Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 18 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 10. PENYEMBUHAN ORANG LUMPUH. "KETIKA YESUS MELIHAT ORANG ITU BERBARING DI SITU, DAN KARENA IA TAHU BAHWA IA TELAH LAMA DALAM KEADAAN ITU, BERKATALAH IA KEPADANYA, 'MAUKAH ENGKAU SEMBUH?'" (YOH 5:6)

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita melanjutkan dengan merenungkan Yesus yang menyembuhkan. Secara khusus, saya ingin mengajakmu untuk memikirkan situasi di mana kita merasa "terhalang" dan terjebak dalam jalan buntu. Kadang-kadang, pada kenyataannya, tampaknya tidak ada gunanya untuk terus berharap; kita menjadi pasrah dan tidak lagi memiliki keinginan untuk berjuang. Situasi ini dilukiskan dalam Injil dengan gambaran kelumpuhan. Itulah sebabnya hari ini saya ingin merenungkan penyembuhan seorang lumpuh, yang diceritakan dalam Injil Santo Yohanes bab lima (5:1-9).

 

Yesus berangkat ke Yerusalem untuk menghadiri hari raya orang Yahudi. Ia tidak langsung pergi ke Bait Suci; sebaliknya, Ia berhenti di sebuah pintu, tempat domba-domba mungkin dimandikan sebelum dipersembahkan sebagai kurban. Di dekat pintu ini juga terdapat banyak orang sakit yang, tidak seperti domba-domba, dikeluarkan dari Bait Suci karena mereka dianggap najis! Jadi, Yesus sendiri yang mengulurkan tangan kepada mereka dalam penderitaan mereka. Orang-orang ini mengharapkan mukjizat yang dapat mengubah nasib mereka; sesungguhnya, di samping pintu tersebut terdapat sebuah kolam, yang airnya dianggap mampu menyembuhkan: pada saat-saat tertentu airnya akan terguncang dan menurut kepercayaan pada saat itu, siapa saja yang pertama masuk ke dalamnya akan sembuh.

 

Dengan cara ini semacam "perang di antara orang miskin" pun tercipta: kita dapat membayangkan pemandangan menyedihkan dari orang-orang sakit yang dengan susah payah menyeret diri mereka untuk masuk ke kolam. Kolam itu disebut Betesda, yang berarti "rumah belas kasihan": kolam itu bisa menjadi gambaran Gereja, tempat orang sakit dan orang miskin berkumpul serta tempat Tuhan datang untuk menyembuhkan dan memberi harapan.

 

Secara khusus Yesus berbicara kepada seorang yang sudah sekitar tiga puluh delapan tahun lamanya lumpuh. Sekarang ia sudah pasrah, karena ia tidak pernah berhasil menurunkan dirinya ke dalam kolam saat airnya mulai terguncang (bdk. ayat 7). Akibatnya, yang melumpuhkan kita, sangat sering, adalah kekecewaan. Kita merasa putus asa dan berisiko jatuh ke dalam sikap acuh tak acuh.

 

Kepada orang lumpuh itu Yesus mengajukan pertanyaan yang mungkin tampak berlebihan, "Maukah engkau sembuh?" (ayat 6). Justru pertanyaan tersebut diperlukan, karena ketika seorang mandek selama bertahun-tahun, bahkan keinginan untuk sembuh pun bisa memudar. Terkadang kita lebih suka tetap dalam kondisi sakit, memaksa orang lain untuk merawat kita. Terkadang itu juga menjadi alasan untuk tidak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan hidup kita. Sebaliknya, Yesus membawa orang ini kembali ke keinginannya yang paling sejati dan terdalam.

 

Memang, orang ini menjawab pertanyaan Yesus dengan cara yang lebih jelas, menyingkapkan visi hidupnya yang sebenarnya. Pertama-tama ia berkata bahwa ia tidak punya siapa-siapa untuk menurunkannya ke dalam kolam: jadi tidak seharusnya ia disalahkan, namun orang lain yang tidak merawatnya. Sikap ini menjadi dalih untuk menghindari tanggung jawab. Tetapi apakah benar bahwa ia tidak punya siapa-siapa yang akan menolongnya? Berikut adalah jawaban Santo Agustinus yang mencerahkan: “Sesungguhnya ia membutuhkan seorang ‘manusia’ untuk kesembuhannya, tetapi ‘manusia’ itu adalah Allah juga. … Maka, Ia datang, Manusia yang dibutuhkan: mengapa penyembuhan harus ditunda?”.[1]

 

Orang lumpuh itu kemudian menambahkan bahwa ketika ia mencoba untuk menurunkan dirinya di kolam, selalu ada seseorang yang datang lebih dulu darinya. Orang ini mengungkapkan pandangan hidup yang fatalistis. Kita berpikir bahwa hal-hal terjadi pada kita karena kita tidak beruntung, karena takdir tidak berpihak pada kita. Orang ini putus asa. Ia merasa kalah dalam perjuangan hidup.

 

Sebaliknya, Yesus menolongnya untuk menemukan bahwa hidupnya juga ada di tangannya. Ia mengundangnya untuk bangun, mengangkat dirinya dari situasi kronisnya, dan mengangkat tikarnya (bdk. ayat 8). Tikar itu tidak boleh ditinggalkan atau dibuang: tikar melambangkan masa lalu penyakitnya, sejarahnya. Sampai saat itu, masa lalu telah menghalanginya; tikar telah memaksanya untuk berbaring seperti orang mati. Sekarang, ia yang dapat mengangkat tikar itu dan membawanya ke mana pun ia mau: ia dapat memutuskan apa yang akan dilakukannya terhadap sejarahnya! Ini adalah perihal berjalan, bertanggung jawab untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh. Dan ini berkat Yesus!

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita memohon kepada Tuhan karunia untuk memahami di mana kehidupan kita terhenti. Marilah kita mencoba menyuarakan keinginan kita untuk disembuhkan. Dan marilah kita mendoakan semua orang yang merasa lumpuh, yang tidak melihat jalan keluar. Marilah kita memohon untuk kembali tinggal di dalam hati Kristus, yang merupakan rumah belas kasih yang sejati!


***

[Imbauan]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Gereja sangat sedih mendengar jeritan penderitaan yang muncul dari tempat-tempat yang hancur akibat perang, khususnya Ukraina, Iran, Israel, dan Gaza. Kita tidak boleh terbiasa dengan perang! Sungguh, godaan untuk menggunakan senjata yang kuat dan canggih perlu ditolak. Saat ini, “bahkan, sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata teknologi tinggi, keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada kebiadapan, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 79). Oleh karena itu, atas nama martabat manusia dan hukum internasional, saya tegaskan kembali kepada mereka yang bertanggung jawab atas peringatan yang sering disampaikan Paus Fransiskus: Perang selalu merupakan kekalahan! Dan peringatan Paus Pius XII: “Tidak ada yang hilang dengan perdamaian. Segala sesuatu dapat hilang dengan perang.”

 

[Sapaan]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Irlandia Utara, Norwegia, Kamerun, Australia, Hong Kong, Jepang, Indonesia, Filipina, Singapura, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus saya menyapa anggota delegasi internasional “HOPE80” pada awal peziarahan “Api Pengharapan” saat mereka berupaya untuk mendorong rekonsiliasi dan perdamaian pada tahun ini yang menandai peringatan 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II.

 

Semoga cahaya kasih dan persaudaraan ilahi selalu menyala terang di dalam hati para pria dan wanita dari satu keluarga manusiawi kita.

 

Atas kamu semua, dan atas keluargamu, saya memohon kepada Tuhan karunia kebijaksanaan, kekuatan, dan sukacita. Allah memberkatimu.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, kini kita merenungkan mukjizat penyembuhan Yesus terhadap seorang lumpuh di kolam Betesda. Banyak orang cacat fisik datang untuk mandi di sana dengan mengharapkan kesembuhan, namun Yesus memilih orang itu, yang telah tiga puluh delapan tahun lamanya lumpuh dan tidak dapat menurunkan dirinya ke kolam. Pertanyaan Yesus kepadanya – “Maukah engkau sembuh?” – sangat menyentuh. Pertanyaan itu menantang rasa tidak berdaya dan pasrah orang lumpuh itu, dan mengundangnya untuk berharap bahwa hidupnya dapat diubah. Yesus menyuruhnya bangun, mengangkat tikarnya, dan berjalan. Tikar sebenarnya adalah lambang kelumpuhan masa lalu orang itu, baik fisik maupun rohani, yang sekarang dapat ia terima dan tinggalkan saat ia memulai hidup baru. Dalam Yubileum pengharapan ini, semoga kita mengingat dalam doa-doa kita semua orang yang menderita dan merasa tergoda untuk putus asa. Apa pun masalah atau kemunduran yang kita hadapi dalam hidup, marilah kita berpaling kepada Yesus, mengakui keinginan kita untuk disembuhkan, dan menerima janji-Nya tentang kebebasan dan kehidupan baru.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 18 Juni 2025)



[1]Traktat 17, 7.

PESAN PAUS LEO XIV UNTUK HARI ORANG MISKIN SEDUNIA KE-9 16 November 2025

Engkaulah harapanku (bdk. Mzm 71:5)

 

1.        “Engkaulah harapanku, ya Tuhan” (Mzm 71:5). Kata-kata ini mengalir dari hati yang terbebani oleh kesulitan yang berat: “Engkau telah membuat aku mengalami banyak kesusahan dan malapetaka” (ayat 20), seru sang Pemazmur. Pada saat yang sama, hatinya tetap terbuka dan percaya diri; teguh dalam iman, ia mengakui dukungan Allah, yang ia sebut “bukit batu dan pertahanan” (ayat 3). Oleh karena itu, kepercayaannya yang teguh bahwa pengharapan kepada Allah tidak pernah mengecewakan: “Pada-Mu, ya Tuhan, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku dipermalukan” (ayat 1).

 

Di tengah-tengah pencobaan hidup, pengharapan kita diilhami oleh keyakinan yang teguh dan meyakinkan akan kasih Allah, yang dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus. Pengharapan tidak mengecewakan (bdk. Rm 5:5). Karena itu Santo Paulus dapat menulis kepada Timotius: “Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup” (1 Tim 4:10). Allah yang hidup sesungguhnya adalah “Allah sumber pengharapan” (Rm 15:13), dan Kristus, melalui wafat dan kebangkitan-Nya, telah menjadi “pengharapan kita” (1 Tim 1:1). Kita tidak boleh lupa bahwa kita diselamatkan dalam pengharapan ini, dan perlu tetap berakar kuat di dalamnya.

 

2.      Orang miskin dapat menjadi saksi pengharapan yang kuat dan teguh, justru karena mereka mewujudkannya di tengah ketidakpastian, kemiskinan, ketidakstabilan, dan marginalisasi. Mereka tidak dapat mengandalkan keamanan kekuasaan dan harta benda; sebaliknya, mereka berada dalam belas kasihan mereka dan sering kali menjadi korbannya. Pengharapan mereka tentu harus dicari di tempat lain. Dengan mengakui bahwa Allah adalah pengharapan kita yang pertama dan satu-satunya, kita juga beralih dari pengharapan sekilas kepada pengharapan yang kekal. Begitu kita menginginkan Allah menyertai kita dalam perjalanan hidup, kekayaan materi menjadi relatif, karena kita menemukan harta sejati yang kita butuhkan. Kata-kata yang diucapkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya tetap kuat dan jelas: “Janganlah mengumpulkan harta bagi dirimu di bumi, di mana ngengat dan karat merusaknya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Namun, kumpulkanlah bagimu harta di surga, yang tidak dirusak oleh ngengat dan karat, dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya” (Mat 6:19-20).

 

3.       Bentuk kemiskinan yang paling parah adalah tidak mengenal Allah. Sebagaimana ditulis Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium: “Diskriminasi terburuk yang diderita orang-orang miskin adalah kurangnya pelayanan rohani. Sebagian besar orang-orang miskin memiliki keterbukaan istimewa pada iman; mereka membutuhkan Allah dan kita tidak boleh gagal memberikan mereka persahabatan-Nya, berkat-Nya, sabda-Nya, perayaan sakramen-sakramen dan perjalanan pertumbuhan dan kedewasaan dalam iman” (No. 200). Di sini kita melihat kesadaran dasariah dan hakiki tentang bagaimana kita dapat menemukan harta kita di dalam Allah. Sebagaimana ditegaskan Rasul Yohanes: “Jikalau seseorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah,’ tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah pendusta, karena siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1Yoh 4:20).

 

Ini adalah aturan iman dan rahasia pengharapan: semua barang duniawi, kenyataan material, kesenangan duniawi, kemakmuran ekonomi, betapapun pentingnya, tidak dapat membawa kebahagiaan ke dalam hati kita. Kekayaan sering kali mengecewakan dan dapat menyebabkan situasi kemiskinan yang tragis — terutama kemiskinan yang lahir dari kegagalan mengenali kebutuhan kita akan Allah dan upaya untuk hidup tanpa Dia. Sebuah pepatah Santo Agustinus muncul dalam pikiran: “Biarkan semua harapanmu berada di dalam Allah: rasakan kebutuhanmu akan Dia, dan biarkan Dia memenuhi kebutuhan itu. Tanpa Dia, apa pun yang kamu miliki hanya akan membuatmu semakin hampa” (Penjelasan Terperinci Mzm 85:3).

 

4.      Sabda Allah mengatakan kepada kita bahwa pengharapan kristiani adalah kepastian di setiap langkah perjalanan hidup, karena pengharapan itu tidak bergantung pada kekuatan manusiawi kita, tetapi pada janji Allah, yang selalu setia. Karena alasan ini, sejak awal, umat kristiani telah mengidentifikasi pengharapan dengan simbol jangkar, yang memberikan kemantapan dan keamanan. Pengharapan kristiani seperti jangkar yang mendasarkan hati kita pada janji Tuhan Yesus, yang menyelamatkan kita dengan wafat dan kebangkitan-Nya dan akan datang kembali di antara kita. Pengharapan ini terus mengarahkan kita ke "langit yang baru" dan "bumi yang baru" (2Ptr 3:13) sebagai cakrawala sejati keberadaan kita, di mana setiap kehidupan akan menemukan maknanya yang autentik, karena tanah air kita yang sebenarnya terdapat di dalam surga (bdk. Flp 3:20).

 

Oleh karena itu, kota Allah mendorong kita untuk memperbaiki kota manusia. Kota kita harus mulai menyerupai kota-Nya. Pengharapan, yang ditopang oleh kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus (bdk. Rm 5:5), mengubah hati manusia menjadi tanah yang subur di mana kasih bagi kehidupan dunia dapat berkembang. Tradisi Gereja terus-menerus menekankan hubungan melingkar antara tiga kebajikan teologis, yakni iman, pengharapan, dan kasih. Pengharapan lahir dari iman, yang memelihara dan menopangnya di atas landasan kasih, induk dari segala kebajikan. Kita semua membutuhkan kasih, di sini dan saat ini. Kasih bukan sekadar janji; kasih adalah kenyataan saat ini yang harus diterima dengan sukacita dan tanggung jawab. Kasih melibatkan kita dan menuntun keputusan-keputusan kita menuju kebaikan bersama. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kasih tidak hanya tidak memiliki iman dan pengharapan; mereka juga merampas pengharapan dari sesama mereka.

 

5.      Dengan demikian, panggilan biblis untuk berharap menuntut kewajiban untuk memikul tanggung jawab kita dalam sejarah, tanpa ragu-ragu. Kasih, pada kenyataannya, “adalah perintah sosial yang terbesar” (Katekismus Gereja Katolik, No. 1889). Kemiskinan memiliki penyebab struktural yang harus ditangani dan disingkirkan. Sementara itu, kita masing-masing dipanggil untuk menawarkan tanda-tanda harapan baru yang akan menjadi saksi kasih kristiani, sebagaimana telah dilakukan oleh banyak orang kudus selama berabad-abad. Rumah sakit dan sekolah, misalnya, adalah lembaga yang didirikan untuk menjangkau mereka yang paling rentan dan terpinggirkan. Lembaga-lembaga ini seharusnya menjadi bagian dari kebijakan publik setiap negara, tetapi perang dan kesenjangan sering kali menghalangi hal ini terjadi. Saat ini, tanda-tanda harapan semakin banyak ditemukan di panti jompo, komunitas untuk anak di bawah umur, pusat untuk mendengarkan dan menerima, dapur umum, tempat penampungan tunawisma, dan sekolah-sekolah berpenghasilan rendah. Betapa banyak tanda-tanda harapan yang teduh ini sering tidak diperhatikan namun sangat penting untuk menyingkirkan ketidakpedulian kita dan menginspirasi orang lain untuk terlibat dalam berbagai bentuk kerja sukarela!

 

Orang miskin bukan pengalihan perhatian Gereja, melainkan saudara-saudari kita terkasih, karena melalui hidup, perkataan, dan kebijaksanaan mereka, mereka telah menghubungkan kita dengan kebenaran Injil. Perayaan Hari Orang Miskin Sedunia dimaksudkan untuk mengingatkan komunitas kita bahwa orang miskin merupakan inti dari segenap kegiatan pastoral kita. Hal ini berlaku tidak hanya untuk karya amal Gereja, tetapi juga untuk pesan yang dirayakan dan diwartakannya. Allah menanggung kemiskinan mereka untuk memperkaya kita melalui suara, kisah, dan wajah mereka. Setiap bentuk kemiskinan, tanpa kecuali, memanggil kita untuk mengalami Injil secara nyata dan menawarkan tanda-tanda harapan yang efektif.

 

6.      Itulah undangan yang diberikan kepada kita melalui perayaan Yubelium ini. Bukan suatu kebetulan bahwa Hari Orang Miskin Sedunia dirayakan menjelang akhir tahun rahmat ini. Setelah Pintu Suci ditutup, kita harus menghargai dan berbagi dengan sesama kita karunia ilahi yang diberikan kepada kita sepanjang tahun doa, pertobatan, dan kesaksian ini. Orang miskin bukan penerima pelayanan pastoral kita, tetapi subjek kreatif yang menantang kita untuk menemukan cara-cara baru dalam menghayati Injil saat ini. Dalam menghadapi bentuk-bentuk pemiskinan baru, kita dapat memiliki risiko menjadi keras kepala dan pasrah. Setiap hari kita menjumpai orang-orang miskin atau melarat. Kita juga mungkin memiliki lebih sedikit dari sebelumnya dan kehilangan apa yang dulunya tampak aman: rumah, makanan yang cukup setiap hari, akses ke layanan kesehatan dan pendidikan yang baik, informasi, kebebasan beragama, dan kebebasan berekspresi.

 

Dalam upaya mengembangkan kebaikan bersama ini, tanggung jawab sosial kita didasarkan pada tindakan kreatif Allah, yang memberikan setiap orang bagian dari benda-benda di bumi. Seperti benda-benda tersebut, hasil kerja manusia harus dapat diakses secara setara oleh semua orang. Membantu orang miskin pertama-tama adalah masalah keadilan ketimbang amal. Santo Agustinus menelaah, “Kamu memberi roti kepada orang yang lapar; tetapi akan lebih baik jika tidak ada orang yang lapar, sehingga kamu tidak perlu memberikannya. Kamu memberi pakaian kepada orang telanjang, tetapi alangkah baiknya jika semua orang berpakaian dan kamu tidak perlu memenuhi kekurangan ini” (Dalam 1Yoh., 8:5).

 

Oleh karena itu, saya berharap Tahun Yubileum ini dapat mendorong pengembangan kebijakan yang ditujukan untuk memerangi bentuk-bentuk kemiskinan lama dan baru, serta menerapkan prakarsa baru untuk mendukung dan membantu orang-orang yang paling miskin. Tenaga kerja, pendidikan, perumahan, dan kesehatan adalah landasan keamanan yang tidak akan pernah tercapai dengan penggunaan senjata. Saya menyampaikan penghargaan saya atas berbagai prakarsa yang sudah ada, dan atas upaya yang ditunjukkan setiap hari di tingkat internasional oleh sejumlah besar orang yang beritikad baik.

 

Marilah kita memercayakan diri kita kepada Santa Maria, Penghibur bagi orang yang menderita dan, bersamanya, marilah kita melambungkan lagu harapan sambil menjadikan kata-kata Te Deum sebagai kata-kata kita: “Ya Tuhan, kami berharap pada-Mu, kami tak kecewa selamanya.”

 

Vatikan, 13 Juni 2025, Peringatan Wajib Santo Antonius dari Padua, Santo Pelindung Orang Miskin


LEO XIV

______

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juni 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 11 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 9. BARTIMEUS. "TEGUHKAN HATIMU, BERDIRILAH, IA MEMANGGIL ENGKAU" (MRK 10:49)

Saudara-saudari terkasih,

 

Dengan katekese ini saya ingin menarik perhatian kita kepada aspek penting lain dari kehidupan Yesus, yaitu penyembuhan yang dilakukan-Nya. Karena alasan ini, saya mengundangmu untuk membawa ke hadapan hati Kristus bagian-bagianmu yang paling menyakitkan dan rapuh, tempat-tempat dalam hidupmu di mana kamu merasa tertahan dan terhalang. Marilah dengan penuh kepercayaan kita memohon kepada Tuhan untuk mendengarkan seruan kita, dan menyembuhkan kita!

 

Tokoh yang menyertai kita dalam permenungan ini akan membantu kita memahami bahwa kita tidak boleh menyerah, bahkan ketika kita merasa kehilangan harapan. Ia adalah Bartimeus, seorang pengemis yang buta, yang didapati Yesus di Yerikho (bdk. Mrk 10:46-52). Tempat yang penting: Yesus akan pergi ke Yerusalem, tetapi Ia memulai perjalanan-Nya, bisa dikatakan, di "dunia bawah" Yerikho, sebuah kota yang terletak di bawah permukaan laut. Sesungguhnya, dengan kematian-Nya, Yesus pergi untuk mengambil kembali Adam yang jatuh ke dasar dan juga mewakili kita masing-masing.

 

Bartimeus berarti “anak Timeus”: ia digambarkan melalui sebuah hubungan, namun secara dramatis ia sendirian. Namun, nama ini juga dapat berarti “anak kehormatan” atau “anak kebanggaan”, yang merupakan kebalikan dari situasi yang dihadapinya.[1] Dan karena nama sangat penting dalam budaya Yahudi, Bartimeus telah gagal untuk hidup sesuai dengan arti namanya.

 

Kemudian, tidak seperti gerakan besar orang-orang yang berjalan mengikuti Yesus, Bartimeus tetap diam. Penginjil mengatakan bahwa ia sedang duduk di pinggir jalan, jadi ia membutuhkan seseorang untuk mengangkatnya berdiri dan membantunya melanjutkan perjalanan.

 

Apa yang dapat kita lakukan ketika kita menemukan diri kita dalam situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar? Bartimeus mengajarkan kita untuk memohon kepada sumber daya yang ada dalam diri kita dan merupakan bagian dari diri kita. Ia seorang pengemis, ia tahu bagaimana meminta, bahkan, ia mampu berseru! Jika kamu benar-benar menginginkan sesuatu, lakukan segalanya untuk dapat meraihnya, bahkan ketika orang lain mencela, mempermalukan, dan menyuruhmu untuk pasrah saja. Jika kamu benar-benar menginginkannya, kamu terus berseru!

 

Seruan Bartimeus, dalam Injil Markus – “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (ayat 47) – telah menjadi doa yang sangat terkenal dalam tradisi Timur, yang juga dapat kita gunakan: “Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini”.

 

Bartimeus buta, tetapi secara paradoks ia melihat lebih baik daripada yang lain, dan ia mengenali siapa Yesus! Sebelum ia berseru, Yesus berhenti dan memanggilnya (bdk. ayat 49), karena tidak ada seruan yang tidak didengar Allah, bahkan ketika kita tidak menyadari bahwa kita sedang berbicara kepada-nya (bdk. Kel 2:23). Tampak aneh, di hadapan seorang yang buta, Yesus tidak segera menghampirinya; tetapi, jika kita pikirkan, itulah cara untuk mengaktifkan kembali kehidupan Bartimeus: Ia memacunya untuk berdiri lagi, Ia percaya pada kemampuannya untuk berjalan. Orang itu dapat berdiri tegak lagi, ia dapat bangkit dari pergolakan kematian. Tetapi untuk melakukan hal ini, ia harus melakukan gerakan yang sangat berarti: ia harus menanggalkan jubahnya (bdk. ayat 50)!

 

Bagi seorang pengemis, jubah adalah segalanya: jubah adalah keselamatannya, jubah adalah rumahnya, jubah adalah pertahanan yang melindunginya. Bahkan hukum melindungi jubah pengemis, dan mewajibkan agar jubah itu dikembalikan pada malam hari jika diambil sebagai jaminan (bdk. Kel 22:25). Namun, sering kali, justru rasa aman semu yang menghalangi kita – apa yang kita kenakan untuk membela diri dan justru menghalangi kita untuk berjalan. Untuk datang kepada Yesus dan membiarkan dirinya disembuhkan, Bartimeus harus menunjukkan dirinya kepada-Nya dalam segala kerentanannya. Ini adalah langkah mendasar dalam setiap perjalanan penyembuhan.

 

Bahkan pertanyaan yang diajukan Yesus kepadanya tampak aneh: "Apa yang kaukehendaki Kuperbuat bagimu?" (ayat 51). Namun, pada kenyataannya, tidak selalu kita ingin disembuhkan dari penyakit kita; terkadang kita lebih suka diam saja agar tidak bertanggung jawab. Jawaban Bartimeus sangat mendalam: ia menggunakan kata kerja anablepein, yang dapat berarti "melihat lagi", tetapi juga dapat kita terjemahkan sebagai "menengadah". Memang, Bartimeus tidak hanya ingin melihat lagi; ia ingin mendapatkan kembali harga dirinya! Untuk menengadah, kita harus mengangkat kepala. Terkadang orang terjebak karena hidup telah mempermalukan mereka, dan mereka hanya ingin menemukan kembali harga diri mereka.

 

Yang menyelamatkan Bartimeus, dan kita masing-masing, adalah iman. Yesus menyembuhkan kita agar kita dapat menjadi bebas. Ia tidak mengundang Bartimeus untuk mengikuti-Nya, tetapi menyuruhnya pergi, untuk memulai perjalanan (bdk. ayat 52). Namun, Markus menyimpulkan ceritanya dengan mengatakan bahwa Bartimeus mulai mengikuti Yesus: dengan bebas ia memilih untuk mengikuti Yesus, yang adalah Jalan!

 

Saudara-saudari terkasih, marilah dengan penuh keyakinan kita membawa penderitaan kita kepada Yesus, dan juga penderitaan orang-orang yang kita kasihi; marilah kita membawa penderitaan orang-orang yang merasa kehilangan dan tidak memiliki jalan keluar. Marilah kita berseru bagi mereka juga, dan kita akan yakin bahwa Tuhan akan mendengar kita dan berhenti.

______

[Imbauan]

Saya ingin memanjatkan doa untuk para korban tragedi yang terjadi di sekolah di Graz. Saya dekat dengan keluarga, guru, dan teman sekolah. Semoga Tuhan menerima anak-anak-Nya ini dalam damai-Nya.

 

[Sapaan]

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, khususnya mereka yang datang dari Inggris, Skotlandia, Belgia, Kamerun, Zimbabwe, Tiongkok, Indonesia, Filipina, Singapura, Kanada, dan Amerika Serikat. Selagi kita bersiap merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus pada hari Minggu mendatang, saya mengundangmu untuk menjadikan hatimu tempat tinggal yang ramah bagi Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris yang disampaikan oleh seorang penutur]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Yesus Kristus Pengharapan Kita,” hari ini kita menelaah aspek lain dari kehidupan dan pelayanan Yesus, yaitu, mukjizat penyembuhan-Nya. Dalam bacaan yang kita dengar, Bartimeus yang buta berseru kepada Yesus dengan permohonan yang merupakan tindakan iman: “Yesus, kasihanilah aku!” Sangatlah penting bahwa, ketika Yesus meminta Bartimeus untuk datang kepadanya, pengemis buta itu segera menanggalkan jubahnya, satu-satunya miliknya dan satu-satunya sumber keamanannya. Dalam pengertian ini, ia berdiri di hadapan Yesus dalam segala kerentanannya, percaya pada kuasa Tuhan untuk memulihkan penglihatannya. Kita juga, menyadari kebutuhan kita untuk disembuhkan, diminta untuk datang kepada Tuhan dalam segala kelemahan kita, meninggalkan “jubah” kita – rasa aman kita, zona nyaman kita – untuk mengalami kuasa penyembuhan-Nya. Selama Yubileum pengharapan ini, semoga kita juga menerima rahmat untuk melihat segala sesuatu secara baru dalam terang iman, dan mengikuti Tuhan dalam kebebasan dan kebaruan hidup.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Juni 2025)



[1] Penafsiran ini juga diberikan oleh Agustinus dalam Keselarasan Injil, 2, 65, 125: PL 34, 1138.

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 4 Juni 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 8. PARA PEKERJA KEBUN ANGGUR. KATANYA KEPADA MEREKA, "PERGILAH JUGA KAMU KE KEBUN ANGGURKU" (MAT 20:4)

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya ingin menelaah kembali salah satu perumpamaan Yesus. Dalam hal ini, kisah yang juga menumbuhkan pengharapan kita. Memang, terkadang kita merasa tidak dapat menemukan makna hidup: kita merasa tidak berguna, tidak berdaya, seperti para pekerja yang menganggur di pasar, menunggu seseorang yang mempekerjakan mereka. Namun, terkadang waktu berlalu, hidup terus berjalan, dan kita tidak merasa diakui atau dihargai. Mungkin kita tidak datang tepat waktu, orang lain telah datang sebelum kita, atau masalah menghalangi kita di tempat lain.

 

Metafora pasar juga sangat tepat untuk zaman kita, karena pasar adalah tempat berbisnis, di mana sayangnya bahkan kasih sayang dan harga diri diperjualbelikan, dalam upaya untuk mendapatkan sesuatu. Dan ketika kita tidak merasa dihargai, diakui, kita berisiko menjual diri kita kepada penawar pertama. Sebaliknya, Tuhan mengingatkan kita bahwa hidup kita berharga, dan Ia ingin membantu kita menemukan hal ini.

 

Dalam perumpamaan yang sedang kita bahas hari ini, juga ada pekerja yang sedang menunggu seseorang yang akan mempekerjakan mereka seharian. Kita berada di Bab 20 Injil Matius, dan di sini kita juga menemukan seorang tokoh yang perilakunya tidak biasa, yang mengejutkan dan menantang kita. Ia adalah sang pemilik kebun anggur, yang datang sendiri untuk mencari para pekerjanya. Jelas, ia ingin membangun hubungan pribadi dengan mereka.

 

Sebagaimana telah saya katakan, perumpamaan yang memberi pengharapan, karena menceritakan kepada kita bahwa pemilik kebun anggur ini keluar beberapa kali untuk mencari orang-orang yang sedang menunggu untuk memberi makna pada kehidupan mereka. Pemilik kebun anggur segera keluar pagi-pagi benar dan kemudian, setiap tiga jam, ia kembali mencari pekerja untuk dipekerjakan di kebun anggurnya. Mengikuti jadwal ini, setelah keluar pada pukul tiga petang, tidak ada alasan lagi untuk keluar, karena hari kerja berakhir pada pukul enam petang.

 

Pemilik yang tak kenal lelah ini, yang ingin dengan berbagai cara memberi nilai pada kehidupan kita masing-masing, malah keluar pada pukul lima petang. Para pekerja yang tetap tinggal di pasar mungkin sudah putus asa. Hari itu tidak menghasilkan apa-apa. Meskipun demikian, seseorang masih percaya kepada mereka. Apa gunanya mempekerjakan orang hanya selama satu jam terakhir? Namun, bahkan ketika tampaknya kita tidak dapat berbuat banyak, kehidupan selalu berharga. Selalu ada kemungkinan untuk menemukan makna, karena Allah mengasihi kehidupan kita.

 

Dan karakter asli sang pemilik kebun anggur juga terlihat di penghujung hari, saat waktu pembayaran. Sang pemilik kebun anggur telah sepakat untuk membayar para pekerja pertama, yang bekerja di kebun anggur saat pagi-pagi benar, satu dinar, yang merupakan upah harian yang lazim. Ia memberitahu para pekerja lainnya bahwa ia akan memberi mereka secara adil. Dan di sinilah perumpamaan itu menggugah kita: apa yang adil? Bagi pemilik kebun anggur, yaitu, bagi Allah, adil sebab setiap orang memiliki apa yang ia butuhkan untuk hidup. Ia memanggil para pekerja secara pribadi, ia tahu martabat mereka, dan atas dasar ini, ia ingin mengupah mereka, dan ia memberi mereka semua satu dinar.

 

Kisah itu mengatakan bahwa para pekerja yang bekerja sejak jam pertama kecewa: mereka tidak dapat melihat keindahan sikap pemilik kebun anggur, yang adil, bahkan sungguh murah hati; yang tidak hanya melihat jasa, tetapi juga kebutuhan. Allah ingin memberikan Kerajaan-Nya, yaitu, kehidupan yang penuh, kekal dan bahagia, kepada semua orang. Dan inilah yang dilakukan Yesus terhadap kita: Ia tidak menetapkan peringkat, Ia memberikan seluruh diri-Nya kepada orang-orang yang membuka hati kepada-Nya.

 

Dalam terang perumpamaan ini, umat krisiaein masa kini mungkin tergoda untuk berpikir, “Mengapa harus segera mulai bekerja? Jika upahnya sama, mengapa harus bekerja lebih keras?”. Santo Agustinus menanggapi keraguan ini dengan berkata, “Mengapa kamu menunda Dia yang memanggilmu, padahal kamu yakin akan upahnya, tetapi tidak yakin akan hari itu? Karena itu, camkanlah, supaya kamu jangan menunda-nunda apa yang dijanjikan-Nya kepadamu”.[1]

 

Saya ingin mengatakan, terutama kepada kaum muda, janganlah menunggu, tetapi tanggapilah dengan antusias panggilan Tuhan yang memanggil kita untuk bekerja di kebun anggur-Nya. Jangan menunda, singsingkanlah lengan bajumu, karena Tuhan murah hati dan kamu tidak akan kecewa! Bekerjalah di kebun anggur-Nya, kamu akan menemukan jawaban atas pertanyaan mendalam yang kamu bawa dalam dirimu: apa makna hidupku?

 

Saudara-saudari terkasih, janganlah kita berkecil hati! Bahkan di saat-saat gelap dalam kehidupan, ketika waktu berlalu tanpa memberi kita jawaban yang kita cari, marilah kita memohon kepada Tuhan yang akan datang kembali dan menemukan kita di mana kita sedang menantikan-Nya. Ia murah hati, dan Ia akan segera datang!

_____________________


[Sapaan Khusus]

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang mengikuti Audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Finlandia, Kenya, India, Indonesia, Korea Selatan, Filipina, dan Amerika Serikat. Saat kita bersiap merayakan Hari Raya Pentakosta, saya memohonkan atasmu dan keluargamu kelimpahan pencurahan karunia Roh Kudus. Allah memberkatimu!


[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, hari ini kita menelaah perumpamaan Yesus tentang para pekerja di akhir hari (Mat 20:1-16). Pemilik kebun anggur yang memberikan upah yang sama bahkan kepada para pekerja di akhir hari adalah gambaran Allah Bapa kita, yang terus-menerus mencari mereka yang datang kepada-Nya. Kasih dan kemurahan hati-Nya memberi pahala yang berlimpah kepada mereka yang, meskipun terlambat, menanggapi undangan-Nya untuk ambil bagian dalam kerajaan-Nya, kehidupan yang penuh dan kekal. Allah tidak pernah menyerah pada kita; Ia selalu siap menerima kita dan memberi makna serta pengharapan bagi kehidupan kita, meskipun situasi kita tampaknya tanpa pengharapan dan meskipun jasa kita tampaknya tidak berarti. Semoga kita semua, dan terutama kaum muda kita, bermurah hati dan bersemangat dalam menanggapi panggilan-Nya untuk bekerja di kebun anggur-Nya!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 4 Juni 2025)

_____

[1]Khotbah 87, 6, 8

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA RATU SURGA 1 Juni 2025

Pada akhir perayaan Ekaristi ini, saya sampaikan salam hangat kepada semua yang berpartisipasi dalam Yubileum Keluarga, Anak-anak, Kakek-nenek, dan Orang Lanjut Usia! Kamu telah berkumpul di sini dari berbagai belahan dunia, dengan delegasi dari 131 negara.

 

Saya sangat senang menyapa begitu banyak anak, yang memulihkan harapan kita! Saya menyapa semua keluarga, yang merupakan gereja-gereja rumah tangga kecil tempat pesan Injil diterima dan diteruskan. Keluarga, kata Santo Yohanes Paulus II, “berasal dari cinta yang sama yang dengannya Sang Pencipta merangkul dunia ciptaan” (Surat kepada Keluarga Gratissimam Sane, 2). Semoga iman, harapan, dan kasih selalu tumbuh dalam keluarga kita. Secara khusus, saya menyapa kakek-nenek dan orang lanjut usia, kamu adalah teladan iman sejati dan inspirasi bagi generasi muda. Terima kasih atas kedatanganmu!

 

Saya menyapa semua peziarah yang hadir, khususnya mereka yang berasal dari Keuskupan Mondovì, Piedmont.

 

Hari ini di Italia, dan di banyak bagian dunia, Hari Raya Kenaikan Tuhan dirayakan. Sebuah perayaan yang indah, yang membuat kita menantikan tujuan perjalanan duniawi kita. Dalam hal ini, saya ingin mencatat bahwa kemarin, di Braniewo, Polandia, Cristofora Klomfass dan empat belas biarawati lainnya dari Kongregasi Santa Katarina Perawan dan Martir, dibeatifikasi; mereka terbunuh pada tahun 1945 ketika Tentara Merah menyerbu Polandia. Meskipun berada dalam suasana kebencian dan teror terhadap iman Katolik, mereka bertekun dalam pelayanan kepada orang sakit dan anak yatim. Marilah kita serahkan kepada perantaraan para beata martir yang baru semua biarawati di seluruh dunia yang membaktikan diri mereka dengan murah hati demi Kerajaan Allah.

 

Saya juga mengingatkan bahwa hari ini adalah Hari Komunikasi Sedunia, dan saya berterima kasih kepada para insan media yang, dengan memastikan kualitas etika pesan mereka, membantu keluarga dalam tugas pendidikan mereka.

 

Semoga Perawan Maria memberkati keluarga di mana pun dan mendukung mereka dalam pencobaan mereka. Saya terutama memikirkan keluarga-keluarga yang sedang menderita karena perang di Timur Tengah, Ukraina, dan belahan dunia lainnya. Semoga Bunda Allah membantu kita untuk maju bersama di jalan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Juni 2025)