Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 25 September 2024 : RANGKAIAN KATEKESE TENTANG ROH KUDUS DAN SANG MEMPELAI PEREMPUAN. ROH KUDUS MENUNTUN UMAT ALLAH MENUJU YESUS, SANG PENGHARAPAN. 7 : YESUS DIBAWA OLEH ROH KE PADANG GURUN. ROH KUDUS, SEKUTU KITA DALAM BERPERANG MELAWAN ROH JAHAT

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Segera setelah dibaptis di Sungai Yordan, Yesus “dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis” (Mat 4:1) – inilah yang dikatakan Injil Matius. Prakarsa bukan dari Iblis, tetapi dari Allah. Ketika pergi ke padang gurun, Yesus menaati inspirasi Roh Kudus; Ia tidak jatuh ke dalam jerat musuh, tidak, tidak! Setelah Ia bertahan dalam cobaan, sebagaimana tertulis, Ia kembali ke Galilea “dalam kuasa Roh” (Luk 4:14).

 

Di padang gurun, Yesus membebaskan diri-Nya dari Iblis, dan sekarang Ia dapat membebaskan dari Iblis. Ia membebaskan diri-Nya, Ia membebaskan dari Iblis. Itulah yang disoroti para Penginjil dengan berbagai kajian tentang pembebasan dari kerasukan. Yesus berkata kepada para penentang-Nya, "Jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Mat 12:28). Dan Yesus mengusir setan, dengan mengacu Kerajaan Allah.

 

Saat ini kita sedang menyaksikan fenomena aneh mengenai Iblis. Pada tingkat budaya tertentu, diyakini bahwa ia tidak ada. Ia dapat menjadi lambang alam bawah sadar kolektif, atau keterasingan; singkatnya, sebuah metafora. Namun, "tipu muslihat Iblis yang paling cerdik adalah meyakinkanmu bahwa ia tidak ada!", tulis seseorang (Charles Baudelaire). Ia cerdik: ia membuat kita percaya bahwa ia tidak ada, dan dengan cara ini ia menguasai segalanya. Ia licik. Namun dunia kita yang berteknologi dan sekuler ini penuh dengan tukang sihir, okultisme, spiritualisme, astrolog, penjual mantra dan jimat, dan sayangnya dengan sekte setan yang nyata. Setelah diusir dari pintu, Iblis masuk kembali, bisa dikatakan, melalui jendela. Setelah diusir dari iman, ia masuk kembali dengan takhayul. Dan jika kamu percaya takhayul, kamu secara tidak sadar sedang berbicara dengan Iblis. Kita tidak berbicara dengan Iblis.

 

Bukti terkuat tentang keberadaan Iblis tidak ditemukan pada orang berdosa atau orang yang kerasukan, tetapi pada orang kudus! "Bagaimana ini bisa terjadi, Bapa?". Ya, memang benar bahwa Iblis hadir dan bekerja dalam bentuk kejahatan dan kefasikan tertentu yang ekstrem dan "tidak manusiawi" yang kita lihat di sekitar kita. Namun, melalui rute ini, secara praktis mustahil untuk mencapai, dalam kasus-kasus individual, kepastian bahwa itu benar-benar dia, mengingat kita tidak dapat mengetahui dengan tepat di mana tindakannya berakhir dan kejahatan kita dimulai. Inilah sebabnya mengapa Gereja sangat bijaksana dan sangat ketat dalam melakukan pengusiran setan, tidak seperti apa yang terjadi, sayangnya, dalam film-film tertentu!

 

Dalam kehidupan para kudus, tepatnya di sana, Iblis dipaksa keluar ke tempat terbuka, untuk menempatkan dirinya "melawan terang". Semua orang kudus, semua orang percaya yang hebat, kurang lebih beberapa, bersaksi tentang perjuangan mereka dengan kenyataan yang samar-samar ini, dan kita tidak dapat dengan jujur ​​berasumsi bahwa mereka semua tertipu atau sekadar korban prasangka pada zaman mereka.

 

Pertempuran melawan roh jahat dimenangkan seperti yang dimenangkan Yesus di padang gurun: dengan menyerang menggunakan sabda Allah. Kamu melihat Yesus tidak berbicara dengan Iblis, Ia tidak pernah berbicara dengan Iblis. Entah Ia mengusirnya, atau mengutuknya, tetapi Ia tidak pernah berbicara. Dan di padang gurun, Ia tidak menjawab dengan sabda-Nya, tetapi dengan sabda Allah. Saudara-saudari, jangan pernah berbicara dengan Iblis; ketika godaan muncul: "Tetapi, ini akan baik, itu akan baik" - berhentilah. Angkat hatimu kepada Tuhan, berdoalah kepada Bunda Maria dan usirlah dia, sebagaimana diajarkan Yesus kepada kita bagaimana mengusirnya. Santo Petrus juga menyarankan cara lain, yang tidak dibutuhkan Yesus, tetapi kita butuhkan - kewaspadaan. "Waspadalah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya" (1 Ptr 5:8). Dan Santo Paulus berkata kepada kita, "Janganlah beri kesempatan kepada Iblis" (Ef 4:27).

 

Setelah Kristus, di kayu salib, mengalahkan selamanya kekuasaan “penguasa dunia ini” (Yoh 12:31), seorang Bapa Gereja berkata, “Iblis terikat, seperti anjing yang diikat dengan rantai; ia tidak dapat menggigit siapa pun kecuali mereka yang, menentang bahaya, mendekatinya... Ia dapat menggonggong, ia dapat mendesak, tetapi ia hanya dapat menggigit mereka yang menginginkannya”[1]. Jika kamu seorang bodoh dan kamu pergi kepada Iblis dan berkata, “Ah, apa kabar?”, dan segala macamnya, itu menghancurkan dirimu. Iblis – jarak. Kita tidak berbicara dengan Iblis. Kita mengusirnya. Jarak. Dan kita semua, setiap orang, kita memiliki pengalaman tentang bagaimana Iblis mendekati dengan beberapa godaan. Godaan sepuluh perintah Allah: ketika kita merasakan hal ini, berhentilah, jaga jarak: jangan mendekati anjing yang dirantai.

 

Teknologi modern, misalnya, selain banyak sumber daya positif yang patut dihargai, juga menawarkan banyak cara untuk "memberi kesempatan kepada Iblis", dan banyak yang jatuh ke dalam perangkap. Pikirkanlah pornografi daring, yang di baliknya terdapat pasar yang berkembang pesat: kita semua tahu ini. Iblis sedang bekerja, di sana. Dan ini adalah fenomena yang sangat meluas, yang harus diwaspadai dan ditolak dengan tegas oleh umat kristiani. Karena telepon pintar apa pun memiliki akses ke kebrutalan ini, ke bahasa Iblis ini: pornografi daring.

 

Kesadaran akan tindakan iblis dalam sejarah seharusnya tidak membuat kita putus asa. Pikiran terakhir harus, juga dalam kasus ini, tentang kepercayaan dan keamanan: "Aku bersama Tuhan, pergilah". Kristus mengalahkan Iblis dan memberi kita Roh Kudus untuk menjadikan kemenangan-Nya milik kita. Tindakan musuh dapat berbalik menguntungkan kita, jika dengan pertolongan Allah kita menjadikannya sebagai pemurnian kita. Karena itu marilah kita memohon kepada Roh Kudus, dengan kata-kata madah Datanglah Ya Roh Pencipta:

 

Halaulah musuh umat-Mu

Berilah kami damai-Mu

Agar dengan tuntunan-Mu

Kami hindarkan yang jahat

 

Hati-hatilah, Iblis itu cerdik – tetapi kita umat kristiani, dengan kasih karunia Allah, lebih cerdik daripada dia. Terima kasih.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah berbahasa Inggris yang mengikuti Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Australia, India, Malaysia, Filipina, Taiwan, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa para mahasiswa baru Sekolah Tinggi Bahasa Inggris Venerable, beserta doa-doa saya untuk persiapan mereka menjadi imam. Atas kamu semua, dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus. Allah memberkatimu.

 

[Imbauan Bapa Suci]

 

Saya bersedih mendengar berita dari Lebanon, di mana dalam beberapa hari terakhir pengeboman hebat telah menelan banyak korban dan menyebabkan kerusakan. Saya berharap masyarakat internasional dapat melakukan berbagai upaya untuk menghentikan eskalasi yang mengerikan ini. Hal ini tidak dapat diterima.

 

Saya menyampaikan kedekatan saya kepada rakyat Lebanon, yang telah terlalu banyak menderita di masa lalu. Dan marilah kita mendoakan semua orang, semua orang yang menderita akibat perang: janganlah kita lupakan Ukraina yang tersiksa, Myanmar, Palestina, Israel, Sudan, semua orang yang sedang menderita. Marilah kita berdoa untuk perdamaian.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese kita tentang Roh Kudus, kini kita beralih ke kisah Injil tentang godaan Yesus di padang gurun, yang bukan saja berbicara kepada kita tentang kenyataan Iblis, si penggoda, tetapi juga tentang kemahakuasaan Tuhan untuk membebaskan kita dari jeratnya. Bukti terbesar tentang keberadaan Iblis tidak dapat ditemukan dalam bukti kejahatan di dunia kita, tetapi dalam kehidupan dan kesaksian para kudus. Melalui upaya mereka untuk bertumbuh dalam kebajikan dan kekudusan, para kudus bersaksi tentang kenyataan kedosaan roh jahat dan perlunya berjuang melawan godaan untuk berbuat dosa. Kemenangan Tuhan yang bangkit atas kuasa kejahatan dan dosa memberi kita harapan yang pasti bahwa, dengan percaya pada sabda-Nya dan dikuatkan oleh kasih karunia Roh Kudus, kita dapat mengatasi setiap godaan, mengalami pemurnian dalam hati kita dan bertumbuh dalam persatuan dengan Kristus.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 25 September 2024)

 



[1] Santo Caesarius dari Arles, Khotbah 121, 6: CC 103, hlm. 507.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 22 September 2024 : YANG TERBESAR ADALAH YANG PEDULI TERHADAP YANG TERLEMAH

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini (Mrk 9:30-37) menceritakan kepada kita tentang Yesus yang mewartakan apa yang akan terjadi pada puncak hidup-Nya: "Anak Manusia", kata Yesus, "akan diserahkan ke dalam tangan manusia, mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit" (ayat 31). Akan tetapi, para murid, sementara mereka mengikuti Sang Guru, memikirkan dan membicarakan hal-hal lain. Ketika Yesus bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka bicarakan, mereka tidak menjawab.

 

Marilah kita perhatikan diamnya mereka ini: para murid terdiam karena mereka sedang memperdebatkan siapa yang terbesar (bdk. ayat 34). Mereka terdiam karena malu. Betapa kontrasnya dengan perkataan Tuhan! Sementara Yesus menceritakan rahasia hidup-Nya kepada mereka, mereka malah berbicara tentang kekuasaan. Maka sekarang rasa malu menutup mulut mereka, sebagaimana kesombongan telah menutup hati mereka sebelumnya. Tetapi Yesus menanggapi secara terbuka bisik-bisik perbincangan mereka di sepanjang jalan: “Jika seseorang ingin menjadi yang pertama, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (bdk. ayat 35). Apakah kamu ingin menjadi besar? Jadikanlah dirimu kecil, tempatkanlah dirimu untuk melayani semua orang.

 

Dengan sepatah kata yang sederhana sekaligus tegas, Yesus memperbarui cara hidup kita. Ia mengajarkan kita bahwa kekuasaan sejati tidak berupa kekuasaan orang yang terkuat, tetapi kepedulian terhadap orang yang terlemah. Kekuasaan sejati adalah kepedulian terhadap orang yang terlemah – inilah membuatmu besar!

 

Itulah sebabnya Sang Guru mengambil seorang anak kecil, menempatkannya di tengah-tengah para murid dan memeluknya, seraya berkata, "Siapa saja yang menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku" (ayat 37). Anak kecil tidak memiliki kekuasaan; anak kecil memiliki kebutuhan. Ketika kita peduli terhadap seseorang, kita menyadari bahwa orang itu selalu membutuhkan kehidupan.

 

Kita, kita semua, hidup karena kita telah disambut, tetapi kekuasaan membuat kita melupakan kebenaran ini. Kamu hidup karena kamu telah disambut! Kemudian, kita menjadi penguasa, bukan pelayan, dan yang pertama menderita berakibat pada yang terakhir: yang kecil, lemah dan miskin.

 

Saudara-saudari, berapa banyak orang, berapa banyak, yang menderita dan meninggal karena perebutan kekuasaan! Kehidupan mereka disangkal oleh dunia, seperti halnya dunia menyangkal Yesus, mereka dikucilkan dan meninggal… Ketika Ia diserahkan ke dalam tangan manusia, Ia tidak menemukan pelukan, tetapi salib. Tetapi, Injil tetap hidup dan penuh dengan harapan: Dia yang telah disangkal, telah bangkit, Dialah Tuhan!

 

Sekarang, pada hari Minggu yang indah ini, kita dapat bertanya kepada diri kita: apakah aku tahu bagaimana mengenali wajah Yesus dalam yang terkecil? Apakah aku peduli terhadap sesamaku, melayani dengan murah hati? Dan apakah aku berterima kasih kepada orang-orang yang peduli terhadapku?

 

Marilah bersama-sama kita berdoa kepada Maria, agar seperti dia, kita terbebas dari kesombongan, dan siap melayani.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Dengan sedih saya mendengar Juan Antonio López telah dibunuh di Honduras. Selain menjadi koordinator pelayanan pastoral sosial di Keuskupan Trujillo, ia adalah anggota pendiri pelayanan pastoral ekologi terpadu di Honduras. Saya turut berduka cita atas Gereja itu, dan mengutuk segala bentuk kekerasan. Saya dekat dengan semua orang yang melihat hak-hak asasi mereka dilanggar, serta dengan orang-orang yang bekerja demi kebaikan bersama sebagai tanggapan atas jeritan kaum miskin dan bumi.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma serta para peziarah dari Italia dan banyak negara lainnya. Secara khusus, saya menyapa warga Ekuador yang tinggal di Roma, yang merayakan Bunda Maria dari El Cisne. Saya menyapa Paduan Suara “Teresa Enríquez de Torrijos” Toledo, kelompok keluarga dan anak-anak Slovakia, serta umat Meksiko.

 

Saya menyapa para peserta pawai untuk meningkatkan kesadaran akan kondisi para narapidana. Kita harus bekerja untuk memastikan bahwa para narapidana hidup dalam kondisi yang bermartabat. Siapa pun bisa melakukan kesalahan. Seseorang dipenjara agar dapat melanjutkan hidup yang jujur ​​setelahnya.

 

Saya menyapa delegasi yang datang pada kesempatan Hari Kesadaran Ataksia Sedunia, dan Lembaga “La Palma” Castagnola, Massa.

 

Saudara-saudari, marilah kita terus berdoa untuk perdamaian. Sayangnya, ketegangan meningkat di garis depan perang. Biarlah suara rakyat, yang menyerukan perdamaian, didengar. Janganlah kita lupakan Ukraina yang tersiksa, Palestina, Israel, Myanmar, banyak negara yang sedang berperang. Marilah kita berdoa untuk perdamaian.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua. Dan jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 22 September 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 18 September 2024 : PERJALANAN APOSTOLIK KE INDONESIA, PAPUA NUGINI, TIMOR-LESTE, DAN SINGAPURA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini saya ingin memulai dengan kabar baik: Saya ingin memperkenalkan dua orang yang hendak bunuh diri kepadamu: keduanya akan menikah Sabtu depan! Tepuk tangan meriah untuk mereka!

 

Sungguh indah melihat saat cinta menuntun kita untuk membentuk keluarga baru: inilah sebabnya saya ingin memperkenalkan keduanya kepadamu, bersyukur kepada Tuhan.

 

Dan hari ini saya akan berbicara tentang perjalanan apostolik yang saya lakukan di Asia dan Oseania: perjalanan ini disebut perjalanan apostolik karena bukan perjalanan wisata, melainkan perjalanan untuk membawa Sabda Tuhan, memperkenalkan Tuhan, dan juga mengenal jiwa bangsa-bangsa. Dan ini sangat baik.

 

Paulus VI, pada tahun 1970, adalah Paus pertama yang terbang menuju matahari terbit, dengan kunjungan panjang ke Filipina dan Australia, tetapi juga singgah di berbagai negara Asia dan Kepulauan Samoa. Dan itu adalah perjalanan yang mengesankan, bukan? Karena Santo Yohanes XXIII adalah orang pertama yang meninggalkan Vatikan, pergi ke Asisi dengan kereta api; kemudian, Santo Paulus VI melakukan hal itu: sebuah perjalanan yang mengesankan! Dalam perjalanan ini juga saya mencoba mengikuti teladannya tetapi, karena berusia beberapa tahun lebih tua darinya, saya membatasi diri pada empat negara: Indonesia, Papua Nugini, Timor-Leste dan Singapura. Saya bersyukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya sebagai seorang Paus yang sudah tua untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan sebagai seorang Jesuit muda, karena saya ingin pergi ke sana sebagai seorang misionaris!

 

Renungan pertama yang muncul secara alami setelah perjalanan ini yaitu dalam memikirkan Gereja, kita masih terlalu Eurosentris, atau seperti yang dikatakan orang, "bersifat kebaratan". Tetapi pada kenyataannya, Gereja jauh lebih besar, jauh lebih besar daripada Roma dan Eropa, jauh lebih besar! Dan juga, jika boleh saya katakan, jauh lebih hidup, di negara-negara tersebut. Saya mengalaminya secara mengasyikkan dengan bertemu dengan komunitas-komunitas tersebut, mendengarkan kesaksian para imam, biarawati, kaum awam, dan khususnya para katekis – para katekis adalah orang-orang yang menggerakkan evangelisasi. Gereja-gereja tidak melakukan penyebaran agama, tetapi bertumbuh “dengan daya tarik”, sebagaimana dikatakan dengan bijak oleh Benediktus XVI.

 

Di Indonesia, sekitar sepuluh persen penduduk beragama Kristen, dan tiga persen beragama Katolik – minoritas. Namun, yang saya jumpai adalah Gereja yang hidup dan dinamis, yang mampu menghayati dan mewartakan Injil di negara yang memiliki budaya yang sangat luhur, cenderung menyelaraskan keberagaman, dan pada saat yang sama memiliki jumlah umat Muslim terbesar di dunia. Dalam konteks itu, saya mendapat penegasan bahwa bela rasa adalah jalan yang dapat dan harus ditempuh oleh umat kristiani untuk memberi kesaksian tentang Kristus Sang Juru Selamat, dan pada saat yang sama menjumpai tradisi-tradisi keagamaan dan budaya yang agung. Mengenai bela rasa, janganlah kita lupakan tiga sifat Tuhan: kedekatan, belas kasihan, dan bela rasa. Allah dekat, berbelas kasihan, dan berbela rasa. Jika seorang kristiani tidak memiliki belas kasihan, ia tidak berguna. “Iman, persaudaraan, bela rasa” adalah semboyan kunjungan ke Indonesia: atas dasar kata-kata ini, setiap hari Injil memasuki kehidupan umat secara nyata, menyambutnya dan memberinya rahmat Yesus yang telah wafat dan bangkit kembali. Kata-kata ini bagaikan jembatan, seperti terowongan yang menghubungkan Katedral Jakarta dengan masjid terbesar di Asia. Di sana, saya melihat persaudaraan adalah masa depan, jawaban atas antiperadaban, atas rencana jahat kebencian dan perang – juga sektarianisme. Ada persaudaraan.

 

Saya menemukan kembali keindahan Gereja misioner di Papua Nugini, sebuah kepulauan yang membentang hingga hamparan Samudra Pasifik. Di sana, berbagai kelompok etnis berbicara lebih dari delapan ratus bahasa – delapan ratus bahasa digunakan di sana – lingkungan yang ideal bagi Roh Kudus, yang suka membuat pesan kasih bergema dalam simfoni bahasa. Apa yang dibuat oleh Roh Kudus bukan keseragaman, melainkan simfoni, keselarasan; Dia adalah pelindung, Dia adalah pemilik keselarasan. Di sana, dengan cara tertentu, para pelaku utama telah dan masih menjadi misionaris dan katekis. Saya bersukacita karena dapat tinggal sebentar bersama para misionaris dan katekis hari ini; dan saya tergerak mendengarkan lagu-lagu dan musik orang muda: di dalamnya, saya melihat masa depan baru, tanpa kekerasan suku, tanpa ketergantungan, tanpa kolonialisme ideologis dan ekonomi; masa depan persaudaraan dan kepedulian terhadap lingkungan alam yang menakjubkan. Papua Nugini dapat menjadi "laboratorium" untuk model pembangunan menyeluruh ini, yang diilhami oleh "ragi" Injil. Karena tidak ada kemanusiaan baru tanpa manusia baru, dan hanya Tuhan yang menciptakannya. Dan saya juga ingin menyebutkan kunjungan ke Vanimo, tempat para misionaris berada di antara hutan dan laut. Mereka memasuki hutan untuk mencari suku-suku yang paling tersembunyi, di sana... itu adalah kenangan yang indah.

 

Kekuatan pesan kristiani tentang kemajuan manusia dan sosial khususnya terbukti dalam sejarah Timor-Leste. Di sana, Gereja telah ambil bagian dalam proses kemerdekaan dengan seluruh penduduk, selalu membimbingnya menuju perdamaian dan rekonsiliasi. Tidak ada hubunganya dengan ideologisasi iman, tidak; imanlah yang menjadi budaya dan pada saat yang sama mencerahkannya, memurnikannya, menjunjungnya. Itulah sebabnya saya meluncurkan kembali hubungan yang bermanfaat antara iman dan budaya, yang telah ditunjukkan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya. Iman harus diinkulturasikan dan budaya harus dievangelisasi. Iman dan budaya. Namun, terutama, saya terpesona oleh keindahan masyarakatnya: masyarakat yang telah menanggung banyak hal tetapi tetap bersukacita, masyarakat yang bijaksana dalam penderitaan. Masyarakat yang tidak hanya melahirkan banyak anak – ada lautan anak-anak, begitu banyak, ya? – tetapi juga mengajarkan mereka cara tersenyum. Saya tidak akan pernah melupakan senyum anak-anak di tanah itu, di wilayah itu. Anak-anak di sana selalu tersenyum, dan jumlahnya banyak. Iman mengajarkan mereka untuk tersenyum, dan merupakan jaminan untuk masa depan. Singkatnya, di Timor-Leste saya melihat kemudaan Gereja: keluarga, anak-anak, kaum muda, banyak seminaris dan calon pelaku hidup bakti. Saya ingin mengatakan, tanpa melebih-lebihkan, bahwa saya menghirup "udara musim semi" di sana!

 

Perhentian terakhir dalam perjalanan ini adalah Singapura. Sebuah negara yang sangat berbeda dengan tiga negara lainnya: sebuah negara-kota, sangat modern, pusat ekonomi dan keuangan untuk Asia dan sekitarnya. Di sana, umat kristiani adalah minoritas, tetapi mereka tetap membentuk Gereja yang hidup, terlibat dalam membina keselarasan dan persaudaraan antara berbagai suku, budaya, dan agama. Bahkan di Singapura yang kaya ada "orang-orang kecil", yang mengikuti Injil serta menjadi garam dan terang, saksi bagi harapan yang lebih besar daripada apa yang dapat dijamin oleh keuntungan ekonomi.

 

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang mendengarkan saya dengan hangat, penuh kasih, dan berterima kasih kepada pihak pemerintah mereka yang telah banyak membantu kunjungan ini, sehingga kunjungan ini dapat terlaksana dengan tertib dan tanpa masalah. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang turut membantu, dan saya bersyukur kepada Allah atas anugerah perjalanan ini! Dan saya sampaikan kembali rasa terima kasih saya kepada semua orang. Semoga Allah memberkati orang-orang yang saya jumpai, dan membimbing mereka di jalan menuju perdamaian dan persaudaraan! Salam untuk semuanya!

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris, khususnya rombongan dari Inggris, Irlandia, Belanda, Norwegia, Kamerun, Afrika Selatan, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Atas kamu semua dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus. Allah memberkatimu!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam perjalanan apostolik saya baru-baru ini ke Indonesia, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Singapura, saya menjumpai banyak komunitas kristiani yang besar dan bersemangat. Pertumbuhan yang melimpah yang dialami Gereja di negara-negara ini berasal dari iman yang hidup dan penuh sukacita yang ditandai oleh belas kasihan dan rasa hormat bagi seluruh anak Allah, terlepas dari agama atau budaya mereka. Kesaksian ini, dan pengalaman nyata persaudaraan dan kerja sama dengan agama-agama lain menawarkan harapan bagi masa depan yang lebih adil dan rukun dalam keluarga manusiawi kita. Saya berterima kasih kepada berbagai otoritas sipil dan agama karena memungkinkan kunjungan saya, dan saya berdoa agar Allah sudi membimbing negara-negara tersebut di jalan kemakmuran dan perdamaian.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 September 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 September 2024: ARTI MENGENAL YESUS

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini menceritakan kepada kita bahwa Yesus, setelah bertanya kepada para murid-Nya tentang apa yang dipikirkan orang tentang diri-Nya, langsung bertanya kepada mereka. "Menurut kamu, siapakah Aku ini?" (Mrk 8:29). Petrus menjawab mengatasnamakan seluruh anggota kelompok, dengan mengatakan, "Engkaulah Kristus" (ayat 30), yaitu, Engkaulah Mesias. Namun, ketika Yesus mulai berbicara tentang penderitaan dan kematian yang menanti-Nya, kembali mengatasnamakan seluruh anggota kelompok, Petrus menolak, dan Yesus menegurnya dengan keras, "Enyahlah Iblis!" - Ia berkata kepada Iblis - sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (ayat 33).

 

Melihat sikap rasul Petrus, kita juga dapat bertanya kepada diri kita sendiri apa artinya sungguh mengenal Yesus. Apa artinya mengenal Yesus?

 

Sebenarnya, di satu sisi Petrus menjawab dengan sempurna, dengan mengatakan kepada Yesus bahwa Dia adalah Kristus. Akan tetapi, di balik kebenaran kata-kata ini masih ada cara berpikir “manusiawi”, suatu mentalitas yang membayangkan seorang Mesias yang kuat, Mesias yang menang, yang tidak dapat menderita atau mati. Jadi, kata-kata yang digunakan Petrus untuk menjawab “benar” adanya, tetapi cara berpikirnya tidak berubah. Ia masih harus mengubah pola pikirnya, ia masih harus bertobat.

 

Dan ini adalah sebuah pesan, pesan yang penting bagi kita juga. Memang, kita juga telah belajar sesuatu tentang Allah, kita mengetahui ajaran-Nya, kita melafalkan doa-doa dengan benar dan, mungkin, kita menanggapi dengan baik pertanyaan “Menurutmu, siapakah Yesus itu?”, dengan beberapa rumusan yang kita pelajari dalam katekismus. Akan tetapi, apakah kita yakin bahwa hal ini berarti sungguh mengenal Yesus? Kenyataannya, untuk mengenal Tuhan, tidaklah cukup hanya mengetahui sesuatu tentang Dia, tetapi lebih kepada mengikuti-Nya, memperkenankan diri kita disentuh dan diubah oleh Injil-Nya. Masalahnya adalah memiliki hubungan dengan Dia, sebuah perjumpaan. Saya dapat mengetahui banyak hal tentang Yesus, tetapi jika saya belum berjumpa Dia, saya tetap tidak mengenal siapa Yesus. Perjumpaan ini diperlukan untuk mengubah hidup: mengubah cara berada, mengubah cara berpikir, mengubah hubungan dengan saudara-saudarimu, kemauan untuk menerima dan mengampuni, mengubah pilihan yang kamu buat dalam hidupmu. Segalanya berubah jika kamu sungguh mengenal Yesus! Segalanya berubah.

 

Saudara-saudari, teolog Lutheran dan pastor Bonhoeffer, korban Nazi, menulis: "Apa yang terus-menerus menggangguku adalah pertanyaan tentang apa sesungguhnya kekristenan itu, atau siapakah Kristus sesungguhnya, bagi kita saat ini" (Dietrich Bonhoeffer, Surat dan dokumen dari penjara). Sayangnya, banyak orang tidak lagi mengajukan pertanyaan ini kepada diri mereka dan tetap "tidak terganggu", tertidur, bahkan jauh dari Allah. Sebaliknya, betapa pentingnya bertanya pada diri kita sendiri: apakah aku memperkenankan diriku terganggu, apakah aku bertanya siapakah Yesus bagiku, dan tempat apa yang Ia tempati dalam hidupku? Apakah aku mengikuti Yesus hanya dalam perkataan, terus memiliki mentalitas duniawi, atau apakah aku berusaha mengikuti-Nya, memperkenankan perjumpaan dengan-Nya mengubah hidupku?

 

Semoga Maria, bunda kita, yang mengenal Yesus dengan baik, membantu kita dalam pertanyaan ini.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya menyampaikan rasa simpati saya kepada penduduk Vietnam dan Myanmar, yang tengah menderita akibat banjir yang disebabkan oleh topan dahsyat. Saya mendoakan mereka yang meninggal, terluka, dan mengungsi. Semoga Allah melindungi mereka yang telah kehilangan orang-orang yang mereka cintai dan rumah mereka, serta memberkati orang-orang yang datang untuk menolong mereka.

 

Kemarin, Moisés Lira Seraphin dibeatifikasi di Mexico City. Seorang imam dan pendiri Kongregasi Misionaris Cinta Kasih Maria Tak Bernoda, ia meninggal pada tahun 1950, setelah menghabiskan hidupnya untuk membantu orang-orang agar berkembang dalam iman dan cinta kepada Tuhan. Semoga semangat kerasulannya mendorong para imam untuk memberikan diri mereka tanpa syarat, demi kebaikan rohani umat Allah yang kudus. Tepuk tangan meriah untuk sang beato yang baru! Saya dapat melihat bendera Meksiko di sana…

 

Hari ini di Italia diperingati sebagai Hari Sklerosis Lateral Amiotrofik Sedunia. Saya pasti mengingat para penderita dan keluarga mereka dalam doa; saya mendorong karya penelitian tentang patologi ini, dan lembaga-lembaga sukarelawan.

 

Dan janganlah kita lupakan perang yang menyebabkan pertumpahan darah di dunia. Saya memikirkan Ukraina yang tersiksa, Myanmar, saya memikirkan Timur Tengah. Betapa banyak korban yang tidak bersalah. Saya memikirkan para ibu yang kehilangan putra mereka dalam perang. Betapa banyak nyawa orang muda yang terenggut! Saya memikirkan Hersh Goldberg-Polin, yang ditemukan tewas pada bulan September, bersama dengan lima sandera lainnya di Gaza. Pada bulan November tahun lalu, saya bertemu dengan Rachel, ibunya, yang membuat saya terkesan dengan kemanusiaannya. Saya menemaninya di momen ini. Semoga pertikaian di Palestina dan Israel berakhir! Semoga kekerasan berakhir! Semoga kebencian berakhir! Biarlah para sandera dibebaskan, biarlah negosiasi berlanjut, dan biarkan solusi damai ditemukan!

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan banyak negara. Secara khusus, umat Paroki Santa Ratu Jadwiga di Radom, Polandia; kelompok imam Jesuit yang datang ke Roma untuk belajar; para mahasiswa dari Stade, Jerman, dan para peserta jalan estafet dari Roma menuju Asisi. Dan saya menyapa kaum muda Immacolata, yang telah menerima tiga tahbisan pada hari-hari ini: selamat!

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua. Dan mohon, jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 September 2024)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM PERTEMUAN DENGAN PARA USKUP, IMAM, DIAKON, PELAKU HIDUP BAKTI, SEMINARIS DAN KATEKIS DI GEREJA KATEDRAL SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA 4 September 2024

[Bapa Suci naik ke lantai setelah mendengarkan beberapa kesaksian, dan ia meminta katekis yang baru saja selesai untuk tinggal di sisinya sejenak.]


Dengan Anda berdiri di sini di hadapan semua orang, saya ingin menyampaikan sesuatu.

 

Para katekis membawa Gereja maju. Merekalah yang bergerak maju terlebih dahulu, diikuti oleh para biarawati, kemudian para imam dan uskup. Namun, para katekis berada di garis depan, merekalah penggerak Gereja.

 

Dalam salah satu perjalanan saya ke Afrika, Presiden suatu negara memberitahu saya bahwa ia telah dibaptis oleh ayahnya yang adalah seorang katekis. Iman diwariskan di rumah dan dalam logat. Para katekis, bersama dengan para ibu dan nenek, mewariskan iman. Saya sangat berterima kasih kepada semua katekis: mereka baik, sangat baik! Terima kasih!


_________________________________________

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Ada kardinal, uskup, imam, biarawan, awam, dan anak-anak, tetapi kita semua adalah saudara dan saudari. Gelar paus, kardinal, dan uskup tidaklah sepenting itu, kita semua adalah saudara dan saudari. Setiap orang memiliki tugas untuk menumbuhkan umat Allah.

 

Saya menyapa semua yang hadir, kardinal, uskup, imam, diakon, pelaku hidup bakti, seminaris dan katekis. Saya berterima kasih kepada Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) atas kata sambutannya, serta saudara-saudari kita yang telah berbagi kesaksian mereka dengan kita.

 

Sebagaimana Anda ketahui, semboyan yang dipilih untuk kunjungan apostolik ini adalah Iman, Persaudaraan, Bela Raya. Saya kira ketiga kebajikan ini mengungkapkan dengan baik perjalanan Anda sebagai Gereja dan watak Anda sebagai umat, yang beraneka ragam secara etnis dan budaya. Pada saat yang sama, Anda dicirikan oleh keinginan bawaan untuk bersatu dan hidup berdampingan secara damai, sebagaimana dipersaksikan oleh prinsip-prinsip tradisional Pancasila. Sekarang saya ingin merenungkan bersama Anda tiga kata ini.

 

Kata yang pertama adalah iman. Indonesia adalah negara yang besar, dengan banyak kekayaan alam, dalam hal tumbuhan dan satwa liar, sumber energi, bahan baku dan sebagainya. Jika dilihat secara dangkal, kekayaan yang begitu besar bisa menjadi alasan untuk berbangga diri atau arogan, tetapi ketika dipertimbangkan dengan pikiran dan hati yang terbuka, kekayaan ini justru dapat menjadi pengingat akan Allah, akan kehadiran-Nya dalam kosmos dan dalam kehidupan kita, sebagaimana diajarkan Kitab Suci kepada kita (bdk. Kej 1; Sir 42:15; 43:33). Sesungguhnya, Tuhan yang memberikan semua ini. Tidak ada sejengkal pun wilayah Indonesia yang mengagumkan, atau satu momen pun dalam kehidupan jutaan penduduknya yang bukan merupakan anugerah Allah, tanda kasih-Nya yang tak bersyarat dan abadi sebagai Bapa. Melihat semua yang telah diberikan kepada kita dengan mata yang rendah hati seperti anak-anak membantu kita untuk percaya, menyadari diri kita sebagai orang kecil dan dikasihi (bdk. Mzm 8), serta menumbuhkan rasa syukur dan tanggung jawab.

 

Agnes berbicara tentang hal ini ketika mengajak kita untuk menjalani hubungan kita dengan ciptaan dan dengan saudara-saudari kita, terutama yang paling membutuhkan, melalui gaya hidup pribadi dan komunal yang ditandai oleh rasa hormat, sopan-santun, dan kemanusiaan, bersama dengan ketenangan dan kasih Fransiskan.

 

Setelah iman, kata kedua dalam semboyan tersebut adalah persaudaraan. Seorang penyair abad kedua puluh menggunakan ungkapan yang sangat indah untuk menggambarkan sikap ini. Ia menulis bahwa menjadi saudara dan saudari berarti saling mencintai dengan mengakui satu sama lain “seberbeda dua tetes air” (W. Szymborska, “Nulla due volte accade”, dalam La gioia di scrivere. Tutte le poesie (1945-2009), Milano 2009, 45). Betapa indahnya! Ungkapan itu menggambarkannya dengan sempurna. Tidak ada dua tetes air yang sama, tidak juga dua saudara atau saudari, bahkan saudara kembar pun tidak sepenuhnya identik. Maka, menjalani persaudaraan berarti saling menyambut, mengakui satu sama lain sebagai orang yang setara dalam keanekaragaman.

 

Ini juga merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh Gereja Indonesia dan diwujudkan melalui keterbukaan Anda dalam menyikapi berbagai kenyataan internal dan eksternal yang dihadapi pada tataran budaya, etnis, sosial, dan agama. Secara khusus, Gereja lokal Anda menghargai kontribusi semua orang dan dengan murah hati menawarkan bantuan dalam setiap situasi. Ini, saudara-saudari, penting, karena mewartakan Injil tidak berarti memaksakan iman kita, menempatkannya dalam posisi yang bertentangan dengan iman orang lain, atau melakukan proselitisme, melainkan memberi dan berbagi sukacita perjumpaan dengan Kristus (bdk. 1 Ptr 3:15-17), selalu dengan rasa hormat yang besar dan kasih sayang persaudaraan bagi semua orang. Saya mengundang Anda untuk selalu bersikap terbuka dan ramah kepada semua orang – saya suka ungkapan “bergandengan tangan” sebagaimana dikatakan oleh Romo Maxi – para nabi persekutuan, di tengah dunia di mana kecenderungan untuk memecah belah, memaksakan, dan memprovokasi satu sama lain tampaknya terus meningkat (bdk. Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 67). Mengenai hal ini, saya ingin memberitahu Anda sesuatu: tahukah Anda siapa yang paling suka memecah belah di dunia? Pemecah belah besar, yang selalu memecah belah, tetapi Yesuslah yang mempersatukan. Iblislah yang memecah belah, jadi berhati-hatilah!

 

Sebagaimana diingatkan Suster Rina, penting untuk mencoba menjangkau semua orang. Dalam hal ini, diharapkan tidak hanya teks sabda Allah tetapi juga ajaran Gereja dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia agar dapat diakses oleh sebanyak mungkin orang. Nicholas juga menunjukkan perlunya menjangkau semua orang, menggambarkan misi katekis dengan gambaran sebuah "jembatan" yang mempersatukan. Ini menyentuh saya, dan membuat saya berpikir tentang sebuah visi yang indah di kepulauan Indonesia yang luas tentang ribuan "jembatan hati" yang menyatukan semua pulau, dan terlebih lagi jutaan "jembatan" seperti itu yang menyatukan semua orang yang tinggal di sana! Gambaran indah lain tentang persaudaraan adalah permadani besar benang-benang cinta yang melintasi lautan, mengatasi hambatan dan merangkul semua perbedaan, menjadikan semua orang "sehati dan sejiwa" (bdk. Kis 4:32). Itu adalah bahasa hati, jangan lupakan hal ini!

 

Kita sekarang sampai pada kata ketiga: bela rasa, yang sangat erat kaitannya dengan persaudaraan. Bela rasa berarti menderita bersama orang lain, berbagi perasaan: bela rasa adalah kata yang indah! Kita tahu bahwa bela rasa tidak berarti memberi sedekah kepada saudara-saudari yang membutuhkan, memandang rendah mereka dari jaminan dan keberhasilan kita. Sebaliknya, bela rasa berarti mendekatkan diri satu sama lain, menyingkirkan segala sesuatu yang dapat menghalangi kita untuk membungkuk dan menyentuh mereka yang terkapar di tanah dan dengan demikian memberi mereka harapan (bdk. Fratelli Tutti, 70). Ini penting: menyentuh kemiskinan. Ketika saya mendengar pengakuan dosa, saya selalu bertanya kepada orang-orang dewasa, "Apakah kamu memberi sedekah?" dan mereka umumnya menjawab, "Ya" karena mereka adalah orang baik. Tetapi pertanyaan kedua adalah, "Apakah kamu, ketika memberi sedekah, menyentuh tangan pengemis? Apakah kamu menatap matanya? Atau apakah kamu melemparkan koin kepadanya dari kejauhan agar tidak menyentuhnya?" Ini adalah sesuatu yang harus kita semua pelajari: bela rasa berarti menderita, berjalan bersama mereka yang sedang menderita dalam perasaan mereka dan merangkul mereka, menemani mereka. Lebih jauh, bela rasa berarti merangkul mimpi dan keinginan mereka untuk kebebasan dan keadilan, peduli terhadap mereka, mendukung mereka sambil juga melibatkan orang lain, memperluas "jaring" dan garis batas untuk menciptakan dinamika kasih yang sangat luas (bdk. idem, 203). Hal ini tidak berarti menjadi seorang komunis, melainkan berarti mal kasih, berarti cinta.

 

Ada orang-orang yang takut berbela rasa karena mereka menganggapnya sebagai kelemahan, mereka pikir menderita bersama orang lain adalah kelemahan. Sebaliknya, mereka membela, seolah-olah merupakan suatu kebajikan, kelicikan orang-orang yang melayani kepentingan mereka dengan menjaga jarak dari semua orang, dengan tidak membiarkan diri mereka "tersentuh" ​​oleh apa pun atau siapa pun, dengan demikian berpikir agar mereka semakin leluasa dan bebas dalam mencapai tujuan mereka.

 

Saya sedih mengingat seorang yang sangat kaya di Buenos Aires, yang punya kebiasaan mendapatkan, dan mendapatkan, semakin banyak uang. Ia meninggal dan meninggalkan warisan yang sangat banyak. Orang-orang bercanda dengan mengatakan, "Orang malang, mereka tidak bisa menutup peti matinya!" Ia ingin mendapatkan semuanya tetapi tidak mendapatkan apa pun. Hal tersebut mungkin membuat kita tertawa, tetapi jangan lupa bahwa iblis selalu masuk melalui saku! Berpegang pada kekayaan sebagai jaminan adalah cara yang salah dalam memandang kenyataan. Yang membuat dunia terus berjalan bukan perhitungan kepentingan pribadi, yang umumnya berakhir dengan menghancurkan ciptaan dan memecah belah komunitas, tetapi beramal kepada orang lain. Inilah yang menggerakkan kita maju: amal yang memberi dengan sendirinya. Bela rasa tidak mengaburkan visi hidup yang sebenarnya. Sebaliknya, bela rasa membuat kita melihat segala sesuatu dengan lebih baik, dalam terang kasih, dan kita berpikir lebih jernih dengan mata hati. Saya ingin mengulangi, harap berhati-hati, dan jangan lupa bahwa iblis masuk melalui saku!

 

Arsitektur pintu masuk utama Katedral ini, dengan berfokus pada Maria, merangkum dengan sangat baik apa yang telah kita katakan. Di tengah kubah yang runcing itu terdapat sebuah pilar yang di atasnya terdapat patung Perawan Maria. Dengan demikian, pilar itu menunjukkan kepada kita bahwa Bunda Allah terutama adalah model iman, bahkan ia juga secara simbolis menopang seluruh bangunan Gereja melalui jawaban “ya”-nya yang rendah hati terhadap rencana Allah (bdk. Luk 1:38). Namun, pilar itu melambangkan Kristus dan perempuan yang rendah hati yang berdiri di atas pilar itu tampaknya memikul bersama-Nya beban seluruh bangunan, seolah-olah pada akhirnya mengatakan bahwa kerja keras dan kecerdikan manusiawi tidak dapat menopang dirinya sendiri. Maria, dengan demikian, muncul sebagai gambaran persaudaraan, sebuah sikap menyambut di tengah pintu masuk utama bagi semua orang yang ingin masuk. Ia adalah ibu yang menerima kita. Akhirnya, ia juga merupakan ikon bela rasa, yang menjaga dan melindungi umat Allah yang, dengan suka dan duka mereka, kerja keras dan harapan mereka, berkumpul di rumah Bapa. Ia adalah bunda bela rasa.

 

Saudara-saudari terkasih, saya ingin mengakhiri renungan ini dengan mengulang apa yang disampaikan Santo Yohanes Paulus II ketika berbicara kepada para uskup, klerus, dan pelaku hidup bakti selama kunjungannya ke sini beberapa dekade lalu. Mengutip ayat berikut dari Kitab Mazmur, “Laetentur insulae multae – Biarlah banyak pulau bersukacita” (Mzm 97:1), ia mengundang mereka yang mendengarkan untuk mempraktikkannya dengan “memberikan kesaksian tentang sukacita kebangkitan dan dengan memberikan hidupmu bahkan banyak pulau yang paling jauh pun dapat ‘bersukacita’ saat mendengar Injil yang kamu sungguh wartakan, ajarkan, dan persaksikan” (Pertemuan dengan para uskup, klerus, dan pelaku hidup bakti Indonesia, Jakarta, 10 Oktober 1989).

 

Saya juga memperbarui nasihat ini, dan saya mendorong Anda untuk melanjutkan misi Anda dengan menjadi kuat dalam iman, terbuka bagi semua orang dalam persaudaraan dan dekat satu sama lain dalam bela rasa. Kuat, terbuka dan dekat, dengan keteguhan iman. Keterbukaan untuk menyambut semua orang! Saya sangat tersentuh oleh perumpamaan Injil, ketika para tamu pernikahan tidak mau datang, apa yang dilakukan Tuhan? Apakah Ia menjadi getir? Tidak, Ia mengutus hamba-hamba-Nya dan menyuruh mereka pergi ke persimpangan jalan dan membawa semua orang masuk. Dengan cara berpikir yang sangat indah ini, pergilah keluar dengan persaudaraan, bela rasa dan persatuan. Saya memikirkan banyak pulau di sini, begitu banyak pulau, dan Tuhan berkata kepada orang-orang yang baik, kepada Anda, "setiap orang, setiap orang". Sungguh, Tuhan berkata, "baik dan buruk," setiap orang! Saya juga memperbarui nasihat ini dan mendorong Anda untuk melanjutkan misi Anda, kuat dalam iman, terbuka untuk semua orang dalam persaudaraan dan dekat dengan orang lain dalam bela rasa. Iman, persaudaraan dan bela rasa. Saya meninggalkan Anda tiga kata ini, dan Anda dapat memikirkannya nanti. Iman, persaudaraan dan bela rasa. Saya memberkati Anda, dan berterima kasih atas banyak hal baik yang Anda lakukan setiap hari di nusantara yang indah ini! Saya akan berdoa untuk Anda dan saya mohon, mohon, untuk mendoakan saya. Berhati-hatilah tentang satu hal: mendoakan, bukan sebaliknya! Terima kasih.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2024)

SAMBUTAN PAUS FRANSISKUS DALAM PERTEMUAN DENGAN PENERIMA MANFAAT DARI ORGANISASI AMAL DI KANTOR PUSAT KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI) JAKARTA 5 September 2024

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Saya sangat senang berada di sini bersama Anda. Saya menyapa Anda semua, khususnya Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang saya ucapkan terima kasih atas kata pengantarnya yang ramah. Saya juga berterima kasih kepada Mimi dan Andrew atas apa yang telah mereka bagikan kepada kita. Sangatlah tepat para uskup Indonesia telah memilih untuk merayakan ulang tahun keseratus Konferensi Waligereja mereka bersama Anda. Terima kasih! Terima kasih telah membuat keputusan ini. Terima kasih kepada ketua KWI! Saya dapat mengatakan bahwa semangat Karthusian Anda membantu kita melakukan hal-hal ini.

 

Anda adalah bintang-bintang yang bersinar di langit nusantara ini, anggota Gereja yang paling berharga, "harta"-nya, mengutip perkataan Santo Laurensius, diakon dan martir, sejak masa perdana Gereja. Izinkan saya untuk memulai dengan mengatakan bahwa saya sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan Mimi kepada kita: Allah "menciptakan manusia dengan kemampuan unik untuk memperkaya keanekaragaman dunia kita". Anda berbicara dengan baik, Mimi, terima kasih. Ia kemudian menunjukkan hal ini kepada kita dengan berbicara indah tentang Yesus sebagai "mercusuar harapan kita". Terima kasih untuk ini!

 

Pengalaman menghadapi kesulitan bersama-sama, semua melakukan yang terbaik, kita masing-masing memberikan kontribusi khusus, setiap hari memperkaya dan membantu kita menemukan kembali betapa pentingnya bagi kita untuk bekerja bersama-sama: di dunia, di dalam Gereja, di dalam keluarga kita, sebagaimana diingatkan Andrew kepada kita. Marilah kita ucapkan selamat kepadanya karena telah mengambil bagian dalam Paralimpiade! Hebat! Tepuk tangan untuk Andrew! Saat kita melakukannya, marilah kita juga memberi tepuk tangan untuk diri kita sendiri, karena kita semua dipanggil untuk bersama-sama menjadi "juara cinta" dalam "Olimpiade" kehidupan yang megah! Tepuk tangan untuk kita semua!

 

Sahabat-sahabat terkasih, kita semua saling membutuhkan, dan itu bukanlah hal yang buruk. Kita dibantu untuk semakin memahami bahwa hal terpenting dalam hidup kita adalah kasih (bdk. 1 Kor 13:13) dan menyadari betapa banyak orang baik yang ada di sekitar kita. Kita juga diingatkan betapa Allah mengasihi kita, kita masing-masing, bahkan dengan keterbatasan dan kesulitan kita (bdk. Rm 8:35-39). Kita semua unik di mata-Nya dan Ia tidak pernah melupakan kita, tidak pernah. Marilah kita selalu mengingatnya, untuk menjaga harapan kita tetap hidup dan pada gilirannya berusaha, tanpa pernah lelah, untuk menjadikan hidup kita sebagai karunia bagi orang lain (bdk. Yoh 15:12-13).

 

Terima kasih atas pertemuan ini dan atas semua yang Anda lakukan, bersama-sama. Saya memberkati Anda dan saya berdoa untuk Anda. Dan saya meminta Anda juga, tolong, untuk tidak lupa mendoakan saya. Terima kasih. Hari ini saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada ibu yang tidak dapat hadir, ia sudah terbaring di tempat tidur, tetapi hari ini ia berusia 87 tahun. Dan kita semua di sini mengucapkan selamat ulang tahun.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2024)

PIDATO PAUS FRANSISKUS DALAM PERTEMUAN LINTAS AGAMA DI MASJID ISTIQLAL, JAKARTA 5 September 2024

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Saya senang berada di sini, di masjid terbesar di Asia, bersama dengan Anda semua. Saya menyapa Imam Besar Nasaruddin Umar dan berterima kasih atas sambutannya, yang mengingatkan kita bahwa tempat ibadah dan doa ini juga merupakan "rumah besar bagi umat manusia", di mana setiap orang dapat masuk dan meluangkan waktu untuk diri mereka sendiri, guna memberi ruang bagi kerinduan akan ketidakterbatasan yang ada di hati kita masing-masing, serta mengupayakan perjumpaan dengan yang ilahi dan mengalami sukacita persahabatan dengan orang lain.

 

Lebih jauh, saya ingin mengingatkan bahwa masjid ini dirancang oleh arsitek Friedrich Silaban, seorang kristen yang memenangkan sayembara desain. Ini membuktikan bahwa sepanjang sejarah bangsa ini dan dalam tatanan budayanya, masjid, seperti tempat ibadah lainnya, adalah ruang dialog, saling menghormati, dan hidup berdampingan secara rukun antara agama dan kepekaan rohani yang berbeda. Ini adalah anugerah besar yang harus Anda kembangkan setiap hari, sehingga pengalaman keagamaan dapat menjadi titik acuan bagi masyarakat yang bersaudara dan penuh kedamaian serta jangan pernah menjadi alasan untuk berpikiran sempit atau konfrontasi.

 

Dalam hal ini, perlu disebutkan terowongan bawah tanah, “terowongan persahabatan”, yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Ini adalah tanda yang mengesankan, yang memungkinkan kedua tempat ibadah besar ini tidak hanya berada “di depan” satu sama lain, tetapi juga “terhubung” satu sama lain. Memang, terowongan ini memungkinkan mewujudnya perjumpaan, dialog, dan kemungkinan untuk “menemukan dan membagikan “mistik” hidup bersama, berbaur dan bertemu [...] mengambil bagian dalam gelombang yang, meskipun agak kacau, dapat menjadi pengalaman nyata persaudaraan dalam iring-iringan solidaritas, peziarahan suci.” (Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 87). Saya mendorong Anda untuk terus menempuh jalan ini, agar kita semua, bersama-sama, masing-masing mengembangkan spiritualitas dan menjalankan agamanya, dapat berjalan mencari Allah dan berkontribusi dalam membangun masyarakat terbuka, yang berlandaskan rasa hormat dan saling mengasihi, yang mampu melindungi terhadap kekakuan, fundamentalisme, dan ekstrimisme, yang selalu berbahaya dan tidak pernah dapat dibenarkan.

 

Mengingat semua yang telah dikatakan, yang dilambangkan oleh terowongan, saya ingin meninggalkan Anda dengan dua saran untuk mendorong Anda di jalan persatuan dan kerukunan yang telah Anda mulai.

 

Saran pertama adalah selalu melihat secara mendalam, karena hanya dengan cara ini kita dapat menemukan apa yang menyatukan meskipun ada perbedaan. Memang, di permukaan ada ruang di Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang dibatasi dengan baik dan sering dikunjungi oleh masing-masing umat, tetapi di bawah tanah di dalam terowongan, orang-orang yang sama dapat bertemu dan menemukan sudut pandang keagamaan satu sama lain. Gambar ini mengingatkan kita pada fakta penting bahwa aspek-aspek agama yang terlihat – ritus, praktik, dan sebagainya – adalah warisan yang harus dilindungi dan dihormati. Akan tetapi, kita dapat mengatakan bahwa apa yang terletak “di bawah”, apa yang mengalir di bawah tanah, seperti “terowongan persahabatan”, adalah satu akar yang sama bagi semua kepekaan keagamaan: pengupayaan untuk berjumpa yang ilahi, kehausan akan ketidakterbatasan yang telah ditempatkan oleh Yang Mahakuasa di dalam hati kita, pencarian sukacita yang lebih besar dan kehidupan yang lebih kuat daripada segala macam kematian, yang menghidupkan perjalanan hidup kita dan mendorong kita untuk melangkah keluar dari diri kita sendiri untuk berjumpa dengan Allah. Di sini, marilah kita ingat bahwa dengan melihat secara mendalam, memahami apa yang mengalir di kedalaman hidup kita, keinginan akan kepenuhan yang berdiam di kedalaman hati kita, kita menemukan bahwa kita semua adalah saudara dan saudari, semua peziarah, semua dalam perjalanan menuju Allah, melampaui apa yang membedakan kita.

 

Saran kedua adalah menjaga ikatan di antara Anda. Terowongan ini dibangun untuk menciptakan hubungan antara dua tempat yang berbeda dan berjauhan. Inilah yang dilakukan terowongan: menghubungkan, menciptakan ikatan. Terkadang kita berpikir bahwa pertemuan lintas agama adalah masalah mencari titik temu antara ajaran dan kepercayaan agama yang berbeda, berapa pun biayanya. Namun, pendekatan seperti itu dapat berakhir dengan memecah belah kita, karena ajaran dan dogma masing-masing pengalaman keagamaan berbeda. Yang benar-benar mendekatkan kita adalah menciptakan hubungan di tengah keberagaman, menumbuhkan ikatan persahabatan, kepedulian, dan timbal balik. Hubungan ini mengaitkan kita dengan orang lain, memungkinkan kita untuk berkomitmen bersama-sama mengupayakan kebenaran, belajar dari tradisi agama orang lain, dan berkumpul untuk memenuhi kebutuhan manusiawi dan rohani kita. Ikatan ini juga memungkinkan kita untuk bekerja sama, maju bersama dalam mengejar tujuan yang sama: membela martabat manusia, memerangi kemiskinan, dan mempromosikan perdamaian. Persatuan lahir dari ikatan persahabatan pribadi serta saling menghormati dan membela gagasan orang lain dan ruang sakral mereka. Semoga Anda selalu menghargai ini! Saudara-saudari terkasih, “membina kerukunan umat beragama demi kemanusiaan” adalah jalan yang harus kita tempuh. Itulah pula judul deklarasi bersama yang disiapkan untuk kesempatan ini. Dengan menaatinya, kita mengemban tanggung jawab untuk mengatasi krisis-krisis serius dan terkadang dramatis yang mengancam masa depan umat manusia seperti perang dan pertikaian, yang sayangnya terkadang disebabkan oleh manipulasi agama, dan krisis lingkungan hidup, yang menjadi hambatan bagi bangsa-bangsa bertumbuh dan hidup berdampingan. Dalam menghadapi krisis ini, penting untuk secara efektif mempromosikan nilai-nilai yang sama bagi segenap tradisi keagamaan guna membantu masyarakat “mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian” (Deklarasi Bersama Istiqlal) serta mempromosikan rekonsiliasi dan perdamaian.

 

Terima kasih atas jalan bersama yang sedang Anda tempuh. Indonesia adalah negara besar, perpaduan budaya, suku, dan adat istiadat, kekayaan keanekaragaman, yang juga tercermin dalam ekosistem yang beragam. Jika benar kamu adalah rumah bagi tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah tekad bahwa perbedaan dapat diselaraskan melalui kerukunan dan rasa saling menghormati, bukan menjadi sumber pertikaian. Anda dikenal karena kerukunan ini. Jangan sia-siakan anugerah ini! Jangan biarkan diri Anda miskin dari anugerah yang luar biasa ini. Sebaliknya, kembangkan dan wariskanlah, terutama kepada kaum muda. Semoga tidak ada seorang pun yang menyerah pada daya tarik fundamentalisme dan kekerasan. Semoga semua orang justru terpesona oleh impian masyarakat dan kemanusiaan yang bebas, bersaudara, dan penuh kedamaian!

 

Terima kasih atas senyuman ramah Anda, yang selalu terpancar di wajah Anda dan merupakan tanda kecantikan dan keterbukaan batin Anda. Semoga Allah menjaga anugerah ini. Dengan pertolongan dan berkat-Nya, majulah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Terima kasih!

 

[Sambutan di Terowongan Persahabatan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya mengucapkan selamat kepada Anda semua karena tujuan dari "Terowongan Persahabatan" ini adalah sebagai tempat dialog dan perjumpaan.

 

Ketika memikirkan sebuah terowongan, kita mungkin dengan mudah membayangkan sebuah jalan yang gelap. Ini bisa menakutkan, terutama jika kita sendirian. Tetapi di sini berbeda, karena semuanya diterangi. Namun, saya ingin memengatakan kepada Anda bahwa Anda adalah cahaya yang meneranginya, dan Anda melakukannya melalui persahabatan Anda, melalui kerukunan yang Anda jalin, dukungan yang Anda berikan satu sama lain, dan melalui perjalanan bersama, yang pada akhirnya menuntun Anda menuju kepenuhan cahaya.

 

Kita yang menganut tradisi keagamaan yang berbeda memiliki peran untuk membantu setiap orang melewati terowongan kehidupan dengan mata kita yang tertuju pada cahaya. Kemudian, di akhir perjalanan, kita akan dapat mengenali mereka yang telah berjalan di samping kita, seorang saudara, seorang saudari, yang dengannya kita dapat berbagi kehidupan dan saling mendukung.

 

Dalam menghadapi berbagai tantangan saat ini, kita menanggapinya dengan tanda persaudaraan. Sesungguhnya, dengan menyambut orang lain dan menghormati jatidiri mereka, persaudaraan mendorong mereka pada jalan bersama yang ditempuh dalam persahabatan dan mengarah pada cahaya.

 

Saya berterima kasih kepada orang-orang yang bekerja dengan keyakinan bahwa kita dapat hidup rukun dan damai, serta menyadari perlunya dunia yang lebih bersaudara. Saya berharap agar komunitas kita semakin terbuka terhadap dialog lintas agama dan menjadi simbol hidup berdampingan secara damai yang menjadi ciri khas Indonesia.

 

Saya berdoa kepada Allah, Sang Pencipta segalanya, agar Ia memberkati setiap orang yang akan melewati Terowongan ini dalam semangat persahabatan,kerukunan, dan persaudaraan. Terima kasih!

______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2024)