IN UNITATE FIDEI,
SURAT APOSTOLIK PAUS LEO XIV DALAM RANGKA 1.700 TAHUN KONSILI NICEA
1.
Dalam
kesatuan iman, yang diwartakan sejak Gereja perdana, umat Kristiani dipanggil
untuk hidup rukun, menjaga dan menyalurkan karunia yang telah mereka terima
dengan kasih dan sukacita. Hal ini diungkapkan dalam kata-kata Syahadat,
"Aku percaya akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal ....
Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita," yang
dirumuskan 1.700 tahun yang lalu oleh Konsili Nicea, pertemuan ekumenis pertama
dalam sejarah kekristenan.
Seraya saya mempersiapkan perjalanan
apostolik ke Turki, saya ingin surat ini mendorong seluruh Gereja untuk
memperbarui antusiasmenya dalam pengakuan iman. Selama berabad-abad, pengakuan
iman yang abadi ini telah menjadi warisan bersama umat Kristiani, serta patut
diakui dan dipahami dengan cara yang selalu baru dan relevan. Untuk tujuan ini,
sebuah dokumen penting telah disetujui oleh Komisi Teologi Internasional: Yesus
Kristus, Putra Allah, Sang Juruselamat, Peringatan 1.700 Tahun Konsili Ekumenis
Nicea. Saya menyebutkan dokumen ini karena memberikan wawasan berharga untuk
mempelajari pentingnya dan relevansi Konsili Nicea, tidak hanya dalam dimensi
teologis dan gerejawinya, tetapi juga dalam aspek budaya dan sosialnya.
2. “Inilah permulaan
Injil tentang Yesus Kristus, Putra Allah”: dengan kata-kata ini Santo Markus
mengawali Injilnya, merangkum seluruh pesannya dalam penegasan keilahian Yesus
Kristus sebagai Putra. Demikian pula, Rasul Paulus tahu bahwa ia dipanggil
untuk mewartakan kabar baik Allah tentang Putra-Nya yang wafat dan bangkit bagi
kita (bdk. Rm. 1:9). Sungguh, Yesus adalah jawaban "ya" Allah yang
definitif atas semua janji Allah yang diwartakan para nabi (bdk. 2Kor.
1:19-20). Dalam Yesus Kristus, Sang Sabda, Allah yang ada sebelum waktu, yang
melalui-Nya segala sesuatu diciptakan — sebagaimana dikatakan dalam prolog
Injil Santo Yohanes — “menjadi manusia, dan tinggal di antara kita” (Yoh. 1:14).
Di dalam Dia, Allah menjadi sesama kita, sejauh apa pun yang kita lakukan untuk
saudara-saudari kita, kita melakukannya untuk Dia (bdk. Mat. 25:40).
Dalam Tahun Suci ini, yang bertema Kristus,
Pengharapan kita, merupakan suatu kebetulan yang tak terduga bahwa kita juga
merayakan peringatan 1.700 tahun Konsili Ekumenis Nicea I, yang pada tahun 325
memaklumkan pengakuan iman kepada Yesus Kristus, Putra Allah. Inilah inti iman
kristiani. Bahkan hingga hari ini, dalam setiap perayaan Ekaristi hari Minggu,
kita mendaraskan Syahadat Nicea-Konstantinopel, pengakuan iman yang
mempersatukan segenap umat kristiani. Di masa-masa sulit yang kita jalani ini,
di tengah begitu banyak kekhawatiran dan ketakutan, ancaman peperangan dan
kekerasan, bencana alam, ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang parah, serta
kelaparan dan penderitaan yang dialami jutaan saudara-saudari kita, Syahadat
ini memberi kita pengharapan.
3. Masa Konsili Nicea
pun tak kalah bergejolak. Ketika dimulai pada tahun 325, luka-luka akibat
penganiayaan terhadap umat Kristiani masih terasa. Dekret Milan (313), yang
dikeluarkan oleh Kaisar Konstantinus dan Lisinius, tampaknya memberitakan fajar
era perdamaian baru. Namun, di tengah ancaman dari luar, perselisihan dan
konflik segera muncul di dalam Gereja.
Arius, seorang imam asal Aleksandria di
Mesir, mengajarkan bahwa Yesus bukan sungguh Putra Allah. Meskipun lebih dari
sekadar ciptaan, Ia diyakini sebagai perantara antara Allah yang tak terjangkau
dan manusia. Lebih lanjut, pasti ada masa ketika Putra "tidak ada".
Pandangan ini sejalan dengan pola pikir yang berlaku pada masa itu dan oleh
karena itu tampak masuk akal.
Namun, Allah tidak meninggalkan Gereja-Nya.
Ia senantiasa membangkitkan orang-orang pemberani yang menjadi saksi iman,
serta para gembala yang membimbing umat-Nya dan menunjukkan jalan Injil kepada
mereka. Uskup Aleksander dari Aleksandria menyadari bahwa ajaran Arius sama
sekali tidak sejalan dengan Kitab Suci. Karena Arius tidak mendamaikan,
Aleksander memanggil para uskup Mesir dan Libya ke sebuah sinode, yang mengutuk
ajaran Arius. Ia kemudian mengirimkan surat kepada para uskup lain di Timur
untuk memberikan laporan terperinci. Di Barat, Uskup Hosius dari Kordoba,
Spanyol, yang mengambil tindakan. Ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang
pengaku iman yang bersemangat selama penganiayaan Kaisar Maximianus dan
mendapat kepercayaan dari Uskup Roma, Paus Silvester.
Namun, para pengikut Arius juga bersatu. Hal
ini menyebabkan salah satu krisis terbesar dalam milenium pertama Gereja.
Alasan perselisihan bukan rincian kecil. Alasan perselisihan menyangkut hakikat
iman kristiani, yaitu jawaban atas pertanyaan penting yang diajukan Yesus
kepada murid-murid-Nya di Kaisarea Filipi: “Menurut kamu, siapakah Aku ini?”
(Mat 16:15).
4. Ketika kontroversi
berkobar, Kaisar Konstantinus menyadari bahwa kesatuan Gereja, dan bahkan
kekaisaran itu sendiri, berada dalam bahaya. Oleh karena itu, ia memanggil
semua uskup ke sebuah konsili ekumenis, atau konsili universal, di Nicea untuk
memulihkan kesatuan. Sinode tersebut, yang dikenal sebagai "Sinode 318
Bapa Gereja", dipimpin oleh kaisar, dan sejumlah uskup yang berkumpul
belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa dari mereka masih menanggung
bekas-bekas siksaan yang mereka derita selama penganiayaan. Sebagian besar dari
mereka berasal dari Timur, sementara tampaknya hanya lima orang yang berasal
dari Barat. Paus Silvester mempercayakan tugas tersebut kepada Uskup Hosius
dari Kordoba, sosok yang berwibawa secara teologis, dan mengutus dua imam
Gereja Roma.
5. Para Bapa Konsili
memberikan kesaksian akan kesetiaan mereka kepada Kitab Suci dan Tradisi
Apostolik, sebagaimana mereka akui saat pembaptisan sesuai dengan perintah
Yesus: "Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan
baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus" (Mat 28:19). Di
Barat, berbagai rumusan sudah ada, termasuk yang dikenal sebagai Syahadat Para
Rasul.[1]
Di Timur pun, terdapat banyak pengakuan baptisan yang serupa strukturnya.
Bahasa yang digunakan tidak rumit atau bertele-tele, justru — sebagaimana
kemudian ditegaskan — sederhana dan mudah dipahami oleh para nelayan di Danau
Galilea.
Berkaitan dengan hal ini, Syahadat Nicea
diawali dengan pengakuan iman berikut: "Aku percaya akan satu Allah, Bapa
yang Maha Kuasa, pencipta ... segala sesuatu yang kelihatan dan tak
kelihatan."[2]
Dengan cara ini, para Bapa Konsili mengungkapkan iman mereka kepada satu Allah.
Hal ini tidak dibantah selama Konsili. Namun, bab dua menjadi pokok perdebatan.
Konsili ini juga didasarkan pada bahasa biblis dan pengakuan iman kepada satu
Tuhan, Yesus Kristus, Putra Allah. Perdebatan ini muncul dari kebutuhan untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Arius tentang bagaimana "Putra
Allah" hendaknya dipahami dan bagaimana hal itu dapat diselaraskan dengan
monoteisme biblis. Oleh karena itu, Konsili bertujuan untuk mendefinisikan
makna beriman kepada Yesus sebagai "Putra Allah" secara benar.
Para Bapa Gereja mengakui bahwa Yesus adalah
Putra Allah karena Ia memiliki hakikat (ousia)
Bapa... “dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat (homooúsios) dengan Bapa.”
Definisi ini merupakan penolakan radikal terhadap tesis Arius.[3]
Untuk mengungkapkan kebenaran iman, Konsili mengadopsi dua kata — “hakikat” (ousia) dan “sehakikat” (homooúsios) — yang tidak ditemukan dalam
Kitab Suci. Dalam hal ini Konsili tidak bermaksud untuk menggantikan
pernyataan-pernyataan biblis dengan filsafat Yunani. Sebaliknya, Konsili
menggunakan istilah-istilah ini justru untuk meneguhkan iman biblis dengan
jelas dan membedakannya dari kesalahan Arius, yang sangat dipengaruhi oleh
Helenisme. Karena alasan ini, tuduhan Helenisasi seharusnya ditujukan kepada
ajaran palsu Arius dan para pengikutnya, bukan kepada para Bapa Gereja Nicea.
Dengan teguh para Bapa Gereja Nicea bertekad
untuk tetap setia pada monoteisme biblis dan keaslian inkarnasi. Mereka ingin
menegaskan kembali bahwa satu-satunya Allah yang benar tidak jauh dari kita,
justru telah mendekat dan datang menjumpai kita dalam Yesus Kristus.
6. Untuk menyampaikan
pesannya dalam bahasa biblis yang sederhana dan liturgi yang akrab bagi segenap
umat Allah, Konsili memasukkan beberapa ungkapan dari pengakuan baptis:
"Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar."
Dengan ini Konsili mengadopsi metafora biblis tentang terang: "Allah
adalah terang" (1Yoh 1:5; bdk. Yoh 1:4-5). Sebagaimana terang memancar dan
mengomunikasikan dirinya tanpa berkurang, demikian pula Putra adalah pantulan (apaugasma) kemuliaan Allah dan jejak
(karakter) keberadaan-Nya (hipostasis)
(bdk. Ibr 1:3; 2 Kor 4:4). Oleh karena itu, Yesus, Putra yang berinkarnasi,
adalah terang dunia, dan terang kehidupan (bdk. Yoh 8:12). Melalui baptisan,
mata hati kita diterangi (bdk. Ef 1:18), sehingga kita pun dapat menjadi terang
dunia (bdk. Mat 5:14).
Lebih lanjut, Syahadat menegaskan bahwa Putra
adalah "Allah benar dari Allah benar." Di banyak tempat, Kitab Suci
membedakan berhala-berhala dari Allah yang hidup dan benar. Allah yang benar
adalah Allah yang bersabda dan bertindak dalam sejarah keselamatan: Allah
Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub; Allah yang menampakkan diri-Nya kepada
Musa di semak duri yang tidak terbakar (bdk. Kel 3:14); Allah yang melihat
kesengsaraan umat-Nya, mendengar seruan mereka, dan menuntun serta menyertai
mereka melalui padang gurun dalam tiang api (bdk. Kel 13:21); Allah yang
berbicara kepada mereka dengan suara yang hidup (bdk. Ul 5:26) dan berbelas
kasihan kepada mereka (bdk. Hos 11:8-9). Oleh karena itu, umat kristiani
dipanggil untuk berbalik dari berhala-hala kepada Allah yang hidup dan benar
(bdk. Kis 12:25; 1Tes 1:9). Untuk tujuan ini, Simon Petrus menyatakan di
Kaisarea Filipi: “Engkau adalah Mesias, Putra Allah yang hidup” (Mat 16:16).
7. Syahadat Nicea tidak
merumuskan teori filsafat. Syahadat ini mengakui iman kepada Allah yang menebus
kita melalui Yesus Kristus. Syahadat ini tentang Allah yang hidup yang
menghendaki kita mempunyai hidup dan mempunyainya dengan berlimpah-limpah (bdk.
Yoh 10:10). Karena alasan ini, Syahadat kemudian dilanjutkan dengan kata-kata
pengakuan baptisan: Putra Allah yang “turun dari surga untuk kita manusia dan
untuk keselamatan kita, dan … menjadi manusia … menderita sampai wafat … pada
hari ketiga Ia bangkit … naik ke surga… dan akan kembali … mengadili orang yang
hidup dan yang mati.” Dengan demikian, jelas bahwa pernyataan Konsili mengenai
iman kepada Kristus berakar pada sejarah keselamatan antara Allah dan
ciptaan-Nya.
Santo Athanasius, yang pernah berpartisipasi
dalam Konsili sebagai diakon Uskup Aleksander dan kemudian menggantikannya
sebagai Uskup Aleksandria di Mesir, berulang kali dan secara efektif menekankan
dimensi soteriologis Syahadat Nicea. Ia menulis bahwa Putra, yang turun dari
surga, “menjadikan kita anak-anak Bapa dan mengilahikan umat manusia dengan
menjadi manusia. Karena itu, Ia bukan manusia yang lalu menjadi Allah;
melainkan Ia adalah Allah yang lalu menjadi manusia, dan hal itu untuk
mengilahikan kita.”[4]
Hal ini hanya mungkin jika Putra sungguh Allah: sesungguhnya, tidak ada ciptaan
fana yang dapat mengalahkan maut dan menyelamatkan kita; hanya Allah yang dapat
melakukannya. Ia telah memerdekakan kita melalui Putra-Nya yang menjadi
manusia, agar kita pun merdeka (bdk. Gal 5:1).
Patut ditekankan kata kerja descendit, dalam
Syahadat Nicea: “Ia turun.” Santo Paulus menggambarkan gerakan ini dengan
tegas: “[Kristus] telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa
seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:7). Prolog Injil Santo
Yohanes juga menyatakan bahwa “Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di
antara kita” (Yoh. 1:14). Surat kepada jemaat Ibrani juga mengajarkan bahwa
“Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut
merasakan kelemahan-kelemahan kita. Sebaliknya sama seperti kita, Ia telah
dicobai dalam segala hal, hanya saja Ia tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15).
Menjelang wafatnya, Ia merendahkan diri-Nya seperti seorang hamba untuk
membasuh kaki murid-murid-Nya (bdk. Yoh. 13:1-17). Baru setelah dapat menaruh
jarinya ke dalam bekas paku dan menaruh tangannya ke lambung Tuhan yang telah
bangkit, Rasul Tomas mengaku, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh. 20:28).
Justru karena inkarnasi-Nya, kita kini
berjumpa Tuhan dalam diri saudara-saudari kita yang membutuhkan: "Segala
sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling
hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat. 25:40). Syahadat Nicea
tidak menggambarkan Allah yang jauh, tak terjangkau, dan tak tergoyahkan yang
bersemayam dalam diri-Nya, melainkan Allah yang dekat dengan kita dan menyertai
kita dalam perjalanan kita di dunia, bahkan di tempat-tempat tergelap di bumi.
Keagungan-Nya dinyatakan ketika Ia merendahkan diri-Nya, menanggalkan
keagungan-Nya yang tak terbatas untuk menjadi sesama kita dalam diri
orang-orang kecil dan miskin. Hal ini merevolusi konsepsi pagan dan filosofis
tentang Allah.
Frasa lain dari Syahadat Nicea juga secara
khusus menyingkapkan bagi kita hari ini. Pernyataan biblis "menjadi
manusia" diperjelas dengan menambahkan kata "manusia" setelah
"menjadi". Dengan demikian, Nicea menjauhkan diri dari ajaran palsu
bahwa Logos hanya mengenakan tubuh sebagai penutup luar dan bukan jiwa manusia,
yang dikaruniai akal budi dan kehendak bebas. Sebaliknya, Nicea berusaha
menegaskan apa yang kemudian dinyatakan secara eksplisit oleh Konsili Kalsedon
(451): di dalam Kristus, Allah mengambil dan menebus seluruh manusia, tubuh dan
jiwa. Santo Athanasius menjelaskan bahwa Putra Allah menjadi manusia agar
manusia dapat diilahikan.[5]
Pemahaman yang mencerahkan tentang wahyu ilahi ini dipersiapkan oleh Santo
Ireneus dari Lyon dan Origenes, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan
kekayaan spiritualitas Timur.
Pengilahian sama sekali tidak menyiratkan
pengilahian diri manusia. Sebaliknya, pengilahian melindungi kita dari godaan
primordial keinginan menjadi seperti Allah (bdk. Kej 3:5). Kita memiliki kodrat
seperti Kristus karena rahmat. Melalui karya penebusan, Allah tidak hanya
memulihkan martabat manusiawi kita sebagai gambar-Nya, tetapi Ia yang
menciptakan kita dengan cara yang ajaib, kini telah menjadikan kita bagian
dalam kodrat ilahi-Nya dengan cara yang bahkan lebih ajaib (bdk. 2Ptr. 1:4).
Maka, pengilahian adalah humanisasi sejati
(menjadi manusia seutuhnya). Karena itulah keberadaan manusia melampaui dirinya
sendiri, mencari melampaui dirinya sendiri, menginginkan melampaui dirinya, dan
gelisah hingga ia beristirahat di dalam Allah.[6]
“Deus enim solus satiat, hanya Allah yang memuaskan manusia!”[7]
Hanya Allah, dalam ketidakterbatasan-Nya, yang dapat memuaskan hasrat tak
terbatas hati manusia, dan karena alasan inilah Putra Allah memilih untuk
menjadi saudara dan penebus kita.
8. Sebagaimana telah
kami sampaikan, dengan jelas Nicea menolak ajaran Arius. Namun, Arius dan para
pengikutnya tidak menyerah. Kaisar Konstantinus sendiri dan para penerusnya
semakin berpihak pada kaum Arian. Istilah homooúsios menjadi sumber pertikaian
antara kubu Nicea dan anti-Nicea, sehingga memicu berbagai konflik serius
lainnya. Santo Basilius dari Kaisarea dengan mengesankan menggambarkan kebingungan
yang terjadi dengan menyamakannya dengan pertempuran laut di malam hari di
tengah badai yang dahsyat.[8]
Di sisi lain, Santo Hilarius bersaksi tentang ortodoksi kaum awam, yang
bertolak belakang dengan Arianisme banyak uskup, dengan mengakui bahwa
"telinga umat lebih suci daripada hati para imam.”[9]
Santo Athanasius menjadi landasan yang kokoh
bagi Syahadat Nicea melalui imannya yang teguh dan tak tergoyahkan. Meskipun ia
digulingkan dan diusir dari Takhta Episkopal Aleksandria sebanyak lima kali,
setiap kali ia kembali sebagai uskup. Bahkan di pengasingan, ia terus
membimbing umat Allah melalui tulisan-tulisan dan surat-suratnya. Seperti Musa,
Athanasius tidak dapat memasuki tanah terjanji gerejawi yang damai. Rahmat ini
diperuntukkan bagi generasi baru, yang di beberapa tempat dikenal sebagai
"orang muda Nicea". Di Timur, generasi ini mencakup tiga Bapa
Kapadokia: Santo Basilius dari Kaisarea (sekitar 330-379), yang diberi gelar
"Agung"; saudaranya, Santo Gregorius dari Nyssa (335-394); dan sahabat
karib Basilius, Santo Gregorius dari Nazianze (329/30-390). Di Barat,
tokoh-tokoh penting antara lain Santo Hilarius dari Poitiers (sekitar 315-367),
muridnya, Santo Martinus dari Tours (sekitar 316-397), dan, terutama, Santo
Ambrosius dari Milan (333-397) serta Santo Agustinus dari Hippo (354-430).
Ketiga orang Kapadokia ini terutama berjasa menyempurnakan
perumusan Syahadat Nicea dengan menunjukkan bahwa, dalam Allah, kesatuan dan
Tritunggal sama sekali tidak bertentangan. Perkembangan ini menghasilkan
perumusan pasal iman mengenai Roh Kudus pada Konsili Konstantinopel I tahun
381. Oleh karena itu, Syahadat tersebut diberi nama "Syahadat
Nicea-Konstantinopel", dan kini menyatakan: "Aku percaya akan Roh
Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan. Ia berasal dari Bapa dan Putra, yang serta
Bapa dan Putra, disembah dan dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para
nabi."[10]
Pada Konsili Kalsedon tahun 451, Konsili
Konstantinopel diakui sebagai konsili ekumenis, dan Syahadat
Nicea-Konstantinopel dinyatakan mengikat secara universal.[11]
Oleh karena itu, Syahadat ini merupakan ikatan persatuan antara Timur dan
Barat. Pada abad ke-16, Syahadat ini juga ditegakkan oleh komunitas-komunitas
gerejawi yang muncul dari Reformasi. Dengan demikian, Syahadat Nicea-Konstantinopel
merupakan pengakuan umum seluruh tradisi kristiani.
9. Jalan yang dimulai
dengan Kitab Suci dan mengarah pada pengakuan iman di Nicea, yang kemudian
diterima di Konstantinopel dan Kalsedon, dan sekali lagi pada abad ke-16 dan
ke-21, telah menjadi perjalanan yang panjang dan konsisten. Kita semua, sebagai
murid Yesus Kristus, dibaptis "dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh
Kudus." Kita membuat tanda salib pada diri kita dan kita diberkati. Kita
menutup setiap doa mazmur dalam Liturgi Ibadat Harian dengan "Kemuliaan
kepada Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus." Dengan demikian, baik liturgi
maupun kehidupan Kristiani berlabuh kokoh pada Syahadat Nicea-Konstantinopel:
apa yang kita akui dengan mulut kita harus berasal dari hati agar kita dapat bersaksi
tentangnya dengan hidup kita. Karena itu, kita harus bertanya pada diri kita
sendiri: Hari ini bagaimana penerimaan batin kita terhadap Syahadat? Apakah
kita mengalami Syahadat juga memengaruhi situasi kita saat ini? Apakah kita
memahami dan mengamalkan apa yang kita ucapkan setiap hari Minggu? Apa arti
kata-kata ini bagi hidup kita?
10. Syahadat Nicea
dimulai dengan pengakuan iman kepada Allah, yang Maha Kuasa, pencipta langit
dan bumi. Namun, dewasa ini bagi kebanyakan orang Allah dan pertanyaan tentang
Allah hampir tidak memiliki makna dalam hidup mereka. Konsili Vatikan II
menunjukkan bahwa umat Kristiani setidaknya turut bertanggung jawab atas
situasi ini, karena mereka tidak memberi kesaksian tentang iman yang sejati;
mereka menyelubungi wajah Allah yang sejati dengan gaya hidup dan tindakan yang
menyimpang dari Injil.[12]
Peperangan telah terjadi, dan orang-orang telah dibunuh, dianiaya, dan
didiskriminasi atas nama Allah. Alih-alih mewartakan Allah yang penuh belas
kasihan, Allah yang pendendam telah dihadirkan, yang menimbulkan teror dan
menghukum.
Dalam pengertian ini, Syahadat Nicea
mengajak kita untuk memeriksa hati nurani kita. Apa arti Allah bagiku dan
bagaimana aku memberikan kesaksian imanku kepada-Nya? Apakah Allah yang esa
sungguh Tuhan dalam hidupku, atau adakah berhala-berhala yang kutempatkan di
hadapan Allah dan perintah-perintah-Nya? Bagiku, apakah Allah adalah Allah yang
hidup, dekat denganku dalam segala situasi, Bapa yang kepada-Nya aku berpaling
dengan penuh kepercayaan? Apakah Ia Pencipta yang kepada-Nya aku berutang
segala sesuatu yang kumiliki dan telah kumiliki, yang tandanya dapat kutemukan
pada setiap ciptaan? Apakah aku bersedia berbagi harta benda duniawi, yang
menjadi milik semua orang, secara adil dan wajar? Bagaimana aku memperlakukan
ciptaan, karya tangan-Nya? Apakah aku mengeksploitasi dan menghancurkannya,
atau apakah aku menggunakannya dengan penuh hormat dan syukur, merawat dan
mengolahnya sebagai rumah bersama umat manusia?[13]
11. Pengakuan iman kepada
Yesus Kristus, Tuhan dan Allah kita, merupakan inti dari Syahadat
Nicea-Konstantinopel. Inilah inti kehidupan kristiani kita. Karena alasan
inilah, kita berkomitmen untuk mengikuti Yesus sebagai guru, rekan, saudara,
dan sahabat kita. Namun, Syahadat Nicea menuntut lebih dari itu: Syahadat
mengingatkan kita untuk tidak melupakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan
(Kyrios), Putra Allah yang hidup, yang "turun dari surga untuk keselamatan
kita" dan wafat "untuk kita manusia" di kayu salib, membuka
jalan menuju kehidupan baru bagi kita melalui kebangkitan dan kenaikan-Nya.
Tentu saja, mengikuti Yesus Kristus bukanlah
jalan yang lebar dan nyaman. Namun, jalan yang seringkali menuntut atau bahkan
menyakitkan ini selalu menuntun kepada kehidupan dan keselamatan (bdk. Mat
7:13-14). Kitab Kisah Para Rasul menceritakan jalan baru (bdk. Kis 19:9, 23;
22:4, 14-15, 22) yaitu Yesus Kristus (bdk. Yoh 14:6). Mengikuti Tuhan tentu
saja berarti mengikuti jalan salib, yang melalui pertobatan, membawa kita
kepada pengudusan dan pengilahian.[14]
Jika Allah mengasihi kita dengan segenap
keberadaan-Nya, maka kita pun harus saling mengasihi. Kita tidak mungkin
mengasihi Allah yang tidak kita lihat tanpa mengasihi saudara-saudari kita yang
kita lihat (bdk. 1Yoh 4:20). Mengasihi Allah tanpa mengasihi sesama adalah
kemunafikan; mengasihi sesama secara radikal, terutama mengasihi musuh-musuh
kita, tanpa mengasihi Allah, menuntut "kepahlawanan" yang akan
memberatkan dan menindas kita. Dalam mengikuti Yesus, pendakian kepada Allah
melewati penurunan diri dan pengabdian kepada saudara-saudari kita, terutama
yang paling kecil, paling miskin, terlantar, dan terpinggirkan. Apa yang telah
kita lakukan untuk mereka yang paling kecil ini, telah kita lakukan untuk
Kristus (bdk. Mat 25:31-46). Dalam menghadapi bencana, peperangan, dan
kesengsaraan, kita menjadi saksi belas kasihan Allah kepada mereka yang
meragukan-Nya hanya ketika mereka mengalami belas kasihan-Nya melalui kita.[15]
12. Akhirnya, Konsili
Nicea masih relevan dewasa ini karena nilai ekumenisnya yang luar biasa.
Sesungguhnya, tercapainya kesatuan di antara segenap umat Kristiani merupakan
salah satu tujuan utama Konsili terakhir, yaitu Konsili Vatikan II.[16]
Tepat tiga puluh tahun yang lalu, Santo Yohanes Paulus II semakin memperkuat
pesan konsili ini dalam ensikliknya "Ut
Unum Sint" (25 Mei 1995). Dengan demikian, bersamaan dengan peringatan
akbar Konsili Nicea I, kita juga merayakan peringatan ensiklik ekumenis
pertama. Manifesto ini dapat dianggap sebagai sebuah manifesto yang memperbarui
landasan ekumenis yang telah ditetapkan oleh Konsili Nicea.
Syukur kepada Allah, gerakan ekumenis telah
mencapai banyak hal dalam enam puluh tahun terakhir. Memang benar bahwa
kesatuan nyata yang utuh dengan Gereja Ortodoks dan Gereja Ortodoks Oriental,
serta dengan komunitas-komunitas gerejawi yang lahir dari Reformasi, belum
tercapai. Namun demikian, dialog ekumenis, yang didasarkan pada satu baptisan
dan Syahadat Nicea-Konstantinopel, telah menuntun kita untuk mengakui anggota
Gereja-gereja dan komunitas-komunitas gerejawi lain sebagai saudara-saudari
kita dalam Yesus Kristus, dan menemukan kembali satu komunitas universal para
murid Kristus di seluruh dunia. Kita ambil bagian dalam iman yang sama kepada
satu Allah yang esa, Bapa segala bangsa; kita bersama-sama mengakui satu Tuhan
dan Putra Allah yang sejati, Yesus Kristus, dan satu Roh Kudus, yang mengilhami
kita dan mendorong kita menuju kesatuan penuh dan bersama-sama memberikan
kesaksian Injil. Sungguh, apa yang mempersatukan kita jauh lebih besar daripada
apa yang memisahkan kita![17]
Di dunia yang terpecah belah dan terkoyak oleh berbagai konflik, satu komunitas
Kristiani universal dapat menjadi tanda perdamaian dan sarana rekonsiliasi,
serta memainkan peran yang menentukan dalam komitmen global terhadap perdamaian.
Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita, khususnya, akan kesaksian para
martir Kristiani dari semua Gereja dan komunitas gerejawi: mengingat kesaksian
tersebut mempersatukan dan memacu kita untuk menjadi saksi dan pembawa damai di
dunia.
Agar dapat melaksanakan pelayanan ini dengan
dapat dipercaya, kita harus berjalan bersama untuk mencapai kesatuan dan
rekonsiliasi di antara segenap umat Kristiani. Syahadat Nicea dapat menjadi
dasar dan acuan bagi perjalanan ini. Syahadat ini menawarkan kepada kita sebuah
model kesatuan sejati dalam keberagaman yang sah. Kesatuan dalam Tritunggal,
Tritunggal dalam kesatuan, karena kesatuan tanpa keanekaragaman adalah tirani,
keanekaragaman tanpa kesatuan adalah fragmentasi. Dinamika Tritunggal bukanlah
"salah satu/atau" yang dualistik dan eksklusif, melainkan ikatan yang
menentukan, "keduanya/dan." Roh Kudus adalah ikatan kesatuan yang
kita sembah bersama Bapa dan Putra. Oleh karena itu, kita harus meninggalkan
kontroversi teologis yang telah kehilangan raison d'être-nya untuk
mengembangkan pemahaman bersama dan terlebih lagi, doa bersama kepada Roh
Kudus, agar Ia dapat mempersatukan kita semua dalam satu iman dan kasih.
Hal ini tidak menyiratkan ekumenisme yang
mencoba kembali ke keadaan sebelum perpecahan, juga bukan pengakuan bersama
atas status quo keberagaman Gereja dan komunitas gerejawi dewasa ini. Justru
ekumenisme yang memandang ke masa depan, yang mengupayakan rekonsiliasi melalui
dialog sambil berbagi karunia dan warisan rohani kita. Pemulihan kesatuan di
antara umat Kristiani tidak membuat kita semakin miskin; sebaliknya, justru
memperkaya kita. Seperti di Nicea, tujuan ini hanya akan mungkin tercapai
melalui perjalanan yang sabar, panjang, dan terkadang sulit untuk saling
mendengarkan dan menerima. Ini merupakan tantangan teologis dan, terlebih lagi,
tantangan rohani, yang menuntut pertobatan dari semua pihak. Karena alasan
inilah, kita membutuhkan ekumenisme rohani berupa doa, pujian, dan penyembahan,
sebagaimana diungkapkan dalam Syahadat Nicea-Konstantinopel.
Maka, marilah kita memohon Roh Kudus untuk
menyertai dan membimbing kita dalam karya ini.
Roh Kudus Allah,
Engkau membimbing umat beriman di sepanjang perjalanan sejarah.
Kami bersyukur
kepada-Mu karena telah mengilhami lambang-lambang iman dan telah membangkitkan
dalam hati kami sukacita mengakui keselamatan kami dalam Yesus Kristus, Putra
Allah, yang sehakikat dengan Bapa. Tanpa Dia, kami tidak dapat berbuat apa-apa.
Roh Kudus Allah yang
kekal, segarkanlah iman Gereja dari zaman ke zaman. Bantulah kami untuk
memperdalamnya dan senantiasa kembali kepada hakikatnya untuk mewartakannya.
Agar kesaksian kami
di dunia tidak sia-sia, datanglah, Roh Kudus, dengan api rahmat-Mu, untuk
menghidupkan kembali iman kami, menyalakan pengharapan kami, mengobarkan amal
kasih kami.
Datanglah, Penghibur
ilahi, sumber kerukunan, satukanlah hati dan pikiran umat beriman. Datanglah
dan perkenankanlah kami merasakan indahnya persekutuan.
Datanglah, Kasih Bapa
dan Putra, himpunlah kami ke dalam satu kawanan domba Kristus.
Tunjukkanlah kepada
kami jalan yang harus diikuti, agar dengan hikmat-Mu, kami kembali menjadi diri
kami yang sejati di dalam Kristus: bersatulah, agar dunia dapat percaya. Amin.
Vatikan, 23 November 2025
Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta
Alam
PAUS LEO XIV
[1] LH Westra, Pengakuan Iman Rasuli. Asal, Sejarah dan
Beberapa Ulasan Awal, Turnhout 2002 (Instrumenta
patristica et mediaevalia, 43).
[2] Konsili Nicea
Pertama, Expositio fidei: CC COGD 1,
Turnhout 2006, 19 6-8.
[3] Santo Athanasius
dari Aleksandria, Contra Arianos, I,
9, 2 (ed. Metzler, Athanasius Werke, I/1,2, Berlin - New York 1998, 117-118)
Dari pernyataan Santo Athanasius dalam Contra
Arianos I, 9, jelas bahwa homooúsios tidak berarti “memiliki keserupaan
hakikat,” melainkan “memiliki kesamaan hakikat dengan Bapa; oleh karena itu,
persoalannya bukan keserupaan hakikat, melainkan soal jatidiri hakikat antara
Bapa dan Putra. Terjemahan Latin untuk homooúsios
dengan tepat berbicara tentang unius
substantiae cum Patre.
[4] Santo Athanasius
dari Aleksandria, Contra Arianos, I,
38, 7 - 39, 1: ed. Metzler, Athanasius
Werke, I/1,2, 148-149.
[5] Santo Athanasius
dari Aleksandria, Bdk. De inkarnasie
Verbi, 54, 3: SCh 199, Paris 2000, 458; id., Contra Arianos, I, 39; 42; 45; II, 59 dst; ed. Metzler, Athanasius Werke, I/1,2, 149; 152,
154-155 dan 235 dst.
[6] Bdk. Santo
Agustinus, Pengakuan-pengakuan, I, 1:
CCSL 27, Turnhout 1981, 1.
[7] Santo Thomas Aquino,
In Symbolum Apostolorum, art. 12:
edisi. Spiazzi, Thomae Aquinatis,
Opuscula theologica, II, Taurini - Romae 1954, 217.
[8] Santo Basilus, De Spiritu Sancto, 30.
[9] Santo Hilarius, Contra Arianos, vel Auxentium, 6.
Mengingat suara para Bapa Gereja, teolog terpelajar, yang kemudian menjadi
kardinal dan kini santo serta pujangga Gereja, John Henry Newman (1801-1890),
menyelidiki perselisihan ini dan sampai pada kesimpulan bahwa Syahadat Nicea
telah dilestarikan terutama oleh sensus
fidei umat Allah. Lihat Konsultasi
Umat Beriman dalam Masalah Ajaran (1859).
[10] Konsili
Konstantinopel I, Expositio fidei:
CC, Conc. Oec. Gen. Decr. 1, 57 20-24. Pernyataan “berasal dari Bapa dan Putra
(Filioque)” tidak ditemukan dalam
teks Konstantinopel; pernyataan itu dimasukkan ke dalam Syahadat Latin oleh
Paus Benediktus VIII pada tahun 1014 dan merupakan pokok dialog
Ortodoks-Katolik.
[11] Konsili Kalsedon, Definitio fidei: CC, Conc. Oec. Jenderal
Des. 1, 137 393-138 411.
[12] Gaudium et Spes. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral
tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 19: AAS 58 (1966), 1039.
[13] Bdk. Fransiskus,
Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015),
67; 78; 124: AAS 107 (2015), 873-874; 878; 897.
[14] Bdk. Fransiskus,
Anjuran Apostolik Gaudete et Exsultate
(19 Maret 2018), 92: AAS 110 (2018), 1136.
[15] Bdk. Fransiskus,
Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober
2020), 67; 254: AAS 112 (2020), 992-993; 1059.
[16] Bdk. Unitatis Redintegratio, Konsili Ekumenis
Vatikan II, Dekret tentang Ekumenisme, 1: AAS 57 (1965), 90-91.
[17] Bdk. Santo Yohanes
Paulus II, Ensiklik Ut Unum Sint (25
Mei 1995), 20: AAS 87 (1995), 933
[5] Santo Athanasius
dari Aleksandria, Bdk. De inkarnasie
Verbi, 54, 3: SCh 199, Paris 2000, 458; id., Contra Arianos, I, 39; 42; 45; II, 59 dst; ed. Metzler, Athanasius Werke, I/1,2, 149; 152,
154-155 dan 235 dst.
[6] Bdk. Santo
Agustinus, Pengakuan-pengakuan, I, 1:
CCSL 27, Turnhout 1981, 1.
[7] Santo Thomas Aquino,
In Symbolum Apostolorum, art. 12:
edisi. Spiazzi, Thomae Aquinatis,
Opuscula theologica, II, Taurini - Romae 1954, 217.
[8] Santo Basilus, De Spiritu Sancto, 30.
[9] Santo Hilarius, Contra Arianos, vel Auxentium, 6.
Mengingat suara para Bapa Gereja, teolog terpelajar, yang kemudian menjadi
kardinal dan kini santo serta pujangga Gereja, John Henry Newman (1801-1890),
menyelidiki perselisihan ini dan sampai pada kesimpulan bahwa Syahadat Nicea
telah dilestarikan terutama oleh sensus
fidei umat Allah. Lihat Konsultasi
Umat Beriman dalam Masalah Ajaran (1859).
[10] Konsili
Konstantinopel I, Expositio fidei:
CC, Conc. Oec. Gen. Decr. 1, 57 20-24. Pernyataan “berasal dari Bapa dan Putra
(Filioque)” tidak ditemukan dalam
teks Konstantinopel; pernyataan itu dimasukkan ke dalam Syahadat Latin oleh
Paus Benediktus VIII pada tahun 1014 dan merupakan pokok dialog
Ortodoks-Katolik.
[11] Konsili Kalsedon, Definitio fidei: CC, Conc. Oec. Jenderal
Des. 1, 137 393-138 411.
[12] Gaudium et Spes. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral
tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 19: AAS 58 (1966), 1039.
[13] Bdk. Fransiskus,
Ensiklik Laudato Si’ (24 Mei 2015),
67; 78; 124: AAS 107 (2015), 873-874; 878; 897.
[14] Bdk. Fransiskus,
Anjuran Apostolik Gaudete et Exsultate
(19 Maret 2018), 92: AAS 110 (2018), 1136.
[15] Bdk. Fransiskus,
Ensiklik Fratelli Tutti (3 Oktober
2020), 67; 254: AAS 112 (2020), 992-993; 1059.
[16] Bdk. Unitatis Redintegratio, Konsili Ekumenis
Vatikan II, Dekret tentang Ekumenisme, 1: AAS 57 (1965), 90-91.
[17] Bdk. Santo Yohanes
Paulus II, Ensiklik Ut Unum Sint (25
Mei 1995), 20: AAS 87 (1995), 933

Print this page