Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 30 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Dalam Bacaan Injil hari ini (Luk 15:1-3, 11-32) Yesus memperhatikan bahwa orang-orang Farisi merasa tersinggung dan bersungut-sungut di belakang-Nya, alih-alih bersukacita karena orang-orang berdosa datang kepada-Nya. Maka Yesus menceritakan kepada mereka tentang seorang bapa yang memiliki dua anak laki-laki: yang satu meninggalkan rumah, tetapi kemudian, setelah jatuh miskin, ia kembali dan disambut dengan sukacita. Yang satunya, anak yang 'taat', marah kepada bapanya dan tidak mau memasuki pesta. Beginilah cara Yesus menyingkapkan hati Allah: Ia selalu berbelas kasih kepada semua orang; Ia menyembuhkan luka-luka kita sehingga kita dapat saling mengasihi sebagai saudara.

 

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita jalani masa Prapaskah ini sebagai masa penyembuhan, terlebih lagi karena Yubileum. Saya juga sedang mengalaminya dengan cara ini, dalam jiwa dan tubuh saya. Itulah sebabnya dengan sepenuh hati saya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang, dengan menyerupai sang Juruselamat, menjadi sarana penyembuhan bagi sesama mereka dengan perkataan dan pengetahuan mereka, dengan kebaikan dan doa. Kelemahan dan penyakit adalah pengalaman yang kita semua alami bersama; terlebih lagi, kita bersaudara dalam keselamatan yang telah diberikan Kristus kepada kita.

 

Meyakini belas kasih Allah Bapa, kita terus mendoakan perdamaian: di Ukraina yang bermartir, di Palestina, Israel, Lebanon, Republik Demokratik Kongo, dan Myanmar, yang juga sangat menderita karena gempa bumi.

 

Saya sedang mengikuti situasi di Sudan Selatan dengan penuh keprihatinan. Dengan tulus saya kembali memohon semua pemimpin untuk melakukan yang terbaik guna meredakan ketegangan di negara ini. Kita harus menyingkirkan perbedaan dan, dengan keberanian dan tanggung jawab, duduk bersama dan terlibat dalam dialog yang membangun. Hanya dengan cara ini penderitaan rakyat Sudan Selatan yang tercinta dapat diringankan serta masa depan yang damai dan stabil dapat dibangun. Dan di Sudan, perang terus memakan korban yang tidak bersalah.

 

Saya mendesak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk mengutamakan keselamatan jiwa saudara-saudari sipil mereka; dan saya berharap negosiasi baru akan dimulai sesegera mungkin, yang mampu mengamankan solusi yang langgeng untuk krisis ini. Semoga masyarakat internasional meningkatkan upayanya untuk mengatasi bencana kemanusiaan yang mengerikan ini.

 

Puji Tuhan, ada juga beberapa peristiwa baik: misalnya, ratifikasi perjanjian tentang penetapan batas wilayah antara Tajikistan dan Kirgistan, yang merupakan pencapaian diplomatik yang sangat baik. Saya mendorong kedua negara untuk terus melanjutkan jalan ini.

 

Semoga Maria, bunda belas kasih, membantu keluarga umat manusia untuk berdamai dalam perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 30 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 26 Maret 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 2. PEREMPUAN SAMARIA “BERILAH AKU MINUM!” (YOH 4:7)

Saudara-saudari terkasih,

 

Setelah merenungkan perjumpaan Yesus dan Nikodemus, yang pergi mencari Yesus, hari ini kita akan merenungkan saat-saat ketika tampaknya Ia benar-benar sedang menunggu di sana, di persimpangan jalan dalam hidup kita. Perjumpaan-perjumpaan yang mengejutkan kita, dan pada awalnya kita mungkin sedikit ragu-ragu; kita mencoba untuk bersikap bijaksana dan memahami apa yang sedang terjadi.

 

Hal ini mungkin juga dialami oleh perempuan Samaria, yang disebutkan dalam Injil Yohanes bab empat (lih. 4:5-26). Ia tidak menyangka akan menemukan seorang laki-laki di sumur pada siang hari; sesungguhnya ia berharap tidak menemukan seorang pun sama sekali. Bahkan, ia pergi menimba air dari sumur pada jam yang tidak biasa, ketika air sangat panas. Mungkin perempuan ini malu akan hidupnya, mungkin ia merasa dihakimi, dikutuk, tidak dipahami, dan karena alasan ini ia mengasingkan diri, ia memutuskan hubungan dengan semua orang.

 

Untuk pergi ke Galilea dari Yudea, Yesus harus memilih jalan lain dan tidak melewati Samaria. Jalan itu juga akan lebih aman, mengingat ketegangan hubungan antara orang Yahudi dan orang Samaria. Sebaliknya, Ia ingin melewati jalan itu, dan berhenti di sumur itu, tepat pada saat itu! Yesus menunggu kita dan membiarkan diri-Nya ditemukan tepat ketika kita berpikir bahwa tidak ada pengharapan lagi bagi kita. Sumur, di Timur Tengah kuno, adalah tempat perjumpaan, di mana terkadang pernikahan ditetapkan; sumur adalah tempat pertunangan. Yesus ingin membantu perempuan ini memahami di mana menemukan jawaban yang benar atas keinginannya untuk dicintai.

 

Tema keinginan merupakan hal dasariah untuk memahami perjumpaan ini. Yesus adalah orang pertama yang mengungkapkan keinginan-Nya: “Berilah Aku minum!” (ayat 7). Demi membuka dialog, Yesus membuat diri-Nya tampak lemah, untuk menenangkan orang lain, memastikan bahwa ia tidak takut. Rasa haus sering kali, bahkan dalam Kitab Suci, merupakan gambaran dari keinginan. Namun di sini Yesus haus pertama-tama akan keselamatan perempuan itu. “Orang yang sedang meminta minum”, kata Santo Agustinus, “sedang haus akan iman perempuan itu”.[1]

 

Sementara Nikodemus pergi menemui Yesus pada malam hari, di sini Yesus bertemu dengan perempuan Samaria pada tengah hari, saat cahaya paling terang bersinar. Benar-benar momen pewahyuan. Yesus memperkenalkan diri-Nya kepada perempuan itu sebagai Mesias dan juga menerangi kehidupan-Nya. Ia membantu perempuan itu untuk membaca kembali kisah hidupnya, yang rumit dan menyakitkan: ia telah memiliki lima suami dan yang ada sekarang bukan suaminya yang keenam. Angka enam bukan angka yang tidak disengaja, tetapi biasanya menunjukkan ketidaksempurnaan. Mungkin kiasan untuk mempelai laki-laki ketujuh, orang yang akhirnya akan memuaskan keinginan perempuan ini untuk benar-benar dicintai. Dan mempelai laki-laki tersebut hanya bisa Yesus.

 

Ketika menyadari bahwa Yesus mengetahui hidupnya, perempuan itu mengalihkan pertobatannya kepada pertanyaan keagamaan yang memecah belah orang Yahudi dan orang Samaria. Hal ini kadang-kadang terjadi pada kita juga ketika kita berdoa: pada saat Allah sedang menyentuh hidup kita, dengan segala permasalahannya, kita kadang-kadang kehilangan diri kita dalam permenungan yang memberi kita khayalan doa yang berhasil. Pada kenyataannya, kita telah membangun penghalang perlindungan. Namun, Tuhan selalu lebih besar, dan kepada perempuan Samaria itu, yang menurut ajaran budaya seharusnya Ia bahkan tidak berbicara, Ia memberikan pewahyuan tertinggi: Ia berbicara kepadanya tentang Bapa, yang harus disembah dalam roh dan kebenaran. Dan ketika ia, sekali lagi terkejut, mengamati bahwa dalam hal-hal ini lebih baik menunggu Mesias, Ia mengatakan kepadanya: "Akulah Dia, yang sedang berbicara dengan engkau" (ayat 26). Seperti pernyataan cinta: Dia yang sedang kamu nantikan adalah Aku; Dialah yang akhirnya dapat menanggapi keinginanmu untuk dicintai.

 

Pada saat itu perempuan tersebut berlari memanggil orang-orang di kota, karena perutusan muncul justru dari pengalaman merasa dicintai. Dan pewartaan apa yang dapat ia bawa, jika bukan pengalamannya dipahami, disambut, diampuni? Itulah gambaran yang seharusnya membuat kita merenungkan pencarian kita akan cara-cara baru untuk menyebarkan Injil.

 

Seperti seorang yang sedang jatuh cinta, orang Samaria itu lupa membawa tempayannya dan meninggalkannya di kaki Yesus. Beban tempayan itu di kepalanya, setiap kali ia pulang, mengingatkannya akan kondisinya, hidupnya yang penuh masalah. Namun, sekarang tempayan itu ditinggalkan di kaki Yesus. Masa lalu tidak lagi menjadi beban; ia telah berdamai. Dan seperti itu juga bagi kita: untuk pergi dan memberitakan Injil, pertama-tama kita perlu meletakkan beban sejarah kita di kaki Tuhan, menyerahkan beban masa lalu kita kepada-Nya. Hanya orang-orang yang telah berdamai yang dapat membawa Injil.

 

Saudara-saudari terkasih, janganlah kita kehilangan pengharapan! Sekalipun sejarah kita tampak memberatkan, rumit, bahkan mungkin hancur bagi kita, kita selalu memiliki kemungkinan untuk menyerahkannya kepada Allah dan memulai perjalanan baru kita. Allah itu penyayang, dan selalu menanti kita!

_______________________

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Maret 2025)



[1] Homili 15,11

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 23 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Perumpamaan dalam Bacaan Injil hari ini menceritakan kepada kita tentang kesabaran Allah, yang mendesak kita untuk menjadikan hidup kita sebagai saat pertobatan. Yesus menggunakan gambaran pohon ara yang tandus, yang belum menghasilkan buah seperti yang diharapkan dan, meskipun demikian, pekerja kebun anggur tidak ingin menebangnya: ia ingin kembali memberi pupuk kepadanya karena "mungkin tahun depan ia berbuah" (Luk 13:9). Pekerja kebun anggur yang sabar ini adalah Tuhan, yang merawat tanah kehidupan kita dan menunggu dengan penuh keyakinan saat kita kembali kepada-Nya.

 

Selama masa rawat inap yang lama di rumah sakit ini, saya berkesempatan untuk merasakan kesabaran Tuhan, yang juga saya lihat tercermin dalam perawatan yang tak kenal lelah dari para dokter dan petugas kesehatan, serta dalam perawatan dan harapan dari para keluarga pasien. Kesabaran yang penuh kepercayaan ini, yang berlandaskan pada kasih Allah yang tak pernah gagal, memang diperlukan dalam kehidupan kita, terutama ketika menghadapi situasi yang paling sulit dan menyakitkan.

 

Saya bersedih atas dimulainya kembali pemboman besar-besaran Israel di Jalur Gaza, yang menyebabkan banyak kematian dan cedera. Saya menyerukan penghentian segera penggunaan senjata; dan keberanian untuk melanjutkan dialog, sehingga semua sandera dapat dibebaskan dan gencatan senjata terakhir tercapai. Di Jalur Gaza, situasi kemanusiaan kembali sangat serius dan membutuhkan komitmen mendesak dari pihak-pihak yang bertikai dan masyarakat internasional.

 

Di sisi lain, saya senang bahwa Armenia dan Azerbaijan telah menyetujui teks akhir perjanjian damai. Saya berharap agar perjanjian itu dapat ditandatangani sesegera mungkin, dan dengan demikian dapat berkontribusi untuk menciptakan perdamaian abadi di Kaukasus Selatan.

 

Kamu terus mendoakan saya dengan penuh kesabaran dan ketekunan: terima kasih banyak! Saya juga mendoakanmu. Dan bersama-sama, marilah kita mendoakan berakhirnya perang dan perdamaian, terutama di Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo yang tersiksa.

 

Semoga Perawan Maria menjagamu dan terus menemani kita dalam perjalanan menuju Paskah.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 23 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 19 Maret 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 1. NIKODEMUS “KAMU HARUS DILAHIRKAN KEMBALI” (YOH 3:7B)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dengan katekese ini kita akan mulai merenungkan beberapa perjumpaan yang diceritakan dalam Injil, untuk memahami cara Yesus memberi pengharapan. Sungguh, perjumpaan-perjumpaan itu mencerahkan hidup dan mendatangkan pengharapan. Misalnya, seseorang dapat membantu kita melihat kesulitan atau masalah yang kita alami dari sudut pandang yang berbeda; atau seseorang dapat sekadar memberi kita sepatah kata yang membuat kita merasa bahwa kita tidak sendirian dalam penderitaan yang sedang kita alami. Kadang-kadang bahkan ada perjumpaan yang hening, di mana seseorang tidak mengatakan apa-apa, namun momen-momen itu membantu kita untuk kembali ke jalur yang benar.

 

Perjumpaan pertama yang ingin saya lihat adalah perjumpaan Yesus dengan Nikodemus, yang diceritakan dalam Injil Yohanes bab 3. Saya akan mulai dengan perikop ini karena Nikodemus adalah seorang yang, dengan sejarahnya, menunjukkan bahwa keluar dari kegelapan dan menemukan keberanian untuk mengikuti Kristus mungkin.

 

Nikodemus pergi kepada Yesus pada malam hari: waktu yang tidak biasa untuk sebuah perjumpaan. Dalam bahasa Yohanes, acuan temporal sering kali memiliki nilai simbolis: di sini malam mungkin mengacu pada apa yang ada di hati Nikodemus. Ia adalah orang yang menemukan dirinya dalam kegelapan keraguan, dalam kegelapan yang kita alami ketika kita tidak lagi memahami apa yang sedang terjadi dalam hidup kita dan tidak melihat dengan jelas jalan ke depan.

 

Jika kamu berada dalam kegelapan, tentu saja kamu mencari terang. Dan Yohanes, di awal Injilnya, menulis: "Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia" (1:9). Karena itu Nikodemus mencari Yesus karena ia merasa bahwa Yesus dapat menerangi kegelapan hatinya.

 

Namun, Injil memberitahu kita bahwa Nikodemus tidak langsung mengerti apa yang dikatakan Yesus kepadanya. Jadi kita melihat bahwa ada banyak kesalahpahaman dalam dialog ini, dan juga banyak ironi, yang merupakan ciri khas penginjil Yohanes. Nikodemus tidak mengerti apa yang sedang dikatakan Yesus kepadanya karena ia terus berpikir dengan nalar dan pengelompokkannya sendiri. Ia adalah orang dengan kepribadian yang jelas; ia memiliki peran publik, ia adalah salah seorang pemimpin orang Yahudi. Tetapi mungkin ada sesuatu yang tidak lagi cocok baginya. Nikodemus merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak lagi berfungsi dalam hidupnya. Ia merasa perlu untuk berubah, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

 

Hal ini terjadi pada kita semua dalam beberapa tahap kehidupan. Jika kita tidak mau menerima perubahan, jika kita menutup diri dalam ketidakfleksibelan, dalam kebiasaan atau cara berpikir kita, kita berisiko mati. Kehidupan terletak pada kapasitas untuk berubah guna menemukan cara baru untuk mencintai. Sungguh, Yesus berbicara kepada Nikodemus tentang kelahiran baru, yang tidak hanya mungkin, tetapi bahkan perlu pada saat-saat tertentu dalam perjalanan kita. Sejujurnya, ungkapan yang digunakan dalam teks itu sendiri sudah bercabang dua, karena anōthen (νωθεν) dapat diterjemahkan sebagai "dari atas" atau "kembali". Perlahan-lahan, Nikodemus akan memahami bahwa kedua makna ini berjalan seiring: jika kita memperkenankan Roh Kudus menghasilkan kehidupan baru dalam diri kita, kita akan dilahirkan kembali. Kita akan menemukan kembali kehidupan itu, yang mungkin telah memudar dalam diri kita.

 

Saya memilih untuk memulai dengan Nikodemus juga karena ia adalah orang yang, dengan hidupnya, menunjukkan bahwa perubahan ini mungkin terjadi. Nikodemus mampu melakukannya: pada akhirnya ia akan menjadi salah seorang yang pergi ke Pilatus untuk meminta jenazah Yesus (lih. Yoh 19:39)! Nikodemus akhirnya datang kepada terang, ia dilahirkan kembali, dan ia tidak perlu lagi tinggal dalam malam.

 

Terkadang perubahan membuat kita takut. Di satu sisi, perubahan menarik perhatian kita, terkadang kita menginginkannya, tetapi di sisi lain, kita lebih suka tetap merasa nyaman. Oleh karena itu, Roh Kudus mendorong kita untuk menghadapi ketakutan-ketakutan ini. Yesus mengingatkan Nikodemus – yang adalah seorang guru di Israel – bahwa bahkan orang Israel pun merasa takut ketika mereka berjalan di padang gurun. Dan mereka begitu berfokus pada kekhawatiran mereka sehingga pada titik tertentu ketakutan itu berubah menjadi ular tedung (lih. Bil 21:4-9). Agar terbebas, mereka harus melihat ular tembaga yang telah diletakkan Musa di sebuah tiang, artinya, mereka harus mendongak dan berdiri di depan objek yang mewakili ketakutan mereka. Hanya dengan menatap wajah dari apa yang membuat kita takut, kita dapat mulai terbebas.

 

Nikodemus, seperti kita semua, dapat memandang Yesus yang tersalib: Yesus yang mengalahkan kematian, akar dari semua ketakutan kita. Marilah kita juga mengarahkan pandangan kita kepada Yesus yang mereka tikam, marilah kita juga berjumpa Yesus. Di dalam Dia kita menemukan pengharapan untuk menghadapi perubahan dalam hidup kita dan dilahirkan kembali.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 16 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini, Hari Minggu Prapaskah II, Bacaan Injil menceritakan kepada kita tentang perubahan rupa Yesus (Luk 9:28-36). Setelah naik ke atas gunung bersama Petrus, Yakobus, dan Yohanes, Yesus membenamkan diri dalam doa dan menjadi berkilauan cahaya. Dengan cara ini, Ia menunjukkan kepada para murid apa yang tersembunyi di balik gerakan yang Ia lakukan di tengah-tengah mereka: cahaya kasih-Nya yang tak terbatas.

 

Saya berbagi pemikiran ini denganmu saat saya menghadapi masa pencobaan, dan saya bergabung dengan begitu banyak saudara dan saudari yang sakit: rapuh, saat ini, seperti saya. Tubuh kita lemah tetapi, bahkan seperti ini, tidak ada yang dapat menghalangi kita untuk mencintai, berdoa, memberikan diri kita, satu sama lain, dalam iman, memancarkan tanda pengharapan. Betapa banyak cahaya bersinar, dalam pengertian ini, di rumah sakit dan tempat-tempat perawatan! Betapa banyak perawatan penuh kasih menerangi kamar-kamar, koridor-koridor, klinik-klinik, tempat-tempat di mana pelayanan yang paling sederhana dilakukan! Itulah sebabnya saya ingin mengundangmu, hari ini, untuk bergabung dengan saya dalam memuji Tuhan, yang tidak pernah meninggalkan kita dan, di saat duka, menempatkan orang-orang di samping kita yang mencerminkan sinar kasih-Nya.

 

Saya berterima kasih kepada kamu semua atas doa-doamu, dan saya berterima kasih kepada mereka yang membantu saya dengan dedikasi seperti itu. Saya tahu banyak anak-anak mendoakan saya; beberapa dari mereka datang ke sini hari ini ke "Gemelli" sebagai tanda kedekatan. Terima kasih, anak-anak terkasih! Paus mengasihimu dan selalu menunggu untuk bertemu denganmu.

 

Marilah kita terus berdoa untuk perdamaian, khususnya di negara-negara yang terluka oleh perang: Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo yang tersiksa.

 

Dan marilah kita juga berdoa bagi Gereja, yang dituntut untuk menerjemahkan ke dalam pilihan-pilihan nyata pertimbangan yang dibuat dalam Sidang Sinode baru-baru ini. Saya berterima kasih kepada Sekretariat Jenderal Sinode, yang selama tiga tahun mendatang akan mendampingi Gereja-gereja lokal dalam usaha ini.

 

Semoga Perawan Maria menjaga dan membantumu untuk menjadi, seperti dirinya, pembawa terang dan damai Kristus.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 16 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 9 Maret 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Rabu lalu, dengan ritus penerimaan abu, kita memulai masa Prapaskah, yaitu perjalanan pertobatan selama empat puluh hari yang mengajak kita untuk bertobat dan menuntun kita kepada sukacita Paskah. Marilah kita berkomitmen untuk menjadikannya masa pemurnian dan pembaruan rohani, jalan pertumbuhan dalam iman, harapan, dan kasih.

 

Pagi ini, di Lapangan Santo Petrus, dirayakan Misa Kudus Yubileum para pekerja sukarela. Dalam masyarakat kita, yang sangat diperbudak oleh nalar pasar, di mana segala sesuatu berisiko tunduk pada kriteria kepentingan dan pencarian keuntungan, kesukarelaan adalah nubuat dan tanda pengharapan, karena menmberikan kesaksian tentang keutamaan kemurahan hati, kesetiakawanan, dan pelayanan kepada orang-orang yang paling membutuhkan. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang terlibat dalam bidang ini: terima kasih telah memberikan waktu dan kemampuanmu; terima kasih atas kedekatan dan kelembutan yang kamu tunjukkan dalam kepedulian terhadap sesama, membangkitkan kembali pengharapan dalam diri mereka!

 

Saudara-saudari, selama saya dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lama di sini, saya juga merasakan perhatian dalam pelayanan dan kelembutan dalam perawatan, khususnya dari para dokter dan petugas kesehatan, yang kepadanya saya ucapkan terima kasih dari lubuk hati saya. Dan selama saya di sini, saya memikirkan banyak orang yang dalam berbagai cara dekat dengan orang sakit, dan yang bagi mereka merupakan tanda kehadiran Tuhan. Kita membutuhkan ini, "mukjizat kelembutan" yang menyertai mereka yang sedang dalam kesulitan, membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan penderitaan.

 

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang menunjukkan kedekatan mereka kepada saya dalam doa: terima kasih yang tulus kepada kamu semua! Saya juga mendoakanmu. Dan saya bergabung secara rohani dengan mereka yang dalam beberapa hari mendatang akan berpartisipasi dalam Latihan Rohani Kuria Roma.

 

Marilah kita bersama-sama terus memohon karunia perdamaian, khususnya di Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Republik Demokratik Kongo yang tersiksa. Secara khusus, saya telah belajar dengan prihatin tentang dimulainya kembali kekerasan di beberapa wilayah Suriah: Saya berharap kekerasan itu berhenti secara definitif, dengan rasa hormat penuh bagi semua komponen etnis dan agama masyarakat, terutama warga sipil.

 

Saya mempercayakan kamu semua kepada perantaraan keibuan Perawan Maria. Selamat hari Minggu, dan sampai jumpa!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 5 Maret 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 1. BAYI YESUS. 8. “NAK, MENGAPA ENGKAU BERBUAT DEMIKIAN TERHADAP KAMI” (LUK 2:49). MENEMUKAN YESUS DI BAIT ALLAH

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese terakhir yang didedikasikan untuk masa kanak-kanak Yesus ini, kita akan mulai dari kisah di mana, pada usia dua belas tahun, Ia tinggal di Bait Allah tanpa memberitahu orang tua-Nya, yang dengan cemas mencari dan menemukan Dia setelah tiga hari. Kisah ini menyajikan kepada kita dialog yang sangat menarik antara Maria dan Yesus, yang membantu kita merenungkan jalan hidup ibu Yesus, sebuah perjalanan yang tentu saja tidak mudah. ​​Memang, Maria memulai perjalanan rohani yang membuatnya semakin memahami misteri Putranya.

 

Marilah kita melihat kembali berbagai tahap perjalanan ini. Pada awal kehamilannya, Maria mengunjungi Elisabet dan tinggal bersamanya selama tiga bulan, hingga kelahiran Yohanes kecil. Kemudian, saat kehamilannya memasuki bulan kesembilan, karena cacah jiwa, ia pergi bersama Yusuf ke Betlehem, tempat ia melahirkan Yesus. Setelah empat puluh hari, mereka pergi ke Yerusalem untuk mempersembahkan anak itu; dan mereka kembali berziarah ke Bait Allah setiap tahun setelah itu. Namun, karena Yesus masih bayi, mereka mengungsi ke Mesir untuk waktu yang lama guna melindungi-Nya dari Herodes, dan baru setelah kematian raja itu mereka menetap lagi di Nazaret. Ketika Yesus, setelah menjadi dewasa, memulai pelayanan-Nya, Maria hadir dan menjadi tokoh utama dalam perkawinan di Kana; kemudian ia mengikuti-Nya "dari jauh", hingga perjalanan terakhir-Nya ke Yerusalem, serta hingga penderitaan dan wafat-Nya. Setelah kebangkitan, Maria tetap tinggal di Yerusalem, sebagai ibu para murid, menopang iman mereka sambil menanti pencurahan Roh Kudus.

 

Sepanjang perjalanan ini, Perawan Maria adalah peziarah pengharapan, dalam arti yang kuat bahwa ia menjadi “putri Putranya”, murid pertama-Nya. Maria membawa Yesus ke dunia, sang Pengharapan umat manusia; ia memelihara-Nya, membuat-Nya bertumbuh, mengikuti-Nya, membiarkan dirinya menjadi yang pertama dibentuk oleh Sabda Allah. Sebagaimana dikatakan Benediktus XVI, “Tampak bahwa ia sungguh akrab dengan Sabda Allah bagaikan dalam rumah ... Juga menjadi nyata bahwa pikirannya ikut berpikir dengan pikiran Allah, bahwa kehendaknya ikut dengan kehendak Allah. Karena ia sungguh diresapi Sabda Allah, dapatlah ia menjadi ibu Sabda yang menjadi manusia.” (Ensiklik Deus Caritas Est, 41). Namun, persekutuan yang unik dengan Sabda Allah ini tidak menyelamatkannya dari upaya “magang” yang menuntut.

 

Pengalaman Yesus yang hilang saat berusia dua belas tahun selama ziarah tahunan ke Yerusalem membuat Maria takut sampai-sampai ia juga berbicara mewakili Yusuf saat mereka membawa pulang anak mereka: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihat, bapak-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau" (Luk 2:48). Maria dan Yusuf merasakan kepedihan orang tua yang kehilangan anak: mereka berdua mengira Yesus ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, tetapi setelah tidak melihat-Nya selama seharian, mereka mulai kembali mencari-Nya. Setelah kembali ke Bait Allah, mereka menemukan bahwa Dia yang, di mata mereka, hingga beberapa saat sebelumnya, masih seorang anak yang harus dilindungi, tiba-tiba tampak dewasa, kini mampu terlibat dalam diskusi tentang Kitab Suci, mampu membela diri di hadapan para guru Hukum Taurat.

 

Menghadapi teguran ibu-Nya, Yesus menjawab dengan kesederhanaan yang meluluhkan hati: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Luk 2:49). Maria dan Yusuf tidak mengerti: misteri kelahiran Allah yang menjadi anak melampaui kecerdasan mereka. Orang tua ingin melindungi anak yang berharga itu di bawah naungan kasih mereka; sebaliknya, Yesus ingin menjalani panggilan-Nya sebagai Putra Bapa yang melayani-Nya dan hidup dalam Sabda-Nya.

 

Kisah masa kanak-kanak Lukas ditutup dengan kata-kata terakhir Maria, yang mengingatkan kita akan kebapakan Yusuf terhadap Yesus, dan dengan kata-kata pertama Yesus, yang mengakui bahwa kebapakan ini menelusuri asal-usul-Nya dari Bapa surgawi-Nya, yang keutamaannya yang tak terbantahkan diakui-Nya.

 

Saudara-saudari terkasih, sebagaimana Maria dan Yusuf, penuh pengharapan, marilah kita juga mengikuti jejak langkah Tuhan, yang tidak membiarkan diri-Nya dibatasi oleh ajaran-ajaran kita, dan membiarkan diri-Nya ditemukan bukan hanya di suatu tempat, tetapi dalam tanggapan kasih terhadap kebapakan ilahi yang lembut, tanggapan kasih yang merupakan kehidupan bakti.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Maret 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 2 Maret 2025 : PENGLIHATAN DAN UCAPAN

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Bacaan Injil hari Minggu ini (Luk 6:39-45), Yesus mengajak kita merenungkan dua dari lima indra: penglihatan dan ucapan.

 

Mengenai penglihatan, Ia meminta kita untuk melatih mata kita agar dapat mengamati dunia dengan baik dan mengadili sesama kita dengan kasih. Ia berkata, "Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, setelah itu engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu" (ayat 42). Hanya dengan tatapan perhatian ini, bukan dengan mengadili, teguran persaudaraan dapat menjadi suatu kebajikan. Sebab jika tidak bersifat persaudaraan, maka itu bukanlah teguran!

 

Mengenai ucapan, Yesus mengingatkan kita bahwa "setiap pohon dikenal dari buahnya" (ayat 44). Dan buah yang dihasilkan manusia, misalnya, adalah perkataannya, yang matang di bibirnya, karena "orang yang baik mengeluarkan apa yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik" (ayat 45). Buah yang busuk adalah perkataan yang kasar, palsu, dan vulgar; buah yang baik adalah perkataan yang adil dan jujur ​​yang memberi citarasa pada dialog kita.

 

Maka kita dapat bertanya kepada diri kita: bagaimana aku memandang orang lain, yang adalah saudara-saudariku? Dan bagaimana perasaanku ketika dipandang oleh orang lain? Apakah perkataanku memiliki citarasa yang baik, atau apakah perkataanku dipenuhi dengan kepahitan dan kesia-siaan?

 

Saudara-saudari, saya masih menyampaikan pemikiran ini kepadamu dari rumah sakit, tempat saya dirawat selama beberapa hari, ditemani oleh para dokter dan tenaga kesehatan, yang saya ucapkan terima kasih atas perhatian mereka dalam merawat saya. Saya merasakan dalam hati saya “berkat” yang tersembunyi di balik kelemahan, karena justru pada saat-saat seperti inilah kita belajar semakin percaya kepada Tuhan; pada saat yang sama, saya bersyukur kepada Allah karena telah memberi saya kesempatan untuk ambil bagian dalam tubuh dan jiwa kondisi begitu banyak orang yang sakit dan sedang menderita.

 

Saya ingin mengucapkan terima kasih atas doa yang dipanjatkan kepada Tuhan dari hati begitu banyak umat beriman dari berbagai belahan dunia: Saya merasakan semua kasih sayang dan kedekatanmu dan, pada saat khusus ini, saya merasa seolah-olah “digendong” dan didukung oleh segenap umat Allah. Terima kasih kepada kamu semua!

 

Saya juga berdoa untukmu. Dan terutama saya berdoa untuk perdamaian. Dari sini, perang tampak semakin tidak masuk akal. Marilah kita berdoa untuk Ukraina, Palestina, Israel, Lebanon, Myanmar, Sudan, dan Kivu yang tersiksa.

 

Marilah kita percayakan diri kita dengan penuh keyakinan kepada Maria, Bunda kita. Selamat hari Minggu, dan sampai jumpa.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 2 Maret 2025)