Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 28 September 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya menyampaikan salam hangat kepada semua yang telah berpartisipasi dalam perayaan Yubileum yang didedikasikan bagi para katekis ini, terutama mereka yang telah dilantik hari ini untuk pelayanan ini. Bersamamu, saya menyampaikan harapan baik saya agar pelayanan semua katekis berbuah manis dalam Gereja di seluruh dunia! Terima kasih atas pelayananmu bagi Gereja. Marilah kita mendoakan mereka, terutama bagi mereka yang bekerja dalam kondisi sulit. Allah memberkati kamu semua!

 

Saya menyapa para peziarah dari Keuskupan Vicenza bersama Uskup mereka dan rombongan umat lainnya dari berbagai negara.

 

Dalam beberapa hari terakhir, angin topan yang sangat dahsyat telah melanda beberapa wilayah Asia, khususnya Filipina, Pulau Taiwan, Kota Hong Kong, wilayah Guangdong, dan Vietnam. Saya meyakinkan penduduk terdampak, terutama yang termiskin, akan kedekatan dan doa saya bagi para korban, mereka yang hilang, banyak keluarga yang mengungsi, banyak orang yang telah menderita kesulitan, serta para petugas penyelamat dan otoritas sipil. Saya mengajak semua orang untuk menaruh kepercayaan mereka kepada Allah dan menunjukkan solidaritas dengan sesama. Semoga Tuhan memberikan kekuatan dan keberanian untuk mengatasi setiap kesulitan.

 

Dengan gembira saya umumkan bahwa pada tanggal 1 November, dalam Yubileum Dunia Pendidikan, saya akan menganugerahkan gelar Pujangga Gereja kepada Santo John Henry Newman, yang berkontribusi besar bagi pembaruan teologi dan pemahaman perkembangan ajaran kristiani.

 

Marilah kita sekarang memercayakan diri kita kepada perantaraan Perawan Maria. Semoga ia, yang adalah ibu dan murid pertama Yesus, meneguhkan komitmen Gereja untuk mewartakan iman hari ini.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 24 September 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 8. TURUN. DI DALAM ROH ITU JUGA “IA PERGI MEMBERITAKAN INJIL KEPADA ROH-ROH YANG DI DALAM PENJARA” (1PTR 3:19)

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Hari ini, sekali lagi, kita akan merenungkan misteri Sabtu Suci. Sabtu Suci adalah hari misteri Paskah di mana segala sesuatu tampak tak bergerak dan sunyi, padahal sesungguhnya suatu tindakan keselamatan yang tak kasat mata sedang digenapi: Kristus turun ke alam maut untuk membawa kabar kebangkitan kepada semua orang yang berada dalam kegelapan dan bayang-bayang maut.

 

Peristiwa ini, yang telah diwariskan oleh liturgi dan tradisi kepada kita, menggambarkan gestur kasih Allah yang paling mendalam dan radikal bagi umat manusia. Sungguh, tidaklah cukup hanya mengatakan atau percaya bahwa Yesus wafat untuk kita: perlu disadari bahwa kesetiaan kasih-Nya mencari kita di tempat kita tersesat, tempat yang hanya dapat dijangkau oleh kuasa terang yang mampu menembus kegelapan.

 

Dunia bawah, dalam pemahaman biblis, bukanlah sebuah tempat, melainkan sebuah kondisi keberadaan: kondisi di mana kehidupan terkuras, dan penderitaan, kesendirian, rasa bersalah, serta keterpisahan dari Allah dan sesama merajalela. Kristus menjangkau kita bahkan di jurang ini, melewati gerbang kenyataan kegelapan ini. Ia masuk, bisa dikatakan, ke dalam rumah kematian itu sendiri, mengosongkannya, membebaskan para penghuninya, memegang tangan mereka satu per satu. Itulah kerendahan hati Allah yang tidak berhenti di hadapan dosa kita, yang tidak gentar menghadapi penolakan ekstrem umat manusia.

 

Rasul Petrus, dalam kutipan singkat dari surat pertamanya yang baru saja kita dengar, memberitahu kita bahwa Yesus, yang telah dihidupkan menurut Roh Kudus, pergi untuk menyampaikan kabar keselamatan bahkan "kepada roh-roh yang di dalam penjara" (1Ptr. 3:19). Inilah salah satu gambaran yang paling menyentuh, yang diungkapkan bukan dalam Injil kanonik, melainkan dalam sebuah teks apokrif berjudul Injil Nikodemus. Menurut tradisi ini, Putra Allah memasuki kegelapan terdalam untuk menjangkau bahkan saudara-saudari-Nya yang terakhir, membawa terang-Nya ke sana juga. Dalam gestur ini terdapat seluruh kekuatan dan kelembutan pesan Paskah: kematian bukanlah kata terakhir.

 

Sahabat-sahabat terkasih, turunnya Kristus ini tidak hanya berkaitan dengan masa lalu, tetapi menyentuh kehidupan kita semua. Dunia bawah bukan hanya kondisi orang mati, tetapi juga mereka yang mengalami kematian akibat kejahatan dan dosa. Dunia bawah juga merupakan neraka keseharian yang dipenuhi kesepian, rasa malu, ditinggalkan, dan pergumulan hidup. Kristus masuk ke dalam semua kenyataan gelap ini untuk menjadi saksi kasih Bapa. Bukan menghakimi, melainkan membebaskan. Bukan menyalahkan, melainkan menyelamatkan. Ia melakukannya dengan tenang, berjinjit, seperti orang yang memasuki kamar rumah sakit untuk menawarkan penghiburan dan pertolongan.

 

Para Bapa Gereja, dalam halaman-halaman yang luar biasa indahnya, menggambarkan momen ini sebagai sebuah pertemuan: pertemuan antara Kristus dan Adam. Sebuah perjumpaan yang menjadi simbol dari segala kemungkinan perjumpaan antara Allah dan manusia. Tuhan turun ke tempat manusia bersembunyi karena takut, dan memanggil namanya, menggenggam tangannya, mengangkatnya, dan membawanya kembali menuju terang. Ia bukan saja melakukannya dengan penuh wibawa, tetapi juga dengan kelembutan yang tak terhingga, bagaikan seorang ayah kepada putranya yang takut tidak lagi dikasihi.

 

Dalam ikon-ikon kebangkitan Gereja Timur, Kristus digambarkan mendobrak pintu-pintu neraka, merentangkan tangan-Nya, dan mencengkeram pergelangan tangan Adam dan Hawa. Ia tidak hanya menyelamatkan diri-Nya sendiri; Ia tidak kembali ke kehidupan sendirian, tetapi membawa seluruh umat manusia bersama-Nya. Inilah kemuliaan sejati dari Yesus yang bangkit: itulah kekuatan kasih, itulah solidaritas dengan Allah yang tidak ingin menyelamatkan diri-Nya sendiri tanpa kita, tetapi hanya bersama kita. Allah yang tidak akan bangkit kecuali Ia merangkul kesengsaraan kita dan mengangkat kita kepada kehidupan baru.

 

Oleh karena itu, Sabtu Suci adalah hari di mana surga mengunjungi bumi paling dalam. Inilah masa di mana setiap sudut sejarah manusia disentuh oleh cahaya Paskah. Dan jika Kristus mampu turun sepenuhnya ke sana, tak ada yang dapat dikecualikan dari penebusan-Nya. Bahkan malam-malam kita, bahkan kesalahan-kesalahan kita yang paling tua, bahkan ikatan-ikatan kita yang telah putus. Tak ada masa lalu yang begitu hancur, tak ada sejarah yang begitu terkompromikan sehingga tak dapat disentuh oleh belas kasihan.

 

Saudara-saudari terkasih, bagi Allah, turun bukanlah kekalahan, melainkan pemenuhan kasih-Nya. Bukan kegagalan, melainkan cara-Nya menunjukkan bahwa tak ada tempat yang terlalu jauh, tak ada hati yang terlalu tertutup, tak ada makam yang terlalu rapat untuk kasih-Nya. Hal ini menghibur kita, hal ini menopang kita. Dan jika terkadang kita merasa telah mencapai titik terendah, marilah kita ingat: dari sanalah Allah dapat memulai ciptaan baru. Ciptaan yang terdiri dari orang-orang yang ditinggikan, hati yang diampuni, air mata yang dikeringkan. Sabtu Suci adalah pelukan hening yang dengannya Kristus mempersembahkan seluruh ciptaan kepada Bapa untuk memulihkannya ke dalam rencana keselamatan-Nya.

 

[Pengumuman]

 

Saudara-saudari terkasih, bulan Oktober kini semakin dekat, dan dalam Gereja, bulan ini didedikasikan secara khusus kepada Rosario Suci. Oleh karena itu, saya mengajak semuanya, setiap hari di bulan mendatang, untuk berdoa Rosario memohon perdamaian: secara pribadi, dalam keluarga, dalam komunitas.

 

Saya juga mengajak para pelayan di Vatikan untuk mendaraskan doa ini di Basilika Santo Petrus setiap hari, pukul 19.00.

 

Khususnya, pada malam Sabtu, 11 Oktober, pukul 18.00, kita akan mendoakannya bersama di Lapangan Santo Petrus, dalam Vigili Yubileum Spiritualitas Maria, yang juga memperingati pembukaan Konsili Vatikan II.

 

[Sapaan]

 

Dengan senang hati saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris pagi ini, terutama dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Irlandia Utara, Denmark, Afrika Selatan, Uganda, Australia, Selandia Baru, Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Qatar, Filipina, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Dengan doa dan harapan baik, semoga Yubileum Pengharapan ini menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu. Saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan kita Yesus Kristus bagikamu semua.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Yesus Kristus Pengharapan Kita", kita terus merenungkan misteri Sabtu Suci. Hari itu, dalam Misteri Paskah, adalah hari ketika Yesus turun ke alam maut untuk membawa Kabar Baik kebangkitan kepada semua orang yang hidup dalam kegelapan. Ketika Ia turun — yang sama sekali bukan suatu kekalahan — Ia menyatakan kasih-Nya yang radikal bagi umat manusia dan kematian bukanlah akhir. Kasih-Nya adalah terang yang kuat yang menembus kegelapan yang paling pekat untuk menjangkau saudara-saudari kita yang tampaknya telah sepenuhnya tersesat. Ini bukan hanya peristiwa masa lalu, tetapi berlaku bagi kita masing-masing saat ini. Kristus masuk ke dalam pergumulan kita dan menyentuh dosa-dosa kita yang terdalam dengan belas kasih-Nya. Semoga ini mengingatkan kita bahwa jika kita memperkenankan Yesus masuk ke dalam kegelapan kita, Ia mampu menciptakan kehidupan baru dalam diri kita masing-masing dan kita menjadi mercusuar pengharapan yang memancarkan pesan keselamatan bagi semua orang.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 24 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 21 September 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Perumpamaan yang kita dengar dalam Bacaan Injil hari ini (Luk 16:1-13) mengajak kita merenungkan penggunaan harta benda kita dan, secara umum, bagaimana kita mengelola harta yang paling berharga, yaitu hidup kita sendiri.

 

Dalam kisah tersebut, kita melihat seorang bendahara yang dipanggil oleh orang kaya untuk "mempertanggungjawabkan" pengelolaannya. Di sini kita disajikan dengan sebuah gambaran yang menyampaikan sesuatu yang penting: kita bukanlah penguasa hidup kita atau harta benda yang kita nikmati; segala sesuatu telah diberikan kepada kita sebagai anugerah oleh Tuhan, yang telah memercayakan semua ini kepada pemeliharaan, kebebasan, dan tanggung jawab kita. Suatu hari nanti kita akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan bagaimana kita telah mengelola diri kita sendiri, harta benda kita, dan sumber daya bumi – di hadapan Allah dan umat manusia, di hadapan masyarakat, dan terutama di hadapan mereka yang akan datang setelah kita.

 

Bendahara dalam perumpamaan ini, sampai saat ini, hanya mencari keuntungannya sendiri. Ketika tiba saatnya ia harus memberikan pertanggungjawaban dan jabatannya diambil, ia harus mempertimbangkan apa yang harus dilakukan untuk mengamankan masa depannya. Dalam situasi sulit ini, ia menyadari bahwa akumulasi harta benda bukanlah nilai tertinggi, karena kekayaan dunia ini akan segera berlalu. Kemudian ia mendapat gagasan yang cemerlang: ia memanggil orang-orang yang berutang dan "memotong" utang mereka, meninggalkan bagian yang seharusnya menjadi miliknya. Dengan cara ini, ia kehilangan kekayaan materi tetapi memperoleh teman-teman yang siap membantu dan mendukungnya.

 

Mengacu kisah tersebut, Yesus menasihati kita: "Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi" (ayat 9).

 

Sungguh, bendahara dalam perumpamaan itu, bahkan ketika mengelola kekayaan dunia yang tidak jujur ​​ini, berhasil menemukan cara untuk menjalin persahabatan, meninggalkan kesendirian akibat keegoisannya. Maka, betapa lebih lagi kita, sebagai murid-murid yang hidup dalam terang Injil, harus menggunakan harta benda dunia ini dan hidup kita sendiri dengan tujuan mencapai kekayaan sejati, yaitu persahabatan dengan Tuhan dan saudara-saudari kita.

 

Sahabat-sahabat terkasih, perumpamaan ini mengajak kita untuk bertanya pada diri kita sendiri: bagaimana kita mengelola harta benda, sumber daya bumi, dan hidup kita yang telah dipercayakan Allah kepada kita? Kita bisa saja mengikuti jalan keegoisan, menempatkan kekayaan di atas segalanya dan hanya memikirkan diri sendiri. Namun, hal ini mengasingkan kita dari orang lain dan menyebarkan racun persaingan, yang seringkali memicu konflik. Sebaliknya, kita dapat menyadari segala sesuatu yang kita miliki sebagai anugerah Allah, untuk dikelola dan digunakan sebagai sarana berbagi – menciptakan jaringan persahabatan dan solidaritas, bekerja demi kebaikan bersama, dan membangun dunia yang lebih adil, setara, dan bersaudara.

 

Marilah kita berdoa kepada Santa Perawan Maria, agar ia sudi menjadi perantara kita dan membantu kita mengelola dengan baik, dengan adil dan bertanggung jawab, apa yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Dengan hangat saya menyapa kamu semua yang hadir di Lapangan Santo Petrus dan mereka yang terhubung melalui media.

 

Pertama-tama, saya menyapa perwakilan dari berbagai lembaga Katolik yang terlibat dalam karya solidaritas dengan rakyat Jalur Gaza. Sahabat-sahabat terkasih, saya menghargai prakarsamu dan banyak lainnya di seluruh Gereja yang mengungkapkan kedekatan dengan saudara-saudari kita yang menderita di tanah yang tersiksa ini. Bersamamu dan para Gembala Gereja di Tanah Suci, saya ulangi: tidak ada masa depan yang didasarkan pada kekerasan, pengasingan paksa, atau balas dendam. Rakyat membutuhkan perdamaian; orang-orang yang sungguh-sungguh mengasihi mereka bekerja untuk perdamaian.

 

Saya menyapa para peziarah dari Keuskupan Mindelo, Tanjung Verde, dan mereka yang berasal dari Keuskupan Como; serta kelompok-kelompok dari Angola, Polandia – khususnya dari Bliżyn –, Ciudad Real Spanyol, Porto Portugal, dan Mwanza Tanzania.

 

Saya menyapa para imam Serikat Yesus yang sedang memulai studi di Roma; Serikat Santo Vinsensius a Paulo; umat dari Sora, Pescara, Macerata, San Giovanni in Marignano, Venesia, Bassano del Grappa, Santa Caterina Villarmosa, Taranto, Somma Vesuviana, Ponzano Romano, dan berbagai kelompok dari Keuskupan Padua.

 

Dengan senang hati saya menyapa Paduan Suara Lembaga Pengacara Verona; Paduan Suara Wanita Malo Vicenza; Yayasan Oasi Nazareth Corato; dan Lembaga H-Earth Mani e Cuore. Saya juga secara khusus mengingat para penderita Alzheimer dan ataksia.

 

Terima kasih semuanya, dan saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 21 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 17 September 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 7. KEMATIAN. “DALAM TAMAN ITU ADA KUBUR BARU YANG DI DALAMNYA BELUM PERNAH DIMAKAMKAN SESEORANG” (YOH. 19:41)

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam perjalanan katekese kita tentang Yesus, pengharapan kita, hari ini kita akan merenungkan misteri Sabtu Suci. Putra Allah terbaring di dalam kubur. Namun, "ketidakhadiran"-Nya ini bukanlah kekosongan: melainkan penantian, kepenuhan yang terkekang, sebuah janji yang tersimpan dalam kegelapan. Inilah hari keheningan agung, di mana langit tampak bisu dan bumi tak bergerak, tetapi justru di sanalah misteri terdalam iman kristiani terpenuhi. Keheningan yang sarat makna, bagaikan rahim seorang ibu yang mengandung anaknya yang belum lahir tetapi sudah hidup.

 

Jenazah Yesus, yang diturunkan dari salib, dibungkus dengan hati-hati, layaknya seseorang membungkus sesuatu yang berharga. Yohanes Penginjil memberitahu kita bahwa Ia dikuburkan di sebuah taman, di dalam "kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang" (Yoh. 19:41). Tidak ada yang dibiarkan begitu saja. Taman itu mengingatkan kita pada Taman Eden yang hilang, tempat Allah dan manusia dipersatukan. Dan kubur itu, yang tak pernah digunakan, berbicara tentang sesuatu yang masih harus terjadi: ambang, bukan akhir. Pada awal penciptaan, Allah menanam sebuah taman; kini ciptaan baru juga dimulai di sebuah taman: dengan sebuah kubur yang tertutup yang akan segera dibuka.

 

Sabtu Suci juga merupakan hari istirahat. Menurut Hukum Yahudi, tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan pada hari ketujuh: sesungguhnya, setelah enam hari penciptaan, Allah beristirahat (lih. Kej. 2:2). Kini, Sang Putra pun, setelah menyelesaikan karya keselamatan-Nya, beristirahat. Bukan karena Ia lelah, melainkan karena Ia mengasihi sampai akhir. Tidak ada lagi yang perlu ditambahkan. Istirahat ini adalah meterai atas tugas yang telah selesai; penegasan bahwa apa yang seharusnya dilakukan telah benar-benar tercapai. Istirahat yang dipenuhi dengan kehadiran Tuhan yang tersembunyi.

 

Kita berjuang untuk berhenti dan beristirahat. Kita hidup seolah-olah hidup tidak pernah cukup. Kita terburu-buru berkarya, membuktikan diri, terus berkarya. Namun Injil mengajarkan kita bahwa mengetahui cara berhenti adalah tindakan percaya yang harus kita pelajari untuk dilakukan. Sabtu Suci mengundang kita untuk menemukan bahwa hidup tidak selalu bergantung pada apa yang kita lakukan, tetapi juga pada bagaimana kita tahu bagaimana meninggalkan apa yang telah mampu kita lakukan.

 

Di dalam kubur, Yesus, Sabda Bapa yang hidup, hening. Namun justru dalam keheningan itulah kehidupan baru mulai berfermentasi. Seperti benih di dalam tanah, seperti kegelapan menjelang fajar. Allah tidak takut akan berlalunya waktu, karena Ia juga Allah yang menanti. Dengan demikian, bahkan waktu kita yang "sia-sia", yaitu jeda, kekosongan, saat-saat tandus, dapat menjadi rahim kebangkitan. Setiap keheningan yang disambut dapat menjadi dasar bagi sebuah Sabda yang baru. Setiap waktu yang tertunda dapat menjadi masa rahmat, jika kita mempersembahkannya kepada Allah.

 

Yesus, yang terkubur di dalam tanah, adalah wajah Allah yang lembut yang tidak menempati semua ruang. Dia adalah Allah yang membiarkan segala sesuatu terjadi, yang menanti, yang menarik diri untuk memberi kita kebebasan. Dia adalah Allah yang percaya, bahkan ketika segala sesuatu tampaknya telah berakhir. Dan kita, pada Sabat yang tertunda itu, belajar bahwa kita tidak perlu terburu-buru bangkit kembali; pertama-tama kita harus hening dan menyambut keheningan, membiarkan diri kita dipeluk oleh keterbatasan. Terkadang kita mencari jawaban cepat, solusi instan. Namun, Allah bekerja secara mendalam, dalam masa kepercayaan yang lambat. Sabat penguburan dengan demikian menjadi rahim yang darinya kekuatan cahaya yang tak terkalahkan, yaitu Paskah, dapat memancar.

 

Sahabat-sahabat terkasih, pengharapan kristiani tidak lahir dalam kebisingan, melainkan dalam keheningan penantian yang dipenuhi kasih. Pengharapan tersebut bukanlah buah dari euforia, melainkan dari penyerahan diri yang penuh kepercayaan. Perawan Maria mengajarkan kita hal ini: ia mewujudkan penantian, kepercayaan, pengharapan ini. Ketika kita merasa segalanya terhenti, bahwa hidup bagaikan jalan yang terhalang, marilah kita mengingat Sabtu Suci. Bahkan di dalam kubur, Allah sedang mempersiapkan kejutan terbesar. Dan jika kita tahu bagaimana menyambut dengan rasa syukur apa yang telah terjadi, kita akan menemukan bahwa, justru dalam kekecilan dan keheningan, Allah suka mengubah kenyataan, menjadikan segala sesuatu baru dengan kesetiaan kasih-Nya. Sukacita sejati lahir dari penantian yang berdiam di dalam diri, dari iman yang sabar, dari pengharapan bahwa apa yang telah dijalani dalam kasih pasti akan bangkit menuju kehidupan kekal.

 

[Imbauan]

 

Saya menyampaikan rasa kedekatan saya yang mendalam kepada rakyat Palestina di Gaza, yang terus hidup dalam ketakutan dan bertahan hidup dalam kondisi yang tak dapat diterima, terusir paksa – sekali lagi – dari negeri mereka sendiri.

 

Di hadapan Allah yang Maha Esa, yang memerintahkan "Jangan membunuh", dan dalam pandangan seluruh sejarah manusia, setiap orang selalu memiliki martabat yang tak tergoyahkan, yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

 

Saya kembali menyerukan gencatan senjata, pembebasan sandera, dan solusi diplomatik yang dinegosiasikan, dengan sepenuhnya menghormati hukum humaniter internasional.

 

Saya mengajak kamu semua untuk turut berdoa sepenuh hati agar fajar perdamaian dan keadilan segera terbit.

 

[Sapaan]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi dalam Audiensi hari ini, khususnya rombongan dari Inggris, Skotlandia, Irlandia Utara, Belanda, Ghana, Kenya, Australia, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Dengan doa yang sungguh-sungguh agar Yubileum Pengharapan ini menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu, saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan Yesus bagi kamu semua.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Yesus Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita merenungkan misteri Sabtu Suci, hari penuh keheningan dan penantian penuh sukacita. Sebagaimana Allah beristirahat setelah menciptakan alam semesta, demikian pula Sang Putra beristirahat setelah menyelesaikan karya penebusan, setelah mengasihi kita sampai akhir. Kita juga diundang untuk menemukan saat-saat hening dan damai di tengah hiruk pikuk kegiatan sehari-hari. Peristirahatan kita di hadirat Allah dapat memperbarui jiwa kita dan membuka diri kita bagi rahmat-Nya, sementara keheningan meditatif dapat memampukan kita untuk mengungkapkan sabda Allah dengan lebih baik kepada sesama. Dalam hal ini, semoga kita belajar dari Santa Perawan Maria untuk merangkul keheningan dan kesunyian Sabtu Suci, percaya kepada Tuhan, tanpa pernah kehilangan pengharapan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 17 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 14 September 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Hari ini Gereja merayakan Pesta Pemuliaan Salib Suci, memperingati penemuan salib oleh Santa Helena di Yerusalem pada abad keempat, dan pengembalian relikui berharga tersebut ke Kota Suci oleh Kaisar Heraklius.

 

Tetapi apa arti Pesta Pemuliaan Salib Suci yang sedang dirayakan ini bagi kita hari ini? Bacaan Injil yang disajikan liturgi (bdk. Yoh 3:13-17) membantu kita memahaminya. Adegan itu berlangsung di malam hari: Nikodemus, salah seorang pemimpin orang Yahudi, seorang yang saleh dan berpikiran terbuka (bdk. Yoh 7:50-51), datang menemui Yesus. Ia membutuhkan terang dan bimbingan: ia mencari Allah dan memohon pertolongan kepada Sang Guru dari Nazaret karena ia mengenali-Nya sebagai seorang nabi, seorang yang melakukan tanda-tanda ajaib.

 

Tuhan menyambutnya, mendengarkannya, dan akhirnya menyatakan kepadanya bahwa Anak Manusia harus ditinggikan, “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:15), dan menambahkan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (ayat 16). Nikodemus, yang mungkin belum sepenuhnya memahami arti kata-kata ini saat itu, pasti akan memahaminya ketika ia membantu menguburkan jenazah Sang Juruselamat setelah penyaliban (bdk. Yoh. 19:39). Pada saat itulah ia akan mengerti bahwa Allah, untuk menebus umat manusia, menjadi manusia dan mati di kayu salib.

 

Yesus berbicara mengenai hal ini kepada Nikodemus, sambil mengingat sebuah kisah di Perjanjian Lama, ketika orang Israel dipagut ular berbisa di padang gurun dan disembuhkan dengan memandang ular tembaga yang dibuat Musa dan dipasang pada sebuah tiang sebagai tanda ketaatan kepada perintah Allah (lih. Bil 21:4-9).

 

Allah menyelamatkan kita dengan menyatakan diri-Nya kepada kita, menawarkan diri-Nya sebagai pendamping, guru, penyembuh, sahabat kita, hingga menjadi roti yang dipecah-pecahkan bagi kita dalam Ekaristi. Untuk melaksanakan tugas ini, Ia menggunakan salah satu sarana yang paling kejam yang pernah diciptakan manusia: salib.

 

Itulah sebabnya hari ini kita merayakan "pemuliaan": atas kasih yang tak terhingga yang dengannya Allah telah mengubah sarana kematian menjadi sarana kehidupan, merangkulnya demi keselamatan kita, mengajarkan kita bahwa tak ada yang dapat memisahkan kita dari-Nya (bdk. Rm 8:35-39) dan bahwa kasih-Nya lebih besar daripada dosa kita (bdk. Fransiskus, Katekese, 30 Maret 2016).

 

Maka marilah kita mohon, melalui perantaraan Maria, Bunda yang hadir di Kalvari dekat Putranya, agar kasih Putranya yang menyelamatkan dapat berakar dan bertumbuh dalam diri kita, dan agar kita juga dapat mengetahui bagaimana memberikan diri kita kepada satu sama lain, sebagaimana Ia telah memberikan diri-Nya sepenuhnya kepada semua orang.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Besok peringatan 60 tahun berdirinya Sinode Para Uskup, sebuah intuisi profetik yang dicita-citakan oleh Santo Paulus VI agar para uskup dapat meningkatkan dan menyempurnakan pelaksanaan persekutuan mereka dengan penerus Petrus. Saya berharap peringatan ini akan mengilhami komitmen baru terhadap kesatuan dan perutusan Gereja, sinodalitas.

 

Dengan kasih sayang saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan berbagai negara, terutama mereka yang berasal dari Villa Alemana dan Valparaíso di Chili, dari Keuskupan Agung Mwanza di Tanzania, dari Humpolec di Republik Ceska, bersama dengan umat Peru dari lembaga religius Jesús Nazareno Cautivo. Saya juga menyapa umat dari Chiaiamari, Anitrella, Uboldo, Faeto, Lesmo, Trani, Faenza, Pistoia, San Martino di Sergnano, Guardia di Acireale, San Martino delle Scale di Palermo, dan Alghero.

 

Saya juga menyapa band Borno dan band Sonico di Val Camonica, Koperasi "La Nuova Famiglia" Monza, Komite Regional Pro Loco Lazio, Persatuan Kerasulan Katolik, kaum muda Don Bosco Youth-Net dan komunitas Komuni dan Pembebasan Roma; serta Lembaga Arti e Mestieri Sant'Agata di Militello, para pesepeda motor dari Ravenna dan para pesepeda dari Rovigo.

 

Sahabat-sahabat terkasih, tampaknya kamu tahu bahwa hari ini saya berusia tujuh puluh tahun. Saya bersyukur kepada Tuhan dan kepada kedua orang tua saya; dan saya berterima kasih kepada semua orang yang telah mengingat saya dalam doa-doa mereka. Terima kasih banyak untuk semuanya! Terima kasih! Selamat hari Minggu!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 14 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 10 September 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 6. KEMATIAN. “YESUS BERSERU DENGAN SUARA NYARING DAN MENGEMBUSKAN NAPAS TERAKHIR” (MRK. 15:37)

Saudara-saudari terkasih,

 

Selamat pagi, dan terima kasih atas kehadiranmu: sebuah kesaksian yang indah!

 

Hari ini kita akan merenungkan puncak kehidupan Yesus di dunia ini: wafat-Nya di kayu salib. Keempat Injil memperlihatkan rincian yang sangat berharga, yang patut direnungkan dengan kecerdasan iman. Di kayu salib, Yesus tidak mati dalam keheningan. Ia tidak memudar perlahan-lahan, seperti pelita yang padam, melainkan Ia meninggalkan kehidupan dengan seruan: "Yesus berseru dengan suara nyaring dan mengembuskan napas terakhir" (Mrk. 15:37). Seruan itu mengandung segalanya: penderitaan, penyerahan diri, iman, persembahan. Seruan tersebut bukan hanya suara tubuh yang menyerah, tetapi tanda terakhir dari sebuah kehidupan yang diserahkan.

 

Seruan Yesus diawali dengan sebuah pertanyaan, salah satu yang paling menyayat hati yang dapat diutarakan: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?". Seruan tersebut adalah ayat pertama Mazmur 22, tetapi di bibir Yesus, pertanyaan itu terasa begitu berat. Sang Putra, yang selalu hidup dalam persekutuan yang intim dengan Bapa, kini mengalami keheningan, ketiadaan, jurang maut. Bukan krisis iman, melainkan tahap akhir dari kasih yang diserahkan sampai akhir. Seruan Yesus bukanlah keputusasaan, melainkan ketulusan, kebenaran yang dibawa hingga batasnya, kepercayaan yang bertahan bahkan ketika semuanya hening.

 

Pada saat itu, langit menjadi gelap dan tabir Bait Suci terkoyak (bdk. Mrk. 15:33,38). Seolah-olah ciptaan sendiri turut merasakan penderitaan itu, dan sekaligus menyingkapkan sesuatu yang baru. Allah tidak lagi bersemayam di balik tabir – wajah-Nya kini sepenuhnya terlihat dalam Yesus yang tersalib. Di sanalah, dalam diri manusia yang hancur itu, kasih yang terbesar dinyatakan. Di sanalah kita dapat mengenali Allah yang tidak tinggal jauh, melainkan yang menanggung penderitaan kita sampai akhir.

 

Kepala pasukan, seorang kafir, memahami hal ini. Bukan karena ia telah mendengarkan sebuah khotbah, melainkan karena ia melihat Yesus wafat dengan cara itu: "Sungguh, orang ini Anak Allah!" (Mrk. 15:39). Itulah pengakuan iman pertama setelah wafat Yesus. Itulah buah seruan yang tak lenyap tertiup angin, melainkan menyentuh hati. Terkadang, apa yang tidak mampu kita ungkapkan dengan kata-kata, kita ungkapkan dengan suara. Seruan merupakan luapan hati. Dan ini tidak selalu merupakan tanda kelemahan; ini bisa menjadi tindakan kemanusiaan yang mendalam.

 

Kita terbiasa menganggap seruan sebagai sesuatu yang tak teratur, yang harus dikekang. Injil menganugerahkan nilai yang luar biasa pada seruan kita, mengingatkan kita bahwa seruan bisa menjadi permohonan, protes, keinginan, penyerahan diri. Bahkan bisa menjadi bentuk doa yang ekstrem, ketika tak ada kata-kata yang tersisa. Dalam seruan itu, Yesus memberikan semua yang tersisa: seluruh kasih-Nya, seluruh harapan-Nya.

 

Ya, karena ada hal ini juga dalam berseru: sebuah harapan yang tak pernah pudar. Kita berseru ketika kita yakin bahwa seseorang masih dapat mendengar. Kita berseru bukan karena putus asa, melainkan karena kerinduan. Yesus tidak berseru melawan Bapa, melainkan kepada-Nya. Bahkan dalam keheningan, Ia yakin bahwa Bapa ada di sana. Dan, dengan cara ini, Ia menunjukkan kepada kita bahwa harapan kita dapat berseru, bahkan ketika segalanya tampak sia-sia.

 

Oleh karena itu, berseru menjadi sebuah gestur spiritual. Berseru bukan hanya tindakan pertama kelahiran kita, ketika kita datang ke dunia sambil menangis: berseru juga merupakan cara untuk tetap hidup. Kita berseru bukan hanya ketika kita menderita, tetapi juga ketika kita mengasihi, kita memanggil, kita memohon. Berseru berarti mengatakan siapa diri kita, bahwa kita tidak ingin sirna dalam keheningan, bahwa kita masih memiliki sesuatu untuk ditawarkan.

 

Dalam perjalanan hidup, ada saat-saat di mana menyimpan sesuatu di dalam hati dapat perlahan menguras tenaga kita. Yesus mengajarkan kita untuk tidak takut berseru, asalkan tulus, rendah hati, dan ditujukan kepada Bapa. Seruan tak pernah sia-sia, jika lahir dari kasih. Dan tak pernah diabaikan, jika disampaikan kepada Allah. Itulah cara untuk tidak menyerah pada sinisme, untuk terus percaya bahwa dunia lain itu mungkin.

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita belajar hal ini juga dari Tuhan Yesus: marilah kita belajar seruan harapan ketika masa pencobaan yang berat tiba. Bukan untuk menyakiti, melainkan untuk memercayakan diri kita. Bukan untuk membentak seseorang, melainkan untuk membuka hati kita. Jika dilakukan dengan tulus, seruan kita bisa menjadi ambang terang baru, kelahiran baru. Seperti Yesus: ketika segala sesuatu tampak berakhir, sesungguhnya keselamatan akan segera dimulai. Jika diwujudkan dengan kepercayaan dan kebebasan anak-anak Allah, suara penderitaan kemanusiaan kita, yang bersatu dengan suara Kristus, dapat menjadi sumber harapan bagi kita dan orang-orang di sekitar kita.

 

[Sapaan]

 

Dengan senang hati pagi ini saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris, terutama dari Inggris, Irlandia, Skotlandia, Denmark, Malta, Norwegia, Uganda, India, Indonesia, Israel, Malaysia, Singapura, Kanada, Dominika, dan Amerika Serikat. Dengan penuh doa dan harapan yang baik, semoga Yubileum Pengharapan ini menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu. Saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan kita Yesus Kristus bagi kamu semua.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita merenungkan wafat Yesus di kayu salib. Yang dapat mengejutkan kita, Tuhan kita tidak wafat dalam keheningan, melainkan berseru dengan suara nyaring. Seruan Kristus yang tersalib bukan kelemahan, juga bukan krisis iman, melainkan sebuah tindakan kepercayaan yang teguh. Dengan cara ini, Yesus menyingkapkan hidup yang berserah sepenuhnya kepada Bapa. Tindakan pengharapan di tengah pencobaan yang berat ini menyentuh hati. Renungkanlah kepala pasukan yang, tergerak oleh seruan Yesus, membuat pengakuan iman pertama setelah wafat Yesus, "Sungguh, orang ini Anak Allah!" Belajar dari sang kepala pasukan, semoga seruan iman kita, yang bersatu dengan suara Kristus, menjadi tanda pengharapan dan kepercayaan kepada Bapa surgawi yang mendengarkan seruan anak-anak-Nya.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 7 September 2025

Saudara-saudari terkasih,

 

Sebelum mengakhiri perayaan yang telah lama dinantikan ini, saya ingin menyapa dan berterima kasih kepada kamu semua yang telah datang berbondong-bondong untuk merayakan kedua santo baru ini! Dengan hormat saya menyapa para uskup dan para imam. Dengan hormat saya menyapa delegasi resmi dan otoritas sipil.

 

Dalam suasana ini, sungguh luar biasa mengingat bahwa kemarin Gereja juga diperkaya oleh dua beato baru. Di Tallinn, ibu kota Estonia, Uskup Agung Edoardo Profittlich SJ dibeatifikasi. Beliau dibunuh pada tahun 1942 selama penganiayaan Gereja oleh rezim Soviet. Di Verszprém, Hungaria, seorang awam muda bernama Maria Maddalena Bódi dibeatifikasi. Beliau dibunuh pada tahun 1945 karena melawan tentara yang berniat menyerangnya. Marilah kita memuji Tuhan atas kedua martir ini, saksi-saksi yang berani akan keindahan Injil!

 

Dengan perantaraan para kudus dan Perawan Maria, kita memercayakan doa kita yang tiada henti untuk perdamaian, terutama di Tanah Suci dan Ukraina, serta di setiap negeri lain yang berlumuran darah perang. Kepada mereka yang berkuasa, saya ulangi: dengarkan suara hati nurani! Kemenangan yang tampak diraih dengan senjata, yang menabur kematian dan kehancuran, pada kenyataannya adalah kekalahan dan tidak pernah membawa perdamaian atau keamanan! Allah tidak menghendaki peperangan, Ia menghendaki perdamaian, dan Ia menguatkan mereka yang berkomitmen meninggalkan lingkaran kebencian dan menempuh jalan dialog.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 3 September 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 3. PASKAH YESUS. 5. PENYALIBAN. “AKU HAUS!” (YOH. 19:28)

Saudara-saudari terkasih,

 

Di pusat kisah sengsara, di momen paling bercahaya sekaligus paling gelap dalam hidup Yesus, Injil Yohanes memberi kita dua kata yang mengandung misteri yang sangat besar: "Aku haus" (19:28), dan segera sesudahnya: "Sudah selesai" (19:30). Ini adalah kata-kata terakhir-Nya, tetapi kata-kata ini dipenuhi dengan segenap kehidupan-Nya, yang menyingkapkan makna segenap keberadaan Putra Allah. Di kayu salib, Yesus tidak tampil sebagai pahlawan yang menang, melainkan sebagai pemohon kasih. Ia tidak mewartakan, mengutuk, atau membela diri-Nya. Dengan rendah hati Ia meminta apa yang, sendirian, tidak dapat Ia berikan kepada diri-Nya dengan cara apa pun.

 

Rasa haus Tuhan yang tersalib bukan hanya kebutuhan fisiologis tubuh yang tersiksa. Rasa haus itu juga, dan terutama, merupakan ungkapan kerinduan yang mendalam: kerinduan akan kasih, relasi, persekutuan. Rasa haus itu adalah seruan hening Allah yang, setelah berkehendak ambil bagian dalam segala hal dalam kondisi manusiawi kita, juga membiarkan diri-Nya dikuasai oleh rasa haus ini. Allah yang tidak malu mengemis seteguk, karena dalam sikap itu Ia memberitahu kita bahwa kasih, agar sungguh sejati, juga harus belajar memohon dan bukan hanya memberi.

 

Aku haus, kata Yesus, dan dengan cara ini Ia menyatakan kemanusiaan-Nya dan juga kemanusiaan kita. Tak seorang pun dari kita dapat berkecukupan diri. Tak seorang pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Hidup "terpenuhi" bukan ketika kita kuat, tetapi ketika kita belajar bagaimana menerima. Tepat pada saat itulah, setelah menerima sebatang hisop yang telah dicelupkan dalam anggur asam dari tangan yang tak dikenal, Yesus menyatakan: Sudah selesai. Kasih telah menjadikan dirinya membutuhkan, dan justru karena alasan inilah ia telah menyelesaikan tugasnya.

 

Inilah paradoks kristiani: Allah menyelamatkan bukan dengan bertindak, melainkan dengan membiarkan diri-Nya bertindak. Bukan dengan mengalahkan kejahatan dengan paksa, melainkan dengan menerima kelemahan kasih sampai akhir. Di kayu salib, Yesus mengajarkan kita bahwa manusia tidak menyadari dirinya dalam kekuasaan, melainkan dalam keterbukaan yang penuh kepercayaan kepada orang lain, bahkan ketika mereka bersikap bermusuhan dan memusuhi. Keselamatan tidak ditemukan dalam otonomi, melainkan dalam kerendahan hati mengakui kebutuhan diri kita dan mampu mengungkapkannya secara bebas.

 

Pemenuhan kemanusiaan kita dalam rencana Allah bukanlah tindakan kekuatan, melainkan sebuah gestur kepercayaan. Yesus menyelamatkan bukan dengan lika-liku dramatis, melainkan dengan memohon sesuatu yang tak dapat Ia berikan sendiri. Dan di sinilah pintu menuju pengharapan sejati terbuka: jika bahkan Putra Allah memilih untuk tidak berkecukupan diri, maka rasa haus kita – akan kasih, makna, keadilan – juga bukanlah tanda kegagalan, melainkan tanda kebenaran.

 

Kebenaran ini, yang tampaknya begitu sederhana, sulit diterima. Kita hidup di zaman yang menghargai kecukupan diri, efisiensi, dan kinerja. Namun Injil menunjukkan kepada kita bahwa ukuran kemanusiaan kita tidak ditentukan oleh apa yang dapat kita capai, melainkan oleh kemampuan kita untuk membiarkan diri kita dikasihi dan, bila perlu, bahkan ditolong.

 

Yesus menyelamatkan kita dengan menunjukkan bahwa memohon bukanlah hal yang tidak layak, melainkan memerdekakan. Memohon adalah jalan keluar dari ketersembunyian dosa, agar dapat kembali memasuki ruang persekutuan. Sejak awal, dosa telah melahirkan rasa malu. Namun pengampunan – pengampunan sejati – lahir ketika kita mampu menghadapi kebutuhan kita dan tidak lagi takut akan penolakan.

 

Karena itu, rasa haus Yesus di kayu salib juga merupakan rasa haus kita. Rasa haus Yesus di kayu salib adalah jeritan umat manusia yang terluka yang mencari air hidup. Dan rasa haus ini tidak menjauhkan kita dari Allah, melainkan mempersatukan kita dengan-Nya. Jika kita berani mengakuinya, kita dapat menemukan bahwa kerapuhan kita pun merupakan jembatan menuju surga. Justru dalam memohon – bukan dalam memiliki – jalan kebebasan terbuka, karena kita berhenti berpura-pura berkecukupan diri.

 

Dalam persaudaraan, dalam hidup sederhana, dalam seni memohon tanpa rasa malu dan memberi tanpa motif tersembunyi, lahirlah sukacita yang tak dikenal dunia. Sukacita yang memulihkan kita pada kebenaran hakiki keberadaan kita: kita adalah makhluk yang diciptakan untuk memberi dan menerima kasih.

 

Saudara-saudari terkasih, dalam rasa haus Kristus, kita dapat mengenali semua rasa haus kita. Dan untuk belajar bahwa tak ada yang lebih manusiawi, tak ada yang lebih ilahi, tidak ada hal selain mampu berkata: Aku butuh. Janganlah kita takut untuk memohon, terutama ketika kita merasa tidak layak. Janganlah kita malu untuk mengulurkan tangan. Di sanalah, dalam sikap rendah hati itulah, keselamatan tersembunyi.

 

[Imbauan]

 

Berita dramatis datang dari Sudan, khususnya dari Darfur. Di El Fasher, banyak warga sipil terjebak di kota itu, menjadi korban kelaparan dan kekerasan. Di Tarasin, tanah longsor yang dahsyat telah merenggut banyak nyawa, meninggalkan penderitaan dan keputusasaan. Dan, seolah itu belum cukup, penyebaran kolera mengancam ratusan ribu orang yang telah terdampak. Saya merasa lebih dekat dari sebelumnya dengan penduduk Sudan, khususnya keluarga, anak-anak, dan para pengungsi. Saya mendoakan semua korban. Saya menyampaikan permohonan tulus kepada para pemimpin dan komunitas internasional untuk menjamin koridor kemanusiaan dan menerapkan tanggapan terkoordinasi untuk menghentikan bencana kemanusiaan ini. Sudah saatnya untuk memulai dialog yang serius, tulus, dan menyertakan antara berbagai pihak untuk mengakhiri konflik dan memulihkan pengharapan, martabat, dan perdamaian bagi rakyat Sudan.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa semua peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang ikut serta dalam Audiensi hari ini, khususnya rombongan dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Irlandia Utara, Austria, Denmark, Malta, Belanda, Swiss, Kamerun, Australia, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Filipina, Vietnam, dan Amerika Serikat.

 

Saya mengajak kamu semua untuk bergabung dengan saya dalam mendoakan mereka yang terdampak tanah longsor baru-baru ini di Pegunungan Marra, Sudan. Marilah kita memohon kepada Allah yang Maha Kuasa agar memberikan kedamaian abadi bagi semua yang telah meninggal, serta penghiburan dan kekuatan bagi orang-orang yang mereka cintai. Bahkan di tengah tragedi semacam ini, semoga kita tidak pernah kehilangan pengharapan akan kasih Allah bagi kita.

 

Atas kamu semua dan keluargamu, saya memohonkan berkat Allah yang Maha Kuasa.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese kita tentang tema Yubileum "Kristus Pengharapan Kita", kita terus merenungkan sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus dengan membahas kesediaan-Nya untuk bergantung pada sesama. Inti dari sengsara Yesus adalah dua ungkapan yang merangkum misteri agung: "Aku haus" dan "Sudah selesai." Yesus tidak kekurangan apa pun dalam keilahian-Nya, namun Ia merendahkan diri-Nya dan menjadi seperti kita, sepenuhnya manusia hingga mampu bergantung pada sesama. Melalui teladan Yesus, kita melihat bahwa sebagai manusia, kita tidak mampu mencapai kepuasan sejati atau keselamatan dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak dapat "menyelesaikan" perutusan hidup kita hanya dengan mengumpulkan kekuasaan atau uang. Kita membutuhkan bantuan dari orang-orang yang mengasihi dan peduli kepada kita, terutama Tuhan Yesus. Oleh karena itu, tidak ada rasa malu untuk meminta pertolongan dan membuka diri kepada sesama karena kita diciptakan oleh Allah untuk memberi dan menerima kasih. Maka, marilah kita sadari, saudara-saudari, bahwa tidak ada yang lebih manusiawi, tidak ada yang lebih ilahi, daripada meminta pertolongan.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 3 September 2025)