah
hal-hal yang memelihara, menopang dan memperkuat hidup kita dan komunitas kita.
Badai telah menyingkapkan semua gagasan yang telah dikemas sebelumnya dan
kealpaan kita tentang apa yang menyehatkan jiwa umat kita; semua upaya tersebut
membius kita dengan cara berpikir dan bertindak yang seharusnya
"menyelamatkan" kita, tetapi malah terbukti tidak mampu menghubungkan
kita dengan akar kita dan menghidupkan ingatan mereka yang telah mendahului
kita. Kita telah kehilangan antibodi yang kita butuhkan untuk menghadapi
kesulitan. Dalam badai ini, muka bangunan stereotip yang kita gunakan untuk
menyamarkan ego kita, yang selalu mengkhawatirkan citra kita, telah lenyap,
sekali lagi menyingkap kepemilikan bersama (yang diberkati), yang tidak dapat
kita hindari: milik kita satu sama lain sebagai saudara dan saudari".
4.
Syukurlah, justru pada masa sulit
tersebut saya bisa menulis Fratelli Tutti, ensiklik yang bertema
persaudaraan dan persahabatan sosial. Satu pelajaran yang kita pelajari dari
kisah kelahiran Yesus dalam Injil adalah tentang kesetiakawanan yang
menghubungkan mereka yang hadir : Maria, Yusuf, para gembala, para Majus dan
semua orang yang, dengan satu atau lain cara, menawarkan persaudaraan dan
persahabatan mereka sehingga, di tengah kegelapan sejarah, Sang Sabda yang
menjadi daging (bdk. Yoh 1:14) bisa mendapat sambutan. Seperti yang saya
nyatakan di awal ensiklik tersebut : “Saya menginginkan, di zaman kita ini,
dengan mengakui martabat setiap pribadi manusia, kita dapat berkontribusi pada
kelahiran kembali aspirasi universal untuk persaudaraan. Persaudaraan di antara
segenap umat manusia. 'Di sini kita memiliki rahasia luar biasa yang
menunjukkan kepada kita bagaimana bermimpi dan mengubah hidup kita menjadi
petualangan yang indah. Tidak ada yang dapat menghadapi hidup dalam
keterasingan … Kita membutuhkan komunitas yang mendukung dan membantu, yang di
dalamnya kita dapat saling membantu untuk terus melihat ke depan. Betapa
pentingnya bermimpi bersama ... Sendirian, kita beresiko melihat fatamorgana,
hal-hal yang tidak ada. Mimpi, di sisi lain, dibangun bersama'.[3]
Marilah kita bermimpi, sebagai satu keluarga umat manusia, sebagai sesama
pengembara yang berbagi daging yang sama, sebagai anak-anak dari bumi yang sama
yang merupakan rumah kita bersama, kita masing-masing membawa kekayaan
keyakinan dan pendirian kita, dengan suara kita masing-masing, saudara-saudari
semua” (No. 8).
5.
Krisis pandemi adalah waktu yang
tepat untuk berkaca secara singkat pada makna krisis, yang terbukti bermanfaat
bagi kita semua.
Krisis adalah
sesuatu yang mempengaruhi semua orang dan segalanya. Krisis hadir di mana-mana
dan di setiap masa sejarah, melibatkan ideologi, politik, ekonomi, teknologi,
ekologi dan agama. Krisis adalah momen penting dalam sejarah individu dan
masyarakat. Tampak sebagai peristiwa luar biasa yang selalu menimbulkan rasa
gentar, cemas, kesal dan ketidakpastian dalam menghadapi keputusan yang akan
diambil. Kita melihat hal ini dalam akar etimologis dari kata kerja krino :
krisis adalah penampi yang memisahkan gandum dari sekam setelah panen.
Alkitab itu
sendiri dipenuhi dengan individu-individu yang “ditampi”, “orang-orang dalam
krisis” yang oleh krisis itu memainkan peranan mereka dalam sejarah
keselamatan.
Krisis Abraham,
yang meninggalkan tanah kelahirannya (Kej 21:1-2) dan menjalani ujian besar
karena harus mengorbankan putra satu-satunya bagi Allah (Kej 22:1-19),
mengakibatkan, dari sudut pandang teologis, kelahiran umat baru. Namun hal ini
tidak menghindarkan Abraham dari mengalami situasi dramatis di mana kebingungan
dan kehilangan arah tidak dapat dikuasai, berkat kekuatan imannya.
Krisis Musa
terlihat dari kurangnya rasa percaya diri. “Siapakah aku ini", katanya,
"maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari
Mesir?" (Kel 3:11); “ "Aku ini tidak pandai bicara ... aku berat mulut
dan berat lidah" (Kel 4:10), “seorang yang tidak petah lidahnya” (Kel
6:11,29). Karena alasan ini, ia mencoba untuk menghindari perutusan yang
dipercayakan kepadanya oleh Allah : "Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja
yang patut Kauutus" (bdk. Kel 4:13). Namun keluar dari krisis ini Allah
akan menjadikan Musa hamba yang akan memimpin umat-Nya keluar dari Mesir.
Elia, nabi yang
kekuatannya seperti api (bdk. Sir 48:1), pada saat krisis besar merindukan
kematian, tetapi kemudian mengalami kehadiran Allah, bukan dalam angin kencang
atau gempa bumi atau api, tetapi dengan "suara yang lembut" (bdk. 1
Raj 19:11-12). Suara Allah tidak pernah menjadi suara krisis yang gaduh,
melainkan suara pelan yang berbicara dalam krisis.
Yohanes Pembaptis
dicengkeram oleh ketidakpastian tentang apakah Yesus adalah Mesias (bdk. Mat
11:2-6) karena ia tidak datang sebagai pembela kebenaran yang mungkin sedang
diharapkan Yohanes (bdk. Mat 3:11-12). Namun pemenjaraan Yohanes menetapkan
panggung pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah (bdk. Mrk 1:14).
Kemudian ada
krisis "teologis" yang dialami oleh Paulus dari Tarsus. Terkejut oleh
perjumpaan dramatisnya dengan Kristus dalam perjalanan ke Damaskus (bdk. Kis
9:1-19; Gal 1:15-16), ia tergerak untuk meninggalkan segalanya untuk mengikuti
Yesus (bdk. Flp 3:4-10). Santo Paulus benar-benar orang yang terbuka untuk
diubah oleh suatu krisis. Karena alasan ini, ia akan menjadi penulis krisis
yang membawa Gereja melewati perbatasan Israel dan pergi ke ujung bumi.
Kita bisa
melanjutkan dengan daftar tokoh biblis ini, yang di dalamnya kita masing-masing
dapat menemukan tempat kita. Ada begitu banyak dari mereka.
Namun krisis yang
paling mengesankan adalah krisis Yesus. Ketiga Injil sinoptik menunjukkan bahwa
Ia memulai kehidupan-Nya di muka umum dengan mengalami krisis pencobaan.
Tampaknya tokoh sentral dalam situasi ini adalah Iblis dengan janji palsunya,
namun pelaku utama yang sebenarnya adalah Roh Kudus. Karena Ia sedang menuntun
Yesus pada saat yang menentukan dalam hidup-Nya ini : “Yesus dibawa oleh Roh ke
padang gurun untuk dicobai Iblis” (Mat 4:1).
Keempat penginjil
menekankan bahwa empat puluh hari yang dihabiskan Yesus di padang gurun
ditandai dengan pengalaman kelaparan dan kelemahan (bdk. Mat 4:2; Luk 4:2).
Justru dari kedalaman kelaparan dan kelemahan inilah si jahat berusaha untuk
melakukan langkah terakhirnya, mengambil keuntungan dari kelelahan manusiawi
Yesus. Namun dalam diri manusia yang lemah karena berpuasa, si penggoda
mengalami kehadiran Putra Allah yang dapat mengatasi pencobaan dengan sabda
Allah, dan bukan dengan diri-Nya sendiri. Yesus tidak pernah berdialog dengan
Iblis. Kita perlu belajar dari hal ini. Tidak berdialog dengan Iblis. Yesus
mengusirnya atau memaksanya untuk mengungkapkan namanya. Dengan iblis, tidak
ada dialog.
Yesus kemudian
menghadapi krisis yang tak terlukiskan di Taman Getsemani : kesendirian,
ketakutan, penderitaan, pengkhianatan Yudas dan ditinggalkan oleh para
Rasul-Nya (bdk. Mat 26:36-50). Akhirnya, ada krisis ekstrim di kayu salib :
pengalaman kesetiakawanan dengan orang-orang berdosa bahkan sampai merasa
ditinggalkan oleh Bapa (bdk. Mat 27:46). Namun dengan penuh keyakinan Ia
"menyerahkan nyawa-Nya ke tangan Bapa" (bdk. Luk 23:46).
Penyerahan-Nya yang lengkap dan penuh kepercayaan membuka jalan menuju
kebangkitan (bdk. Ibr 5:7).
6.
Saudara dan saudari, berkaca pada
krisis ini memperingatkan kita agar tidak menghakimi Gereja secara tergesa-gesa
atas dasar krisis yang disebabkan oleh skandal dulu dan sekarang. Nabi Elia
dapat menjadi teladan. Melampiaskan rasa frustrasinya di hadapan Tuhan, Elia
memaparkan kepada-Nya sebuah kisah tentang keputusasaan : “Aku bekerja
segiat-giatnya bagi Tuhan, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan
perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan
pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut
nyawaku" (1 Raj 19:14). Seringkali penilaian kita sendiri tentang
kehidupan gerejawi juga terdengar seperti dongeng tentang keputusasaan. Namun
pembacaan kenyataan tanpa harapan tidak bisa disebut realistis. Harapan
memberikan kepada penilaian kita lingkup yang dalam miopia kita seringkali
tidak mampu dilihat. Allah menjawab Elia dengan mengatakan kepadanya bahwa
kenyataan berbeda dari apa yang ia pikirkan : “Pergilah, kembalilah ke jalanmu,
melalui padang gurun ke Damsyik ... Tetapi Aku akan meninggalkan tujuh ribu
orang di Israel, yakni semua orang yang tidak sujud menyembah Baal dan yang
mulutnya tidak mencium dia” (1 Raj 19:15.18). Tidak benar bahwa Elia sendirian;
ia berada dalam krisis.
Allah terus
membuat benih kerajaan-Nya tumbuh di tengah-tengah kita. Di sini, di Kuria, ada
banyak orang yang memberikan kesaksian diam-diam melalui karya mereka, rendah
hati dan bijaksana, bebas dari obrolan yang tidak berguna, sederhana, setia,
jujur dan profesional. Banyak dari kamu yang seperti itu, dan saya berterima kasih.
Zaman kita memiliki masalah masing-masing, namun mereka juga memiliki kesaksian
hidup tentang fakta bahwa Tuhan tidak meninggalkan umat-Nya. Satu-satunya
perbedaan adalah bahwa masalah segera berakhir di surat kabar; hal ini selalu
terjadi, sedangkan tanda-tanda harapan hanya akan diberitakan di kemudian hari,
jika ada.
Orang-orang yang
gagal untuk melihat krisis dalam terang Injil hanya melakukan otopsi pada
mayat. Mereka melihat krisis, tetapi bukan harapan dan terang yang dibawa oleh
Injil. Kita diganggu oleh krisis bukan hanya karena kita telah lupa bagaimana
melihatnya seperti yang diajarkan Injil kepada kita, tetapi karena kita telah
lupa bahwa Injil adalah yang pertama menempatkan kita dalam krisis.[4]
Jika kita dapat memulihkan keberanian dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa
saat krisis adalah saat Roh, kapan pun kita dihadapkan pada pengalaman
kegelapan, kelemahan, kerentanan, kontradiksi dan kehilangan, kita tidak akan
lagi merasa kewalahan. Sebaliknya, kita akan terus percaya bahwa segala
sesuatunya akan mengambil bentuk baru, semata-mata muncul dari pengalaman
rahmat yang tersembunyi dalam kegelapan. “Sebab emas diuji di dalam api, tetapi
orang yang kepadanya Tuhan berkenan dalam kancah penghinaan” (Sir 2:5).
7.
Terakhir, saya mendorong kamu untuk
tidak merancukan krisis dengan perselisihan. Keduanya hal yang berbeda. Krisis
umumnya memiliki hasil yang positif, sedangkan perselisihan selalu menciptakan
perselisihan dan persaingan, sebuah antagonisme yang tampaknya tidak dapat
didamaikan yang memisahkan orang lain menjadi teman untuk dicintai dan musuh
untuk diperangi. Dalam situasi seperti itu, hanya satu pihak yang bisa menang.
Perselisihan
selalu berusaha menemukan pihak yang "bersalah" untuk dicemooh dan
distigmatisasi, dan pihak yang "benar" untuk dibela, sebagai cara
untuk menimbulkan perasaan (sering kali ajaib) bahwa situasi tertentu tidak ada
hubungannya dengan kita. Hilangnya rasa memiliki kita bersama ini membantu
menciptakan atau memperkokoh sikap elitis tertentu dan "klik" yang
mempromosikan pola pikir sempit dan parsial yang melemahkan universalitas
perutusan kita. “Di tengah perselisihan, kita akan kehilangan rasa kesatuan
kenyataan yang dalam” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 226).
Ketika Gereja
dilihat dalam konteks perselisihan - kanan versus kiri, progresif versus
tradisionalis - ia menjadi terfragmentasi dan terpolarisasi, memutarbalikkan
dan mengkhianati sifat aslinya. Sebaliknya, ia adalah tubuh yang terus
mengalami krisis, justru karena ia masih hidup. Ia tidak boleh menjadi tubuh
yang berselisih, dengan pemenang dan pecundang, karena dengan cara ini ia akan
menyebarkan ketakutan, menjadi semakin kaku dan kurang sinodal, serta
memaksakan keseragaman yang jauh dari kekayaan dan pluralitas yang telah
diberikan Roh kepada Gereja-Nya.
Kebaruan yang
lahir dari krisis dan dikehendaki oleh Roh tidak pernah menjadi kebaruan yang
bertentangan dengan yang lama, tetapi yang muncul dari yang lama dan membuatnya
terus berbuah. Yesus menjelaskan proses ini dengan gambaran yang sederhana dan
jelas : “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati,
ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah”
(Yoh 12:24). Kematian benih adalah ambivalen : kematian adalah akhir dan awal dari
sesuatu yang baru. Kematian bisa disebut "kematian dan kehancuran"
maupun "kelahiran dan kemekaran", karena keduanya adalah satu. Kita
melihat sebuah akhir, sementara pada saat yang sama, pada saat itu sebuah awal
baru mulai terbentuk.
Dalam pemahaman
ini, keengganan kita untuk masuk ke dalam krisis dan memperkenankan diri kita
dipimpin oleh Roh pada saat pencobaan menghukum kita untuk tetap bersedih dan
tidak berbuah, atau bahkan berada dalam perselisihan. Dengan melindungi diri
kita dari krisis, kita menghalangi karya kasih karunia Allah, yang akan
mewujudkan dirinya di dalam diri kita dan melalui diri kita. Jika kenyataan
tertentu membawa kita untuk melihat sejarah kita baru-baru ini hanya sebagai
serangkaian kecelakaan, skandal dan kegagalan, dosa dan kontradiksi, jalan
pintas dan kemunduran dalam kesaksian kita, kita tidak perlu takut. Kita juga
tidak boleh menyangkal segala sesuatu dalam diri kita dan komunitas kita yang
jelas-jelas ternoda oleh kematian dan panggilan menuju pertobatan. Segala
sesuatu yang jahat, salah, lemah dan tidak sehat yang terungkap berfungsi
sebagai pengingat yang kuat akan kebutuhan kita untuk mati menuju suatu jalan
kehidupan, berpikir dan bertindak yang tidak mencerminkan Injil. Hanya dengan
mati karena mentalitas tertentu kita dapat memberi ruang bagi kebaruan yang
terus-menerus dibangkitkan oleh Roh di dalam hati Gereja. Para Bapa Gereja
sangat menyadari hal ini, dan mereka menyebutnya "metanoia".
8.
Setiap krisis mengandung tuntutan
yang sah untuk pembaruan dan melangkah maju. Namun, jika kita benar-benar
menginginkan pembaruan, kita harus berani untuk terbuka sepenuhnya. Kita perlu
berhenti melihat reformasi Gereja sebagai cara menutupi pakaian lama, atau
hanya menyusun konstitusi kerasulan baru. Reformasi Gereja adalah sesuatu yang
berbeda.
Tidak menjadi
masalah memasang tambalan di sana sini, karena Gereja bukan hanya sekedar
pakaian Kristus, melainkan tubuh-Nya, yang mencakup seluruh sejarah (bdk. 1 Kor
12:27). Kita tidak dipanggil untuk mengubah atau mereformasi tubuh Kristus -
"Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai
selama-lamanya" (Ibr 13:8) - tetapi kita dipanggil untuk mendandani tubuh
itu dengan pakaian baru, sehingga jelas bahwa kasih karunia yang kita miliki
tidak datang dari diri kita sendiri tetapi dari Allah. Sungguh, “harta ini kami
punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang
melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2 Kor 4:7).
Gereja selalu merupakan bejana tanah liat, berharga karena isinya dan bukan
karena tampilannya. Nanti, dengan senang hati saya akan memberikan kepadamu
sebuah buku, hadiah dari Pastor Ardura, yang menunjukkan kehidupan satu bejana
tanah liat yang memancarkan kebesaran Allah dan reformasi Gereja. Hari-hari ini
tampaknya terbukti bahwa tanah liat tempat kita dibentuk sudah terkelupas,
rusak dan retak. Kita harus berusaha lebih keras, jangan sampai kelemahan kita
menjadi halangan bagi pemberitaan Injil ketimbang menjadi kesaksian akan kasih
yang besar yang dengannya Allah, yang kaya dalam rahmat, telah mencintai kita
dan terus mencintai kita (bdk. Ef 2:4). Jika kita memenggal Allah, yang kaya
akan rahmat, dari hidup kita, hidup kita akan menjadi sebuah kebohongan, sebuah
kepalsuan.
Dalam saat-saat
krisis, Yesus memperingatkan kita terhadap upaya-upaya tertentu untuk keluar
daripadanya yang telah gagal sejak awal. "Tidak seorang pun mengoyakkan
secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika
demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok
kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang
pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika
demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan
terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan
dalam kantong yang baru pula” (Luk 5:36-38).
Sebaliknya,
pendekatan yang benar adalah pendekatan "setiap ahli Taurat yang menerima
pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan
harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya" (Mat 13:52). Harta
itu adalah Tradisi, yang, seperti diingatkan oleh Benediktus XVI, “adalah
sungai yang hidup yang menghubungkan kita dengan asal-usulnya, sungai yang
hidup di mana asal-usulnya selalu ada, sungai besar yang membawa kita ke
gerbang keabadian” (Katekese, 26 April 2006). Saya teringat perkataan musisi
besar Jerman tersebut : “Tradisi adalah jaminan masa depan, bukan museum, guci
abu”. Yang "tua" adalah kebenaran dan kasih karunia yang sudah kita
miliki. Yang "baru" adalah lingkup berbeda dari kebenaran yang secara
bertahap kita pahami. Tidak ada bentuk historis dari penghayatan Injil yang
dapat menguras pemahaman penuhnya. Ada kata-kata dari abad kelima : “Ut
annis scilicet consolidetur, dilatetur tempore, sublimetur aetate” :
begitulah tradisi, dan bagaimana ia tumbuh. Jika kita membiarkan diri kita
dibimbing oleh Roh Kudus, kita setiap hari akan semakin dekat dengan “seluruh
kebenaran” (Yoh 16:13). Sebaliknya, tanpa kasih karunia Roh Kudus, kita bahkan
dapat mulai membayangkan Gereja "sinodal" yang, alih-alih diilhami
oleh persekutuan dengan kehadiran Roh, akhirnya hanya dilihat sebagai
perkumpulan demokratis lain yang terdiri dari mayoritas dan minoritas. Seperti
dewan perwakilan rakyat, misalnya: dan ini bukan sinodalitas. Hanya kehadiran
Roh Kudus yang membuat perbedaan.
9.
Apa yang seharusnya kita lakukan
selama krisis? Pertama, terimalah itu sebagai masa rahmat yang diberikan kepada
kita untuk membedakan kehendak Allah bagi diri kita masing-masing dan seluruh
Gereja. Kita perlu masuk ke dalam gagasan paradoks yang tampak bahwa
"sebab jika aku lemah, maka aku kuat" (2 Kor 12:10). Kita hendaknya
mengingat perkataan Santo Paulus yang meyakinkan kepada jemaat di Korintus :
“Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai
melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan
ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1 Kor 10:13).
Tidak mengganggu
dialog kita dengan Allah, betapapun hal ini terbukti sulit, sangatlah penting.
Berdoa tidaklah mudah. Kita tidak boleh jemu berdoa terus-menerus (bdk. Luk
21:36; 1 Tes 5:17). Kita tahu tidak ada solusi lain untuk masalah yang kita
alami selain berdoa dengan lebih sungguh-sungguh dan pada saat yang sama
melakukan segala sesuatu dengan kekuatan kita dengan lebih percaya diri. Doa
akan memungkinkan kita untuk berharap "sekalipun tidak ada dasar untuk
berharap" (bdk. Rm 4:18).
10.
Saudara dan saudari yang terkasih,
marilah kita memelihara kedamaian dan ketenangan yang luar biasa, dengan
kesadaran penuh bahwa kita semua, dimulai dari diri saya sendiri, hanyalah
“hamba yang tidak berguna” (Luk 17:10) yang kepadanya Tuhan telah menunjukkan
belas kasihan. Karena alasan ini, alangkah baiknya kita berhenti hidup dalam
perselisihan dan sekali lagi merasakan bahwa kita sedang melakukan perjalanan
bersama, terbuka terhadap krisis. Perjalanan selalu melibatkan kata kerja yang
berkenaan dengan gerakan. Krisis itu sendiri adalah gerakan, bagian dari
perjalanan kita. Perselisihan, di sisi lain, adalah jejak palsu yang membawa
kita tersesat, tanpa tujuan, tanpa arah, dan terjebak dalam labirin;
perselisihan hanya pemborosan energi dan kesempatan untuk kejahatan. Kejahatan
pertama yang dibawa oleh perselisihan kepada kita, dan yang harus berusaha kita
hindari, adalah gosip. Marilah kita memperhatikan hal ini! Berbicara tentang
gosip bukanlah obsesi saya; gosip adalah dakwaan terbuka kejahatan yang
memasuki Kuria. Di sini, di Istana Apostolik, ada banyak pintu dan jendela, dan
gosip masuk serta kita terbiasa dengan hal ini. Gosip menjebak kita dalam
keadaan mementingkan diri yang tidak menyenangkan, menyedihkan dan mencekik.
Gosip mengubah krisis menjadi perselisihan. Injil memberitahu kita bahwa para
gembala mempercayai pesan malaikat dan berangkat di jalan menuju Yesus (bdk.
Luk 2:15-16). Herodes, sebaliknya, menutup hatinya berhadapan dengan cerita
yang disampaikan oleh para Majus dan mengubah sikap tertutup itu menjadi tipu
daya dan kekerasan (bdk. Mat 2:1-16).
Kita
masing-masing, apa pun tempat kita di dalam Gereja, harus bertanya apakah kita
ingin mengikuti Yesus dengan kepatuhan para gembala atau dengan pertahanan
Herodes, mengikuti-Nya di tengah krisis atau menjauhi-Nya dalam perselisihan.
Perkenankan saya
untuk meminta secara tegas dari kamu semua, yang bergabung dengan saya dalam
pelayanan Injil, sebagai karunia Natal kerjasamamu yang berlimpah dan sepenuh
hati dalam mewartakan Kabar Baik terutama kepada orang miskin (bdk. Mat 11:5) .
Marilah kita ingat bahwa hanya orang-orang yang benar-benar mengenal Allah yang
menyambut orang miskin, yang berasal dari bawah dalam kesengsaraan mereka,
namun dengan demikian diutus dari tempat tinggi. Kita tidak bisa melihat wajah
Allah, tetapi kita bisa mengalaminya saat Ia berpaling kepada kita setiap kali
kita menunjukkan rasa hormat kepada sesama kita, kepada sesama yang berseru
kepada kita dalam kebutuhan mereka.[5]
Karena orang miskin, yang merupakan pusat Injil. Saya memikirkan apa yang
pernah dikatakan oleh uskup Brasil yang saleh itu : “Ketika saya peduli
terhadap kaum miskin, mereka menyebut saya orang kudus; tetapi ketika saya
terus bertanya mengapa ada kemiskinan yang begitu luar biasa, mereka menyebut
saya komunis”.
Janganlah ada
orang yang dengan sengaja menghalangi pekerjaan yang sedang Tuhan selesaikan
saat ini, dan marilah kita memohon karunia untuk melayani dengan kerendahan
hati, sehingga Ia semakin besar dan kita semakin kecil (bdk. Yoh 3:30).
Saya mengharapkan
yang terbaik dari kalian semua, serta keluarga dan teman kalian. Terima kasih,
terima kasih atas karya kalian, terima kasih banyak. Dan tolong, teruslah
mendoakan saya, agar saya memiliki keberanian untuk tetap berada dalam krisis.
Selamat Natal! Terima kasih.
[Berkat]
Saya lupa memberitahu kalian bahwa
saya akan memberikan hadiah dua buah buku kepada kalian. Salah satunya adalah
buku tentang kehidupan Charles de Foucauld, seorang guru krisis, yang
meninggalkan warisan yang indah untuk kita. Ini adalah hadiah yang saya terima
dari Pastor Ardura, yang kepadanya saya mengucapkan terima kasih. Buku lainnya
berjudul [dalam bahasa Italia] "Olotropia : Kata-Kata Keakraban
Kristiani", kata-kata yang membantu kita menjalani hidup kita. Buku itu
baru saja diterbitkan dan ditulis oleh seorang pakar alkitab dan murid Kardinal
Martini; ia bekerja di Milan tetapi menjadi imam di Keuskupan Albenga-Imperia.
______
(Peter Suriadi - Bogor, 22 Desember 2020)
[1]Keadaan Manusiawi, Chicago, University of Chicago
Press, 1958, hlm. 246.
[2]Ibid., Hal. 247.
[3]Wejangan pada Pertemuan Ekumenis dan Lintasagama
dengan Kaum Muda, Skopje, Makedonia Utara (7 Mei 2019) : L’Osservatore Romano,
9 Mei 2019, hlm. 9.
[4]“Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari
murid-murid Yesus yang berkata: 'Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup
mendengarkannya?' Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya
bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: 'Adakah perkataan itu
menggoncangkan imanmu?'" (Yoh 6:60-61). Namun hanya berlandaskan krisis
itulah pengakuan iman dapat muncul : "Tuhan, kepada siapakah kami akan
pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68).
[5]Bdk. E. LEVINAS, Totalité et infini, Paris, 2000,
76.