Saudara-saudari
terkasih, selamat pagi!
Hari
ini saya ingin mengajakmu untuk merenungkan aspek yang mengejutkan dari
kebangkitan Kristus: kerendahan hati-Nya. Jika kita merenungkan kembali
kisah-kisah Injil, kita menyadari bahwa Tuhan yang bangkit tidak melakukan
sesuatu yang spektakuler untuk memaksakan para murid beriman kepada-Nya. Ia
tidak muncul dikelilingi oleh bala tentara malaikat, Ia tidak melakukan
perbuatan-perbuatan spektakuler, Ia tidak menyampaikan pidato resmi untuk
mengungkapkan rahasia alam semesta. Sebaliknya, Ia datang dengan hati-hati,
seperti seorang musafir lainnya, seperti orang lapar yang meminta roti (bdk.
Luk 24:15, 41).
Maria
Magdalena salah mengira Dia sebagai penjaga taman (bdk. Yoh 20:15). Murid-murid
Emaus mengira Dia orang asing (bdk. Luk 24:18). Petrus dan para nelayan lainnya
mengira Dia hanya orang yang lewat (bdk. Yoh 21:4). Kita tentu mengharapkan
efek khusus, tanda-tanda kuasa, bukti yang luar biasa. Namun Tuhan tidak
menginginkan hal ini: Ia lebih menyukai bahasa kedekatan, bahasa kenormalan,
dan bahasa berbagi makanan.
Saudara-saudari,
ada pesan berharga dalam hal ini: kebangkitan bukan sebuah mahakarya; melainkan
sebuah perubahan rupa yang hening yang memenuhi setiap gestur manusiawi dengan
makna. Yesus yang bangkit memakan sepotong ikan di hadapan murid-murid-Nya: ini
bukan rincian yang sepele, melainkan penegasan bahwa tubuh kita, sejarah kita,
hubungan kita bukan cangkang yang bisa dibuang begitu saja. Semuanya
ditakdirkan untuk kepenuhan hidup. Kebangkitan tidak berarti menjadi roh yang
fana, tetapi memasuki persekutuan yang semakin dalam dengan Allah dan
saudara-saudari kita, dalam kemanusiaan yang diubah rupa oleh kasih.
Dalam
Paskah Kristus, segala sesuatu dapat menjadi rahmat. Bahkan hal-hal yang paling
biasa sekalipun: makan, bekerja, menunggu, mengurus rumah, mendukung seorang
sahabat. Kebangkitan tidak menghilangkan kehidupan dari waktu dan usaha, tetapi
mengubah makna dan "rasanya". Setiap tindakan yang dilakukan dalam
rasa syukur dan persekutuan mengantisipasi Kerajaan Allah.
Namun,
ada hambatan yang seringkali menghalangi kita untuk mengenali kehadiran Kristus
dalam kehidupan kita sehari-hari: anggapan bahwa sukacita harus bebas dari
penderitaan. Murid-murid Emaus berjalan dengan sedih karena mereka mengharapkan
akhir yang berbeda, akan seorang Mesias yang tidak mengenal salib. Meskipun
mereka telah mendengar bahwa kubur itu kosong, mereka tidak dapat tersenyum.
Namun Yesus berjalan di samping mereka dan dengan sabar membantu mereka
memahami bahwa penderitaan bukan penolakan terhadap janji, melainkan cara Allah
menyatakan takaran kasih-Nya (bdk. Luk 24:13-27).
Ketika
mereka akhirnya duduk bersama-Nya di meja dan Ia memecah-mecah roti, mata
mereka terbuka. Mereka menyadari bahwa hati mereka sudah berkobar-kobar,
meskipun mereka tidak menyadarinya (bdk. Luk. 24:28-32). Inilah kejutan
terbesar: menemukan bahwa di balik abu kekecewaan dan keletihan selalu ada bara
api yang menyala, yang hanya menunggu untuk dinyalakan kembali.
Saudara-saudari,
kebangkitan Kristus mengajarkan kita bahwa tidak ada sejarah yang sangat
diwarnai oleh kekecewaan atau dosa sehingga tidak dapat dikunjungi oleh
pengharapan. Tidak ada kejatuhan yang definitif, tidak ada malam yang abadi,
tidak ada luka yang ditakdirkan untuk tetap terbuka selamanya. Betapapun jauh,
tersesat, atau tidak layaknya kita, tidak ada jarak yang dapat memadamkan kuasa
kasih Allah yang tak pernah padam.
Terkadang
kita berpikir bahwa Tuhan hanya datang mengunjungi kita di saat-saat
permenungan atau semangat rohani, ketika kita merasa berharga, ketika hidup
kita tampak teratur dan cerah. Sebaliknya, Yesus yang bangkit dekat dengan kita
justru di tempat-tempat tergelap: dalam kegagalan kita, dalam hubungan kita
yang renggang, dalam pergumulan sehari-hari yang membebani kita, dalam keraguan
yang mengecilkan hati kita. Tak satu pun diri kita, tak satu pun bagian dari
keberadaan kita, yang asing bagi-Nya.
Hari
ini, Tuhan yang bangkit berjalan bersama kita masing-masing, saat kita
menjalani jalan kita – jalan kerja dan komitmen, tetapi juga jalan penderitaan
dan kesepian – dan dengan kelembutan tak terhingga meminta kita untuk
membiarkan-Nya menghangatkan hati kita. Ia tidak bersikeras memaksakan diri; Ia
tidak menuntut untuk segera dikenali. Ia menunggu dengan sabar saat mata kita
akan terbuka untuk melihat wajah-Nya yang ramah, yang mampu mengubah kekecewaan
menjadi penantian penuh harapan, kesedihan menjadi rasa syukur, kepasrahan
menjadi pengharapan.
Yesus
yang bangkit hanya ingin menyatakan kehadiran-Nya, menjadi sahabat perjalanan
kita, dan menyalakan dalam diri kita keyakinan bahwa hidup-Nya lebih kuat
daripada kematian. Maka marilah kita memohon rahmat untuk mengenali
kehadiran-Nya yang rendah hati dan bijaksana, bukan mengharapkan hidup tanpa
pencobaan, menemukan bahwa setiap penderitaan, jika dijiwai oleh kasih, dapat
menjadi tempat persekutuan.
Maka,
seperti murid-murid Emaus, kita pun pulang ke rumah dengan hati yang
berkobar-kobar penuh sukacita. Sukacita sederhana yang tidak menghapus luka,
melainkan meneranginya. Sukacita yang datang dari keyakinan bahwa Tuhan hidup,
berjalan bersama kita, dan memberi kita kesempatan untuk memulai kembali setiap
saat.
[Sapaan Khusus]
Saya
menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang
berpartisipasi dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari
Australia, Denmark, Inggris, India, Indonesia, Irlandia, Jepang, Malaysia,
Nigeria, Irlandia Utara, Norwegia, Filipina, Arab Saudi, Skotlandia, Afrika
Selatan, Korea Selatan, Swedia, Vietnam, Wales, dan Amerika Serikat. Dalam
menyapa dengan penuh kasih sayang kaum religius dan pelaku hidup bakti yang
berpartisipasi dalam Yubileum Hidup Bakti, saya mengajakmu untuk meneladani
Santa Perawan Maria yang merupakan "teladan luhur bakti kepada Bapa,
persatuan dengan Putra, dan keterbukaan kepada Roh" (Vita consecrata, 28).
Allah memberkati kamu semua.
[Ringkasan
dalam bahasa Inggris]
Saudara-saudari
terkasih,
Dalam
katekese kita tentang tema Yubileum "Yesus Kristus Pengharapan Kita",
hari ini kita melanjutkan refleksi kita tentang kebangkitan. Sebagaimana kita
dengar dalam bacaan Injil, kekecewaan para murid setelah sengsara Tuhan telah
membutakan mereka terhadap sukacita kebangkitan. Yesus, alih-alih memukau
mereka dengan kemegahan-Nya yang mulia, memilih untuk menampakkan diri kepada
mereka dengan penuh kerendahan hati, dengan sabar mengajarkan mereka bahwa
kematian-Nya adalah jalan misterius yang melaluinya Ia menebus kita dan
menyatakan kasih-Nya kepada kita. Betapa pun kecewa, tidak layak, atau
tersesatnya kita, betapa pun dalamnya penderitaan kita, Tuhan ingin mendampingi
kita di jalan kita dan mengajar kita untuk menemukan makna keselamatan
penderitaan kita. Marilah kita memohonkan kepada Tuhan rahmat untuk mengenali
kehadiran-Nya yang sederhana dan menerima pencobaan hidup dengan sukacita
seraya kita menantikan kedatangan-Nya dalam kemuliaan.
____
(Peter Suriadi - Bogor, 8 Oktober 2025)