Setelah
genap waktunya, Allah menjadi manusia, Ia tidak datang menukik ke dunia dari
surga yang tinggi. Ia lahir dari Maria. Ia tidak dilahirkan bagi seorang
perempuan tetapi dari seorang perempuan. Hal ini pada hakekatnya berbeda –
artinya Allah ingin mengambil rupa daging darinya. Ia tidak mempergunakannya, tetapi
meminta "ya", meminta persetujuannya. Maka, bersamanya dimulailah
perjalanan lambat kehamilan umat manusia yang bebas dari dosa dan dipenuhi
dengan rahmat dan kebenaran, dipenuhi dengan kasih dan kesetiaan. Kemanusiaan
yang indah, baik dan sejati, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi
pada saat yang sama, dijalin dengan daging kita yang dipersembahkan oleh Maria…
tidak pernah tanpa dia… selalu dengan persetujuannya… dalam kebebasan, dengan
cuma-cuma, dengan penuh hormat, dalam kasih.
Dan
inilah cara yang dipilih Allah untuk masuk ke dalam dunia dan masuk ke dalam
sejarah. Inilah cara-Nya. Dan cara ini penting, sama pentingnya dengan fakta
bahwa Ia datang. Keibuan ilahi Maria - keibuan perawan, keperawanan yang subur
- adalah cara yang mengungkapkan Allah yang sangat menghormati kebebasan kita.
Ia yang menciptakan kita tanpa kita tidak berkendak untuk menyelamatkan kita
(bdk. Santo Agustinus, Khotbah CLXIX, 13).
Cara
Ia memilih untuk datang menyelamatkan kita juga adalah cara Ia mengundang kita
untuk mengikuti-Nya agar terus menjalin kemanusiaan – baru, bebas,
diperdamaikan – bersama dengan-Nya. Inilah kata-Nya : mendamaikan umat manusia.
Gaya, cara berhubungan dengan kita, yang daripadanya berasal banyak keutamaan
kebaikan manusia dan hidup bersama yang bermartabat. Salah satu keutamaan ini
adalah kebaikan hati, sebagai cara hidup yang memupuk persaudaraan dan
persahabatan sosial (bdk. Fratelli Tutti, 222-224).
Dan
berbicara tentang kebaikan hati, pada saat ini, pikiran saya dengan sendirinya
tertuju kepada Paus Emeritus Benediktus XVI yang terkasih yang meninggalkan
kita pagi ini. Kita tergerak saat kita mengingatnya sebagai orang yang sangat
luhur, sangat baik. Dan kita merasakan syukur yang demikian dalam hati kita :
rasa syukur kepada Allah karena telah memberikan dia bagi Gereja dan dunia;
terima kasih kepadanya atas semua kebaikan yang ia capai, dan terutama, atas
kesaksian iman dan doanya, terutama kenangan tahun-tahun terakhir hidupnya.
Hanya Allah yang tahu nilai dan kekuatan perantaraannya, tentang pengorbanan
yang ia persembahkan untuk kebaikan Gereja.
Dan
malam ini, saya ingin mengusulkan kembali kebaikan hati juga sebagai keutamaan sipil,
khususnya memikirkan Keuskupan Roma kita.
Kebaikan
hati adalah aspek penting budaya dialog, dan dialog sangat diperlukan untuk
hidup dalam damai, hidup sebagai saudara dan saudari, yang tidak selalu sepakat
– ini wajar – tetapi tetap berbicara satu sama lain, mendengarkan satu sama
lain dan mencoba untuk memahami satu sama lain dan bergerak ke arah satu sama
lain. Kita hanya perlu memikirkan akan seperti apa “dunia tanpa dialog yang
sabar dari begitu banyak orang yang murah hati yang telah menjaga kesatuan
keluarga dan komunitasnya. Dialog yang gigih dan berani tidak menjadi berita
seperti perselisihan dan konflik, namun secara diam-diam membantu dunia untuk
hidup lebih baik, lebih daripada yang dapat kita bayangkan” (Fratelli Tutti,
198). Kebaikan hati, kemudian, adalah bagian dari dialog. Kebaikan hati bukan
hanya masalah “tatakrama”; bukan masalah "etika", perilaku sopan….
Tidak. Bukan kebaikan hati yang kita maksud ketika membicarakannya. Sebaliknya,
kebaikan hati adalah keutamaan yang harus diemban kembali dan diamalkan setiap
hari untuk melawan arus dan memanusiakan masyarakat kita.
Bahaya
individualisme konsumeris ada di depan mata semua orang. Dan kerugian yang
paling serius adalah orang-orang lain, orang-orang di sekitar kita, dianggap
sebagai penghalang ketenangan kita, kesejahteraan kita. Orang-orang lain
“membuat kita tidak nyaman", “mengganggu” kita, merampok waktu dan sumber
daya kita untuk melakukan apa yang kita mau. Masyarakat kita yang
individualistis dan konsumeris cenderung agresif, karena orang lain adalah
pesaing yang harus disaingi (bdk. Fratelli Tutti, 222). Tetapi, di dalam masyarakat
kita ini, dan bahkan dalam situasi paling sulit yang kita hadapi, ada
orang-orang yang menunjukkan bagaimana memungkinkannya untuk “memilih melakukan
kebaikan” dan dengan demikian, dengan gaya hidup mereka, mereka “menjadi
bintang-bintang yang bersinar di tengah kegelapan” (bdk. Fratelli Tutti, 222).
Santo
Paulus, masih dalam surat kepada jemaat di Galatia yang menjadi sumber Bacaan
untuk liturgi ini, berbicara tentang buah Roh Kudus yang salah satunya
disebutkan dengan menggunakan kata Yunani chrestotes (bdk. 5:22). Inilah yang
dapat kita pahami sebagai “kebaikan hati”: sikap baik hati yang menopang dan
menghibur orang lain serta menghindari segala bentuk kekasaran dan kekerasan.
Chrestotes adalah cara memperlakukan orang dengan kehati-hatian agar tidak
melukainya dengan perkataan atau perbuatan; untuk meringankan beban orang lain,
menghibur, menguatkan, menjadi pelipur, dan memberi dorongan, tanpa pernah
merendahkan, membuat sedih, marah, dan menghina (bdk. Fratelli Tutti, 223).
Kebaikan
hati adalah penangkal terhadap beberapa patologi masyarakat kita : penangkal
terhadap kekejaman yang terkadang dapat merasuki seperti racun merembes ke
dalam hati, hubungan yang memabukkan; penangkal terhadap kecemasan dan hiruk
pikuk yang membuat kita berfokus pada diri kita sendiri, menutup diri terhadap
orang lain (bdk. Fratelli Tutti, 224). “Penyakit” dalam kehidupan kita
sehari-hari ini membuat kita agresif, membuat kita tidak mampu meminta
“permisi”, atau bahkan mengatakan “maaf”, atau sekadar mengucapkan “terima
kasih”. Tiga kata yang sangat manusiawi untuk hidup bersama ini : permisi,
maaf, terima kasih. Dengan tiga kata ini, kita bergerak maju dalam damai, dalam
persahabatan manusiawi. Ketiganya adalah kata-kata kebaikan hati: permisi,
maaf, terima kasih. Ada baiknya kita memikirkan apakah kita sering
mempergunakannya dalam hidup kita : permisi, maaf, terima kasih. Jadi, ketika
kita bertemu orang yang baik hati di jalan, atau di toko, atau di kantor, kita
terheran-heran, bagaikan keajaiban kecil karena, sayangnya, kebaikan hati sudah
tidak umum lagi. Tetapi, syukur kepada Allah, masih ada orang-orang baik hati
yang tahu bagaimana mengesampingkan segala kecemasan dan kesibukannya untuk
memberikan perhatian dan senyuman, mengucapkan kata-kata yang memberi dorongan,
mendengarkan seseorang yang perlu menceritakan sesuatu dan melampiaskannya
(bdk. Fratelli Tutti, 224).
Saudara-saudari
terkasih, saya pikir mengambil kebaikan hati sebagai keutamaan pribadi dan
sipil dapat sangat membantu untuk meningkatkan kehidupan dalam keluarga,
komunitas, dan kota. Karena alasan ini, saat kita memandang tahun baru sebagai
Kota Roma, harapan saya bagi kita semua yang tinggal di sini adalah agar kita
dapat bertumbuh dalam keutamaan ini : kebaikan hati. Pengalaman mengajarkan bahwa
kebaikan hati, jika menjadi gaya hidup, dapat menciptakan kehidupan bersama
yang sehat, dapat memanusiakan hubungan sosial, memencarkan agresi dan
ketidakpedulian (bdk. Fratelli Tutti, 224).
Marilah
kita memandang ikon Perawan Maria. Hari ini dan besok, di sini di Basilika
Santo Petrus, kita dapat menghormatinya melalui gambar Bunda Maria dari
Carmine, Avigliano, dekat Potenza. Janganlah kita menerima begitu saja keibuan
ilahinya! Marilah kita membiarkan diri kita terkagum-kagum dengan pilihan Allah
yang sudi datang ke dunia dalam seribu cara untuk mewujudkan kuasa-Nya dan,
sebaliknya, menghendaki untuk dikandung dalam kebebasan penuh dalam rahim
Maria, ingin dibentuk selama sembilan bulan seperti setiap bayi dan, pada
akhirnya, lahir darinya, lahir dari seorang perempuan. Jangan sampai kita
melewatkan hal ini dengan cepat. Marilah kita berhenti sejenak untuk
berkontemplasi dan bermeditasi karena di sini terdapat ciri khas misteri
keselamatan. Dan marilah kita mencoba mempelajari “metode” Allah, rasa hormat-Nya
yang tak terbatas, “kebaikan hati”-Nya, boleh dikatakan begitu, karena jalan
menuju dunia yang lebih manusiawi ditemukan dalam keibuan ilahi Perawan Maria.
_______
(Peter Suriadi - Bogor, 1 Januari 2023)