Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 13 JulI 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya senang berada bersamamu di Castel Gandolfo. Saya menyapa para pejabat sipil dan militer yang hadir serta berterima kasih atas sambutan hangat kamu semua.

 

Kemarin, di Barcelona, Lycarion May (yang nama sekulernya adalah François Benjamin), seorang biarawan dari Institut Saudara-saudara Sekolah Marist, yang dibunuh pada tahun 1909 karena kebencian terhadap iman, dibeatifikasi. Dalam situasi yang tidak bersahabat, ia menjalani misi pendidikan dan pastoralnya dengan penuh dedikasi dan keberanian. Semoga kesaksian heroik martir ini menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama mereka yang bekerja untuk pendidikan kaum muda.

 

Saya menyapa para peserta kursus musim panas Akademi Liturgi dari Polandia, dan juga memikirkan para peziarah Polandia yang mengikuti peziarahan tahunan hari ini ke tempat ziarah Częstochowa.

 

Hari ini menandai berakhirnya peziarahan Yubileum Keuskupan Bergamo. Saya menyapa para peziarah yang, bersama Uskup mereka, telah datang ke Roma untuk melewati Pintu Suci.

 

Saya menyapa komunitas pastoral Beato Agustinus Tarano dari Colegio S. Augustin di Chiclayo, Peru, yang juga berada di Roma untuk merayakan Yubileum. Saya menyapa para peziarah dari Paroki San Pedro Apóstol di Keuskupan Alcalá de Henares, yang sedang merayakan 400 tahun berdirinya paroki tersebut; para Legioner Maria dari Uribia-La Guajira, Kolombia; para anggota Keluarga Kasih yang Murah Hati; Kelompok Pramuka Pertama Agesci Alcamo; dan, terakhir, para biarawati Agustinian yang sedang menjalani pembinaan di sini.

 

Kita menyapa paduan suara anak-anak dari Académie Musicale de Liesse, Prancis. Terima kasih atas kehadiran dan komitmenmu terhadap nyanyian dan musik.

 

Bersama kita hari ini, 100 kadet dari kursus Carabinieri di Sekolah Velletri, yang dinamai menurut Venerabilis Salvo D’Acquisto. Saya menyapa komandan, bersama para perwira dan bintara, dan mendorongmu untuk melanjutkan pelatihan demi pengabdian kepada negara dan masyarakat sipil. Terima kasih! Marilah kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas pengabdian mereka.

 

Selama bulan-bulan musim panas, terdapat banyak prakarsa yang melibatkan anak-anak dan remaja, dan saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pendidik dan animator yang telah mendedikasikan diri untuk pengabdian ini. Dalam konteks ini, saya ingin menyampaikan prakarsa penting Festival Film Giffoni, yang mempertemukan kaum muda dari seluruh dunia, dengan tema tahun ini "Menjadi Manusiawi".

 

Saudara-saudari, marilah kita senantiasa berdoa memohon untuk perdamaian dan semua orang yang, karena kekerasan atau perang, berada dalam penderitaan dan membutuhkan.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juli 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 6 Juli 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil hari ini (Luk 10:1-12,17-20) mengingatkan kita akan pentingnya perutusan yang harus kita jalani, sesuai dengan panggilan kita masing-masing dan dalam situasi khusus yang telah ditempatkan Tuhan bagi kita.

 

Yesus mengutus tujuh puluh dua murid-Nya (ayat 1). Angka simbolis ini menunjukkan bahwa harapan Injil ditujukan bagi semua orang, karena seperti itulah luasnya hati Allah dan berlimpahnya tuaian-Nya. Sesungguhnya, Allah terus bekerja di dunia ini agar semua anak-Nya dapat mengalami kasih-Nya dan diselamatkan.

 

Pada saat yang sama, Yesus berkata, “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang punya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (ayat 2).

 

Di satu sisi, Allah, seperti seorang penabur, dengan murah hati telah pergi ke dunia, sepanjang sejarah, dan menabur di hati manusia keinginan akan yang tak terbatas, kehidupan yang terpenuhi, dan keselamatan yang membebaskan kita. Jadi, tuaian memang banyak. Kerajaan Allah tumbuh seperti benih di tanah, dan manusia zaman sekarang, bahkan ketika tampaknya kewalahan oleh begitu banyak hal lain, masih mendambakan kebenaran yang lebih besar; mereka mencari makna yang lebih penuh bagi kehidupan mereka, menginginkan keadilan, dan membawa dalam diri mereka kerinduan akan kehidupan kekal.

 

Di sisi lain, hanya sedikit pekerja yang mau pergi ke ladang yang ditabur Tuhan; sedikit yang mampu membedakan, dengan mata Yesus, biji-bijian yang baik yang sudah siap dituai (bdk. Yoh 4:35-38). Tuhan ingin melakukan sesuatu yang besar dalam kehidupan kita dan sejarah umat manusia, tetapi hanya sedikit yang menyadari hal ini, berhenti sejenak untuk menerima karunia itu, lalu mewartakan dan membagikannya kepada orang lain.

 

Saudara-saudari terkasih, Gereja dan dunia tidak membutuhkan orang-orang yang memenuhi tugas keagamaan mereka seolah-olah iman hanyalah label lahiriah. Kita membutuhkan para pekerja yang bersemangat untuk bekerja di ladang perutusan, murid-murid yang penuh kasih yang menjadi saksi Kerajaan Allah di semua tempat. Mungkin tidak ada kekurangan "orang kristiani yang tidak menentu" yang kadang-kadang bertindak berdasarkan perasaan keagamaan atau berpartisipasi dalam acara-acara sporadis. Namun, hanya sedikit yang siap, setiap hari, untuk bekerja dalam tuaian Allah, menumbuhkan benih Injil di dalam hati mereka sendiri untuk kemudian membagikannya dalam keluarga, tempat kerja atau tempat belajar, konteks sosial mereka dan dengan orang-orang yang membutuhkan.

 

Untuk melakukan hal ini, kita tidak memerlukan terlalu banyak gagasan teoritis tentang rencana pastoral. Sebaliknya, kita perlu berdoa kepada Tuhan yang punya tuaian. Oleh karena itu, prioritas harus diberikan kepada hubungan kita dengan Tuhan dan pengembangan dialog kita dengan-Nya. Dengan cara ini, Ia akan menjadikan kita para pekerja-Nya dan mengutus kita ke ladang dunia untuk memberi kesaksian tentang Kerajaan-Nya.

 

Marilah kita mohon kepada Santa Perawan Maria, yang dengan murah hati memberikan jawaban “ya” untuk ikut serta dalam karya keselamatan, agar menjadi perantara kita dan menyertai kita di jalan mengikuti Tuhan, sehingga kita juga dapat menjadi pekerja yang penuh sukacita dalam Kerajaan Allah.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 6 Juli 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 29 Juni 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini adalah hari raya Gereja Roma, yang dilahirkan dari kesaksian Rasul Petrus dan Rasul Paulus serta dijadikan berbuah oleh darah mereka dan darah banyak martir. Bahkan saat ini, di seluruh dunia, terus ada orang-orang kristiani yang terinspirasi oleh Injil menjadi murah hati dan berani bahkan dengan mengorbankan nyawa mereka. Kita dapat berbicara tentang ekumenisme darah, kesatuan yang tak terlihat dan mendalam di antara Gereja-gereja, yang belum berada dalam persekutuan penuh dan terlihat. Saya ingin menegaskan pada hari raya yang meriah ini bahwa pelayanan episkopal saya adalah pelayanan kesatuan dan, berkat darah Santo Petrus dan Santo Paulus, Gereja Roma berkomitmen untuk melayani persekutuan seluruh Gereja.

 

Batu karang yang darinya nama Petrus berasal adalah Kristus. Sebuah batu yang dibuang oleh tukang bangunan dan dijadikan batu penjuru oleh Allah (bdk Mat 21:42). Lapangan ini dan Basilika Kepausan Santo Petrus dan Santo Paulus memberitahu kita bagaimana pembalikan itu selalu berlanjut. Keduanya terletak di pinggiran kota, "di luar tembok", sebagaimana kita katakan hingga hari ini. Apa yang tampak agung dan mulia bagi kita saat ini, pada awalnya ditolak dan dikucilkan karena bertentangan dengan cara berpikir dunia ini. Mereka yang mengikuti Yesus harus menapaki jalan Sabda Bahagia, di mana kemiskinan rohani, kelembutan, belas kasihan, rasa lapar dan haus akan keadilan, dan penciptaan perdamaian sering kali ditanggapi dengan pertentangan dan bahkan penganiayaan. Namun kemuliaan Allah bersinar dalam diri sahabat-sahabat-Nya dan terus membentuk mereka di sepanjang jalan, beralih dari pertobatan menuju pertobatan.

 

Saudara-saudari terkasih, di makam para Rasul, yang telah menjadi objek peziarahan selama hampir dua ribu tahun, kita menyadari bahwa kita juga dapat beralih dari satu pertobatan menuju pertobatan. Perjanjian Baru tidak menyembunyikan kesalahan, pertikaian, dan dosa orang-orang yang kita hormati sebagai Rasul-rasul terbesar. Kebesaran mereka dibentuk oleh pengampunan. Tuhan yang bangkit mengulurkan tangan kepada mereka lebih dari sekali, mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Yesus tidak pernah memanggil hanya satu kali. Itulah sebabnya kita selalu dapat berharap. Yubileum sendiri merupakan pengingat akan hal ini.

 

Saudara-saudari terkasih, kesatuan dalam Gereja dan di antara Gereja-gereja dipupuk oleh pengampunan dan kepercayaan bersama, dimulai dari keluarga dan komunitas kita. Jika Yesus dapat memercayai kita, kita tentu dapat saling percaya dalam nama-Nya. Semoga Rasul Petrus dan Rasul Paulus, bersama dengan Perawan Maria, menjadi perantara kita, sehingga di dunia kita yang terluka ini, Gereja dapat selalu menjadi rumah dan sekolah persekutuan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sampaikan doa saya untuk komunitas Sekolah Menengah Atas Barthélémy Boganda di Bangui, Republik Afrika Tengah, yang sedang berduka setelah kecelakaan tragis yang menyebabkan banyak siswa meninggal dan cedera. Semoga Tuhan menghibur keluarga dan seluruh komunitas!

 

Saya menyapa kamu semua, khususnya umat Roma pada hari raya kedua santo pelindungmu! Pikiran saya tertuju kepada para pastor paroki dan semua pastor yang bekerja di paroki-paroki Roma. Saya sampaikan rasa terima kasih dan dorongan saya atas pelayanan mereka.

 

Hari raya ini juga ditandai pengumpulan dana tahunan Petrus, yang merupakan tanda persekutuan dengan Paus dan partisipasi dalam pelayanan kerasulannya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang yang, dengan karunia mereka, mendukung langkah pertama saya sebagai Penerus Petrus.

 

Saya memberkati semua orang yang ambil bagian dalam acara "Quo Vadis?", yang diadakan di tempat-tempat Romawi yang berhubungan dengan Santo Petrus dan Santo Paulus. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah bekerja keras untuk menyelenggarakan prakarsa ini, karena membantu mempromosikan dan menghormati kedua santo pelindung Roma.

 

Saya menyapa umat dari berbagai negara yang telah mendampingi uskup agung metropolitan mereka yang menerima pallium hari ini. Saya menyapa para peziarah dari Ukraina — saya selalu mendoakan rakyat Ukraina — dari Meksiko, Kroasia, Polandia, Amerika Serikat, Venezuela, Brasil, Paduan Suara Santo Petrus dan Paulus dari Indonesia, serta banyak umat Eritrea yang tinggal di Eropa; kelompok dari Martina Franca, Pontedera, San Vendemiano dan Corbetta; para pelayan altar dari Santa Giustina, Colle dan kaum muda dari Sommariva del Bosco.

 

Saya berterima kasih kepada Pro Loco Roma dan para seniman yang memajang bunga di Via della Conciliazione dan Piazza Pio XII. Terima kasih!

 

Saya menyapa para Kolaborator Guanellian dari Italia Tengah dan Selatan, Lembaga Relawan Chiari, para pesepeda dari Fermo dan Varese, kelompok olahraga Aniene 80, dan para peziarah dari “Connessione Spirituale”.

 

Saudara-saudari, marilah kita terus berdoa agar senjata dapat dibungkam di mana-mana dan perdamaian dapat dicapai melalui dialog.

 

Selamat hari Minggu bagi semua!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 25 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 11. PENYEMBUHAN SEORANG PEREMPUAN YANG SAKIT PENDARAHAN DAN ANAK PEREMPUAN YAIRUS. “JANGAN TAKUT, PERCAYA SAJA!” (MRK 5:36)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan kembali membahas penyembuhan yang dilakukan Yesus sebagai tanda pengharapan. Di dalam Dia, ada kekuatan yang juga dapat kita alami ketika kita memasuki hubungan dengan-Nya secara pribadi.

 

Salah satu penyakit yang sangat umum di zaman kita adalah kelelahan hidup: bagi kita kenyataan tampaknya terlalu rumit, membebani, sulit dihadapi. Maka kita mengalihkan diri, kita tertidur, dalam angan-angan bahwa, ketika bangun, segalanya akan berbeda. Tetapi kenyataan harus dihadapi, dan bersama Yesus, kita dapat menghadapinya dengan baik. Kadang-kadang kita merasa terhalang oleh penghakiman orang-orang yang merasa berhak memberi label pada orang lain.

 

Bagi saya, situasi ini dapat menemukan jawabannya dalam sebuah perikop Injil Markus, di mana dua kisah saling terjalin: kisah seorang anak perempuan berusia dua belas tahun, yang sakit terbaring di tempat tidur dan hampir mati; dan kisah seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan, dan mencari Yesus untuk memohon kesembuhan (bdk. Mrk 5:21-43).

 

Di antara kedua tokoh perempuan ini, Penginjil menempatkan sosok ayah anak perempuan itu: ia tidak tinggal di rumah mengeluh tentang penyakit anak perempuannya, tetapi ia keluar dan meminta bantuan. Meskipun ia seorang kepala rumah ibadat, ia tidak menuntut apa pun karena status sosialnya. Ketika harus menunggu, ia tidak kehilangan kesabaran, dan ia menunggu. Dan ketika mereka datang untuk memberitahunya bahwa anak perempuannya telah meninggal dan tidak ada gunanya mengganggu Sang Guru, ia tetap memiliki iman dan harapan.

 

Percakapan antara sang ayah dan Yesus ini terputus oleh seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan, yang berhasil mendekati Yesus dan menyentuh jubah-Nya (ayat 27). Perempuan ini, dengan sangat berani, membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya: semua orang terus menyuruhnya menjaga jarak, agar tidak terlihat. Mereka telah mengutuknya untuk tetap bersembunyi dan terasing. Kadang-kadang, kita juga bisa menjadi korban penilaian orang lain, yang berani mengenakan jubah yang bukan jubah kita. Dan kemudian kita menderita, dan tidak dapat keluar darinya.

 

Perempuan itu memulai jalan keselamatan ketika iman bahwa Yesus dapat menyembuhkannya tumbuh: maka, ia menemukan kekuatan untuk keluar dan mencari-Nya. Ia ingin mengulurkan tangan dan setidaknya menyentuh jubah-Nya.

 

Di sekeliling Yesus ada banyak orang, dan karena itu banyak orang menyentuh-Nya, tetapi tidak terjadi apa-apa pada mereka. Sebaliknya, ketika perempuan ini menyentuh Yesus, ia disembuhkan. Di manakah letak perbedaannya? Dalam ulasannya tentang inti teks ini, Santo Agustinus berkata – dalam nama Yesus – “Orang banyak berdesak-desakan, iman menyentuh” (Khotbah 243, 2, 2). Beginilah: setiap kali kita melakukan tindakan iman yang ditujukan kepada Yesus, terjalinlah kontak dengan-Nya, dan segera rahmat-Nya keluar dari diri-Nya. Kadang-kadang kita tidak menyadarinya, tetapi secara diam-diam dan nyata, rahmat menjangkau kita dan secara bertahap mengubah hidup kita dari dalam.

 

Mungkin saat ini juga, banyak orang mendekati Yesus secara dangkal, tanpa benar-benar percaya pada kuasa-Nya. Kita berjalan di permukaan gereja kita, tetapi mungkin hati kita ada di tempat lain! Perempuan ini, yang pendiam dan tanpa nama, menaklukkan rasa takutnya, menyentuh hati Yesus dengan tangannya, yang dianggap najis karena penyakitnya. Dan ia segera disembuhkan. Yesus berkata kepadanya, "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan damai" (Mrk 5:34).

 

Sementara itu, sang ayah menerima kabar anak perempuannya telah meninggal. Yesus berkata kepadanya, "Jangan takut, percaya saja" (ayat 36). Kemudian ia pulang ke rumah dan, melihat bahwa semua orang menangis dan meratap, berkata, "Anak ini tidak mati, tetapi tidur" (ayat 39). Ia memasuki kamar tempat anak itu berbaring, memegang tangannya, dan berkata kepadanya, "Talità kum", "Hai anak perempuan, bangunlah!". Anak perempuan itu bangun dan mulai berjalan (bdk. ayat 41-42). Tindakan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Ia tidak hanya menyembuhkan setiap penyakit, tetapi Ia juga membangkitkan dari kematian. Bagi Allah, yang adalah Hidup yang kekal, kematian tubuh seperti tidur. Kematian sejati adalah kematian jiwa: kita harus takut akan hal ini!

 

Satu rincian terakhir: Yesus, setelah menghidupkan kembali anak perempuan itu, memberitahu kedua orang tuanya untuk memberinya makan (bdk. ayat 43). Inilah tanda lain yang sangat nyata tentang kedekatan Yesus dengan kemanusiaan kita. Namun, kita juga dapat memahaminya dalam arti yang lebih dalam, dan bertanya kepada diri kita: ketika anak-anak kita sedang dalam krisis dan membutuhkan makanan rohani, apakah kita tahu bagaimana memberikannya kepada mereka? Dan bagaimana kita bisa melakukannya, jika kita sendiri tidak diberi makan oleh Injil?

 

Saudara-saudari terkasih, dalam hidup ada saat kecewa dan putus asa, serta ada juga pengalaman kematian. Marilah kita belajar dari perempuan itu, dari ayah itu: marilah kita datang kepada Yesus: Ia dapat menyembuhkan kita, Ia dapat menghidupkan kita kembali. Yesus adalah pengharapan kita!

 

[Imbauan]

 

Hari Minggu lalu, serangan teroris yang keji dilakukan terhadap komunitas Ortodoks Yunani di Gereja Mar Elias, Damaskus. Kita memercayakan para korban kepada belas kasihan Allah dan memanjatkan doa bagi orang-orang yang terluka dan keluarga mereka. Saya katakan kepada umat kristiani di Timur Tengah: Saya dekat denganmu! Seluruh Gereja dekat denganmu!

 

Peristiwa tragis ini mengingatkan kita pada kerapuhan mendalam yang masih dihadapi Suriah setelah bertahun-tahun dilanda pertikaian dan ketidakstabilan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat internasional untuk tidak mengabaikan negara ini, tetapi terus menawarkan dukungan melalui gerakan kesetiakawanan dan komitmen baru untuk perdamaian dan rekonsiliasi.

 

Kita terus mengikuti dengan saksama dan penuh harapan perkembangan di Iran, Israel, dan Palestina. Perkataan Nabi Yesaya bergema dengan keterkaitan yang mendesak: "Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang melawan bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belajar perang" (Yes 2:4). Semoga suara ini, yang datang dari Yang Maha Tinggi, didengar! Semoga luka-luka yang disebabkan oleh tindakan berdarah beberapa hari terakhir ini disembuhkan. Marilah kita tolak kesombongan dan balas dendam, dan sebaliknya dengan tegas memilih jalan dialog, diplomasi, dan perdamaian.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan senang hati saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, khususnya mereka yang datang dari Malta, Eswatini, Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Australia, Tiongkok, India, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa para anggota gerakan Katolik Citizens UK. Menjelang akhir bulan Juni, kita memohon kepada Hati Kudus Yesus agar mengembangkan iman kita saat kita berpaling kepada-Nya dengan penuh kepercayaan. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Kristus Pengharapan Kita,” kita sekarang membahas dua mukjizat yang menyingkapkan kuasa penyembuhan yang berasal dari iman kepada Yesus. Dalam mukjizat pertama, kita melihat seorang perempuan yang menderita penyakit yang membuatnya dijauhi oleh masyarakat karena dianggap najis. Karena percaya Yesus memiliki kuasa untuk menyembuhkannya, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh-Nya dan karena imannya, ia pun disembuhkan. Setiap kali kita mengulurkan tangan kepada Tuhan dengan iman, pada gilirannya Ia menyentuh kita, dan rahmat-Nya secara misterius mulai mengubah jalan hidup kita. Dalam mukjizat kedua, Yesus menanggapi permohonan penuh iman dari seorang ayah yang tertekan dan membangkitkan seorang anak perempuan muda dari kematian. Kedua kisah Injil ini mengajarkan kita untuk tidak takut berpaling kepada Yesus dalam doa dan memercayakan diri kita kepada kuasa penyembuhan kasih-Nya, yang dapat mengubah situasi yang tampaknya tanpa pengharapan dan bahkan membawa kehidupan dari kematian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 22 Juni 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini, di banyak negara, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Corpus Christi, sedang dirayakan, dan Bacaan Injil menceritakan mukjizat penggandaan roti dan ikan (bdk. Luk 9:11-17).

 

Untuk memberi makan ribuan orang yang datang mendengarkan-Nya dan memohon kesembuhan, Yesus mengajak para Rasul untuk membawa kepada-Nya sedikit yang mereka miliki; kemudian Ia memberkati roti dan ikan, dan memerintahkan mereka untuk membagikannya kepada semua orang. Hasilnya mengejutkan: tidak hanya semua orang menerima cukup makanan, tetapi ada banyak yang tersisa (bdk. ayat 17).

 

Lebih dari sekadar keajaiban, mukjizat adalah sebuah “tanda” yang mengingatkan kita bahwa karunia Allah, bahkan yang terkecil sekalipun, akan bertumbuh jika dibagikan.

 

Namun, membaca ini pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus membawa kita untuk merenungkan kenyataan yang lebih dalam. Karena kita tahu bahwa pada akar setiap ambil bagian manusiawi terletak ambil bagian yang lebih besar yang mendahuluinya, yaitu ambil bagian Allah dengan kita. Dia, Sang Pencipta, yang memberi kita kehidupan, untuk menyelamatkan kita meminta salah satu ciptaan-Nya untuk menjadi ibu-Nya, memberi-Nya tubuh yang rapuh, terbatas, dan fana seperti tubuh kita, memercayakan diri-Nya kepadanya sebagai seorang anak. Dengan cara ini, Ia ambil bagian dalam kemiskinan kita hingga batas maksimal, memilih untuk menggunakan sedikit yang dapat kita persembahkan kepada-Nya untuk menebus kita (bdk. Nicholas Cabasilas, Kehidupan dalam Kristus, IV, 3).

 

Marilah kita pikirkan betapa indahnya ketika kita memberikan hadiah — bahkan hadiah kecil, yang sepadan dengan kemampuan kita — dan melihat bahwa hadiah itu dihargai oleh penerimanya; betapa bahagianya kita ketika hadiah itu, meskipun sederhana, semakin mempersatukan kita dengan mereka yang kita kasihi. Sesungguhnya, apa yang terjadi antara kita dan Allah melalui Ekaristi persisnya adalah Tuhan menyambut, menguduskan, dan memberkati roti dan anggur yang kita letakkan di altar, bersama dengan persembahan hidup kita, dan Ia mengubahnya menjadi tubuh dan darah Kristus, kurban kasih untuk keselamatan dunia. Allah mempersatukan diri-Nya dengan kita dengan menerima dengan penuh sukacita apa yang kita bawa, dan Ia mengundang kita untuk mempersatukan diri kita dengan-Nya dengan cara menerima dan ambil bagian karunia kasih-Nya. Dengan cara ini, kata Santo Agustinus, “sama seperti satu roti dibuat dari biji-bijian tunggal yang dikumpulkan bersama-sama… demikian pula tubuh Kristus menjadi satu melalui keselarasan kasih” (Khotbah 229/A, 2).

 

Sahabat-sahabag terkasih, petang ini kita akan ambil bagian dalam Perarakan Ekaristi. Kita akan merayakan Misa Kudus bersama-sama dan kemudian berangkat, membawa Sakramen Mahakudus melalui jalan-jalan kota kita. Kita akan bernyanyi, berdoa dan akhirnya berkumpul di depan Basilika Santa Maria Maggiore untuk memohon berkat Tuhan atas rumah kita, keluarga kita dan seluruh umat manusia. Semoga perayaan ini menjadi tanda komitmen kita setiap hari untuk berangkat dari altar dan tabernakel, pergi sebagai pembawa persekutuan dan perdamaian bagi sesama, dalam semangat kesetiakawanan dan kasih.

 

[Setelah Pendarasan Doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Berita yang mengkhawatirkan terus bermunculan dari Timur Tengah, khususnya dari Iran. Di tengah situasi tragis ini, yang meliputi Israel dan Palestina, penderitaan rakyat sehari-hari, khususnya di Gaza dan wilayah lainnya, di mana kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang memadai menjadi semakin mendesak, terancam terlupakan.

 

Saat ini, melebihi sebelumnya, umat manusia berteriak dan menyerukan perdamaian. Teriakan ini menuntut tanggung jawab dan akal sehat, dan tidak boleh diredam oleh hiruk pikuk senjata atau retorika yang memicu pertikaian. Setiap anggota masyarakat internasional memiliki tanggung jawab moral untuk menghentikan tragedi perang sebelum menjadi jurang yang tidak dapat diperbaiki. Tidak ada pertikaian yang "jauh" ketika martabat manusia dipertaruhkan.

 

Perang tidak menyelesaikan masalah; sebaliknya, perang justru memperparah masalah dan menimbulkan luka mendalam pada sejarah bangsa-bangsa, yang butuh waktu beberapa generasi untuk menyembuhkannya. Tidak ada kemenangan bersenjata yang dapat menggantikan penderitaan para ibu, ketakutan anak-anak, atau masa depan yang dicuri.

 

Semoga diplomasi membungkam senjata! Semoga negara-negara memetakan masa depan mereka dengan karya-karya perdamaian, bukan dengan kekerasan dan pertikaian berdarah!

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah! Saya senang menyapa para anggota dewan perwakilan rakyat dan wali kota yang hadir di sini pada kesempatan Yubileum Pemerintahan.

 

Saya menyapa umat Bogotá dan Sampués, Kolombia; umat Polandia, termasuk para siswa dan guru dari sebuah lembaga teknik di Krakow; Kelompok Musik Strengberg dari Austria; umat Hanover, Jerman; para penerima sakramen krisma dari Gioia Tauro dan orang muda dari Tempio Pausania.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya, dan saya memberkati mereka yang berpartisipasi aktif dalam perayaan Corpus Christi hari ini, termasuk mereka yang bernyanyi, bermain musik, menghias dengan bunga, memamerkan kerajinan tangan, dan terutama berdoa serta mengambil bagian dalam perarakan. Terima kasih kepada kamu semua, dan selamat hari Minggu!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 18 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 10. PENYEMBUHAN ORANG LUMPUH. "KETIKA YESUS MELIHAT ORANG ITU BERBARING DI SITU, DAN KARENA IA TAHU BAHWA IA TELAH LAMA DALAM KEADAAN ITU, BERKATALAH IA KEPADANYA, 'MAUKAH ENGKAU SEMBUH?'" (YOH 5:6)

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita melanjutkan dengan merenungkan Yesus yang menyembuhkan. Secara khusus, saya ingin mengajakmu untuk memikirkan situasi di mana kita merasa "terhalang" dan terjebak dalam jalan buntu. Kadang-kadang, pada kenyataannya, tampaknya tidak ada gunanya untuk terus berharap; kita menjadi pasrah dan tidak lagi memiliki keinginan untuk berjuang. Situasi ini dilukiskan dalam Injil dengan gambaran kelumpuhan. Itulah sebabnya hari ini saya ingin merenungkan penyembuhan seorang lumpuh, yang diceritakan dalam Injil Santo Yohanes bab lima (5:1-9).

 

Yesus berangkat ke Yerusalem untuk menghadiri hari raya orang Yahudi. Ia tidak langsung pergi ke Bait Suci; sebaliknya, Ia berhenti di sebuah pintu, tempat domba-domba mungkin dimandikan sebelum dipersembahkan sebagai kurban. Di dekat pintu ini juga terdapat banyak orang sakit yang, tidak seperti domba-domba, dikeluarkan dari Bait Suci karena mereka dianggap najis! Jadi, Yesus sendiri yang mengulurkan tangan kepada mereka dalam penderitaan mereka. Orang-orang ini mengharapkan mukjizat yang dapat mengubah nasib mereka; sesungguhnya, di samping pintu tersebut terdapat sebuah kolam, yang airnya dianggap mampu menyembuhkan: pada saat-saat tertentu airnya akan terguncang dan menurut kepercayaan pada saat itu, siapa saja yang pertama masuk ke dalamnya akan sembuh.

 

Dengan cara ini semacam "perang di antara orang miskin" pun tercipta: kita dapat membayangkan pemandangan menyedihkan dari orang-orang sakit yang dengan susah payah menyeret diri mereka untuk masuk ke kolam. Kolam itu disebut Betesda, yang berarti "rumah belas kasihan": kolam itu bisa menjadi gambaran Gereja, tempat orang sakit dan orang miskin berkumpul serta tempat Tuhan datang untuk menyembuhkan dan memberi harapan.

 

Secara khusus Yesus berbicara kepada seorang yang sudah sekitar tiga puluh delapan tahun lamanya lumpuh. Sekarang ia sudah pasrah, karena ia tidak pernah berhasil menurunkan dirinya ke dalam kolam saat airnya mulai terguncang (bdk. ayat 7). Akibatnya, yang melumpuhkan kita, sangat sering, adalah kekecewaan. Kita merasa putus asa dan berisiko jatuh ke dalam sikap acuh tak acuh.

 

Kepada orang lumpuh itu Yesus mengajukan pertanyaan yang mungkin tampak berlebihan, "Maukah engkau sembuh?" (ayat 6). Justru pertanyaan tersebut diperlukan, karena ketika seorang mandek selama bertahun-tahun, bahkan keinginan untuk sembuh pun bisa memudar. Terkadang kita lebih suka tetap dalam kondisi sakit, memaksa orang lain untuk merawat kita. Terkadang itu juga menjadi alasan untuk tidak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan hidup kita. Sebaliknya, Yesus membawa orang ini kembali ke keinginannya yang paling sejati dan terdalam.

 

Memang, orang ini menjawab pertanyaan Yesus dengan cara yang lebih jelas, menyingkapkan visi hidupnya yang sebenarnya. Pertama-tama ia berkata bahwa ia tidak punya siapa-siapa untuk menurunkannya ke dalam kolam: jadi tidak seharusnya ia disalahkan, namun orang lain yang tidak merawatnya. Sikap ini menjadi dalih untuk menghindari tanggung jawab. Tetapi apakah benar bahwa ia tidak punya siapa-siapa yang akan menolongnya? Berikut adalah jawaban Santo Agustinus yang mencerahkan: “Sesungguhnya ia membutuhkan seorang ‘manusia’ untuk kesembuhannya, tetapi ‘manusia’ itu adalah Allah juga. … Maka, Ia datang, Manusia yang dibutuhkan: mengapa penyembuhan harus ditunda?”.[1]

 

Orang lumpuh itu kemudian menambahkan bahwa ketika ia mencoba untuk menurunkan dirinya di kolam, selalu ada seseorang yang datang lebih dulu darinya. Orang ini mengungkapkan pandangan hidup yang fatalistis. Kita berpikir bahwa hal-hal terjadi pada kita karena kita tidak beruntung, karena takdir tidak berpihak pada kita. Orang ini putus asa. Ia merasa kalah dalam perjuangan hidup.

 

Sebaliknya, Yesus menolongnya untuk menemukan bahwa hidupnya juga ada di tangannya. Ia mengundangnya untuk bangun, mengangkat dirinya dari situasi kronisnya, dan mengangkat tikarnya (bdk. ayat 8). Tikar itu tidak boleh ditinggalkan atau dibuang: tikar melambangkan masa lalu penyakitnya, sejarahnya. Sampai saat itu, masa lalu telah menghalanginya; tikar telah memaksanya untuk berbaring seperti orang mati. Sekarang, ia yang dapat mengangkat tikar itu dan membawanya ke mana pun ia mau: ia dapat memutuskan apa yang akan dilakukannya terhadap sejarahnya! Ini adalah perihal berjalan, bertanggung jawab untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh. Dan ini berkat Yesus!

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon kepada Tuhan karunia untuk memahami di mana kehidupan kita terhenti. Marilah kita mencoba menyuarakan keinginan kita untuk disembuhkan. Dan marilah kita mendoakan semua orang yang merasa lumpuh, yang tidak melihat jalan keluar. Marilah kita memohon untuk kembali tinggal di dalam hati Kristus, yang merupakan rumah belas kasih yang sejati!


***

[Imbauan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Gereja sangat sedih mendengar jeritan penderitaan yang muncul dari tempat-tempat yang hancur akibat perang, khususnya Ukraina, Iran, Israel, dan Gaza. Kita tidak boleh terbiasa dengan perang! Sungguh, godaan untuk menggunakan senjata yang kuat dan canggih perlu ditolak. Saat ini, “bahkan, sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata teknologi tinggi, keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada kebiadapan, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 79). Oleh karena itu, atas nama martabat manusia dan hukum internasional, saya tegaskan kembali kepada mereka yang bertanggung jawab atas peringatan yang sering disampaikan Paus Fransiskus: Perang selalu merupakan kekalahan! Dan peringatan Paus Pius XII: “Tidak ada yang hilang dengan perdamaian. Segala sesuatu dapat hilang dengan perang.”

 

[Sapaan]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Irlandia Utara, Norwegia, Kamerun, Australia, Hong Kong, Jepang, Indonesia, Filipina, Singapura, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa anggota delegasi internasional “HOPE80” pada awal peziarahan “Api Pengharapan” saat mereka berupaya untuk mendorong rekonsiliasi dan perdamaian pada tahun ini yang menandai peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

 

Semoga cahaya kasih dan persaudaraan ilahi selalu menyala terang di dalam hati para pria dan wanita dari satu keluarga manusiawi kita.

 

Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohon kepada Tuhan karunia kebijaksanaan, kekuatan, dan sukacita. Allah memberkatimu.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, kini kita merenungkan mukjizat penyembuhan Yesus terhadap seorang lumpuh di kolam Betesda. Banyak orang cacat fisik datang untuk mandi di sana dengan mengharapkan kesembuhan, namun Yesus memilih orang itu, yang telah tiga puluh delapan tahun lamanya lumpuh dan tidak dapat menurunkan dirinya ke kolam. Pertanyaan Yesus kepadanya – “Maukah engkau sembuh?” – sangat menyentuh. Pertanyaan itu menantang rasa tidak berdaya dan pasrah orang lumpuh itu, dan mengundangnya untuk berharap bahwa hidupnya dapat diubah. Yesus menyuruhnya bangun, mengangkat tikarnya, dan berjalan. Tikar sebenarnya adalah lambang kelumpuhan masa lalu orang itu, baik fisik maupun rohani, yang sekarang dapat ia terima dan tinggalkan saat ia memulai hidup baru. Dalam Yubileum pengharapan ini, semoga kita mengingat dalam doa-doa kita semua orang yang menderita dan merasa tergoda untuk putus asa. Apa pun masalah atau kemunduran yang kita hadapi dalam hidup, marilah kita berpaling kepada Yesus, mengakui keinginan kita untuk disembuhkan, dan menerima janji-Nya tentang kebebasan dan kehidupan baru.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Juni 2025)



[1]Traktat 17, 7.

PESAN PAUS LEO XIV UNTUK HARI ORANG MISKIN SEDUNIA KE-9 16 November 2025

Engkaulah harapanku (bdk. Mzm 71:5)

 

1.        “Engkaulah harapanku, ya Tuhan” (Mzm 71:5). Kata-kata ini mengalir dari hati yang terbebani oleh kesulitan yang berat: “Engkau telah membuat aku mengalami banyak kesusahan dan malapetaka” (ayat 20), seru sang Pemazmur. Pada saat yang sama, hatinya tetap terbuka dan percaya diri; teguh dalam iman, ia mengakui dukungan Allah, yang ia sebut “bukit batu dan pertahanan” (ayat 3). Oleh karena itu, kepercayaannya yang teguh bahwa pengharapan kepada Allah tidak pernah mengecewakan: “Pada-Mu, ya Tuhan, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku dipermalukan” (ayat 1).

 

Di tengah-tengah pencobaan hidup, pengharapan kita diilhami oleh keyakinan yang teguh dan meyakinkan akan kasih Allah, yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Pengharapan tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5). Karena itu Santo Paulus dapat menulis kepada Timotius: “Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup” (1 Tim 4:10). Allah yang hidup sesungguhnya adalah “Allah sumber pengharapan” (Rm 15:13), dan Kristus, melalui wafat dan kebangkitan-Nya, telah menjadi “pengharapan kita” (1 Tim 1:1). Kita tidak boleh lupa bahwa kita diselamatkan dalam pengharapan ini, dan perlu tetap berakar kuat di dalamnya.

 

2.      Orang miskin dapat menjadi saksi pengharapan yang kuat dan teguh, justru karena mereka mewujudkannya di tengah ketidakpastian, kemiskinan, ketidakstabilan, dan marginalisasi. Mereka tidak dapat mengandalkan keamanan kekuasaan dan harta benda; sebaliknya, mereka berada dalam belas kasihan mereka dan sering kali menjadi korbannya. Pengharapan mereka tentu harus dicari di tempat lain. Dengan mengakui bahwa Allah adalah pengharapan kita yang pertama dan satu-satunya, kita juga beralih dari pengharapan sekilas kepada pengharapan yang kekal. Begitu kita menginginkan Allah menyertai kita dalam perjalanan hidup, kekayaan materi menjadi relatif, karena kita menemukan harta sejati yang kita butuhkan. Kata-kata yang diucapkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya tetap kuat dan jelas: “Janganlah mengumpulkan harta bagi dirimu di bumi, di mana ngengat dan karat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Namun, kumpulkanlah bagimu harta di surga, yang tidak dirusak oleh ngengat dan karat, dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” (Mat 6:19-20).

 

3.       Bentuk kemiskinan yang paling parah adalah tidak mengenal Allah. Sebagaimana ditulis Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium: “Diskriminasi terburuk yang diderita orang-orang miskin adalah kurangnya pelayanan rohani. Sebagian besar orang-orang miskin memiliki keterbukaan istimewa pada iman; mereka membutuhkan Allah dan kita tidak boleh gagal memberikan mereka persahabatan-Nya, berkat-Nya, sabda-Nya, perayaan sakramen-sakramen dan perjalanan pertumbuhan dan kedewasaan dalam iman” (No. 200). Di sini kita melihat kesadaran dasariah dan hakiki tentang bagaimana kita dapat menemukan harta kita di dalam Allah. Sebagaimana ditegaskan Rasul Yohanes: “Jikalau seseorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah,’ tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah pendusta, karena siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1Yoh 4:20).

 

Ini adalah aturan iman dan rahasia pengharapan: semua barang duniawi, kenyataan material, kesenangan duniawi, kemakmuran ekonomi, betapapun pentingnya, tidak dapat membawa kebahagiaan ke dalam hati kita. Kekayaan sering kali mengecewakan dan dapat menyebabkan situasi kemiskinan yang tragis — terutama kemiskinan yang lahir dari kegagalan mengenali kebutuhan kita akan Allah dan upaya untuk hidup tanpa Dia. Sebuah pepatah Santo Agustinus muncul dalam pikiran: “Biarkan semua harapanmu berada di dalam Allah: rasakan kebutuhanmu akan Dia, dan biarkan Dia memenuhi kebutuhan itu. Tanpa Dia, apa pun yang kamu miliki hanya akan membuatmu semakin hampa” (Penjelasan Terperinci Mzm 85:3).

 

4.      Sabda Allah mengatakan kepada kita bahwa pengharapan kristiani adalah kepastian di setiap langkah perjalanan hidup, karena pengharapan itu tidak bergantung pada kekuatan manusiawi kita, tetapi pada janji Allah, yang selalu setia. Karena alasan ini, sejak awal, umat kristiani telah mengidentifikasi pengharapan dengan simbol jangkar, yang memberikan kemantapan dan keamanan. Pengharapan kristiani seperti jangkar yang mendasarkan hati kita pada janji Tuhan Yesus, yang menyelamatkan kita dengan wafat dan kebangkitan-Nya dan akan datang kembali di antara kita. Pengharapan ini terus mengarahkan kita ke "langit yang baru" dan "bumi yang baru" (2Ptr 3:13) sebagai cakrawala sejati keberadaan kita, di mana setiap kehidupan akan menemukan maknanya yang autentik, karena tanah air kita yang sebenarnya terdapat di dalam surga (bdk. Flp 3:20).

 

Oleh karena itu, kota Allah mendorong kita untuk memperbaiki kota manusia. Kota kita harus mulai menyerupai kota-Nya. Pengharapan, yang ditopang oleh kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus (bdk. Rm 5:5), mengubah hati manusia menjadi tanah yang subur di mana kasih bagi kehidupan dunia dapat berkembang. Tradisi Gereja terus-menerus menekankan hubungan melingkar antara tiga kebajikan teologis, yakni iman, pengharapan, dan kasih. Pengharapan lahir dari iman, yang memelihara dan menopangnya di atas landasan kasih, induk dari segala kebajikan. Kita semua membutuhkan kasih, di sini dan saat ini. Kasih bukan sekadar janji; kasih adalah kenyataan saat ini yang harus diterima dengan sukacita dan tanggung jawab. Kasih melibatkan kita dan menuntun keputusan-keputusan kita menuju kebaikan bersama. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kasih tidak hanya tidak memiliki iman dan pengharapan; mereka juga merampas pengharapan dari sesama mereka.

 

5.      Dengan demikian, panggilan biblis untuk berharap menuntut kewajiban untuk memikul tanggung jawab kita dalam sejarah, tanpa ragu-ragu. Kasih, pada kenyataannya, “adalah perintah sosial yang terbesar” (Katekismus Gereja Katolik, No. 1889). Kemiskinan memiliki penyebab struktural yang harus ditangani dan disingkirkan. Sementara itu, kita masing-masing dipanggil untuk menawarkan tanda-tanda harapan baru yang akan menjadi saksi kasih kristiani, sebagaimana telah dilakukan oleh banyak orang kudus selama berabad-abad. Rumah sakit dan sekolah, misalnya, adalah lembaga yang didirikan untuk menjangkau mereka yang paling rentan dan terpinggirkan. Lembaga-lembaga ini seharusnya menjadi bagian dari kebijakan publik setiap negara, tetapi perang dan kesenjangan sering kali menghalangi hal ini terjadi. Saat ini, tanda-tanda harapan semakin banyak ditemukan di panti jompo, komunitas untuk anak di bawah umur, pusat untuk mendengarkan dan menerima, dapur umum, tempat penampungan tunawisma, dan sekolah-sekolah berpenghasilan rendah. Betapa banyak tanda-tanda harapan yang teduh ini sering tidak diperhatikan namun sangat penting untuk menyingkirkan ketidakpedulian kita dan menginspirasi orang lain untuk terlibat dalam berbagai bentuk kerja sukarela!

 

Orang miskin bukan pengalihan perhatian Gereja, melainkan saudara-saudari kita terkasih, karena melalui hidup, perkataan, dan kebijaksanaan mereka, mereka telah menghubungkan kita dengan kebenaran Injil. Perayaan Hari Orang Miskin Sedunia dimaksudkan untuk mengingatkan komunitas kita bahwa orang miskin merupakan inti dari segenap kegiatan pastoral kita. Hal ini berlaku tidak hanya untuk karya amal Gereja, tetapi juga untuk pesan yang dirayakan dan diwartakannya. Allah menanggung kemiskinan mereka untuk memperkaya kita melalui suara, kisah, dan wajah mereka. Setiap bentuk kemiskinan, tanpa kecuali, memanggil kita untuk mengalami Injil secara nyata dan menawarkan tanda-tanda harapan yang efektif.

 

6.      Itulah undangan yang diberikan kepada kita melalui perayaan Yubelium ini. Bukan suatu kebetulan bahwa Hari Orang Miskin Sedunia dirayakan menjelang akhir tahun rahmat ini. Setelah Pintu Suci ditutup, kita harus menghargai dan berbagi dengan sesama kita karunia ilahi yang diberikan kepada kita sepanjang tahun doa, pertobatan, dan kesaksian ini. Orang miskin bukan penerima pelayanan pastoral kita, tetapi subjek kreatif yang menantang kita untuk menemukan cara-cara baru dalam menghayati Injil saat ini. Dalam menghadapi bentuk-bentuk pemiskinan baru, kita dapat memiliki risiko menjadi keras kepala dan pasrah. Setiap hari kita menjumpai orang-orang miskin atau melarat. Kita juga mungkin memiliki lebih sedikit dari sebelumnya dan kehilangan apa yang dulunya tampak aman: rumah, makanan yang cukup setiap hari, akses ke layanan kesehatan dan pendidikan yang baik, informasi, kebebasan beragama, dan kebebasan berekspresi.

 

Dalam upaya mengembangkan kebaikan bersama ini, tanggung jawab sosial kita didasarkan pada tindakan kreatif Allah, yang memberikan setiap orang bagian dari benda-benda di bumi. Seperti benda-benda tersebut, hasil kerja manusia harus dapat diakses secara setara oleh semua orang. Membantu orang miskin pertama-tama adalah masalah keadilan ketimbang amal. Santo Agustinus menelaah, “Kamu memberi roti kepada orang yang lapar; tetapi akan lebih baik jika tidak ada orang yang lapar, sehingga kamu tidak perlu memberikannya. Kamu memberi pakaian kepada orang telanjang, tetapi alangkah baiknya jika semua orang berpakaian dan kamu tidak perlu memenuhi kekurangan ini” (Dalam 1Yoh., 8:5).

 

Oleh karena itu, saya berharap Tahun Yubileum ini dapat mendorong pengembangan kebijakan yang ditujukan untuk memerangi bentuk-bentuk kemiskinan lama dan baru, serta menerapkan prakarsa baru untuk mendukung dan membantu orang-orang yang paling miskin. Tenaga kerja, pendidikan, perumahan, dan kesehatan adalah landasan keamanan yang tidak akan pernah tercapai dengan penggunaan senjata. Saya menyampaikan penghargaan saya atas berbagai prakarsa yang sudah ada, dan atas upaya yang ditunjukkan setiap hari di tingkat internasional oleh sejumlah besar orang yang beritikad baik.

 

Marilah kita memercayakan diri kita kepada Santa Maria, Penghibur bagi orang yang menderita dan, bersamanya, marilah kita melambungkan lagu harapan sambil menjadikan kata-kata Te Deum sebagai kata-kata kita: “Ya Tuhan, kami berharap pada-Mu, kami tak kecewa selamanya.”

 

Vatikan, 13 Juni 2025, Peringatan Wajib Santo Antonius dari Padua, Santo Pelindung Orang Miskin


LEO XIV

______

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 11 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 9. BARTIMEUS. "TEGUHKAN HATIMU, BERDIRILAH, IA MEMANGGIL ENGKAU" (MRK 10:49)

Saudara-saudari terkasih,

 

Dengan katekese ini saya ingin menarik perhatian kita kepada aspek penting lain dari kehidupan Yesus, yaitu penyembuhan yang dilakukan-Nya. Karena alasan ini, saya mengundangmu untuk membawa ke hadapan hati Kristus bagian-bagianmu yang paling menyakitkan dan rapuh, tempat-tempat dalam hidupmu di mana kamu merasa tertahan dan terhalang. Marilah dengan penuh kepercayaan kita memohon kepada Tuhan untuk mendengarkan seruan kita, dan menyembuhkan kita!

 

Tokoh yang menyertai kita dalam permenungan ini akan membantu kita memahami bahwa kita tidak boleh menyerah, bahkan ketika kita merasa kehilangan harapan. Ia adalah Bartimeus, seorang pengemis yang buta, yang didapati Yesus di Yerikho (bdk. Mrk 10:46-52). Tempat yang penting: Yesus akan pergi ke Yerusalem, tetapi Ia memulai perjalanan-Nya, bisa dikatakan, di "dunia bawah" Yerikho, sebuah kota yang terletak di bawah permukaan laut. Sesungguhnya, dengan kematian-Nya, Yesus pergi untuk mengambil kembali Adam yang jatuh ke dasar dan juga mewakili kita masing-masing.

 

Bartimeus berarti “anak Timeus”: ia digambarkan melalui sebuah hubungan, namun secara dramatis ia sendirian. Namun, nama ini juga dapat berarti “anak kehormatan” atau “anak kebanggaan”, yang merupakan kebalikan dari situasi yang dihadapinya.[1] Dan karena nama sangat penting dalam budaya Yahudi, Bartimeus telah gagal untuk hidup sesuai dengan arti namanya.

 

Kemudian, tidak seperti gerakan besar orang-orang yang berjalan mengikuti Yesus, Bartimeus tetap diam. Penginjil mengatakan bahwa ia sedang duduk di pinggir jalan, jadi ia membutuhkan seseorang untuk mengangkatnya berdiri dan membantunya melanjutkan perjalanan.

 

Apa yang dapat kita lakukan ketika kita menemukan diri kita dalam situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar? Bartimeus mengajarkan kita untuk memohon kepada sumber daya yang ada dalam diri kita dan merupakan bagian dari diri kita. Ia seorang pengemis, ia tahu bagaimana meminta, bahkan, ia mampu berseru! Jika kamu benar-benar menginginkan sesuatu, lakukan segalanya untuk dapat meraihnya, bahkan ketika orang lain mencela, mempermalukan, dan menyuruhmu untuk pasrah saja. Jika kamu benar-benar menginginkannya, kamu terus berseru!

 

Seruan Bartimeus, dalam Injil Markus – “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (ayat 47) – telah menjadi doa yang sangat terkenal dalam tradisi Timur, yang juga dapat kita gunakan: “Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini”.

 

Bartimeus buta, tetapi secara paradoks ia melihat lebih baik daripada yang lain, dan ia mengenali siapa Yesus! Sebelum ia berseru, Yesus berhenti dan memanggilnya (bdk. ayat 49), karena tidak ada seruan yang tidak didengar Allah, bahkan ketika kita tidak menyadari bahwa kita sedang berbicara kepada-nya (bdk. Kel 2:23). Tampak aneh, di hadapan seorang yang buta, Yesus tidak segera menghampirinya; tetapi, jika kita pikirkan, itulah cara untuk mengaktifkan kembali kehidupan Bartimeus: Ia memacunya untuk berdiri lagi, Ia percaya pada kemampuannya untuk berjalan. Orang itu dapat berdiri tegak lagi, ia dapat bangkit dari pergolakan kematian. Tetapi untuk melakukan hal ini, ia harus melakukan gerakan yang sangat berarti: ia harus menanggalkan jubahnya (bdk. ayat 50)!

 

Bagi seorang pengemis, jubah adalah segalanya: jubah adalah keselamatannya, jubah adalah rumahnya, jubah adalah pertahanan yang melindunginya. Bahkan hukum melindungi jubah pengemis, dan mewajibkan agar jubah itu dikembalikan pada malam hari jika diambil sebagai jaminan (bdk. Kel 22:25). Namun, sering kali, justru rasa aman semu yang menghalangi kita – apa yang kita kenakan untuk membela diri dan justru menghalangi kita untuk berjalan. Untuk datang kepada Yesus dan membiarkan dirinya disembuhkan, Bartimeus harus menunjukkan dirinya kepada-Nya dalam segala kerentanannya. Ini adalah langkah mendasar dalam setiap perjalanan penyembuhan.

 

Bahkan pertanyaan yang diajukan Yesus kepadanya tampak aneh: "Apa yang kaukehendaki Kuperbuat bagimu?" (ayat 51). Namun, pada kenyataannya, tidak selalu kita ingin disembuhkan dari penyakit kita; terkadang kita lebih suka diam saja agar tidak bertanggung jawab. Jawaban Bartimeus sangat mendalam: ia menggunakan kata kerja anablepein, yang dapat berarti "melihat lagi", tetapi juga dapat kita terjemahkan sebagai "menengadah". Memang, Bartimeus tidak hanya ingin melihat lagi; ia ingin mendapatkan kembali harga dirinya! Untuk menengadah, kita harus mengangkat kepala. Terkadang orang terjebak karena hidup telah mempermalukan mereka, dan mereka hanya ingin menemukan kembali harga diri mereka.

 

Yang menyelamatkan Bartimeus, dan kita masing-masing, adalah iman. Yesus menyembuhkan kita agar kita dapat menjadi bebas. Ia tidak mengundang Bartimeus untuk mengikuti-Nya, tetapi menyuruhnya pergi, untuk memulai perjalanan (bdk. ayat 52). Namun, Markus menyimpulkan ceritanya dengan mengatakan bahwa Bartimeus mulai mengikuti Yesus: dengan bebas ia memilih untuk mengikuti Yesus, yang adalah Jalan!

 

Saudara-saudari terkasih, marilah dengan penuh keyakinan kita membawa penderitaan kita kepada Yesus, dan juga penderitaan orang-orang yang kita kasihi; marilah kita membawa penderitaan orang-orang yang merasa kehilangan dan tidak memiliki jalan keluar. Marilah kita berseru bagi mereka juga, dan kita akan yakin bahwa Tuhan akan mendengar kita dan berhenti.

______

[Imbauan]

Saya ingin memanjatkan doa untuk para korban tragedi yang terjadi di sekolah di Graz. Saya dekat dengan keluarga, guru, dan teman sekolah. Semoga Tuhan menerima anak-anak-Nya ini dalam damai-Nya.

 

[Sapaan]

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya mereka yang datang dari Inggris, Skotlandia, Belgia, Kamerun, Zimbabwe, Tiongkok, Indonesia, Filipina, Singapura, Kanada, dan Amerika Serikat. Selagi kita bersiap merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus pada hari Minggu mendatang, saya mengundangmu untuk menjadikan hatimu tempat tinggal yang ramah bagi Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Yesus Kristus Pengharapan Kita,” hari ini kita menelaah aspek lain dari kehidupan dan pelayanan Yesus, yaitu, mukjizat penyembuhan-Nya. Dalam bacaan yang kita dengar, Bartimeus yang buta berseru kepada Yesus dengan permohonan yang merupakan tindakan iman: “Yesus, kasihanilah aku!” Sangatlah penting bahwa, ketika Yesus meminta Bartimeus untuk datang kepadanya, pengemis buta itu segera menanggalkan jubahnya, satu-satunya miliknya dan satu-satunya sumber keamanannya. Dalam pengertian ini, ia berdiri di hadapan Yesus dalam segala kerentanannya, percaya pada kuasa Tuhan untuk memulihkan penglihatannya. Kita juga, menyadari kebutuhan kita untuk disembuhkan, diminta untuk datang kepada Tuhan dalam segala kelemahan kita, meninggalkan “jubah” kita – rasa aman kita, zona nyaman kita – untuk mengalami kuasa penyembuhan-Nya. Selama Yubileum pengharapan ini, semoga kita juga menerima rahmat untuk melihat segala sesuatu secara baru dalam terang iman, dan mengikuti Tuhan dalam kebebasan dan kebaruan hidup.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Juni 2025)



[1] Penafsiran ini juga diberikan oleh Agustinus dalam Keselarasan Injil, 2, 65, 125: PL 34, 1138.