Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 Februari 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 7. “MATAKU TELAH MELIHAT KESELAMATAN YANG DATANG DARI-MU” (LUK 2:30). YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan merenungkan keindahan “Yesus Kristus, pengharapan kita” (1 Tim 1:1), dalam misteri Ia dipersembahkan di Bait Allah.

 

Dalam kisah masa kanak-kanak Yesus, penginjil Lukas menunjukkan kepada kita ketaatan Maria dan Yusuf terhadap Hukum Tuhan dan segenap ketentuannya. Sesungguhnya, di Israel tidak ada kewajiban untuk mempersembahkan anak di Bait Allah, tetapi mereka yang hidup dengan mendengarkan Sabda Hukum dan ingin menyesuaikan diri dengannya, menganggapnya sebagai praktik yang berharga. Begitu pula Hana, ibu Nabi Samuel, yang mandul; Allah mendengar doanya dan ia, setelah melahirkan putranya, membawanya ke Bait Allah dan mempersembahkannya kepada Tuhan selamanya (lihat 1Sam 1:24-28).

 

Karena itu Lukas menceritakan tindakan penyembahan pertama Yesus, yang dirayakan di kota suci, Yerusalem, yang akan menjadi tujuan seluruh pelayanan keliling-Nya sejak saat Ia membuat keputusan tegas untuk pergi ke sana (lihat Luk 9:51), guna menggenapi perutusan-Nya.

 

Maria dan Yusuf tidak sekadar menanamkan Yesus dalam sejarah keluarga, umat, perjanjian dengan Tuhan Allah. Keduanya peduli terhadap pertumbuhan-Nya, dan memperkenalkan-Nya ke dalam suasana iman dan penyembahan. Dan keduanya juga secara bertahap bertumbuh dalam pemahaman mereka tentang panggilan yang jauh melampaui diri mereka.

 

Di Bait Allah, yang merupakan "rumah doa" (Luk 19:46), Roh Kudus berembus, berbicara kepada hati seorang laki-laki tua: Simeon, seorang anggota umat Allah yang kudus yang dididik dalam harapan dan pengharapan, yang memelihara keinginan untuk penggenapan janji-janji Allah kepada Israel melalui para nabi. Simeon merasakan kehadiran Orang yang diurapi Tuhan di Bait Allah, ia melihat terang yang bersinar di tengah-tengah bangsa-bangsa yang terjerumus “dalam kegelapan” (bdk. Yes 9:1) dan ia pergi menemui anak itu yang, seperti dinubuatkan Yesaya, “telah lahir untuk kita”, Ia adalah seorang putra yang “telah diberikan untuk kita”, “Raja Damai” (Yes 9:5). Simeon memeluk anak itu yang, kecil dan tak berdaya, beristirahat dalam pelukannya; tetapi sebenarnya, dialah yang menemukan penghiburan dan kepenuhan keberadaannya dengan memeluk-Nya. Ia mengungkapkan hal ini dalam sebuah kidung yang penuh dengan rasa syukur yang tulus, yang dalam Gereja telah menjadi doa di penghujung hari:

 

"Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan-Mu bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."


Simeon menyanyikan sukacita mereka yang telah melihat-Nya, yang telah mengenali-Nya dan mampu menyampaikan kepada orang lain perjumpaan dengan Juruselamat Israel dan bangsa-bangsa. Ia adalah saksi iman yang diterima sebagai anugerah dan disampaikan kepada orang lain; ia adalah saksi pengharapan yang tidak mengecewakan; ia adalah saksi kasih Allah, yang memenuhi hati manusia dengan sukacita dan kedamaian. Dipenuhi dengan penghiburan rohani ini, Simeon yang sudah tua melihat kematian bukan sebagai akhir, tetapi sebagai penggenapan, pemenuhan; ia menantikannya seperti seorang "saudari" yang, alih-alih membinasakan, memperkenalkan kepada kehidupan sejati yang telah ia rasakan sebelumnya dan yakini.

 

Pada hari itu, Simeon bukan satu-satunya orang yang melihat keselamatan menjadi manusia dalam diri kanak Yesus. Hal yang sama juga terjadi pada Hana, seorang perempuan berusia lebih dari delapan puluh tahun, seorang janda, yang sepenuhnya mengabdikan diri untuk melayani Bait Allah dan berdoa. Sungguh, saat melihat anak itu, Hana merayakan Allah Israel, yang telah menebus umat-Nya melalui anak itu, dan memberitahu orang-orang tentang Dia, dengan murah hati menyebarkan firman nubuat. Kidung penebusan kedua orang tua tersebut dengan demikian memancarkan pemberitaan Tahun Yobel bagi seluruh umat dan dunia. Pengharapan kembali berkobar dalam hati di Bait Allah Yerusalem karena Kristus, pengharapan kita, telah memasukinya.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita juga meneladan Simeon dan Hana, para “peziarah pengharapan” yang memiliki mata jernih yang mampu melihat melampaui apa yang tampak, yang mampu mendeteksi kehadiran Allah dalam hal-hal kecil, yang tahu bagaimana menyambut kunjungan Allah dengan sukacita dan menyalakan kembali pengharapan dalam hati saudara-saudari mereka.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Februari 2025)

PESAN PAUS FRANSISKUS UNTUK MASA PRAPASKAH 2025


Marilah kita bersama-sama menempuh perjalanan dalam pengharapan

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Kita memulai peziarahan tahunan Masa Prapaskah dalam iman dan pengharapan dengan ritus tobat berupa penerimaan abu. Gereja, bunda dan guru kita, mengundang kita untuk membuka hati terhadap rahmat Allah, sehingga kita dapat merayakan dengan penuh sukacita kemenangan Paskah Kristus Tuhan atas dosa dan maut, yang membuat Santo Paulus berseru: “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut, di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1Kor 15:54-55). Sungguh, Yesus Kristus, yang disalibkan dan bangkit, adalah pokok iman kita dan jaminan pengharapan kita dalam janji agung Bapa, yang telah digenapi dalam Putra-Nya yang terkasih: hidup yang kekal (lih. Yoh 10:28; 17:3).[1]

 

Masa Prapaskah ini, saat kita ambil bagian dalam rahmat Tahun Yubileum, saya ingin mengusulkan beberapa refleksi tentang apa artinya berjalan bersama dalam pengharapan, dan tentang panggilan pertobatan yang disampaikan Allah dalam belas kasih-Nya kepada kita semua, sebagai individu dan komunitas.

 

Pertama, melakukan perjalanan. Moto Yubileum, “Peziarah Pengharapan”, mengingatkan kita pada perjalanan panjang umat Israel menuju Tanah Terjanji, sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Keluaran. Jalan yang sulit dari perbudakan menuju kebebasan ini dikehendaki dan dituntun oleh Tuhan, yang mengasihi umat-Nya dan tetap setia kepada mereka. Sulitnya memikirkan keluaran biblis tanpa memikirkan juga saudara-saudari kita yang pada zaman kita sedang melarikan diri dari situasi kesengsaraan dan kekerasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka dan orang-orang yang mereka kasihi. Panggilan pertama pertobatan dengan demikian datang dari kesadaran bahwa kita semua adalah peziarah dalam kehidupan ini; kita masing-masing diundang untuk berhenti dan bertanya bagaimana kehidupan kita mencerminkan fakta ini. Apakah aku sungguh sedang dalam perjalanan, atau apakah aku sedang berdiri terpaku, tidak bergerak, entah dilumpuhkan oleh rasa takut dan putus asa atau enggan untuk keluar dari zona nyamanku? Apakah aku sedang mencari cara untuk meninggalkan kesempatan dosa dan situasi yang merendahkan martabatku? Membandingkan kehidupan kita sehari-hari dengan kehidupan beberapa migran atau orang asing, belajar bagaimana bersimpati dengan pengalaman mereka dan dengan cara ini menemukan apa yang sedang diminta Allah dari kita sehingga kita dapat semakin maju dalam perjalanan kita menuju rumah Bapa akan menjadi latihan Masa Prapaskah yang baik bagi kita. Ini akan menjadi "pemeriksaan batin" yang baik bagi kita semua yang sedang dalam perjalanan.

 

Kedua, berjalan bersama. Gereja dipanggil untuk berjalan bersama, menjadi sinodal.[2] Umat Kristiani dipanggil untuk berjalan di samping sesamanya, dan jangan pernah mengembara sendirian. Roh Kudus mendorong kita untuk tidak terus menerus mementingkan diri kita, tetapi meninggalkan diri kita dan terus berjalan menuju Allah dan saudara-saudari kita.[3] Berjalan bersama berarti mempererat kesatuan yang berlandaskan martabat kita bersama sebagai anak-anak Allah (lihat Gal 3:26-28). Berjalan bersama berarti berjalan berdampingan, tanpa menyorong atau menginjak-injak sesama kita, tanpa iri hati atau munafik, tanpa membiarkan seorang pun diterlantarkan atau dikucilkan. Marilah kita semua berjalan ke arah yang sama, berkecenderungan menuju tujuan yang sama, saling memperhatikan dalam kasih dan kesabaran.

 

Masa Prapaskah ini, Allah sedang meminta kita untuk menelaah apakah dalam hidup kita, dalam keluarga kita, di tempat-tempat di mana kita bekerja dan menghabiskan waktu kita, kita mampu berjalan bersama dengan sesama kita, mendengarkan mereka, menahan godaan untuk menjadi egois dan hanya memikirkan kebutuhan kita. Marilah kita bertanya kepada diri kita di hadapan Tuhan apakah, sebagai uskup, imam, pelaku hidup bakti dan awam dalam pelayanan Kerajaan Allah, kita bekerja sama dengan sesama kita. Apakah kita menunjukkan diri kita ramah, dengan gerakan nyata, kepada mereka yang dekat maupun yang jauh. Apakah kita membuat sesama kita merasa menjadi bagian komunitas atau menjaga jarak terhadap mereka.[4] Jadi, ini adalah panggilan kedua pertobatan: panggilan sinodalitas.

 

Ketiga, marilah kita bersama-sama berjalan dalam pengharapan, karena kita telah diberi sebuah janji. Semoga pengharapan yang tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5), pesan utama Yubileum,[5] menjadi fokus perjalanan Masa Prapaskah kita menuju kemenangan Paskah. Sebagaimana diajarkan Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Spe Salvi, “manusia membutuhkan kasih yang tanpa syarat. Ia membutuhkan kepastian, yang mendorongnya berkata: 'Sebab aku yakin, bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita' (Rm 8:38-39).[6] Kristus, harapanku, telah bangkit![7] Ia hidup dan berkuasa dalam kemuliaan. Maut telah diubah menjadi kemenangan, dan iman serta pengharapan besar umat Kristiani terletak pada hal ini: kebangkitan Kristus!

 

Lalu, inilah panggilan ketiga pertobatan: panggilan pengharapan, percaya kepada Allah dan janji-Nya yang agung tentang hidup yang kekal. Marilah kita bertanya kepada diri kita: Apakah aku yakin bahwa Tuhan mengampuni dosa-dosaku? Atau apakah aku bertindak seolah-olah aku dapat menyelamatkan diriku? Apakah aku merindukan keselamatan dan memohon pertolongan Allah untuk mencapainya? Apakah secara nyata aku mengalami pengharapan yang memungkinkanku untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah dan mengilhami dalam diriku komitmen terhadap keadilan dan persaudaraan, merawat rumah kita bersama dan sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun merasa dikucilkan?

 

Saudara-saudari, berkat kasih Allah dalam Yesus Kristus, kita diteguhkan dalam pengharapan yang tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5). Pengharapan adalah “sauh yang kuat dan aman”.[8] Pengharapan menggerakkan Gereja untuk berdoa supaya “semua orang diselamatkan” (1Tim 2:4) dan menantikan persatuannya dengan Kristus, Mempelainya, dalam kemuliaan surgawi. Inilah doa Santa Teresa dari Avila: “Berharaplah, hai jiwaku, berharaplah! Engkau tidak mengetahui hari dan waktu. Berjaga-jagalah dengan penuh perhatian. Segala sesuatu berlalu dengan cepat, walaupun ketidaksabaranmu membuat hal yang pasti jadi diragukan dan membuat waktu yang singkat menjadi panjang” (Seruan Jiwa kepada Allah, 15:3).[9]


Semoga Perawan Maria, Bunda Pengharapan, menjadi perantara kita dan menemani kita dalam perjalanan Masa Prapaskah.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 6 Februari 2025

Peringatan wajib Santo Paul Miki dan kawan-kawan, martir

 

FRANSISKUS



[1] Bdk. Ensiklik Dilexit Nos (24 Oktober 2024), 220.

[2] Bdk. Homili dalam Misa Kanonisasi Giovanni Battista Scalabrini dan Artemide Zatti, 9 Oktober 2022.

[3] Idem.

[4] Idem.

[5] Bdk. Bulla Spes Non Confundit, 1.

[6] Ensiklik Spe Salvi (30 November 2007), 26.

[7] Bdk. Sekuensia Paskah.

[8] Bdk. Katekismus Gereja Katolik , 1820.

[9] Idem, 1821.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 19 Februari 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 6. “MEREKA MELIHAT ANAK ITU ... MEREKA SUJUD MENYEMBAH DIA” (MAT 2:11). KUNJUNGAN ORANG-ORANG MAJUS KEPADA RAJA YANG BARU DILAHIRKAN

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Injil tentang masa kanak-kanak Yesus ada satu kisah yang hanya dipaparkan oleh Matius: kunjungan orang-orang Majus. Tertarik oleh kemunculan sebuah bintang, yang dalam banyak budaya merupakan pertanda kelahiran seseorang yang istimewa, beberapa orang bijak berangkat melakukan perjalanan dari timur, tanpa mengetahui dengan pasti ke mana mereka akan pergi. Mereka adalah orang-orang Majus, orang-orang yang tidak termasuk dalam umat perjanjian. Terakhir kali kita berbicara tentang para gembala Betlehem, yang dipinggirkan oleh masyarakat Ibrani karena mereka dianggap "tidak murni"; hari ini kita menjumpai kategori lain, orang-orang asing, yang segera datang untuk memberi penghormatan kepada Putra Allah yang masuk ke dalam sejarah dengan kedudukan sebagai raja yang sepenuhnya telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, Injil memberitahu kita dengan jelas bahwa orang-orang miskin dan orang-orang asing diundang sebagai orang-orang pertama yang bertemu dengan Allah yang menjadi seorang anak, Juruselamat dunia.

 

Orang-orang Majus dianggap sebagai perwakilan dari ras purba, yang dilahirkan oleh tiga putra Nuh, dan tiga benua yang dikenal pada zaman dahulu, Asia, Afrika, dan Eropa, serta tiga tahap kehidupan manusia: muda, dewasa, dan tua. Terlepas dari semua kemungkinan penafsiran, mereka adalah orang-orang yang tidak tinggal diam, tetapi, seperti orang-orang pilihan dalam sejarah Kitab Suci, merasakan kebutuhan untuk bergerak, berangkat. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat melampaui diri mereka, yang tahu bagaimana melihat ke atas.

 

Ketertarikan pada bintang yang muncul di langit membuat mereka mulai bergerak ke tanah Yudea, ke Yerusalem, tempat mereka bertemu Raja Herodes. Kebersahajaan dan kepercayaan mereka dalam meminta informasi tentang raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu berbenturan dengan kelicikan Herodes, yang merasa khawatir akan kehilangan takhtanya, segera mencoba untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik, menghubungi para ahli Taurat dan meminta mereka untuk menyelidiki.

 

Dengan demikian, kekuasaan penguasa duniawi menunjukkan segenap kelemahannya. Para ahli mengetahui Kitab Suci dan merujuk kepada raja tempat di mana, menurut nubuat Mikha, pemimpin dan gembala umat Israel akan dilahirkan (Mi 5:1): Betlehem yang kecil, dan bukan Yerusalem yang besar! Memang, sebagaimana diingatkan Paulus kepada jemaat Korintus, "apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan apa yang kuat" (1 Kor 1:27).

 

Namun, para ahli Taurat, yang mampu mengidentifikasi tempat kelahiran Mesias dengan tepat, menunjukkan jalan kepada orang lain, tetapi mereka sendiri tidak bergerak! Memang, tidak cukup hanya mengetahui teks-teks tentang nubuat untuk menyelaraskan diri dengan frekuensi ilahi; kita harus membiarkan teks-teks tersebut masuk ke dalam diri kita dan membiarkan sabda Allah membangkitkan kerinduan untuk mencari, menyalakan keinginan untuk melihat Allah.

 

Pada titik ini, Herodes, yang bertindak secara diam-diam, seperti yang dilakukan oleh para penipu dan pelaku kekerasan, bertanya kepada orang-orang Majus tentang saat yang tepat bintang itu muncul dan mendorong mereka untuk melanjutkan perjalanan dan kemudian kembali untuk menyampaikan kabar kepadanya, sehingga ia juga dapat pergi menyembah bayi yang baru dilahirkan itu. Bagi mereka yang terikat dengan kekuasaan, Yesus bukanlah harapan yang harus disambut, tetapi ancaman yang harus disingkirkan!

 

Ketika orang-orang Majus kembali berangkat, bintang itu muncul lagi dan menuntun mereka kepada Yesus, tanda bahwa ciptaan dan sabda tentang nubuat mewakili alfabet yang dengannya Allah berbicara dan membiarkan Diri-Nya ditemukan. Pemandangan bintang itu mengilhami sukacita yang tak tertahankan dalam diri orang-orang itu, karena Roh Kudus, yang menggerakkan hati siapa pun yang dengan tulus mencari Allah, juga memenuhinya dengan sukacita. Setelah memasuki rumah, orang-orang Majus itu sujud, menyembah Yesus dan mempersembahkan kepada-Nya hadiah-hadiah yang berharga, yang layak bagi seorang raja, yang layak bagi Allah. Mengapa? Apa yang mereka lihat? Seorang penulis kuno menulis: mereka melihat "tubuh mungil yang sederhana yang telah diambil alih oleh Sabda; namun kemuliaan keilahian tidak tersembunyi dari mereka. Mereka melihat seorang bayi; tetapi mereka menyembah Allah” (Cromazio Di Aquileia, Ulasan tentang Injil Matius, 5:1). Dengan demikian orang-orang Majus menjadi orang-orang kafir pertama yang percaya, gambaran Gereja yang terdiri dari berbagai bahasa dan bangsa.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita juga mengikuti jejak orang-orang Majus, para “peziarah pengharapan” yang dengan keberanian besar mengarahkan langkah, hati, dan harta benda mereka kepada Dia yang menjadi pengharapan bukan hanya bagi Israel tetapi juga bagi segala bangsa. Marilah kita belajar untuk menyembah Allah dalam kekecilan-Nya, dalam kekuasaan-Nya yang tidak menghancurkan tetapi justru membebaskan dan memampukan kita untuk melayani dengan bermartabat. Dan marilah kita mempersembahkan kepada-Nya hadiah-hadiah yang paling indah, untuk mengungkapkan iman dan kasih kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Februari 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 12 Februari 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 5. “HARI INI TELAH LAHIR BAGIMU JURUSELAMAT, YAITU MESIAS, TUHAN” (LUK 2:11). KELAHIRAN YESUS DAN KUNJUNGAN PARA GEMBALA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam perjalanan katekese Yubileum kita tentang Yesus, pengharapan kita, hari ini kita akan merenungkan peristiwa kelahiran-Nya di Betlehem.

 

Putra Allah memasuki sejarah sebagai teman seperjalanan kita, dan mulai melakukan perjalanan saat masih dalam kandungan ibu-Nya. Penginjil Lukas memberitahu kita bahwa segera setelah Ia dikandung, Ia pergi dari Nazaret ke rumah Zakharia dan Elisabet; dan kemudian, pada akhir kehamilan, dari Nazaret ke Betlehem untuk cacah jiwa. Maria dan Yusuf terpaksa pergi ke kota Raja Daud, tempat Yusuf juga dilahirkan. Mesias yang telah lama dinantikan, Putra Allah Yang Maha Tinggi, membiarkan diri-Nya dicacah, yaitu dicacah dan didaftarkan, seperti warga negara lainnya. Ia tunduk pada maklumat seorang kaisar, Kaisar Agustus, yang menganggap dirinya sebagai penguasa seluruh bumi.

 

Lukas menempatkan kelahiran Yesus pada "waktu yang dapat ditentukan secara pasti" dan dalam "latar geografis yang ditunjukkan secara pasti", sehingga "yang sejagat dan yang berwujud saling bersentuhan" (Benediktus XVI, Narasi Kelahiran, 2012, 77). Allah, yang datang ke dalam sejarah, tidak membongkar tatanan dunia, tetapi ingin menerangi dan menciptakannya kembali dari dalam.

 

Betlehem berarti “rumah roti”. Di sana, hari-hari melahirkan telah digenapi bagi Maria dan di sanalah Yesus lahir, roti yang turun dari surga untuk memuaskan rasa lapar dunia (lih. Yoh 6:51). Malaikat Gabriel telah mengumumkan kelahiran Raja mesianik sebagai tanda kebesaran: “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan engkau harus menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi. Tuhan Allah akan memberikan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk 1:31-33).

 

Namun, Yesus dilahirkan dengan cara yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya bagi seorang raja. Sungguh, “ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung. Ia membedungnya lalu membaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di penginapan” (Luk 2:6-7). Putra Allah tidak dilahirkan di istana kerajaan, melainkan di belakang rumah, di tempat hewan dipelihara.

 

Lukas dengan demikian menunjukkan kepada kita bahwa Allah tidak datang ke dunia dengan pernyataan-pernyataan yang berkumandang; Ia tidak menyatakan diri-Nya dengan kegaduhan, tetapi memulai perjalanan-Nya dengan kerendahan hati. Dan siapakah saksi-saksi pertama dari peristiwa ini? Mereka adalah para gembala: orang-orang yang kurang berbudaya, berbau busuk karena kontak terus-menerus dengan hewan, mereka hidup di pinggiran masyarakat. Namun, mereka mempraktikkan pekerjaan yang dengannya Allah sendiri menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya (lih. Kej 48:15;49:24; Mzm 23:1; 80:2; Yes 40:11). Allah memilih mereka sebagai penerima kabar terindah yang pernah berkumandang dalam sejarah: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk segala bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Mesias, Tuhan, di kota Daud. Inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi yang dibedung dan terbaring di dalam palungan."

 

Tempat untuk bertemu Sang Mesias adalah palungan. Memang, setelah penantian seperti itu, “bagi Juruselamat dunia, bagi Dia yang di dalam-Nya telah diciptakan segala sesuatu (bdk. Kol 1:16), tidak ada tempat lagi” (Benediktus XVI, Narasi Kelahiran, 2012, 80). Para gembala kemudian mengetahui bahwa di tempat yang sangat sederhana, yang disediakan bagi hewan, Sang Mesias yang telah lama dinantikan telah lahir, dan Ia lahir bagi mereka, untuk menjadi Juruselamat mereka, gembala mereka. Berita ini membuka hati mereka untuk takjub, memuji, dan mewartakan dengan penuh sukacita. ‘Tidak seperti banyak orang lain, yang sibuk dengan banyak hal, para gembala menjadi orang pertama yang melihat hal yang paling penting: rahmat keselamatan. Orang-orang yang rendah hati dan miskin yang menyambut peristiwa Penjelmaan” (Surat Apostolik Admirabile Signum, 5).

 

Saudara-saudari, marilah kita juga memohon rahmat untuk menjadi seperti para gembala, mampu untuk takjub dan memuji Allah, dan mampu untuk menghargai apa yang telah dipercayakan-Nya kepada kita: talenta, karisma, panggilan kita dan orang-orang yang Ia tempatkan di samping kita. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar mampu melihat dalam kelemahan kekuatan luar biasa Sang Putra Allah, yang datang untuk memperbarui dunia dan mengubah rupa hidup kita dengan rencana-Nya yang penuh harapan bagi segenap umat manusia.


***

[Imbauan]

Saya memikirkan banyak negara yang sedang berperang. Saudari-saudari, marilah kita berdoa untuk perdamaian. Marilah kita melakukan yang terbaik untuk perdamaian. Jangan lupa bahwa perang adalah kekalahan. Selalu. Kita tidak dilahirkan untuk membunuh, tetapi untuk membuat orang-orang tumbuh. Semoga jalan menuju perdamaian ditemukan. Mohonlah, dalam doa harianmu, mohonlah perdamaian. Ukraina yang tersiksa... betapa menderitanya. Kemudian, pikirkan Palestina, Israel, Myanmar, Kivu Utara, Sudan Selatan. Begitu banyak negara yang sedang berperang. Mohon, marilah kita berdoa untuk perdamaian. Marilah kita melakukan penebusan dosa untuk perdamaian.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris, khususnya mereka yang berasal dari Inggris, Irlandia Utara, Malta, Swedia, Australia, Indonesia, Filipina, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa para seminaris dari Pontificial Irish College dan saya memastikan doa saya untuk studi mereka guna menjadi imam. Saya mengharapkan Yubileum Pengharapan saat ini dapat menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu. Saya memohonkan sukacita dan damai Tuhan Yesus atas kamu semua.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Tahun Suci ini, “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, sekarang kita merenungkan kerendahan hati Putra Allah, yang memilih untuk memasuki sejarah manusiawi kita bukan dengan pewartaan yang mengumandang, tetapi dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Lahir di Betlehem, sebuah kota yang namanya berarti “Rumah Roti”, Yesus – Roti yang turun dari surga untuk memuaskan rasa lapar dunia (bdk. Yoh 6:51) – dibaringkan dalam palungan karena tidak ada tempat penginapan bagi-Nya. Kabar gembira tentang kelahiran Juruselamat pertama-tama diwartakan kepada para gembala yang hina. Di sini kita melihat bahwa dalam rencana Allah, “orang-orang yang rendah hati dan miskinlah yang menyambut peristiwa Penjelmaan” (Admirabile Signum, 5). Seperti para gembala, semoga kita bersukacita dalam keajaiban kasih Allah, yang dinyatakan dalam ketersembunyian dan kelemahan, dan mengakui pengharapan kita terletak dalam kekuatan kasih yang hening itu sehingga dapat mengubah hidup kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Februari 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 9 Februari 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Sebelum mengakhiri perayaan ini, saya ingin menyapa kamu semua, yang telah menghidupkan kembali peziarahan Yubileum Angkatan Bersenjata, Kepolisian, dan Aparat Keamanan ini. Saya berterima kasih kepada para pejabat sipil yang terhormat atas kehadiran mereka, dan para ordinaris dan imam militer atas pelayanan pastoral mereka. Saya menyampaikan salam saya kepada semua aparat militer di seluruh dunia, dan saya ingin mengingat ajaran Gereja dalam hal ini. Konsili Vatikan II mengatakan: “Mereka sendiri hendaknya memandang diri sebagai pelayan-pelayan keamanan dan kebebasan rakyat” (Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 79). Layanan bersenjata ini harus dilaksanakan hanya untuk pertahanan yang sah, tidak pernah untuk memaksakan kekuasaan atas bangsa lain, selalu menaati konvensi internasional tentang masalah konflik (lih. idem), dan sebelum itu, dalam penghormatan yang sakral bagi kehidupan dan ciptaan.

 

Saudara-saudari, marilah kita berdoa untuk perdamaian, di Ukraina yang tersiksa, Palestina, Israel dan seluruh Timur Tengah, Myanmar, Kivu, dan Sudan. Semoga senjata dibungkam di mana pun, dan semoga seruan rakyat, yang memohon perdamaian, didengar!

 

Marilah kita percayakan doa kita kepada perantaraan Perawan Maria, Ratu Perdamaian.

 

Angelus Domini…


_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Februari 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 5 Februari 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 3. BERBAHAGIALAH IA YANG PERCAYA (LUK 1:45). KUNJUNGAN DAN MAGNIFICAT

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini kita akan merenungkan keindahan Yesus Kristus, pengharapan kita dalam misteri Kunjungan. Perawan Maria mengunjungi Santa Elisabet; tetapi terutama Yesus, dalam rahim ibu-Nya, yang mengunjungi umat-Nya (lih. Luk 1:68), sebagaimana dikatakan Zakharia dalam nyanyian pujiannya.

 

Setelah terperangah dan heran atas apa yang telah diberitahukan Malaikat kepadanya, Maria bangkit dan berangkat untuk melakukan perjalanan, sebagaimana semua orang yang dipanggil dalam Kitab Suci, karena "satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan manusia untuk menanggapi Allah yang telah diwahyukan kepadanya adalah tindakan kesiapan yang tak terbatas" (H.U. von Balthasar, Panggilan, Roma 2002, 29). Putri belia Israel ini tidak memilih untuk melindungi dirinya dari dunia; ia tidak takut akan bahaya dan penghakiman orang lain, tetapi pergi kepada orang lain.

 

Ketika kita merasa dikasihi, kita mengalami suatu kekuatan yang menggerakkan kasih; sebagaimana dikatakan rasul Paulus, "kasih Kristus menguasai kami" (2Kor 5:14), kasih mendorong kita, menggerakkan kita. Maria merasakan dorongan kasih ini, dan selain pergi untuk menolong seorang perempuan yang merupakan kerabatnya, tetapi juga seorang perempuan tua yang, setelah penantian yang panjang, menyambut kehamilan yang tidak diharapkan, yang sulit terjadi pada usianya. Namun, Sang Perawan juga pergi kepada Elisabet untuk membagikan imannya kepada Allah ketidakmustahilan dan pengharapannya akan penggenapan janji-janji-Nya.

 

Perjumpaan antara kedua perempuan itu menghasilkan dampak yang mengejutkan: suara Maria, "penuh rahmat", yang menyapa Elisabet, membangkitkan nubuat dalam diri anak yang dikandung perempuan tua itu di dalam rahimnya, dan mengilhami dalam dirinya berkat ganda: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu!" (Luk 1:42). Dan juga sebuah kebahagiaan: "Berbahagialah ia yang percaya bahwa apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana" (ayat 45).

 

Dihadapkan dengan pengakuan akan jatidiri mesianis Putranya dan perutusannya sebagai ibu, Maria tidak berbicara tentang dirinya, tetapi tentang Allah, dan menaikkan pujian yang penuh dengan iman, harapan, dan sukacita, sebuah nyanyian yang bergema setiap hari dalam Gereja selama doa Vesper: Magnificat (Luk 1:46-55).

 

Pujian kepada Allah sang Juruselamat ini, yang mengalir dari hati hamba-Nya yang rendah hati, merupakan peringatan khidmat yang menyatukan dan memenuhi doa Israel. Pujian ini dijalin dengan gema biblis, sebuah tanda bahwa selain tidak ingin bernyanyi “di luar paduan suara”, Maria ingin selaras dengan para leluhur, melambungkan bela rasanya kepada mereka yang rendah hati, orang-orang kecil yang akan dinyatakan “berbahagia” (lih. Mat 5:1-12) oleh Yesus dalam khotbah-Nya.

 

Kehadiran motif Paskah yang menonjol juga menjadikan Magnificat sebagai nyanyian penebusan, yang berlatar belakang kenangan akan pembebasan Israel dari Mesir. Semua kata kerjanya berada di masa lampau, diresapi dengan kenangan akan kasih yang menerangi masa kini dengan iman dan menerangi masa depan dengan pengharapan: Selain bernyanyi tentang kasih karunia masa lalu, Maria adalah perempuan masa kini yang mengandung masa depan dalam rahimnya.

 

Bagian pertama nyanyian ini memuji tindakan Allah dalam diri Maria, gambaran kecil umat Allah yang sepenuhnya menaati perjanjian (ayat 46-50); bagian kedua berkisar pekerjaan Bapa dalam gambaran besar sejarah Putra-Nya (ayat 51-55), melalui tiga kata kunci: kenangan, belas kasihan, janji.

 

Tuhan, yang sujud kepada Maria yang rendah hati untuk menggenapi “hal-hal besar” dalam dirinya dan menjadikannya ibu Tuhan, mulai menyelamatkan umat-Nya sejak keluaran, mengingat berkat universal yang dijanjikan kepada Abraham (lih. Kej 12:1-3). Tuhan Allah yang setia selamanya, mencurahkan aliran kasih yang penuh kerahiman yang tak terputus “turun-temurun” (ayat 50) atas umat yang setia akan perjanjian, dan sekarang menyatakan terlaksananya keselamatan dalam Putra-Nya, yang diutus untuk menyelamatkan umat dari dosa-dosa mereka. Dari Abraham hingga Yesus Kristus dan komunitas umat beriman, Paskah dengan demikian muncul sebagai kategori hermeneutika untuk memahami setiap pembebasan berikutnya, hingga yang diwujudkan oleh Mesias dalam kegenapan waktu.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah hari ini kita memohon kepada Tuhan agar kita dapat menantikan penggenapan setiap janji-Nya; dan dapat menyambut kehadiran Maria dalam hidup kita. Dengan mengikuti teladannya, semoga kita semua menemukan bahwa setiap jiwa yang percaya dan berharap "mengandung dan melahirkan Sabda Allah" (Santo Ambrosius, Penjelasan Injil menurut Lukas 2:26).

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam lanjutan katekese Yubileum tentang “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, sekarang kita merenungkan misteri kunjungan Maria. Iman Perawan Maria kepada sabda Allah segera membuahkan hasil dalam bentuk cinta kasih ketika ia berangkat untuk membantu saudarinya yang sudah tua, Elisabet. Dalam pertemuan mereka, Elisabet, yang dipenuhi dengan Roh Kudus, berseru tentang Maria, “Berbahagialah ia yang percaya bahwa apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (bdk. Luk 1:45). Maria menanggapi dengan kidung pujian – Magnificat – yang memuji belas kasihan Allah, yang bertahan “turun-temurun”, dan kesetiaan-Nya pada janji keselamatan yang telah Ia buat “kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya” (ayat 50, 55). Dari Maria, semoga kita belajar untuk percaya tanpa henti kepada sabda Allah, kepada penebusan yang dimenangkan bagi kita oleh Yesus, dan kepada penggenapan pamungkas rencana penyelamatan-Nya pada akhir zaman.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris, khususnya mereka yang datang dari Irlandia, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Amerika Serikat, serta menyampaikan harapan baik saya agar Yubileum ini menjadi masa pembaruan rohani dan pertumbuhan dalam sukacita Injil bagi kamu semua. Atasmu dan keluargamu, dengan senang hati saya memohonkan berkat Allah berupa kebijaksanaan, kekuatan, dan kedamaian.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Februari 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 2 Februari 2025 : YESUS ADALAH KESELAMATAN, TERANG; DAN TANDA PERBANTAHAN

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil liturgi hari ini (Luk 2:22-40) menceritakan kepada kita tentang Maria dan Yusuf yang membawa bayi Yesus ke Bait Allah di Yerusalem. Sesuai dengan Hukum Taurat, mereka mempersembahkan Dia di tempat kediaman Allah, mengingatkan bahwa kehidupan berasal dari Tuhan. Dan sementara Keluarga Kudus melaksanakan apa yang selalu dilakukan di antara umat Israel, dari generasi ke generasi, terjadilah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

 

Dua orang tua, Simeon dan Hana, bernubuat tentang Yesus: mereka berdua memuji Allah dan berbicara tentang Anak itu “kepada semua orang yang menantikan pembebasan untuk Yerusalem” (ayat 38). Suara hati mereka bergema di antara batu-batu kuno Bait Suci, mengumumkan penggenapan pengharapan Israel. Sungguh Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya: bukan karena Ia tinggal di dalam keempat dinding, tetapi karena Ia hidup sebagai manusia di antara manusia. Dan inilah kebaruan Yesus. Di usia tua Simeon dan Hana, kebaruan yang mengubah sejarah dunia terjadi.

 

Sementara itu, Maria dan Yusuf merasa heran dengan apa yang mereka dengar (lih. ayat 33). Sungguh, ketika Simeon menggendong Anak itu, ia memanggilnya dengan tiga cara yang indah, yang patut direnungkan. Tiga cara, tiga nama yang ia berikan kepada-Nya. Yesus adalah keselamatan, Yesus adalah terang; Yesus adalah tanda perbantahan.

 

Pertama, Yesus adalah keselamatan. Simeon berkata, sambil berdoa kepada Allah, “mataku telah melihat keselamatan yang dari-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa” (ayat 30-31). Hal ini selalu membuat kita heran: keselamatan universal terpusat hanya pada satu hal! Ya, karena di dalam Yesus berdiam kepenuhan Allah, kasih-Nya (lih. Kol 2:9).

 

Aspek kedua: Yesus adalah “terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain” (ayat 32). Seperti matahari yang terbit di atas dunia, anak ini akan menebusnya dari kegelapan kejahatan, penderitaan, dan kematian. Alangkah kita membutuhkan terang, terang ini, bahkan saat ini!

 

Akhirnya, anak yang dipeluk oleh Simeon merupakan tanda perbantahan, “supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang” (ayat 35). Yesus menyingkapkan kriteria menghakimi seluruh sejarah dan dramanya, dan juga kehidupan kita masing-masing. Dan apakah kriteria ini? Kriterianya adalah kasih: mereka yang mengasihi, hidup; mereka yang membenci, mati.

 

Yesus adalah keselamatan, Yesus adalah terang, dan Yesus adalah tanda perbantahan.

 

Setelah tercerahkan oleh perjumpaan dengan Yesus ini, kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: apa yang kuharapkan dalam hidupku? Apa pengharapan terbesarku? Apakah hatiku ingin melihat wajah Tuhan? Apakah aku menantikan perwujudan rencana keselamatan-Nya bagi umat manusia?

 

Marilah kita bersama berdoa kepada Maria, Bunda yang paling murni, agar ia menyertai kita melalui terang dan bayang-bayang sejarah, agar ia senantiasa menyertai kita dalam perjumpaan dengan Tuhan.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini di Italia kita merayakan Hari untuk Kehidupan, dengan tema “Menularkan kehidupan, pengharapan kepada dunia”. Saya bergabung dengan para uskup Italia dalam mengungkapkan rasa terima kasih kepada banyak keluarga yang dengan penuh semangat menyambut anugerah kehidupan dan dalam mendorong pasangan suami istri muda agar tidak takut melahirkan anak ke dunia. Dan saya menyapa Gerakan untuk Kehidupan Italia, yang telah berusia lima puluh tahun. Salam hangat!

 

Besok di Vatikan akan diadakan KTT internasional tentang hak-hak anak, yang bertajuk “Cintailah dan Lindungilah Mereka”, yang telah saya promosikan dengan gembira dan akan saya ikuti. Ini adalah kesempatan unik untuk mengangkat isu-isu paling mendesak mengenai kehidupan anak-anak kecil ke pusat perhatian dunia. Saya mengundangmu untuk ikut berdoa demi keberhasilannya.

 

Dan berkenaan dengan nilai utama kehidupan manusia, saya tegaskan kembali “tidak” untuk perang, yang menghancurkan; perang menghancurkan segalanya, perang menghancurkan kehidupan dan mendorong kita untuk tidak mengabaikannya. Dan janganlah kita lupa bahwa perang selalu merupakan kekalahan. Pada tahun Yubileum ini, saya kembali memohon, khususnya kepada para gubernur kristiani, untuk melakukan yang terbaik dalam negosiasi demi mengakhiri semua pertikaian yang sedang berlangsung. Marilah kita berdoa untuk perdamaian di Ukraina yang tersiksa, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Kivu Utara.

 

Saya menyapa kamu semua, dari Italia dan berbagai belahan dunia lainnya. Saya khususnya menyapa umat Valencia, Barcelona, ​​dan Sevilla; para siswa Rodríguez Moñino Badajoz, Spanyol, dan mereka yang berasal dari “École de Provence” Marseille; kelompok paroki dari Nanterre dan mereka yang berasal dari Polandia, Kroasia, Bulgaria, dan India. Saya menyapa kaum muda Immacolata.

 

Saya menyapa umat Vighizzolo, Seregno, dan Cologno Monzese, UNITALSI Keuskupan Camerinio-San Severino Marche, Pramuka dari Nola, dan para anggota Serra Club International. Saya menyapa para pelayan komunitas pastoral “Regina degli Apostoli” Keuskupan Milan.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada kamu semua. Jangan lupa untuk mendoakan saya. Selamat menikmati makan siangmu, dan sampai jumpa!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Februari 2025)

KHOTBAH PAUS FRANSISKUS DALAM VESPER PERTAMA PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH 1 Februari 2025

“Sungguh, Aku datang, ... untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah” (Ibr 10:7). Dengan kata-kata ini, penulis Surat kepada Orang Ibrani menggambarkan ketaatan penuh Yesus terhadap rencana Bapa. Kita membaca kata-kata itu pada Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah, Hari Hidup Bakti Sedunia, dalam Yubileum Pengharapan ini dan suasana liturgi yang ditandai dengan simbolisme cahaya. Kamu semua, saudara-saudari terkasih yang telah memilih jalan nasihat-nasihat injili, telah mengabdikan dirimu, seperti “Mempelai perempuan di hadapan mempelai laki-lakinya... dikelilingi oleh cahaya-Nya” (Santo Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Vita Consecrata, 15); kamu telah mengabdikan diri kepada rencana terang Bapa yang sama, yang kembali ke asal-usul dunia. Itu akan sepenuhnya tercapai pada akhir zaman, tetapi bahkan sekarang dibuat tampak melalui “keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Allah dalam manusia yang rapuh dari mereka yang dipanggil” (idem, 20). Marilah kita renungkan, bagaimana, melalui kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan yang telah kamu ucapkan, kamu dapat membawa terangnya kepada para perempuan dan laki-laki di zaman kita.

 

Pertama: melalui terang kemiskinanmu, yang berakar dalam kehidupan Allah sendiri, dalam karunia abadi dan sepenuhnya dari Bapa, Putra dan Roh Kudus (idem, 21). Melalui praktik kemiskinan, para pelaku hidup bakti, melalui penggunaan segala sesuatu secara bebas dan murah hati, menjadi pembawa berkat bagi mereka. Mereka menunjukkan kebaikan dari segala sesuatu itu dalam tata kasih, menolak segala sesuatu yang dapat mengaburkan keindahannya – keegoisan, keserakahan, ketergantungan, penggunaan dan penyalahgunaan yang kejam untuk tujuan kematian dan kehancuran – dan sebaliknya merangkul segala sesuatu yang dapat menonjolkan keindahan itu: kesederhanaan, kemurahan hati, berbagi dan solidaritas. Dan Paulus berkata, “Semuanya adalah milikmu, tetapi kamu milik Kristus dan Kristus milik Allah” (1Kor 3:22-23). ​​Inilah kemiskinan.

 

Kedua, melalui terang kesucianmu. Ini juga berawal dari Tritunggal dan merupakan “cerminan kasih tak terbatas yang menghubungkan ketiga Pribadi ilahi” (Vita Consecrata, 21). Pelukan kemiskinan, dalam penolakan cinta suami istri dan mengikuti jalan pengendalian diri, menegaskan kembali keutamaan mutlak cinta Allah, yang harus diterima dengan hati yang tidak terbagi dan sebagai pasangan suami istri (bdk. 1Kor 7:32-36), serta menunjuknya sebagai sumber dan model dari setiap cinta lainnya. Kita tahu bahwa kita hidup di dunia yang sering ditandai oleh bentuk afektivitas yang menyimpang, di mana prinsip kesenangan - prinsip itu - mendorong orang untuk mencari kepuasan kebutuhan mereka sendiri dalam diri orang lain daripada kegembiraan yang lahir dari perjumpaan yang membuahkan hasil. Itu benar. Dalam hubungan, hal ini menimbulkan sikap yang dangkal dan tidak stabil, keegoisan dan hedonisme, ketidakdewasaan dan tidak bertanggung jawab secara moral. Pasangan hidup pilihan seumur hidup digantikan oleh "pasangan" saat itu, sementara anak-anak yang diterima dengan sukarela sebagai karunia digantikan oleh mereka yang dituntut sebagai "hak" atau disingkirkan sebagai "tidak diinginkan".

 

Saudara-saudari, dalam menghadapi situasi ini, serta “semakin dibutuhkannya” kejujuran batin dalam hubungan antarmanusia (Vita Consecrata, 88) dan ikatan manusia yang lebih erat antara individu dan komunitas, kemurnian hidup bakti menunjukkan kepada kita dan manusia abad ke-21 suatu cara untuk menyembuhkan penyakit keterasingan melalui penerapan cara mencintai yang bebas dan membebaskan. Suatu cara mencintai yang menerima dan menghormati semua orang, tanpa memaksa atau menolak siapa pun. Bertemu dengan para pelaku hidup bakti yang mampu menjalin hubungan yang dewasa dan penuh sukacita seperti ini sungguh suatu obat mujarab bagi jiwa! Mereka adalah cerminan kasih Allah sendiri (bdk. Luk 2:30-32). Akan tetapi, untuk tujuan ini, penting bagi komunitas kita untuk menyediakan pertumbuhan rohani dan afektif bagi para anggotanya, baik selama pembinaan awal maupun berkelanjutan. Dengan cara ini, kesucian dapat benar-benar menyingkapkan keindahan cinta yang mengurbankan diri, dan menghindari fenomena yang merugikan seperti hati yang menjadi masam atau pilihan yang meragukan yang merupakan gejala ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, dan terkadang, pada individu yang lebih rapuh, menyebabkan mereka menjalani "kehidupan ganda". Setiap hari ada pertempuran melawan godaan kehidupan ganda. Itu terjadi setiap hari.

 

Ketiga, melalui terang ketaatanmu. Bacaan yang telah kita dengar juga berbicara tentang hal ini, karena bacaan itu menunjukkan kepada kita, dalam hubungan antara Yesus dan Bapa, “keindahan yang membebaskan dari ketergantungan yang bersifat bakti dan tidak merendahkan, ditandai oleh rasa tanggung jawab yang mendalam dan dijiwai oleh rasa saling percaya” (Vita Consecrata, 21). Justru dalam terang sabda Allah, ketaatanmu menjadi karunia dan tanggapan kasih, dan tanda bagi masyarakat kita. Dewasa ini kita cenderung banyak berbicara tetapi sedikit mendengarkan, dalam keluarga kita, tempat kerja kita dan terutama di jejaring sosial, di mana kita dapat banjir bertukar kata-kata dan gambar tanpa benar-benar bertemu orang lain, karena kita tidak benar-benar berinteraksi dengan mereka. Ini sesuatu yang menarik. Sering kali, dalam dialog sehari-hari, sebelum kita selesai berbicara, sebuah jawaban sudah keluar karena orang lain tidak mendengarkan. Kita perlu mendengarkan sebelum menanggapi. Terimalah perkataan orang lain sebagai pesan, sebagai harta, bahkan sebagai pertolongan bagiku. Ketaatan hidup bakti dapat bertindak sebagai penawar bagi individualisme yang terasing ini, karena ketaatan tersebut mendorong suatu model hubungan alternatif yang ditandai dengan mendengarkan secara aktif, di mana "berbicara" dan "mendengarkan" diikuti oleh keterwujudan "bertindak", bahkan dengan mengurbankan selera, rencana, dan pilihan kita. Hanya dengan cara ini, pada kenyataannya, kita dapat sepenuhnya mengalami sukacita karunia, mengatasi kesepian, dan menemukan makna keberadaannya dalam rencana Allah yang lebih besar.

 

Saya ingin mengakhiri dengan menyebutkan sesuatu lebih lanjut. Dewasa ini dalam hidup bakti banyak dibicarakan tentang “kembali ke asal-usul”. Namun bukan kembali ke asal-usul seperti kembali ke museum, tidak. Kembali ke asal-usul hidup kita. Sabda Allah yang telah kita dengar mengingatkan kita bahwa “kembali ke asal-usul” yang pertama dan terpenting dalam setiap bakti dan bagi kita masing-masing, adalah kembali kepada Kristus dan kepada “ya”-Nya kepada Bapa. Sabda itu mengingatkan kita bahwa pembaruan, bahkan sebelum pertemuan dan “meja bundar” – yang harus dilakukan dan berguna – terjadi di depan tabernakel, dalam penyembahan. Saudari-saudari, kita agak kehilangan rasa penyembahan. Kita terlalu praktis, kita ingin melakukan sesuatu, tetapi… menyembah. Menyembah. Harus ada kapasitas untuk penyembahan dalam keheningan. Dan dengan cara ini kita mulai menghargai para pendiri kita terutama sebagai perempuan dan laki-laki yang beriman mendalam, yang berulang kali bersama mereka, dalam doa dan persembahan kepada Allah: "Sungguh, Aku datang, ... untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah" (Ibr 10:7).

 

Terima kasih banyak atas kesaksianmu. IKesaksianmu adalah ragi dalam Gereja. Terima kasih.
____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Februari 2025)