Marilah kita
melanjutkan perjalanan kita bercermin pada Santo Yosef (Yusuf). Setelah
menjabarkan lingkungan di mana ia tinggal, perannya dalam sejarah keselamatan
dan ketulusannya serta Maria, tunangannya, hari ini saya ingin membahas aspek
pribadi penting lainnya : keheningan. Sangat sering saat ini kita membutuhkan
keheningan. Keheningan itu penting. Saya dikejutkan oleh sebuah ayat dari Kitab
Kebijaksanaan yang dibaca dengan mengingat Natal, yang mengatakan : "Sebab
sementara sunyi senyap meliputi segala sesuatu, firman-Mu yang mahakuasa
melompat dari dalam sorga" (18:14-15). Saat paling hening, Allah
mewujudkan diri-Nya. Memikirkan keheningan di zaman ini di mana keheningan
tampaknya tidak memiliki banyak nilai adalah penting.
Keempat Injil
tidak berisi satu kata pun yang diucapkan oleh Yosef (Yusuf) dari Nazareth :
tidak sepatah katapun, ia tidak pernah berbicara. Ini tidak berarti bahwa ia
pendiam, tidak : ada alasan yang lebih mendalam mengapa keempat Injil tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dengan keheningannya, Yosef (Yusuf) menegaskan
apa yang ditulis Santo Agustinus : “Sejauh Sabda itu – yaitu, Sabda yang
menjadi manusia – tumbuh di dalam diri kita, kata-kata makin berkurang”.[1]
Sejauh Yesus, kehidupan rohani, tumbuh, kata-kata makin berkurang. Apa yang
bisa kita gambarkan sebagai "burung beo", berbicara seperti burung
beo, terus-menerus, sedikit berkurang. Yohanes Pembaptis sendiri, yaitu “suara
orang yang berseru-seru di padang gurun : Persiapkanlah jalan untuk Tuhan,
luruskanlah jalan bagi Tuhan” (Mat 3:3), mengatakan dalam kaitannya dengan Sang
Sabda, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh 3:30). Ini
berarti Ia harus berbicara dan aku harus diam, dan melalui keheningannya, Yosef
(Yusuf) mengundang kita untuk meninggalkan ruang bagi kehadiran Sang Sabda yang
menjadi manusia, bagi Yesus.
Keheningan
Yosef (Yusuf) bukan bersifat bisu, ia bukan pendiam; keheningan Yosef (Yusuf)
penuh dengan mendengarkan, keheningan yang giat, keheningan yang memunculkan
kedalamannya yang luar biasa. “Bapa mengucapkan sepatah kata, dan sepatah kata
itu adalah Putra-Nya”, ulas Santo Yohanes dari Salib, Bapa mengucapkan sepatah
kata dan sepatah kata itu adalah Putra-Nya - “dan sepatah kata itu selalu
berbicara dalam keheningan abadi, dan dalam keheningan sepatah kata itu harus
didengar oleh jiwa”.[2]
Yesus
dibesarkan di “sekolah” ini, di rumah Nazaret, dengan teladan sehari-hari Maria
dan Yosef (Yusuf). Dan tidak mengherankan bahwa Ia sendirian mencari ruang
keheningan dalam hari-hari-Nya (bdk. Mat 14:23) dan mengundang murid-murid-Nya
untuk memiliki pengalaman seperti itu dengan keteladanan : "Marilah ke
tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!"
(Mrk 6:31).
Alangkah
baiknya jika kita masing-masing, mengikuti teladan Santo Yosef (Yusuf), mampu
memulihkan ranah kehidupan kontemplatif ini, terbuka lebar dalam keheningan.
Tetapi kita semua tahu dari pengalaman bahwa itu tidak mudah : keheningan
membuat kita sedikit takut, karena keheningan meminta kita untuk menyelidiki
diri kita sendiri dan menghadapi bagian dari diri kita yang sesungguhnya. Dan banyak
orang takut akan keheningan, mereka harus berbicara, dan berbicara, dan
berbicara, atau mendengarkan radio atau televisi… tetapi mereka tidak dapat
menerima keheningan karena mereka takut. Filsuf Pascal mengamati bahwa
"segenap ketidakbahagiaan manusia muncul dari satu fakta, bahwa mereka
tidak dapat berdiam diri di ruangan mereka sendiri".[3]
Saudara dan
saudari yang terkasih, marilah kita belajar dari Santo Yosef (Yusuf) bagaimana
mengolah ruang untuk keheningan yang di dalamnya Sabda lain dapat muncul, yaitu
Yesus, Sang Sabda : Sabda Roh Kudus yang bersemayam di dalam diri kita, yang
dibawa oleh Yesus. Tidak mudah untuk mengenali Suara itu, yang sangat sering
dikacaukan dengan ribuan suara kekhawatiran, godaan, keinginan, dan harapan
yang bersemayam di dalam diri kita; tetapi tanpa latihan yang justru datang
dari pelaksanaan keheningan ini, lidah kita juga bisa merana. Tanpa pelaksanaan
keheningan, lidah kita juga bisa merana. Alih-alih membuat kebenaran bersinar,
justru bisa menjadi senjata yang berbahaya. Sesungguhnya perkataan kita bisa
menjadi sanjungan, sesumbar, dusta, fitnah dan umpatan. Sebuah kenyataan yang
tak dapat dipungkiri bahwa, sebagaimana kita diingatkan oleh Kitab Sirakh,
“Sudah banyak yang tewas karena mata pedang, tetapi belum sebanyak yang gugur
karena lidah” (28:18), lidah membunuh lebih banyak daripada mata pedang. Yesus
mengatakan dengan jelas : siapa pun yang berbicara buruk tentang saudara atau
saudarinya, siapa pun yang memfitnah sesamanya, adalah seorang pembunuh (bdk. Mat
5:21-22). Membunuh dengan lidah. Kita tidak percaya hal ini, tetapi merupakan
kebenaran. Marilah kita sedikit berpikir tentang saat-saat kita telah membunuh
dengan lidah : kita akan malu! Tetapi akan ada baiknya untuk kita, amat sangat
baik.
Kebijaksanaan
biblis menegaskan bahwa "hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka
menggemakannya, akan memakan buahnya" (Ams 18:21). Dan Rasul Yakobus,
dalam Suratnya, yang kita baca di awal, mengembangkan tema kuno tentang
kekuatan, positif dan negatif, dari kata dengan contoh-contoh yang mencolok,
dan ia berkata : “Barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah
orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya ... Demikian
juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan
perkara-perkara yang besar ... Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan
dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari
mulut yang satu keluar berkat dan kutuk” (3:2-10).
Inilah
sebabnya mengapa kita harus belajar dari Yosef (Yusuf) untuk menumbuhkan
keheningan : ruang batin di zaman kita di mana kita memberi Roh kesempatan
untuk meregenerasi diri kita, menghibur kita, membetulkan diri kita. Saya tidak
mengatakan jatuh ke dalam kebisuan, tidak. Keheningan. Tetapi sangat sering,
kita masing-masing melihat ke dalam diri kita, ketika kita sedang mengerjakan
sesuatu dan ketika kita selesai, segera kita mencari telepon untuk melakukan
panggilan lain … kita selalu seperti ini. Dan ini tidak membantu, ini membuat kita
tergelincir ke dalam kedangkalan. Kedalaman hati tumbuh dengan keheningan,
keheningan yang tidak bisu seperti yang saya katakan, tetapi yang meninggalkan
ruang untuk kebijaksanaan, bercermin dan Roh Kudus. Kita takut saat-saat
keheningan. Jangan sampai kita takut! Ini akan membuat kita baik. Dan selain
bermanfaatnya bagi hati kita, juga akan menyembuhkan lidah kita, perkataan kita
dan terutama pilihan kita. Faktanya, Yosef (Yusuf) menggabungkan keheningan
dengan tindakan. Ia tidak berbicara, tetapi ia bertindak, dan dengan demikian
menunjukkan apa yang pernah dikatakan Yesus kepada murid-murid-Nya: “Bukan
setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga” (Mat 7:21).
Keheningan. Kata-kata yang berbuah ketika kita berbicara, dan kita mengingat
lagu itu : "Pembebasan bersyarat, pembebasan bersyarat, pembebasan
bersyarat ...", kata-kata, kata-kata, kata-kata, dan tanpa hakekat.
Keheningan, berbicara dengan cara yang benar, dan sedikit menggigit lidahmu,
yang terkadang baik ketimbang mengatakan hal-hal bodoh.
Mari kita
akhiri dengan doa:
Santo Yosef,
manusia keheningan,
engkau yang
dalam Injil tidak mengucapkan sepatah kata pun,
ajari kami
untuk berpuasa dari kata-kata yang sia-sia,
untuk
menemukan kembali nilai kata-kata yang meneguhkan, mendorong, menghibur, dan
mendukung.
Dekatlah
dengan mereka yang menderita akibat kata-kata yang menyakitkan,
seperti
fitnah dan umpatan,
dan tolonglah
kami untuk senantiasa menyelaraskan perkataan dengan perbuatan. Amin.
Terima kasih.
___________________________________
[Imbauan]
Dalam beberapa
jam terakhir telah terjadi ledakan dahsyat di Cap-Heitien, Haiti utara, di mana
banyak orang, termasuk banyak anak-anak, kehilangan nyawa mereka. Haiti yang
malang, satu demi satu; mereka adalah orang-orang yang menderita. Marilah kita
berdoa, marilah kita berdoa untuk Haiti, mereka adalah orang-orang baik,
orang-orang religius, tetapi mereka sangat menderita. Saya dekat dengan
penduduk kota itu dan keluarga para korban, serta yang terluka. Saya
mengundangmu untuk bergabung dengan saya dalam mendoakan saudara-saudari kita,
yang sangat dicobai ini.
_______________________________________
[Sapaan Khusus]
Saya menyapa
para peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris, terutama kelompok dari Nigeria
dan Amerika Serikat. Saya berdoa agar kamu masing-masing, dan keluargamu, dapat
mengalami hari-hari terakhir Adven sebagai persiapan yang bermanfaat bagi
kedatangan Sang Juruselamat dunia yang baru lahir. Semoga Allah memberkatimu!
_______________________________________
[Ringkasan dalam Bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]
Saudara dan
saudari terkasih : Dalam katekese lanjutan kita tentang Santo Yosef, kita
sekarang membahas Yosef sebagai “manusia keheningan”. Keempat Injil tidak
melaporkan satu pun kata yang diucapkannya, namun menampilkan Yosef sebagai
model mendengarkan Sabda Allah yang penuh perhatian dan bertindak berdasarkan
hal itu. Memang, keheningan Yosef adalah tanda hati yang kontemplatif,
menegaskan pengamatan Santo Agustinus bahwa, “ketika Sabda Allah makin
meningkat, kata-kata manusia kandas” (Khotbah 288:5). Kerendahan hati Yosef
yang teduh mengajarkan kita untuk memberi ruang di dalam hati kita bagi
Kristus, dan dengan demikian membedakan kehendak Bapa bagi hidup kita. Yesus
belajar pentingnya keheningan dari teladan Yosef dan Maria, dan pada gilirannya
mengajar murid-murid-Nya untuk memeliharanya. Kita juga dipanggil untuk melatih
keheningan batin dan mendengarkan sabda Allah dengan penuh perhatian, jangan
sampai kekhawatiran, godaan, dan ketakutan kita sehari-hari menyesatkan
kata-kata yang kita ucapkan dan melukai sesama. Meskipun tidak mudah,
memelihara keheningan kontemplatif adalah jalan pasti menuju pengetahuan diri
yang otentik dan pertumbuhan rohani. Semoga kita belajar dari teladan
keheningan Santo Yosef untuk memperkenankan Tuhan mengisi hati kita dan
membimbing kata-kata kita dalam pelayanan kebenaran-Nya dan dalam kasih amal
terhadap semua saudara dan saudari kita.
______
(Peter
Suriadi - Bogor, 15 Desember 2021)