Liturgical Calendar

PESAN "URBI ET ORBI" PAUS FRANSISKUS PADA PASKAH 20 April 2025

Kristus telah bangkit, aleluia!

 

Saudara-saudari terkasih, selamat Paskah!

 

Hari ini akhirnya, nyanyian “aleluia” kembali terdengar dalam Gereja, mengalir dari mulut ke mulut, dari hati ke hati, dan ini membuat umat Allah di seluruh dunia meneteskan air mata sukacita.

 

Dari kubur kosong di Yerusalem, kita mendengar kabar baik yang tak terduga: Yesus, yang disalibkan, "tidak ada di sini, Ia telah bangkit" (Luk 24:6). Yesus tidak ada di dalam kubur, Ia hidup!

 

Kasih telah mengatasi kebencian, terang telah mengatasi kegelapan, dan kebenaran telah mengatasi kepalsuan. Pengampunan telah mengatasi balas dendam. Kejahatan belum lenyap dari sejarah; kejahatan akan tetap ada sampai akhir, tetapi kejahatan tidak lagi berkuasa; kejahatan tidak lagi berkuasa atas mereka yang menerima anugerah hari ini.

 

Saudari-saudari, khususnya mereka yang sedang mengalami sakit dan duka, tangisanmu yang hening telah didengar dan air matamu telah dihitung; tidak satu pun yang hilang! Dalam sengsara dan wafat Yesus, Allah telah menanggung atas diri-Nya semua kejahatan di dunia ini dan dalam belas kasih-Nya yang tak terbatas telah mengalahkannya. Ia telah mencabut kesombongan jahat yang meracuni hati manusia dan menimbulkan kekerasan dan kerusakan di setiap sisi. Anak Domba Allah menang! Itulah sebabnya, hari ini, kita dapat berseru dengan gembira: "Kristus, harapanku, telah bangkit!" (Sekuensia Paskah).

 

Kebangkitan Yesus memang merupakan dasar pengharapan kita. Karena dalam terang peristiwa ini, pengharapan bukan lagi khayalan. Berkat Kristus — yang disalibkan dan bangkit dari antara orang mati — pengharapan tidak mengecewakan! Spes non confundit! (lih. Rm 5:5). Pengharapan tersebut bukan suatu penghindaran, tetapi suatu tantangan; pengharapan tidak menipu, tetapi memberdayakan kita.

 

Semua orang yang menaruh pengharapannya pada Allah meletakkan tangan mereka yang lemah ke dalam tangan-Nya yang kuat dan perkasa; mereka membiarkan diri mereka diangkat dan memulai perjalanan. Bersama dengan Yesus yang bangkit, mereka menjadi peziarah pengharapan, saksi kemenangan kasih dan kuasa kehidupan yang tak terkekang.

 

Kristus telah bangkit! Kata-kata ini menangkap seluruh makna keberadaan kita, karena kita tidak diciptakan untuk kematian melainkan untuk kehidupan. Paskah adalah perayaan kehidupan! Allah menciptakan kita untuk kehidupan dan ingin keluarga umat manusia bangkit kembali! Di mata-Nya, setiap kehidupan berharga! Kehidupan seorang anak dalam kandungan ibunya, serta kehidupan orang lanjut usia dan orang sakit, yang di semakin banyak negara dipandang sebagai orang-orang yang harus dicampakkan.

 

Betapa besarnya keinginan untuk mati, untuk membunuh, yang kita saksikan setiap hari dalam banyak pertikaian yang berkecamuk di berbagai belahan dunia kita! Betapa banyak kekerasan yang kita lihat, bahkan sering kali di dalam keluarga, yang ditujukan kepada perempuan dan anak-anak! Betapa banyak penghinaan yang kadang-kadang dilakukan terhadap mereka yang rentan, yang terpinggirkan, dan para migran!

 

Pada hari ini, saya ingin kita semua untuk berharap lagi dan menghidupkan kembali kepercayaan kita kepada sesama kita, termasuk mereka yang berbeda dari kita, atau yang datang dari negeri yang jauh, membawa adat istiadat, cara hidup, dan gagasan yang tidak dikenal! Karena kita semua adalah anak-anak Allah!

 

Saya ingin kita memperbarui pengharapan kita bahwa perdamaian itu mungkin! Dari Makam Suci, Gereja Kebangkitan, tempat Paskah tahun ini dirayakan oleh umat Katolik dan Ortodoks pada hari yang sama, semoga cahaya perdamaian memancar ke seluruh Tanah Suci dan seluruh dunia. Saya menyatakan kedekatan saya dengan penderitaan umat kristiani di Palestina dan Israel, dan dengan seluruh rakyat Israel dan rakyat Palestina. Iklim anti-Semitisme yang berkembang di seluruh dunia mengkhawatirkan. Namun pada saat yang sama, saya memikirkan rakyat Gaza, dan khususnya komunitas kristianinya, tempat pertikaian yang mengerikan terus menyebabkan kematian dan kehancuran serta menciptakan situasi kemanusiaan yang dramatis dan menyedihkan. Saya mengimbau pihak-pihak yang bertikai: serukanlah gencatan senjata, bebaskanlah para sandera dan bantulah orang-orang yang kelaparan yang mendambakan masa depan yang damai!

 

Marilah kita mendoakan komunitas kristiani di Lebanon dan Suriah, yang saat ini tengah mengalami transisi yang sulit dalam sejarahnya. Mereka mendambakan stabilitas dan partisipasi dalam kehidupan negara masing-masing. Saya mendesak seluruh Gereja untuk senantiasa memikirkan dan mendoakan umat kristiani di Timur Tengah yang tercinta.

 

Secara khusus saya juga memikirkan rakyat Yaman, yang tengah mengalami salah satu krisis kemanusiaan paling serius dan berkepanjangan di dunia akibat perang, dan saya mengajak semua orang untuk mencari solusi melalui dialog yang membangun.

 

Semoga Kristus yang bangkit memberikan hadiah Paskah-Nya berupa perdamaian bagi Ukraina yang hancur karena perang, dan mendorong semua pihak yang terlibat untuk terus berupaya mencapai perdamaian yang adil dan abadi.

 

Pada hari raya ini, marilah kita mengenang Kaukasus Selatan dan berdoa agar perjanjian perdamaian akhir antara Armenia dan Azerbaijan segera ditandatangani dan dilaksanakan, serta mengarah pada rekonsiliasi yang telah lama ditunggu-tunggu di wilayah tersebut.

 

Semoga cahaya Paskah mengilhami upaya untuk mempromosikan kerukunan di Balkan Barat dan mendukung para pemimpin politik dalam upaya mereka untuk meredakan ketegangan dan krisis, dan, bersama dengan negara-negara mitra mereka di kawasan tersebut, menolak tindakan-tindakan yang berbahaya dan tidak stabil.

 

Semoga Kristus yang bangkit, pengharapan kita, memberikan kedamaian dan penghiburan kepada rakyat Afrika yang menjadi korban kekerasan dan pertikaian, khususnya di Republik Demokratik Kongo, Sudan dan Sudan Selatan. Semoga Ia mendukung mereka yang menderita ketegangan di Sahel, Tanduk Afrika dan kawasan Danau Besar, serta umat kristiani yang di banyak tempat tidak dapat dengan bebas menyatakan iman mereka.

 

Tidak akan ada perdamaian tanpa kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, dan rasa hormat terhadap pandangan orang lain.

 

Perdamaian juga tidak mungkin terjadi tanpa perlucutan senjata yang sungguh-sungguh! Tuntutan agar setiap bangsa menyediakan pertahanannya sendiri tidak boleh berubah menjadi perlombaan untuk mempersenjatai kembali. Terang Paskah mendorong kita untuk meruntuhkan penghalang yang menciptakan perpecahan dan penuh dengan konsekuensi politik dan ekonomi yang serius. Terang Paskah mendorong kita untuk saling peduli, meningkatkan solidaritas bersama, dan bekerja untuk pengembangan menyeluruh setiap pribadi manusia.

 

Selama masa ini, janganlah kita lalai membantu rakyat Myanmar, yang dirundung pertikaian bersenjata selama bertahun-tahun, yang dengan keberanian dan kesabaran, menghadapi dampak gempa bumi dahsyat di Sagaing, yang menyebabkan kematian ribuan orang dan penderitaan besar bagi banyak penyintas, termasuk anak yatim dan orang tua. Kita mendoakan para korban dan orang-orang yang mereka cintai, dan dengan sepenuh hati kita berterima kasih kepada semua relawan yang dengan murah hati melaksanakan operasi bantuan. Pengumuman gencatan senjata oleh berbagai pihak di negara ini merupakan tanda pengharapan bagi seluruh Myanmar.

 

Saya mengimbau semua orang yang memegang posisi tanggung jawab politik di dunia kita untuk tidak menyerah pada nalar ketakutan yang hanya mengarah pada pengasingan sesama kita, tetapi sebaliknya menggunakan sumber daya yang tersedia untuk membantu yang membutuhkan, memerangi kelaparan, dan mendorong prakarsa yang mempromosikan pembangunan. Inilah "senjata" perdamaian: senjata yang membangun masa depan, alih-alih menabur benih kematian!

 

Semoga asas kemanusiaan tidak pernah gagal menjadi ciri khas tindakan kita sehari-hari. Dalam menghadapi kekejaman pertikaian yang melibatkan warga sipil yang tak berdaya dan menyerang sekolah, rumah sakit, dan pekerja kemanusiaan, kita tidak boleh membiarkan diri kita lupa bahwa yang diserang bukanlah target, melainkan orang-orang, yang masing-masing memiliki jiwa dan martabat manusiawi.

 

Pada tahun Yubileum ini, semoga Paskah juga menjadi kesempatan yang tepat untuk pembebasan tawanan perang dan tahanan politik!

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Misteri Paskah Tuhan, maut dan kehidupan dahsyat saling menyerang, tetapi Tuhan sekarang hidup selamanya (bdk. Sekuensia Paskah). Ia memenuhi diri kita dengan kepastian bahwa kita juga dipanggil untuk ambil bagian dalam kehidupan yang tidak mengenal akhir, ketika benturan senjata dan gemuruh kematian tidak akan terdengar lagi. Marilah kita mempercayakan diri kita kepada-Nya, karena hanya Dia yang dapat menjadikan segala sesuatu baru (bdk. Why 21:5)!

 

Kepada semua umat, selamat Paskah!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 16 April 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 5. BAPA YANG MURAH HATI. IA TELAH HILANG DAN KINI DITEMUKAN KEMBALI (LUK 15:32)

Saudara-saudari terkasih,

 

Setelah merenungkan perjumpaan Yesus dengan beberapa tokoh dalam Injil, saya ingin berhenti sejenak, dimulai dengan katekese ini, pada beberapa perumpamaan. Sebagaimana kita ketahui, perumpamaan adalah kisah yang mengambil gambaran dan situasi kenyataan sehari-hari. Itulah sebabnya perumpamaan juga menyentuh kehidupan kita. Perumpamaan menggugah kita. Dan perumpamaan meminta kita untuk mengambil posisi: di mana aku berada dalam kisah ini?

 

Marilah kita mulai dengan perumpamaan yang paling terkenal, yang mungkin kita semua ingat sejak kita masih anak-anak: perumpamaan tentang seorang bapa dan dua orang anaknya (Luk 15:1-3,11-32). Di sini kita menemukan pokok Injil Yesus, yaitu kemurahhatian Allah.

 

Penginjil Lukas mengatakan bahwa Yesus menceritakan perumpamaan ini kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang bersungut-sungut karena Ia makan bersama orang-orang berdosa. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa perumpamaan ini ditujukan kepada orang-orang yang hilang, tetapi tidak menyadarinya, dan menghakimi orang lain.

 

Injil dimaksudkan untuk memberi kita pesan pengharapan, karena Injil memberitahu kita bahwa di mana pun kita hilang, dan bagaimanapun kita hilang, Allah selalu datang mencari kita! Mungkin kita telah hilang seperti seekor domba, yang tersesat dari jalan saat merumput, atau tertinggal karena kelelahan (lih. Luk 15:4-7). Atau mungkin kita telah hilang seperti dirham, yang mungkin telah jatuh ke tanah dan tidak dapat ditemukan lagi, atau seseorang telah meletakkannya di suatu tempat dan tidak dapat mengingatnya. Atau mungkin kita hilang seperti kedua anak laki-laki bapa ini: si bungsu karena ia lelah berada dalam hubungan yang menurutnya terlalu menuntut; namun si sulung juga hilang, karena hanya tinggal di rumah tidak memadai jika ada kesombongan dan kebencian di dalam hatinya.

 

Cinta selalu merupakan komitmen, selalu ada sesuatu yang harus kita korbankan untuk bisa bersama dengan orang lain. Namun, anak bungsu dalam perumpamaan itu hanya memikirkan dirinya sendiri, seperti yang terjadi pada tahap tertentu masa kanak-kanak dan remaja. Pada kenyataannya, kita juga melihat di sekitar kita banyak orang dewasa yang seperti ini, yang tidak mampu mempertahankan hubungan karena mereka egois. Mereka menipu diri sendiri bahwa mereka akan menemukan diri mereka dan justru mereka kehilangan diri mereka, karena hanya ketika kita hidup untuk seseorang, kita benar-benar hidup.

 

Anak bungsu ini, seperti kita semua, haus akan kasih sayang, ia ingin dicintai. Namun kasih adalah anugerah yang berharga; ia harus diperlakukan dengan penuh perhatian. Sebaliknya, ia menyia-nyiakannya, ia mengabaikannya, ia tidak menghargai dirinya sendiri. Ia menyadari hal ini di saat-saat sulit, ketika tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Risikonya adalah pada saat-saat seperti itu kita memohon kasih sayang dan melekatkan diri kita pada majikan pertama yang kita temui secara kebetulan.

 

Pengalaman-pengalaman inilah yang menimbulkan keyakinan keliru dalam diri kita bahwa kita hanya bisa menjalin hubungan sebagai hamba, seolah-olah kita harus menebus kesalahan atau seolah-olah kasih sejati tidak mungkin ada. Bahkan, anak bungsu, ketika ia mencapai titik terendah, berpikir bahwa ia akan kembali ke rumah ayahnya untuk mengambil sedikit remah kasih sayang dari tanah.

 

Hanya mereka yang benar-benar mengasihi kita yang dapat membebaskan kita dari pandangan keliru tentang kasih ini. Dalam hubungan dengan Allah, kita memiliki pengalaman ini. Pelukis besar Rembrandt, dalam sebuah lukisan terkenal, dengan indah menggambarkan kembalinya anak yang hilang. Dua rincian terutama menarik perhatian saya: kepala pemuda itu dicukur, seperti kepala orang yang bertobat, tetapi juga tampak seperti kepala seorang anak, karena anak laki-laki ini sedang dilahirkan kembali. Dan kemudian tangan si bapa: satu tangan laki-laki dan tangan yang lain perempuan, menggambarkan kekuatan dan kelembutan dalam pelukan pengampunan.

 

Namun, anak sulung mewakili orang-orang yang diceritakan perumpamaan ini: dialah anak yang selalu tinggal di rumah bersama bapanya, tetapi jauh dari dia, hatinya jauh. Anak ini mungkin juga ingin pergi, tetapi karena takut atau berkewajiban tetap tinggal di sana, dalam hubungan itu. Namun, ketika enggan beradaptasi, kamu mulai memendam kemarahan di dalam dirimu, dan cepat atau lambat kemarahan ini akan meledak. Paradoksnya, justru anak sulunglah yang pada akhirnya berisiko ditinggalkan, karena ia tidak ambil bagian dalam sukacita bapanya.

 

Si bapa pun menghampirinya. Ia tidak mencela atau memanggilnya untuk bertugas. Ia hanya ingin agar si sulung merasakan cintanya. Ia mengundangnya untuk masuk dan membiarkan pintu terbuka. Pintu itu tetap terbuka bagi kita juga. Memang, inilah alasan untuk berharap: kita mampu berharap karena kita tahu bahwa Bapa sedang menunggu kita, Ia melihat kita dari jauh, dan Ia selalu membiarkan pintu terbuka.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri, di manakah kita berada dalam kisah yang luar biasa ini. Dan marilah kita memohon kepada Allah Bapa agar kita juga dapat menemukan jalan pulang.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 16 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 9 April 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 4. ORANG KAYA. YESUS MEMANDANG DIA (MRK 10:21)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan melihat perjumpaan Yesus yang lain, yang diceritakan dalam Injil. Namun, kali ini, orang yang ditemuinya tidak memiliki nama. Penginjil Markus menggambarkannya hanya sebagai "seseorang" (10:17). Dia adalah seorang yang telah menaati perintah-perintah sejak masa mudanya tetapi, meskipun demikian, belum menemukan makna hidupnya. Ia sedang mencarinya. Mungkin ia adalah orang yang belum benar-benar mengambil keputusan, meskipun ia tampak seperti orang yang berketetapan hati. Memang, di luar hal-hal yang kita lakukan, pengorbanan dan keberhasilan kita, apa yang benar-benar penting agar menjadi bahagia adalah apa yang kita bawa di dalam hati kita. Jika sebuah kapal harus berlayar dan meninggalkan pelabuhan untuk berlayar di laut lepas, kapal itu bisa menjadi luar biasa, dengan awak yang tiada duanya, tetapi jika tidak menarik pemberat dan jangkar yang menahannya, kapal itu tidak akan pernah bisa berangkat. Orang ini telah membuat dirinya menjadi kapal yang mewah, tetapi ia tetap tinggal di pelabuhan!

 

Pada waktu Yesus meneruskan perjalanan-Nya, orang ini berlari menghampiri-Nya, berlutut di hadapan-Nya dan bertanya, "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" (ayat 17). Perhatikan kata kerjanya: "apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal". Karena menaati Hukum Taurat tidak memberinya kebahagiaan dan jaminan keselamatan, ia berpaling kepada Guru Yesus. Yang mengejutkan, orang ini tidak mengenal kosakata tentang pemberian cuma-cuma! Segala sesuatu tampaknya menjadi haknya. Segala sesuatu adalah kewajiban. Hidup kekal baginya adalah warisan, sesuatu yang diperoleh dengan benar, melalui ketaatan yang cermat terhadap ketetapan hati. Namun dalam kehidupan yang dijalani dengan cara ini, meskipun tentu saja untuk tujuan yang baik, ruang apa yang dapat dimiliki oleh kasih?

 

Seperti biasa, Yesus melampaui apa yang tampak. Sementara di satu sisi orang ini memaparkan ringkasan yang bagus kepada Yesus, Yesus melampauinya dan melihat ke dalam dirinya. Kata kerja yang digunakan Markus sangat penting: "memandang dia" (ayat 21). Justru karena Yesus melihat ke dalam diri kita masing-masing, Ia mengasihi kita sebagaimana adanya. Apa yang sesungguhnya akan Ia lihat dalam diri orang ini? Apa yang Yesus lihat ketika Ia melihat ke dalam diri kita masing-masing dan mengasihi kita, terlepas dari kebingungan dan dosa kita? Ia melihat kerapuhan kita, tetapi juga keinginan kita untuk dikasihi sebagaimana adanya.

 

Injil mengatakan bahwa ketika memandangnya, Ia “mengasihinya” (ayat 21). Yesus mengasihi orang ini bahkan sebelum Ia memberikan undangan untuk mengikuti-Nya. Ia mengasihi orang ini apa adanya. Kasih Yesus tidak beralasan: berkebalikan dari nalar jasa yang telah menimpa orang ini. Kita benar-benar bahagia ketika kita menyadari bahwa kita dikasihi dengan cara ini, dengan cuma-cuma, oleh kasih karunia. Dan ini juga berlaku untuk hubungan di antara kita: selama kita mencoba membeli kasih atau mengemis kasih sayang, hubungan tersebut tidak akan pernah membuat kita merasa bahagia.

 

Usulan yang diajukan Yesus kepada orang ini adalah mengubah cara hidup dan hubungannya dengan Allah. Yesus sungguh menyadari bahwa di dalam dirinya, seperti halnya di dalam diri kita semua, ada sesuatu yang kurang. Yaitu keinginan yang kita bawa di dalam hati kita untuk dikasihi. Ada luka yang kita miliki sebagai manusia, luka yang dilalui oleh kasih. Untuk mengatasi kekurangan ini, kita tidak perlu “membeli” pengakuan, kasih sayang, pertimbangan: justru, kita perlu “menjual” segala sesuatu yang membebani kita, untuk membuat hati kita lebih bebas. Tidak perlu terus-menerus mengambil untuk diri kita, tetapi lebih baik memberi kepada orang miskin, menyediakan, dan berbagi.

 

Akhirnya, Yesus mengundang orang ini untuk tidak tinggal sendirian. Ia mengundangnya untuk mengikuti-Nya, berada dalam ikatan, menjalani hubungan. Sungguh, hanya dengan cara ini ia akan dapat keluar dari ketidakbernamaannya. Kita dapat mendengar nama kita hanya dalam sebuah hubungan, di mana seseorang memanggil kita. Jika kita tetap sendirian, kita tidak akan pernah mendengar nama kita diucapkan, dan akan terus menjadi "orang" itu, tak memiliki nama. Mungkin hari ini, justru karena kita hidup dalam budaya kecukupan diri dan individualisme, kita mendapati diri kita lebih tidak bahagia karena kita tidak lagi mendengar nama kita diucapkan oleh seseorang yang mengasihi kita dengan cuma-cuma.

 

Orang ini tidak menerima undangan Yesus dan tinggal sendirian, karena beban hidupnya menahannya di pelabuhan. Kesedihannya adalah tanda bahwa ia belum berhasil pergi. Kadang-kadang, apa yang kita anggap sebagai kekayaan justru hanyalah beban yang menahan kita. Harapannya, orang ini, seperti kita semua, cepat atau lambat akan berubah dan memutuskan untuk berlayar.

 

Saudara-saudari, marilah kita mempercayakan kepada hati Yesus semua orang yang sedih dan bimbang, agar mereka dapat merasakan tatapan kasih Tuhan, yang tergerak oleh pandangan lembut ke dalam diri kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 6 April 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Bacaan Injil pada Hari Minggu Prapaskah V ini menyajikan kepada kita kisah tentang perempuan yang kedapatan berzina (Yoh 8:1-11). Sementara ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ingin melemparinya dengan batu, Yesus mengembalikan keindahan perempuan ini yang telah hilang. Ia telah jatuh ke dalam debu; Yesus menyentuh debu ini dengan jari-Nya dan menuliskan kisah baru untuknya. Itulah “jari Allah” yang menyelamatkan anak-anak-Nya (bdk. Kel 8:15) dan membebaskan mereka dari kejahatan (bdk. Luk 11:20).

 

Sahabat-sahabat terkasih, sebagaimana selama saya dirawat di rumah sakit, bahkan sekarang dalam masa pemulihan, saya merasakan "jari Allah" dan mengalami sentuhan kasih-Nya. Pada hari Yubileum orang sakit dan dunia perawatan kesehatan, saya memohon kepada Allah agar sentuhan kasih-Nya ini dapat menjangkau mereka yang menderita dan menyemangati orang-orang yang merawat mereka. Dan saya mendoakan para dokter, perawat, dan petugas kesehatan, yang tidak selalu dibantu untuk bekerja dalam kondisi yang memadai dan terkadang bahkan menjadi korban agresi. Misi mereka tidak mudah dan harus didukung serta dihormati. Saya berharap sumber daya yang diperlukan akan diinvestasikan dalam perawatan dan penelitian, sehingga sistem kesehatan bersifat menyertakan dan memperhatikan yang paling rentan dan miskin.

 

Saya berterima kasih kepada para narapidana di penjara perempuan Rebibbia atas catatan yang telah mereka kirimkan kepada saya. Saya mendoakan mereka dan keluarga mereka.

 

Pada Hari Olahraga Sedunia untuk Pembangunan dan Perdamaian, saya berharap olahraga dapat menjadi tanda pengharapan bagi banyak orang yang membutuhkan perdamaian dan penyertaan sosial, serta saya berterima kasih kepada lembaga olahraga yang mendidik persaudaraan secara praktis.

 

Marilah kita terus berdoa untuk perdamaian: di Ukraina yang tersiksa, dilanda serangan yang menelan banyak korban sipil, termasuk banyak anak-anak. Dan hal yang sama terjadi di Gaza, di mana orang-orang terpaksa hidup dalam kondisi yang tak terbayangkan, tanpa tempat tinggal, tanpa makanan, tanpa air bersih. Semoga senjata dibungkam dan dialog dilanjutkan; semoga semua sandera dibebaskan dan bantuan diberikan kepada penduduk. Marilah kita berdoa untuk perdamaian di seluruh Timur Tengah; di Sudan dan Sudan Selatan; di Republik Demokratik Kongo; di Myanmar, yang dilanda gempa bumi; dan di Haiti, di mana kekerasan berkecamuk, dan dua biarawati terbunuh beberapa hari yang lalu.

 

Semoga Perawan Maria melindungi kita dan menjadi perantara kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 April 2025)

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM 2 April 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERJUMPAAN 3. ZAKHEUS. “HARI INI AKU HARUS MENUMPANG DI RUMAHMU!” (LUK 19:5)

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita akan terus merenungkan perjumpaan Yesus dengan beberapa tokoh dalam Injil. Kali ini, saya ingin berfokus pada Zakheus: sebuah kisah yang sangat dekat di hati saya, karena memiliki tempat khusus dalam perjalanan rohani saya.

 

Injil Lukas memperkenalkan Zakheus kepada kita dan seseorang yang tampaknya telah kehilangan harapan. Mungkin kita juga terkadang merasakan hal yang sama: tanpa harapan. Sebaliknya, Zakheus akan menemukan bahwa Tuhan sedang mencarinya.

 

Yesus sungguh datang ke Yerikho, sebuah kota yang terletak di bawah permukaan laut, yang dianggap sebagai gambaran dunia bawah, tempat Yesus ingin mencari mereka yang merasa tersesat. Dan pada kenyataannya, Tuhan yang bangkit terus turun ke dunia bawah saat ini, di tempat-tempat perang, dalam penderitaan orang-orang yang tidak bersalah, dalam hati para ibu yang melihat anak-anak mereka mati, dalam kelaparan orang-orang miskin.

 

Zakheus, dalam arti tertentu, tersesat; mungkin ia telah membuat keputusan yang salah atau mungkin hidupnya telah menempatkannya dalam situasi yang membuatnya berjuang untuk keluar. Memang, Lukas bersikeras menggambarkan karakteristik orang ini: ia bukan hanya seorang pemungut cukai, orang yang memungut pajak dari sesama warga negaranya untuk penjajah Romawi, tetapi ia adalah kepala pemungut cukai, setidaknya, seolah-olah mengatakan bahwa dosanya berlipat ganda.

 

Lukas kemudian menambahkan bahwa Zakheus kaya, yang menyiratkan bahwa ia menjadi kaya dengan mengurbankan orang lain, menyalahgunakan kedudukannya. Namun, semua ini memiliki konsekuensi: Zakheus mungkin merasa dikucilkan, dibenci oleh semua orang.

 

Ketika ia mengetahui bahwa Yesus sedang melewati kota itu, Zakheus merasakan keinginan untuk melihat-Nya. Ia tidak berani membayangkan pertemuan; cukuplah dengan mengamati-Nya dari kejauhan. Namun, keinginan kita menemui hambatan dan tidak serta-merta terpenuhi: Zakheus pendek! Itulah kenyataan kita: kita memiliki keterbatasan yang harus kita hadapi. Dan kemudian ada orang lain, yang terkadang tidak membantu kita: orang banyak menghalangi Zakheus untuk melihat Yesus. Mungkin itu semacam balas dendam di pihak mereka.

 

Namun, ketika kamu memiliki keinginan yang kuat, kamu tidak akan patah semangat. Kamu akan menemukan solusinya. Namun, kamu harus berani dan tidak malu; kamu perlu sedikit kesederhanaan anak-anak dan tidak perlu khawatir tentang citra dirimu. Zakheus, seperti anak kecil, memanjat pohon. Perilakunya seharusnya menjadi titik pandang yang baik, terutama untuk mengamati tanpa terlihat, bersembunyi di balik dahan-dahan pohon.

 

Namun bersama Tuhan, hal yang tak terduga selalu terjadi. Yesus, ketika Ia mendekat, melihat ke atas. Zakheus merasa bahwa ia telah ditemukan, dan mungkin mengharapkan teguran di muka umum. Orang-orang mungkin mengharapkannya, tetapi mereka kecewa: Yesus meminta Zakheus untuk segera turun, agak terkejut melihatnya di atas pohon, dan berkata kepadanya, "Hari ini Aku harus menumpang di rumahmu!" (Luk 19:5). Allah tidak akan berlalu tanpa mencari mereka yang tersesat.

 

Lukas menyoroti sukacita dalam hati Zakheus. Sukacita seseorang yang merasa bahwa ia telah dilihat, diakui, dan terutama diampuni. Pandangan Yesus bukanlah pandangan mencela, tetapi pandangan belas kasihan. Belas kasihan itulah yang terkadang sulit kita terima, terutama ketika Allah mengampuni mereka yang, menurut pendapat kita, tidak pantas menerimanya. Kita bersungut-sungut karena kita ingin membatasi kasih Allah.

 

Dalam peristiwa di rumah, Zakheus, setelah mendengarkan perkataan Yesus tentang pengampunan, berdiri, seolah-olah ia bangkit dari kondisi kematian. Dan ia bangkit untuk membuat komitmen: mengembalikan empat kali lipat apa yang telah ia peras. Apa yang dilakukannya bukan harga yang harus ia bayar, karena pengampunan Allah bersifat cuma-cuma, tetapi lebih kepada keinginan untuk meneladan Yesus yang kasih-Nya ia merasakan. Zakheus membuat komitmen yang tidak mengikatnya, tetapi ia melakukannya karena ia memahami bahwa itulah caranya mengasihi. Dan ia melakukannya dengan menggabungkan undang-undang Romawi tentang pemerasan dan hukum Rabbinik tentang penebusan dosa. Oleh karena itu, Zakheus bukan hanya orang yang penuh keinginan; ia juga orang yang tahu bagaimana mengambil langkah-langkah praktis. Tujuan hidupnya tidak generik atau abstrak, tetapi justru bersumber dari sejarah hidupnya: ia melihat kehidupannya dan mengidentifikasi titik awal untuk mulai bertransformasi.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita belajar dari Zakheus untuk tidak kehilangan harapan, bahkan ketika kita merasa telah disingkirkan atau tidak mampu berubah. Marilah kita pupuk keinginan kita untuk melihat Yesus, dan terutama marilah kita membiarkan diri kita ditemukan oleh belas kasihan Allah, yang selalu datang mencari kita, dalam situasi apa pun kita mungkin tersesat.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 2 April 2025)