Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 31 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dalam setiap budaya, duduk bersama di meja makan, terutama pada hari-hari istirahat dan perayaan, merupakan tanda perdamaian dan persekutuan. Dalam Bacaan Injil hari Minggu ini (Luk 14:1.7-14), Yesus diundang makan oleh salah seorang pemimpin orang-orang Farisi. Mengundang orang lain ke meja makan merupakan tanda keterbukaan hati, sementara menerima undangan tersebut menuntut kerendahan hati untuk terbuka kepada orang lain dan dunia mereka. Tindakan-tindakan yang menyatukan orang-orang ini membantu memupuk budaya perjumpaan.

 

Perjumpaan tidak selalu mudah. ​​Sang Penginjil mencatat bahwa tamu-tamu lain "mengamat-amati" Yesus dengan saksama; bahkan, Ia diawasi dengan curiga oleh para penafsir tradisi yang lebih ketat. Namun perjumpaan itu terjadi karena Yesus hadir secara tulus; sebagai tamu yang baik, Ia bertindak dengan hormat dan tulus, menghindari formalitas sopan santun yang menghalangi perjumpaan sejati. Akibatnya, seperti kebiasaan-Nya, Ia menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan apa yang Ia lihat sedang terjadi dan mengajak mereka yang mengamati-Nya untuk merefleksikannya. Karena Ia melihat orang-orang berbondong-bondong duduk di tempat-tempat terhormat, sesuatu yang juga terjadi saat ini, bukan dalam keluarga tetapi pada saat ketika orang menganggap penting untuk "diperhatikan", di mana momen kebersamaan berakhir sebagai sebuah kompetisi.

 

Saudari-saudari, ketika kita duduk bersama di meja Ekaristi pada Hari Tuhan, kita juga hendaknya bersedia membiarkan Yesus berbicara. Ia menjadi tamu kita dan Ia dapat memberitahu kita bagaimana Ia memandang kita. Sangat penting bagi kita untuk melihat diri kita sendiri melalui mata-Nya: melihat betapa seringnya kita mereduksi hidup menjadi sebuah kompetisi, betapa kita begitu berambisi untuk mendapatkan semacam pengakuan, dan betapa sia-sianya kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Berhenti sejenak untuk berefleksi, membiarkan diri kita terperanjat oleh sebuah kata yang menantang prioritas hati kita, berarti mengalami kebebasan, yang merupakan panggilan Yesus untuk kita terima.

 

Dalam Bacaan Injil, Yesus berbicara tentang "kerendahan hati" dalam menggambarkan kebebasan yang sempurna (lih. Luk. 14:11). Kerendahan hati sesungguhnya adalah kebebasan dari diri kita sendiri. Kerendahan hati lahir ketika Kerajaan Allah dan kebenarannya menjadi perhatian kita yang sesungguhnya dan kita membiarkan diri kita mengangkat mata dan memandang ke depan: bukan ke bawah ke kaki kita, melainkan ke apa yang ada di depan! Mereka yang meninggikan diri umumnya berpikir bahwa tidak ada yang lebih menarik daripada diri mereka sendiri; namun jauh di lubuk hati, mereka merasa sangat tidak aman. Sementara mereka yang tahu bahwa mereka berharga di mata Allah, yang tahu bahwa mereka adalah anak-anak Allah, memiliki hal-hal yang lebih besar untuk dikhawatirkan; mereka meluhurkan martabat mereka. Begitu kita belajar untuk mengambil tempat yang paling rendah, alih-alih memperjuangkan tempat kehormatan, martabat itu akan muncul, dan kita akan tampil ke depan dengan sederhana dan tanpa usaha.

 

Sahabat-sahabat terkasih, hari ini marilah kita berdoa agar Gereja senantiasa menjadi sekolah kerendahan hati bagi semua orang, rumah di mana semua orang diterima, tempat di mana persaingan disingkirkan, dan tempat di mana Yesus masih berbicara kepada kita dan mengajar kita untuk meneladani kerendahan hati dan kebebasan-Nya. Maria sungguh Bunda dari rumah itu; kepada-Nyalah kita berdoa sekarang.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sangat menyedihkan, perang di Ukraina terus menebar kematian dan kehancuran. Bahkan dalam beberapa hari terakhir, pengeboman telah melanda beberapa kota, termasuk ibu kota Kyiv, yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Saya kembali mendekatkan diri kepada rakyat Ukraina dan seluruh keluarga korban. Saya meminta semua orang untuk tidak menyerah pada ketidakpedulian, tetapi mendekatkan diri kepada mereka melalui doa dan tindakan nyata kasih. Saya menegaskan kembali seruan mendesak untuk gencatan senjata segera dan komitmen serius untuk berdialog. Sekaranglah saatnya bagi mereka yang bertanggung jawab untuk meninggalkan nalar senjata serta mengambil jalan negosiasi dan perdamaian, dengan dukungan komunitas internasional. Suara senjata harus dibungkam, sementara suara persaudaraan dan keadilan harus dilambungkan.

 

Kita doakan para korban penembakan tragis dalam Misa sekolah di Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat, termasuk anak-anak yang tak terhitung jumlahnya yang tewas dan terluka setiap hari di seluruh dunia. Marilah kita memohon kepada Allah untuk menghentikan pandemi senjata, baik besar maupun kecil, yang menjangkiti dunia kita. Semoga Bunda Maria, Ratu Perdamaian, membantu kita menggenapi nubuat Yesaya: "Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas" (Yes 2:4).

 

Hati kita juga terluka oleh lebih dari lima puluh orang yang meninggal dan sekitar seratus orang yang masih hilang setelah kapal yang membawa para migran tenggelam dalam perjalanan sejauh 1.100 km menuju Kepulauan Canary, yang terbalik di lepas Pantai Atlantik Mauritania. Tragedi mematikan ini terulang setiap hari di seluruh dunia. Marilah kita berdoa agar Tuhan sudi mengajar kita, sebagai individu dan masyarakat, untuk sepenuhnya mengamalkan firman-Nya: "Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan" (Mat. 25:35).

 

Kita memercayakan semua saudara kita yang terluka, hilang, dan meninggal, di mana pun, kepada pelukan kasih Sang Juruselamat kita.

 

Besok, 1 September, adalah Hari Doa Sedunia untuk Peduli Ciptaan. Sepuluh tahun yang lalu, selaras dengan Patriark Ekumenis Bartholomew I, Paus Fransiskus menetapkan Hari Doa Sedunia untuk Peduli Ciptaan ini bagi Gereja Katolik. Hal ini lebih penting dan mendesak dari sebelumnya, dan tema tahun ini adalah "Benih Perdamaian dan Pengharapan." Bersama seluruh umat Kristiani, kita merayakannya sepanjang "Masa Ciptaan" ini, yang berlangsung hingga 4 Oktober, Hari Raya Santo Fransiskus dari Asisi. Dalam semangat Kidung Saudara Matahari, yang beliau gubah 800 tahun yang lalu, kita memuji Allah dan memperbarui komitmen kita untuk tidak merusak karunia-Nya, melainkan merawat rumah kita bersama.

 

Saya menyampaikan salam hangat kepada kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan berbagai negara. Secara khusus, saya menyapa kelompok paroki dari Quartu Sant’Elena, Morigerati, Venegono, Rezzato, Brescello, Boretto dan Gualtieri, Val di Gresta, Valmadrera, Stiatico, Sortino, dan Casadio; beserta rombongan keluarga dari Lucca yang menyusuri Via Francigena.

 

Saya juga menyapa Persaudaraan Awam Suster-Suster Dimesse Padua, kaum muda Aksi Katolik dan AGESCI Reggio Calabria, kaum muda Gorla Maggiore dan para konfirmandi Castel San Pietro Terme; serta Gerakan Shalom San Miniato bersama Angiolo del Bravo Philharmonic, Lembaga “Note libere” Taviano, dan kelompok “Genitori Orsenigo”.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua!

________

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 27 Agustus 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 3. PENYERAHAN. “SIAPAKAH YANG KAMU CARI?” (YOH. 18:4)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan berfokus pada sebuah adegan yang menandai awal sengsara Yesus: momen penangkapan-Nya di Taman Zaitun. Penginjil Yohanes, dengan kedalamannya yang biasa, tidak menggambarkan Yesus yang ketakutan, yang melarikan diri atau bersembunyi. Sebaliknya, ia menunjukkan kepada kita seorang manusia bebas, yang maju ke depan dan berbicara, secara terbuka menghadapi saat di mana terang kasih yang terbesar dapat dinyatakan.

 

"Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka, 'Siapakah yang kamu cari?'" (Yoh 18:4). Yesus tahu. Namun, Ia memutuskan tidak mundur. Ia menyerahkan diri-Nya. Bukan karena kelemahan, melainkan karena kasih. Kasih yang begitu penuh, begitu dewasa, sehingga tak takut ditolak. Yesus tidak terkekang: Ia membiarkan diri-Nya direnggut. Ia bukan korban penangkapan, melainkan pemberi anugerah. Dalam gestur ini, Ia mewujudkan pengharapan keselamatan bagi umat manusia: mengetahui bahwa, bahkan di saat tergelap sekalipun, kita dapat tetap bebas untuk mengasihi sampai akhir.

 

Ketika Yesus menjawab, "Akulah Dia," para prajurit pun jatuh ke tanah. Ini merupakan bagian yang misterius, karena ungkapan ini, dalam pewahyuan biblis, mengingatkan kita akan nama Allah: "Akulah Dia." Yesus menyingkapkan bahwa kehadiran Allah justru terungkap ketika umat manusia mengalami ketidakadilan, ketakutan, dan kesepian. Di sanalah, terang sejati siap bersinar tanpa takut dikalahkan oleh kegelapan yang semakin mendekat.

 

Di tengah malam, ketika segalanya tampak berantakan, Yesus menunjukkan bahwa pengharapan kristiani bukanlah penghindaran, melainkan keputusan. Sikap ini merupakan hasil dari doa yang mendalam, di mana Allah tidak diminta untuk menyelamatkan kita dari penderitaan, melainkan memberi kita kekuatan untuk bertekun dalam kasih, menyadari bahwa hidup yang dipersembahkan dengan cuma-cuma demi kasih tidak dapat direnggut oleh siapa pun.

 

"Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi" (Yoh 18:8). Pada saat penangkapan-Nya, Yesus tidak khawatir tentang keselamatan diri-Nya sendiri: Ia hanya menginginkan sahabat-sahabat-Nya bebas. Hal ini menunjukkan bahwa pengorbanan-Nya adalah tindakan kasih yang sejati. Yesus membiarkan diri-Nya ditangkap dan dipenjarakan oleh para penjaga hanya agar murid-murid-Nya dapat dibebaskan.

 

Yesus menjalani hari demi hari dalam hidup-Nya sebagai persiapan untuk saat yang dramatis dan agung ini. Karena itu, ketika saat itu tiba, Ia memiliki kekuatan untuk tidak mencari jalan keluar. Hati-Nya tahu betul bahwa kehilangan nyawa demi kasih bukanlah kegagalan, melainkan memiliki kesuburan yang misterius, seperti sebutir gandum yang, ketika jatuh ke tanah, tidak tinggal sendirian, melainkan mati dan berbuah.

 

Yesus juga merasa gelisah ketika dihadapkan pada jalan yang tampaknya hanya mengarah pada kematian dan akhir. Namun, Ia juga yakin bahwa hanya nyawa yang hilang karena kasih, pada akhirnya, yang ditemukan. Inilah pengharapan sejati: bukan dalam upaya menghindari penderitaan, melainkan dalam keyakinan bahwa bahkan di dalam hati orang yang paling menderita sekalipun, benih kehidupan baru tersembunyi.

 

Dan kita? Seberapa sering kita mempertahankan hidup, rencana, dan jaminan kita, tanpa menyadari bahwa dengan melakukannya, kita tinggal sendirian. Nalar Injil berbeda: hanya apa yang diberikan yang akan berkembang; hanya kasih yang menjadi cuma-cuma yang dapat memulihkan kepercayaan, bahkan ketika segalanya tampak hilang.

 

Injil Markus juga menceritakan tentang seorang muda yang, ketika Yesus ditangkap, melarikan diri dalam keadaan telanjang (14:51). Gambaran ini penuh teka-teki, tetapi sangat menggugah. Kita pun, dalam upaya mengikuti Yesus, mengalami saat-saat di mana kita lengah dan tergoda untuk meninggalkan jalan Injil karena kasih tampak mustahil bagi kita. Namun, seorang muda, di akhir Injil, akan mewartakan kebangkitan kepada para perempuan; tidak lagi telanjang, melainkan mengenakan jubah putih.

 

Inilah pengharapan iman kita: dosa dan keraguan kita tidak menghalangi Allah untuk mengampuni kita dan mengembalikan kepada kita keinginan untuk kembali menjadi pengikut-Nya, membuat kita sanggup memberikan hidup kita bagi orang lain.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita juga belajar untuk menyerahkan diri kita kepada kehendak baik Bapa, menjadikan hidup kita sebagai tanggapan atas kebaikan yang telah kita terima. Dalam hidup, tidak perlu mengendalikan segalanya. Cukuplah memilih untuk mengasihi dengan bebas setiap hari. Inilah pengharapan sejati: mengetahui bahwa, bahkan dalam kegelapan pencobaan, kasih Allah menopang kita dan mematangkan buah kehidupan kekal di dalam diri kita.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita membahas kebebasan dan tekad yang ditunjukkan Yesus pada saat penangkapan-Nya di Taman Zaitun. Tuhan kita menghadapi sengsara-Nya yang akan datang dengan bebas dan sadar, dalam ketaatan pada kehendak Bapa dan sebagai tindakan kasih yang menebus. Dengan cara ini, Ia mengungkapkan hakikat harapan sejati: keyakinan teguh bahwa bahkan di tengah kekerasan, ketidakadilan, dan penderitaan, kasih Allah senantiasa hadir sebagai sumber kesuburan rohani dan janji kehidupan kekal. Cara Yesus menjalankan kebebasan-Nya dalam menghadapi kematian mengajarkan kita bukan hanya untuk tidak takut akan penderitaan, tetapi juga untuk bertekun dalam keyakinan penuh akan pemeliharaan Allah yang penuh kuasa. Semoga hidup kita senantiasa ditandai oleh pengharapan ini, yang lahir dari pengetahuan bahwa jika kita berserah kepada kehendak Allah dan dengan rela menyerahkan hidup kita dalam kasih kepada sesama, rahmat Bapa akan menopang kita dalam setiap pencobaan dan memampukan kita untuk menghasilkan buah yang berlimpah demi keselamatan saudara-saudari kita.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan senang hati pagi ini saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris, terutama dari Inggris, Irlandia, Skotlandia, Malta, Afrika Selatan, Indonesia, Taiwan, Timor-Leste, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Dengan harapan yang penuh doa, semoga Yubileum Pengharapan ini menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu. Saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan kita Yesus Kristus bagi kamu semua.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 24 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Pada pokok Bacaan Injil hari ini (Luk 13:22-30) kita menemukan gambaran tentang "pintu yang sempit", yang digunakan Yesus untuk menjawab pertanyaan yang diajukan seseorang kepada-Nya apakah hanya sedikit orang saja yang akan diselamatkan. Yesus berkata, "Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu! Sebab, Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha masuk, tetapi tidak akan dapat" (ayat 24).

 

Sekilas, gambaran ini mungkin membuat kita berpikir: jika Allah adalah Bapa Maha Kasih dan berbelas kasih, yang senantiasa berdiri dengan tangan terbuka menyambut kita, mengapa Yesus berkata bahwa pintu keselamatan itu sempit?

 

Tentu saja, Tuhan tidak ingin mengecilkan hati kita. Sebaliknya, sabda-Nya terutama dimaksudkan untuk menantang keangkuhan orang-orang yang merasa sudah diselamatkan, yang melakukan tindakan keagamaan dan merasa hanya itu yang dibutuhkan. Mereka tidak menyadari bahwa melakukan tindakan keagamaan saja tidak cukup kecuali mereka mengubah hati. Tuhan tidak menginginkan penyembahan yang terpisah dari kehidupan. Ia tidak berkenan dengan pengurbanan dan doa, kecuali jika hal itu menuntun pada semakin mengasihi sesama dan berlaku adil bagi saudara-saudari kita. Karena alasan ini, ketika orang-orang seperti itu datang kepada Tuhan dengan membanggakan bahwa mereka telah makan dan minum bersama-Nya serta mendengar Dia mengajar di jalan-jalan kota mereka, mereka akan mendengar Dia menjawab, "Aku tidak tahu dari mana kamu datang, enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu sekalian yang melakukan kejahatan!" (ayat 27).

 

Saudara-saudari, tantangan yang disajikan kepada kita dalam Bacaan Injil hari ini patut direnungkan. Meskipun terkadang kita mungkin menghakimi mereka yang jauh dari iman, Yesus mempertanyakan "keamanan orang percaya." Ia mengatakan kepada kita bahwa tidaklah cukup hanya menyatakan iman dengan kata-kata, makan dan minum bersama-Nya dengan merayakan Ekaristi, atau memiliki pengetahuan yang baik tentang ajaran kristiani. Iman kita autentik ketika iman itu merangkul seluruh hidup kita, ketika iman itu menjadi kriteria bagi keputusan-keputusan kita, ketika iman itu menjadikan kita, baik laki-laki maupun perempuan, berkomitmen untuk melakukan apa yang benar dan mengambil risiko karena kasih, sebagaimana dilakukan Yesus. Ia tidak memilih jalan mudah menuju keberhasilan atau kekuasaan; sebaliknya, demi menyelamatkan kita, Ia mengasihi kita sampai Ia berjalan melalui "pintu yang sempit" Salib. Yesus adalah ukuran sejati iman kita; Ia adalah pintu yang harus kita lalui agar diselamatkan (bdk. Yoh. 10:9) dengan mengalami kasih-Nya dan dengan berkarya, dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk mengembangkan keadilan dan perdamaian.

 

Ada kalanya hal ini melibatkan pengambilan keputusan yang sulit dan tidak populer, melawan kecenderungan egois kita, menempatkan diri untuk melayani sesama, dan bertekun dalam melakukan apa yang benar ketika nalar jahat tampaknya menang, dan sebagainya. Namun, begitu kita melewati ambang itu, kita akan menemukan bahwa kehidupan kembali bersemi. Sejak saat itu, kita akan masuk ke dalam hati Allah yang mahaluas dan sukacita perjamuan abadi yang telah Ia siapkan bagi kita.

 

Marilah kita memohon kepada Perawan Maria untuk membantu kita menemukan keberanian untuk melewati "pintu yang sempit" Injil, agar kita dapat membuka diri dengan sukacita menuju pelukan Allah Bapa kita yang penuh kasih.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya menyampaikan rasa kedekatan saya kepada masyarakat Cabo Delgado, Mozambik, yang telah menjadi korban situasi yang tidak aman dan penuh kekerasan yang terus menyebabkan kematian dan pengungsian. Dalam permohonan agar kamu tidak melupakan saudara-saudari kita ini, saya mengajakmu untuk mendoakan mereka, dan saya mengharapkan upaya para pemimpin negara ini akan berhasil memulihkan keamanan dan perdamaian di wilayah tersebut.

 

Jumat lalu, 22 Agustus, kita serentak berdoa dan berpuasa bersama saudara-saudari kita yang sedang menderita akibat perang. Hari ini, kita bergabung dengan saudara-saudari kita di Ukraina yang, melalui prakarsa rohani "Doa Sedunia untuk Ukraina", sedang memohon kepada Tuhan untuk memberikan kedamaian bagi negara mereka yang tersiksa.

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari berbagai negara, terutama dari Karaganda (Kazakhstan), Budapest, serta para seminaris dan staf pengajar Kolese Kepausan Amerika Utara. Dengan senang hati saya menyapa Kelompok Musik Gozzano dan kelompok paroki dari Bellagio, Vidigulfo, Carbonia, Corlo, dan Val Cavallina. Saya juga menyapa umat yang datang bersepeda dari Rovato dan Manerbio, dan kelompok keliling Via Lucis.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 24 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 20 Agustus 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 3. PENGAMPUNAN. “IA MENGASIHI MEREKA SAMPAI PADA KESUDAHANNYA” (YOH. 13:1)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan menelaah salah satu gestur paling mencolok dan cemerlang dalam Injil: momen ketika Yesus, dalam perjamuan terakhir, menawarkan sepotong roti kepada orang yang akan mengkhianati-Nya. Ini bukan sekadar gestur berbagi: jauh lebih dari itu; upaya terakhir kasih untuk tidak menyerah.

 

Santo Yohanes, dengan kepekaan rohaninya yang mendalam, menceritakan momen ini kepada kita sebagai berikut: [Ketika mereka sedang makan bersama], “Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas, anak Simon Iskariot, untuk menyerahkan Dia ... Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya.” (Yoh. 13:1-2). Mengasihi sampai pada kesudahannya: inilah kunci untuk memahami hati Kristus. Kasih yang tak pernah pudar meski menghadapi penolakan, kekecewaan, bahkan rasa tidak tahu terima kasih.

 

Yesus tahu bahwa saat-Nya sudah tiba, tetapi Ia tidak menyerah padanya: Ia memilihnya. Ia mengenali momen di mana kasih-Nya harus melewati luka yang paling menyakitkan, yaitu pengkhianatan. Dan alih-alih menarik diri, menuduh, membela diri… Ia terus mengasihi: Ia membasuh kaki, mencelupkan roti, dan memberikannya.

 

"Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya." (Yoh. 13:26). Dengan sikap sederhana dan rendah hati ini, Yesus mengembangkan kasih-Nya dan mencapai kedalamannya, bukan karena Ia mengabaikan apa yang sedang terjadi, melainkan justru karena Ia melihatnya dengan jelas. Ia telah memahami bahwa kebebasan sesama, bahkan ketika hilang dalam kejahatan, masih dapat diraih melalui terang sikap yang lemah lembut, karena Ia tahu bahwa pengampunan sejati tidak menunggu pertobatan, melainkan menawarkan diri terlebih dahulu, sebagai anugerah cuma-cuma, bahkan sebelum diterima.

 

Sayangnya, Yudas tidak mengerti. Setelah Yudas menerima potongan roti itu – Injil mengatakan – “ia kerasukan Iblis” (ayat 27). Bagian ini menyentuh kita: seolah-olah kejahatan, yang tersembunyi hingga saat itu, menampakkan diri setelah kasih menunjukkan wajahnya yang paling tak berdaya. Dan justru karena alasan inilah, saudara-saudari, potongan roti itu adalah keselamatan kita: karena memberitahu kita bahwa Allah melakukan segalanya – sungguh segalanya – untuk menjangkau kita, bahkan di saat kita menolak-Nya.

 

Di sinilah pengampunan menyingkapkan segenap kuasanya dan menunjukkan wajah sejati pengharapan. Pengampunan bukan hal melupakan; bukan pula kelemahan. Pengampunan adalah kemampuan untuk membebaskan sesama, seraya mengasihinya sampai pada kesudahannya. Kasih Yesus tidak mengingkari kebenaran akan rasa sakit, tetapi tidak membiarkan kejahatan mengambil alih. Inilah misteri yang digenapi Yesus bagi kita, yang di dalamnya kita pun, terkadang, dipanggil untuk turut serta.

 

Betapa banyak hubungan yang hancur, betapa banyak kisah yang menjadi rumit, betapa banyak kata-kata tak terucap yang tertahan. Namun Injil menunjukkan kepada kita bahwa selalu ada cara untuk terus mengasihi, bahkan ketika segala sesuatu tampak tak terelakkan. Mengampuni bukan berarti mengingkari kejahatan, tetapi mencegahnya menghasilkan kejahatan lebih lanjut. Bukan berarti tidak ada yang telah terjadi, tetapi melakukan segala yang mungkin untuk memastikan bahwa kebencian tidak menentukan masa depan.

 

Ketika Yudas meninggalkan ruangan, "hari sudah malam" (ayat 30). Namun segera sesudah Yudas pergi, Yesus berkata, "Sekarang Anak Manusia dimuliakan" (ayat 31). Malam masih ada, tetapi terang telah mulai bersinar. Dan terang itu bersinar karena Kristus tetap setia sampai pada kesudahannya, sehingga kasih-Nya lebih kuat daripada kebencian.

 

Saudara-saudari terkasih, kita juga mengalami malam-malam yang menyakitkan dan sulit. Malam-malam yang menguras jiwa, malam-malam kekecewaan, malam-malam di mana seseorang telah menyakiti atau mengkhianati kita. Pada saat-saat seperti itu, godaannya adalah menutup diri, melindungi diri, balas memukul. Tetapi Tuhan menunjukkan kepada kita pengharapan bahwa jalan lain itu ada, selalu ada. Ia mengajarkan kita bahwa kita dapat menawarkan sepotong roti bahkan kepada seseorang yang berpaling dari kita. Bahwa kita dapat menanggapi dengan diam penuh kepercayaan. Dan bahwa kita dapat melangkah maju dengan bermartabat, tanpa meninggalkan kasih.

 

Hari ini marilah kita memohonkan rahmat untuk mampu mengampuni, bahkan ketika kita merasa tidak dipahami, bahkan ketika kita merasa ditinggalkan. Karena justru pada saat-saat itulah kasih dapat mencapai puncaknya. Sebagaimana Yesus mengajarkan kita, mengasihi berarti membebaskan sesama — bahkan menyingkapkan — tanpa pernah berhenti percaya bahwa kebebasan tersebut, terluka maupun hilang, dapat direnggut dari tipu daya kegelapan dan dikembalikan kepada terang kebaikan.

 

Ketika terang pengampunan berhasil menembus celah-celah hati yang terdalam, kita memahami bahwa pengampunan tidak pernah sia-sia. Sekalipun sesama kita tidak menerimanya, sekalipun tampaknya sia-sia, pengampunan membebaskan mereka yang memberikannya: ia menghilangkan kebencian, ia memulihkan kedamaian, ia mengembalikan kita kepada diri kita sendiri.

 

Dengan gestur sederhana memberikan roti, Yesus menunjukkan bahwa setiap pengkhianatan dapat menjadi kesempatan keselamatan, jika dipilih sebagai ruang untuk kasih yang lebih besar. Tidak menyerah pada kejahatan, melainkan menaklukkannya dengan kebaikan, mencegahnya memadamkan apa yang paling sejati dalam diri kita: kemampuan untuk mengasihi.

 

[Imbauan]

 

Jumat depan, 22 Agustus 2025, kita akan merayakan peringatan Santa Perawan Maria Ratu. Maria adalah Bunda umat beriman di bumi, dan juga disebut Ratu Perdamaian, sementara bumi kita terus terluka oleh perang di Tanah Suci, Ukraina, dan banyak wilayah lain di dunia.

 

Saya mengajak seluruh umat beriman untuk mengabdikan hari 22 Agustus untuk berpuasa dan berdoa, memohon kepada Tuhan agar menganugerahkan kita kedamaian dan keadilan, serta mengeringkan air mata mereka yang menderita akibat konflik bersenjata yang sedang berlangsung. Maria, Ratu Perdamaian, jadilah perantara agar bangsa-bangsa dapat menemukan jalan menuju perdamaian.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi dalam Audiensi hari ini, khususnya rombongan dari Inggris, Finlandia, Malta, Senegal, Australia, Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Amerika Serikat. Saya berdoa agar Yubileum Pengharapan ini menjadi waktu penyembuhan dan pembaruan rohani bagi semua orang di mana pun mereka berada. Atas kamu dan keluargamu, saya memohonkan kekuatan, kasih, dan damai Allah. Allah memberkatimu.

 

[Ringkasan]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", kita terus merenungkan sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus dengan menelaah kasih-Nya yang penuh pengampunan. Meskipun dikhianati, Yesus mengasihi murid-murid-Nya sampai pada kesudahannya: Ia membasuh kaki mereka, dan bahkan memberikan sepotong roti kepada pengkhianat-Nya sebagai upaya terakhir untuk menunjukkan kasih itu. Sesungguhnya, sepotong roti ini menandakan bahwa Allah melakukan segala yang mungkin untuk menjangkau kita demi menawarkan kasih dan pengampunan-Nya. Meskipun tidak pernah menyangkal keberadaan kejahatan atau bersikap seolah-olah hal-hal buruk tidak terjadi di dunia ini, teladan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa pengampunan sejati tidak menunggu penyesalan yang mendalam, melainkan ditawarkan terlebih dahulu sebagai anugerah. Ketika kita mengalami luka dan pengkhianatan, marilah kita memohon rahmat untuk memberikan pengampunan sejati, bahkan ketika kita merasa disalahpahami dan ditinggalkan, atau bahkan ketika tampaknya sia-sia. Dengan cara ini, semoga kita mengenal kebebasan dan kedamaian yang datang dari hati yang penuh kasih dan pengampunan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN DI PIAZZA DELLA LIBERTÀ (CASTEL GANDOLFO) 17 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil hari ini menyajikan kepada kita sebuah teks yang menantang (bdk. Luk 12:49-53), yang di dalamnya Yesus menggunakan gambaran yang kuat dan kejujuran yang luar biasa untuk mengajar para murid-Nya bahwa perutusan-Nya, dan bahkan perutusan para pengikut-Nya, bukanlah "hamparan bunga mawar", melainkan "tanda perbantahan" (bdk. Luk 2:34).

 

Dengan cara ini, Tuhan mengantisipasi apa yang akan Ia hadapi di Yerusalem ketika Ia ditentang, ditangkap, dihina, didera, disalibkan; ketika pesan kasih dan keadilan-Nya ditolak; ketika para pemimpin umat bereaksi dengan kejam terhadap khotbah-Nya. Lebih lanjut, banyak komunitas yang dituju oleh penginjil Lukas juga mengalami hal yang sama. Sebagaimana diceritakan dalam Kisah Para Rasul, mereka adalah komunitas yang penuh kedamaian, yang meskipun memiliki keterbatasan, berusaha sebaik mungkin untuk menghayati pesan kasih Sang Guru (lih. Kis. 4:32-33). Namun, mereka mengalami penganiayaan.

 

Semua ini mengingatkan kita bahwa menjadi baik atau berbuat baik tidak selalu mendapat tanggapan positif. Sebaliknya, karena keindahannya terkadang menjengkelkan mereka yang tidak menyukainya, kita dapat menghadapi pertentangan yang keras, bahkan penghinaan dan penindasan. Bertindak dalam kebenaran ada harganya, karena ada orang-orang di dunia yang memilih kebohongan, dan iblis, yang memanfaatkan situasi, sering kali berusaha menghalangi tindakan orang-orang baik.

 

Namun, Yesus mengajak kita dengan pertolongan-Nya untuk tidak menyerah dan menyesuaikan diri dengan mentalitas ini, melainkan terus bertindak demi kebaikan kita dan semua orang, bahkan mereka yang membuat kita menderita. Ia mengajak kita untuk tidak membalas penghinaan dengan dendam, melainkan untuk tetap setia pada kebenaran dalam kasih. Para martir menjadi saksi hal ini dengan menumpahkan darah mereka demi iman mereka. Kita juga dapat meneladani mereka, bahkan dalam berbagai keadaan dan cara.

 

Marilah kita pikirkan, misalnya, harga yang harus dibayar oleh orang tua yang baik jika mereka ingin mendidik anak-anak mereka sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar. Pada akhirnya, mereka harus berkata "tidak" dan mengoreksi anak-anak mereka; hal ini akan menyakitkan mereka. Hal yang sama berlaku bagi seorang guru yang ingin mendidik siswanya dengan benar, atau bagi seorang profesional, religius, atau politisi, yang ingin menjalankan perutusannya dengan jujur. Hal ini berlaku bagi siapa pun yang berusaha menjalankan tanggung jawabnya secara konsisten sesuai dengan ajaran Injil.

 

Sehubungan dengan hal ini, Santo Ignatius dari Antiokhia, dalam perjalanan menuju Roma untuk menjalani kemartiran, menulis kepada umat Kristiani di kota itu: "Aku tidak ingin kamu menyenangkan manusia, melainkan menyenangkan Allah" (Surat kepada Jemaat di Roma 2:1). Ia menambahkan, "Lebih baik bagiku mati dalam Yesus Kristus daripada memerintah atas ujung-ujung bumi" (idem, 6:1).

 

Saudara-saudari, marilah kita bersama-sama memohon kepada Maria, Ratu Para Martir, untuk membantu kita menjadi saksi Putranya yang setia dan berani dalam segala keadaan, dan menguatkan saudara-saudari kita yang menderita demi iman saat ini.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya dekat dengan rakyat Pakistan, India, dan Nepal yang telah dilanda banjir bandang. Saya mendoakan para korban, keluarga mereka, dan semua yang menderita akibat bencana ini.

 

Marilah kita berdoa agar upaya-upaya untuk mengakhiri perang dan mengembangkan perdamaian dapat membuahkan hasil, dan agar dalam negosiasi, kebaikan bersama masyarakat selalu diutamakan.

 

Di musim panas ini, saya menerima kabar tentang beragam prakarsa penjangkauan budaya dan penginjilan, yang seringkali diselenggarakan di destinasi wisata. Sungguh indah melihat bagaimana semangat untuk Injil menginspirasi kreativitas dan komitmen kelompok dan lembaga dari segala usia. Sebagai contoh, saya teringat akan perutusan orang muda yang baru-baru ini berlangsung di Riccione. Saya berterima kasih kepada para penyelenggara dan semua orang yang telah berpartisipasi dalam berbagai acara tersebut.

 

Dengan penuh kasih sayang saya menyapa kamu semua yang hari ini hadir di sini di Castel Gandolfo.

 

Secara khusus, dengan senang hati saya menyapa kelompok AIDO Coccaglio, yang merayakan lima puluh tahun pengabdian mereka terhadap kehidupan; para pendonor darah AVIS yang datang bersepeda dari Gavardo (Brescia); orang muda Casarano; dan para Suster Fransiskan Santo Antonius.

 

Saya juga memberkati peziarahan agung ke Tempat Ziarah Maria Piekary di Polandia.

 

Semoga kamu semua menikmati hari Minggu yang penuh berkat!
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 15 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari raya!

 

Para Bapa Konsili Vatikan II mewariskan kepada kita sebuah teks yang luar biasa tentang Perawan Maria, yang sebagian ingin saya bacakan kepadamu hari ini saat kita merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Di akhir dokumen tentang Gereja, Konsili mengatakan, “Sementara itu Bunda Yesus telah dimuliakan di surga dengan badan dan jiwanya, dan menjadi citra serta awal Gereja yang harus mencapai kepenuhannya di masa yang akan datang. Begitu pula di dunia ini ia menyinari Umat Allah yang sedang mengembara sebagai tanda harapan yang pasti dan penghiburan, sampai tibalah hari Tuhan (lih. 2Ptr. 3:10).” (Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 68).

 

Maria, yang jiwa dan raganya dibawa Kristus yang bangkit ke dalam kemuliaan, bersinar sebagai ikon harapan bagi anak-anaknya yang berziarah sepanjang sejarah.

 

Bagaimana mungkin kita tidak teringat pada syair Dante dalam canto terakhir Paradiso? Melalui doa yang dipanjatkan Santo Bernardus, yang dimulai dengan "Bunda Perawan, putri Putramu" (XXXIII, 1), sang penyair memuji Maria karena di antara kita manusia fana, ia adalah "sumber harapan yang hidup" (idem., 12), yaitu mata air yang hidup, yang memancar dengan harapan.

 

Saudari-saudari, kebenaran iman kita ini selaras sempurna dengan tema Yubileum: "Peziarah Pengharapan." Para peziarah membutuhkan tujuan yang mengarahkan perjalanan mereka: tujuan yang indah dan menarik yang menuntun langkah mereka dan menyegarkan mereka ketika mereka lelah, yang senantiasa menyalakan kembali kerinduan dan pengharapan dalam hati mereka. Tujuan perjalanan kehidupan kita adalah Allah, Kasih yang tak terbatas dan abadi, kepenuhan hidup, kedamaian, sukacita, dan segala hal yang baik. Hati manusia tertarik pada keindahan semacam itu dan tidak bahagia sampai menemukannya; dan sungguh berisiko tidak menemukannya jika tersesat di tengah "hutan gelap" kejahatan dan dosa.

 

Marilah kita renungkan rahmat ini: Allah datang untuk menemui kita, Ia mengambil rupa kita yang diciptakan dari tanah, dan membawanya dalam diri-Nya ke hadirat Allah, atau sebagaimana biasa kita sebut "ke surga." Itulah misteri Yesus Kristus, yang menjadi manusia, wafat, dan bangkit demi keselamatan kita. Tak terpisahkan dari-Nya, juga misteri Maria, perempuan yang dari dirinya Putra Allah telah mengambil rupa daging, dan misteri Gereja, tubuh mistik Kristus. Misteri ini menyangkut misteri kasih yang unik, dan dengan demikian misteri kebebasan. Sebagaimana Yesus berkata "ya," demikian pula Maria berkata "ya"; ia percaya kepada sabda Tuhan. Seluruh hidupnya telah menjadi peziarahan pengharapan bersama putranya, Putra Allah, sebuah peziarahan yang, melalui salib dan kebangkitan, telah mencapai tanah air surgawi, dalam pelukan Allah.

 

Oleh karena itu, seraya kita melangkah maju, sebagai individu, keluarga dan komunitas, terutama ketika awan datang dan jalan tampak sulit dan tidak pasti, marilah kita angkat pandangan kita, marilah kita memandangnya, Bunda kita, dan kita akan menemukan kembali pengharapan yang tidak mengecewakan (lih. Rm 5:5).

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita ingin memercayakan doa permohonan perdamaian kita kepada perantaraan Perawan Maria, yang diangkat ke surga. Sebagai seorang Ibu, ia menderita karena kejahatan yang menimpa anak-anaknya, terutama mereka yang kecil dan lemah. Berkali-kali selama berabad-abad, ia telah menegaskan hal ini melalui pesan dan penampakan.

 

Dalam menetapkan dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, sementara pengalaman tragis Perang Dunia II masih terasa menyakitkan, Pius XII menulis, "Kita berharap mereka yang merenungkan teladan mulia yang diberikan Maria kepada kita dapat semakin yakin akan nilai kehidupan manusia." Beliau mengungkapkan harapan agar tidak ada lagi ideologi yang "merusak kehidupan manusia dengan menimbulkan perpecahan di antara mereka" (Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus).

 

Alangkah tepat waktu kata-kata ini tetap ada! Bahkan hingga hari ini, sayangnya, kita merasa tak berdaya menghadapi meluasnya kekerasan di dunia — kekerasan yang semakin tuli dan tak peka terhadap setiap gejolak kemanusiaan. Namun, kita tidak boleh berhenti berharap: Allah lebih besar daripada dosa manusia. Kita tidak boleh menyerah pada dominasi nalar pertikaian dan senjata. Bersama Maria, kita percaya bahwa Tuhan terus datang menolong anak-anak-Nya, mengingat kerahiman-Nya. Hanya dalam kerahiman inilah kita dapat kembali ke jalan damai.

 

Sekarang, saya sampaikan salam saya kepadamu, para peziarah dari Italia dan berbagai negara.

 

Saya menyapa komunitas evangelisasi universitas dari Honduras; keluarga Gerakan Kasih Keluarga, yang baru saja menyelesaikan latihan rohani mereka; dan "Santa Rita", kelompok suami istri dan pasangan yang bertunangan.

 

Salam hangat dan pesta penuh sukacita untuk semuanya!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 13 Agustus 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 2. PENGKHIANATAN. “BUKAN AKU, YA?” (MRK. 14:19)

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita melanjutkan perjalanan kita di sekolah Injil, mengikuti jejak Yesus di hari-hari terakhir hidup-Nya. Hari ini kita akan berhenti sejenak pada sebuah adegan yang intim, dramatis, namun juga sangat nyata: momen ketika, dalam perjamuan Paskah, Yesus menyatakan bahwa salah seorang dari dua belas murid-Nya akan mengkhianati-Nya: "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku" (Mrk. 14:18).

 

Kata-kata yang keras. Yesus mengucapkannya bukan untuk mengutuk, melainkan untuk menunjukkan bagaimana kasih, jika sejati, tak dapat hidup tanpa kebenaran. Ruangan di lantai atas, tempat segala sesuatu dipersiapkan dengan cermat sebelumnya, tiba-tiba dipenuhi keheningan yang menyakitkan, berupa pertanyaan, kecurigaan, dan kerentanan. Penderitaan yang kita juga pahami betul, ketika bayang-bayang pengkhianatan menyelimuti hubungan terdekat.

 

Namun, cara Yesus berbicara tentang apa yang akan terjadi sungguh mengejutkan. Ia tidak meninggikan suara-Nya, tidak menunjuk jari-Nya, atau menyebut nama Yudas. Ia berbicara sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat bertanya pada dirinya sendiri. Dan inilah yang sebenarnya terjadi. Santo Markus memberitahu kita: "Mereka pun menjadi sedih dan seorang demi seorang berkata kepada-Nya, 'Bukan aku, yah?'" (Mrk. 14:19).

 

Sahabat-sahabat terkasih, pertanyaan ini – “Bukan aku, yah?” – mungkin termasuk pertanyaan paling tulus yang dapat kita ajukan kepada diri kita sendiri. Bukan pertanyaan orang yang tidak bersalah, melainkan pertanyaan murid yang menyadari betapa rapuhnya dirinya. Bukan jeritan orang yang bersalah, melainkan bisikan orang yang, meskipun ingin mengasihi, menyadari bahwa ia mampu menyakiti. Dalam kesadaran inilah perjalanan keselamatan dimulai.

 

Yesus tidak mencela untuk merendahkan. Ia mengatakan kebenaran karena Ia ingin menyelamatkan. Dan untuk diselamatkan, kita perlu merasakan: merasakan bahwa kita terlibat, merasakan bahwa kita dikasihi terlepas dari segalanya, merasakan bahwa kejahatan itu nyata tetapi bukan akhir. Hanya mereka yang telah mengenal kebenaran kasih yang mendalam yang dapat menerima luka pengkhianatan.

 

Reaksi para murid bukan kemarahan, melainkan kesedihan. Mereka tidak gusar, melainkan berduka. Kesakitan muncul dari kemungkinan nyata untuk terlibat. Dan justru kesedihan inilah, jika disambut dengan tulus, menjadi tempat pertobatan. Injil tidak mengajarkan kita untuk menyangkal kejahatan, melainkan mengenalinya sebagai kesempatan yang menyakitkan untuk kelahiran kembali.

 

Yesus kemudian menambahkan sebuah frasa yang meresahkan dan membuat kita berpikir. "Celakalah orang yang membuat Anak Manusia itu diserahkan. Lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan" (Mrk. 14:21). Kata-kata itu memang kasar, tetapi harus dipahami dengan baik: bukan kutukan, melainkan jeritan penderitaan. Dalam bahasa Yunani, "celakalah" itu terdengar seperti ratapan, sebuah "aduh", sebuah seruan belas kasihan yang tulus dan mendalam.

 

Kita terbiasa menghakimi. Sebaliknya, Allah menerima penderitaan. Ketika Ia melihat kejahatan, Ia tidak membalasnya, melainkan berduka. Dan "lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan" bukanlah kutukan yang dipaksakan secara apriori, melainkan sebuah kebenaran yang dapat kita pahami: jika kita mengingkari kasih yang telah melahirkan kita, jika dengan berkhianat kita menjadi tidak setia pada diri kita sendiri, maka kita sungguh kehilangan makna kedatangan kita ke dunia, dan kita menjauhkan diri dari keselamatan.

 

Namun, justru di sana, di titik tergelap, terang tidak padam. Sebaliknya, ia mulai bersinar. Karena jika kita menyadari batas kita, jika kita membiarkan diri kita disentuh oleh penderitaan Kristus, maka kita akhirnya dapat dilahirkan kembali. Iman tidak menghindarkan kita dari kemungkinan berdosa, tetapi selalu menawarkan jalan keluar: yaitu belas kasihan.

 

Yesus tidak mengalami skandal oleh kerapuhan kita. Ia tahu betul bahwa tidak ada persahabatan yang kebal terhadap risiko pengkhianatan. Namun Yesus tetap percaya. Ia terus duduk di meja bersama para pengikut-Nya. Ia tidak berhenti memecah-mecahkan roti, bahkan untuk orang-orang yang akan mengkhianati-Nya. Inilah kuasa Allah yang diam-diam: Ia tidak pernah meninggalkan meja kasih, bahkan ketika Ia tahu Ia akan ditinggalkan sendirian.

 

Saudara-saudari terkasih, kita juga dapat bertanya kepada diri kita sendiri hari ini, dengan tulus: "Bukan aku, yah?". Bukan untuk merasa tertuduh, melainkan untuk membuka ruang bagi kebenaran di dalam hati kita. Keselamatan dimulai di sini: dengan kesadaran bahwa kita mungkin saja yang mengingkari kepercayaan kita kepada Allah, tetapi kita juga bisa menjadi orang yang mengumpulkannya, melindunginya, dan memperbaruinya.

 

Pada akhirnya, inilah pengharapan: mengetahui bahwa meskipun kita gagal, Allah tidak akan pernah mengecewakan kita. Bahkan jika kita mengkhianati-Nya, Ia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Dan jika kita membiarkan diri kita tersentuh oleh kasih ini – rendah hati, terluka, tetapi selalu setia – maka kita dapat benar-benar dilahirkan kembali. Dan kita bisa mulai hidup tidak lagi sebagai pengkhianat, tetapi sebagai anak-anak yang selalu dicintai.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, khususnya rombongan dari Inggris, Hungaria, Malta, Kenya, Afrika Selatan, Uganda, Zambia, India, Indonesia, Irak, Yerusalem, Filipina, Vietnam, Barbados, dan Amerika Serikat. Selagi kita mempersiapkan diri untuk merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga pada tanggal 15 Agustus, saya memercayakanmu dan keluargamu kepada pemeliharaan Bunda Maria yang lembut. Melalui perantaraannya, semoga kamu dikuatkan dalam kelemahanmu, dihibur dalam pencobaanmu, serta diberikan sukacita serta damai sejahtera Yesus Kristus, Putranya. Allah memberkatimu.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", kita melanjutkan refleksi kita tentang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus dengan merenungkan pewahyuan Yesus pada Perjamuan Terakhir bahwa salah seorang murid-Nya akan mengkhianati-Nya. Meskipun terkesan kasar, perkataan Yesus tidak dimaksudkan untuk mengutuk atau mempermalukan sang pengkhianat-Nya. Sebaliknya, perkataan itu merupakan kebenaran yang diucapkan dengan kasih, kasih ssayang, dan dukacita yang mendalam. Ketika kita merenungkan hidup kita sendiri dengan jujur, pertanyaan para Rasul menjadi pertanyaan kita sendiri: "Bukan aku, yah?" Mengajukan pertanyaan ini membuka ruang bagi kebenaran di dalam hati kita. Hal ini penting karena keterbukaan terhadap keselamatan dimulai dengan kesadaran bahwa kita dapat mengingkari kepercayaan kepada Tuhan melalui dosa-dosa kita. Terlepas dari kesalahan kita, pengharapan kita tetap terletak pada kenyataan bahwa bahkan jika kita mengecewakan-Nya, Ia tidak akan pernah mengecewakan kita; jika kita mengkhianati-Nya, Ia tidak akan pernah mengkhianati kita. Maka, marilah kita membiarkan diri kita disentuh oleh kasih-Nya yang penuh pengampunan, agar kita sungguh-sungguh dilahirkan kembali sebagai anak-anak-Nya yang terkasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Agustus 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 10 Agustus 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dalam Bacaan Injil hari ini, Yesus mengajak kita untuk memikirkan bagaimana kita akan menginvestasikan harta kita, yaitu hidup kita (bdk. Luk 12:32-48). Ia berkata, "Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah!" (ayat 33).

 

Ia menasihati kita untuk tidak menyimpan sendiri karunia yang telah diberikan Allah kepada kita, melainkan menggunakannya dengan murah hati untuk kebaikan sesama, terutama mereka yang paling membutuhkan pertolongan kita. Bukan sekadar berbagi harta benda yang kita miliki, tetapi menempatkan keterampilan, waktu, kasih, kehadiran, dan belas kasih kita untuk melayani sesama. Singkatnya, segala sesuatu dalam rencana Allah yang menjadikan kita masing-masing sebagai harta yang tak ternilai dan tak tergantikan, aset yang hidup dan bernapas, harus dipupuk dan diinvestasikan agar bertumbuh. Jika tidak, karunia ini akan mengering dan berkurang nilainya, atau akhirnya dirampas oleh orang-orang yang seperti pencuri, merampasnya sebagai sesuatu yang hanya untuk dikonsumsi.

 

Karunia Allah yang kita miliki tidak diciptakan untuk digunakan dengan cara seperti itu. Kita membutuhkan ruang, kebebasan, dan hubungan untuk mencapai kepuasan dan mengungkapkan diri. Kita membutuhkan kasih, yang dengan sendirinya mengubah rupa dan memuliakan setiap aspek keberadaan kita, menjadikan kita semakin serupa dengan Allah. Bukan suatu kebetulan bahwa Yesus mengucapkan kata-kata ini ketika Ia berada di jalan menuju Yerusalem, di mana Ia akan mengurbankan diri-Nya di kayu salib demi keselamatan kita.

 

Karya belas kasihan adalah bank yang paling aman dan menguntungkan di mana kita dapat mempercayakan harta keberadaan kita, karena di sana, sebagaimana diajarkan Injil, dengan "dua uang tembaga", yaitu uang receh terkecil, bahkan janda miskin pun menjadi orang terkaya di dunia (bdk. Mrk. 12:41-44).

 

Berkaitan hal ini, Santo Agustinus berkata, "Jika kamu memberi satu pon uang tembaga dan menerima satu pon uang perak, atau memberi satu pon uang perak dan menerima satu pon uang emas, kamu akan bersukacita atas keberuntunganmu. Apa yang kamu berikan pasti akan diubah rupa; yang akan datang kepadamu bukan emas, bukan perak, melainkan kehidupan kekal" (Khotbah 390, 2, PL 39, 1706). Dan ia menjelaskan alasannya: "Apa yang kamu berikan akan diubah rupa, karena kamu sendiri akan diubah" (idem).

 

Untuk memahami maksudnya, kita bisa membayangkan seorang ibu yang merangkul anak-anaknya: bukankah ia orang tercantik dan terkaya di dunia? Atau sepasang kekasih, ketika mereka bersama: bukankah mereka merasa seperti raja dan ratu? Kita bisa memikirkan banyak contoh lainnya.

 

Oleh karena itu, di mana pun kita berada, dalam keluarga, di paroki, sekolah, atau tempat kerja, kita hendaknya berusaha untuk tidak melewatkan kesempatan apa pun untuk bertindak dengan kasih. Inilah jenis kewaspadaan yang diminta Yesus dari kita: bertumbuh dalam kebiasaan untuk saling memperhatikan, siap sedia, dan peka terhadap satu sama lain, sebagaimana Ia menyertai kita setiap saat.

 

Saudari-saudari, marilah kita memercayakan kepada Maria kehendak dan tanggung jawab ini: semoga ia, Sang Bintang Fajar, membantu kita menjadi "penjaga" belas kasihan dan perdamaian di dunia yang ditandai oleh banyak perpecahan. Santo Yohanes Paulus II mengajarkan hal ini kepada kita (bdk. Vigili Doa untuk Hari Orang Muda Sedunia ke-15, 19 Agustus 2000). Dan dengan cara yang indah, begitu pula orang muda yang datang ke Roma dalam rangka Yubileum.

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Agustus 2025)