Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 28 Mei 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 7. ORANG SAMARIA. KETIKA IA MELIHAT ORANG ITU, TERGERAKLAH HATINYA OLEH BELAS KASIHAN (LUK 10:33B)

Saudara-saudari terkasih,

 

Kita akan terus merenungkan beberapa perumpamaan Injil, yang merupakan kesempatan untuk mengubah sudut pandang dan membuka diri terhadap pengharapan. Ketiadaan pengharapan, kadang-kadang, disebabkan oleh fakta bahwa kita terpaku pada cara pandang tertentu yang kaku dan tertutup, dan perumpamaan membantu kita untuk melihatnya dari sudut pandang lain.

 

Hari ini saya ingin berbicara kepadamu tentang seorang ahli, orang yang berpengetahuan, seorang ahli Taurat, yang perlu mengubah sudut pandangnya, karena ia berfokus pada dirinya sendiri dan tidak memperhatikan orang lain (lih. Luk 10:25-37). Memang, ia mempertanyakan Yesus tentang cara bagaimana "mewarisi" hidup yang kekal, menggunakan ungkapan yang dimaksudkan sebagai hak yang tidak menimbulkan keraguan. Namun di balik pertanyaan ini mungkin justru tersembunyi kebutuhan diperhatikan : satu-satunya kata yang ia minta dijelaskan oleh Yesus, yaitu istilah "sesama", yang secara harfiah berarti orang yang dekat.

 

Oleh karena itu Yesus menceritakan sebuah perumpamaan yang merupakan cara untuk mengubah rupa pertanyaan itu, beralih dari siapa yang mengasihiku? menjadi siapa yang telah mengasihi? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan orang yang belum dewasa, pertanyaan kedua adalah pertanyaan dari orang dewasa yang telah memahami makna hidupnya. Pertanyaan pertama adalah pertanyaan yang kita ajukan ketika kita duduk di sudut dan menunggu, pertanyaan kedua adalah pertanyaan yang mendorong kita untuk memulai perjalanan.

 

Perumpamaan yang diceritakan Yesus sebenarnya berlatar belakang jalanan, yang sulit dan tidak dapat dilalui, seperti halnya kehidupan. Jalanan tersebut ditempuh seseorang yang turun dari Yerusalem, kota di atas gunung, menuju Yerikho, kota di bawah permukaan laut. Gambaran yang sudah meramalkan apa yang mungkin terjadi: orang itu diserang, dipukuli, dirampok, dan ditinggalkan setengah mati. Pengalaman yang terjadi ketika situasi, orang, bahkan terkadang orang yang kita percayai, mengambil segalanya dari kita dan meninggalkan kita di tengah jalan.

 

Namun, kehidupan terdiri dari berbagai perjumpaan, dan dalam berbagai perjumpaan ini, kita memunculkan diri kita apa adanya. Kita menemukan diri kita di hadapan orang lain, berhadapan dengan kerapuhan dan kelemahan mereka, dan kita dapat memutuskan apa yang harus dilakukan: merawat mereka atau berpura-pura tidak ada sesuatu yang salah. Seorang imam dan seorang Lewi menempuh jalan yang sama. Mereka adalah orang-orang yang melayani di Bait Suci Yerusalem, yang tinggal di tempat suci. Namun, praktik ibadah tidak serta-merta mengarah pada sikap bela rasa. Sesungguhnya, sebelum menjadi perkara keagamaan, bela rasa adalah perkara kemanusiaan! Sebelum menjadi umat beriman, kita dipanggil untuk manusiawi.

 

Kita dapat membayangkan bahwa, setelah tinggal lama di Yerusalem, imam dan orang Lewi itu tergesa-gesa untuk pulang. Ketergesaan, yang sungguh hadir dalam kehidupan kita, sering kali menghalangi kita untuk memiliki bela rasa. Mereka yang berpikir bahwa perjalanan mereka sendiri harus didahulukan tidak bersedia berhenti untuk orang lain.

 

Namun, di sinilah datang seseorang yang benar-benar mampu berhenti: ia adalah orang Samaria, ia termasuk orang yang demikian dibenci (lih. 2 Raj 17). Dalam kasus ini, teks tidak menyebutkan tujuan, tetapi hanya mengatakan bahwa ia sedang bepergian. Keagamaan tidak termasuk ke dalam hal ini. Orang Samaria ini berhenti begitu saja karena ia adalah orang yang berhadapan dengan orang lain yang membutuhkan pertolongan.

 

Bela rasa diungkapkan melalui gerakan-gerakan praktis. Penginjil Lukas merenungkan tindakan orang Samaria, yang kita sebut "baik", tetapi dalam teks ia hanyalah pribadi: orang Samaria yang mendekati, karena jika kamu ingin menolong seseorang, kamu tidak dapat berpikir untuk menjaga jarak, kamu harus terlibat, menjadi kotor, mungkin terkontaminasi; ia membalut luka-luka setelah membersihkannya dengan minyak dan anggur; ia mengangkatnya ke atas keledainya, memikul beban, karena orang yang benar-benar menolong adalah orang yang bersedia merasakan beratnya penderitaan orang lain; ia membawanya ke sebuah penginapan tempat ia menghabiskan uang, "dua dinar", kurang lebih upah dua hari kerja; dan ia berjanji untuk kembali dan akhirnya membayar lebih, karena orang lain bukanlah paket yang harus diantar, tetapi seseorang yang harus dirawat.

 

Saudara-saudari terkasih, kapankah kita juga akan mampu menghentikan perjalanan kita dan memiliki bela rasa? Ketika kita memahami bahwa orang yang terluka di jalanan tersebut mewakili kita masing-masing. Dan kemudian kenangan akan segala masa ketika Yesus berhenti untuk merawat kita akan membuat kita lebih mampu berbela rasa.

 

Marilah kita berdoa agar kita dapat bertumbuh dalam kemanusiaan, sehingga hubungan kita dapat menjadi semakin sejati dan kaya dalam bela rasa. Marilah kita memohon kepada Hati Yesus agar kita semakin memiliki perasaan yang sama seperti Dia.


***

[Imbauan]

Pada hari-hari ini, pikiran saya sering tertuju kepada rakyat Ukraina, yang terkena dampak serangan serius baru terhadap warga sipil dan infrastruktur. Saya meyakinkan semua korban, khususnya anak-anak dan keluarga, tentang kedekatan dan doa saya.



Saya tegaskan kembali imbauan saya untuk menghentikan perang dan mendukung setiap prakarsa dialog dan perdamaian. Saya meminta semua orang untuk bergabung dalam doa bagi perdamaian di Ukraina dan di mana pun sedang ada penderitaan karena perang.

 

Tangisan para ibu, para ayah yang memegang erat tubuh anak-anak mereka yang tak bernyawa serta yang terus-menerus dipaksa pindah untuk mencari secuil makanan dan tempat berlindung yang lebih aman dari pemboman, semakin keras terdengar ke langit.

 

Saya kembali mengimbau para pemimpin: lakukanlah gencatan senjata, bebaskanlah semua sandera, hormatilah sepenuhnya hukum kemanusiaan. Maria Ratu Damai, doakanlah kami.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya senang menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang ambil bagian dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari Inggris, Skotlandia, Norwegia, Ghana, Kenya, Australia, Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Myanmar, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Selagi kita bersiap untuk memperingati Kenaikan Tuhan ke surga, saya berdoa agar kamu semua dan keluargamu dapat mengalami pembaruan pengharapan dan sukacita. Allah memberkati kamu semua!

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih: Dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubelium “Kristus Pengharapan Kita,” kita beralih ke perumpamaan lain: Orang Samaria yang baik. Melalui kisah ini, Yesus mengajarkan kita bahwa kehidupan kekal ditemukan melalui bela rasa. Sama seperti imam dan orang Lewi yang lewat di seberang jalan, terkadang kita gagal menjadi sesama yang sesungguhnya bagi orang-orang di sekitar kita, terjebak dalam kepentingan dan kesibukan hidup kita. Orang Samaria yang baik mengejutkan kita dengan bela rasanya, serta teladan kemurahan hatinya menantang kita untuk menyingkirkan keegoisan kita. Kita juga dapat melihat diri kita dalam diri orang yang jatuh ke tangan penyamun tersebut, karena kita semua telah mengalami kesulitan dan kesesakan hidup yang disebabkan oleh dosa. Dalam kelemahan kita, kita menemukan bahwa Kristus sendiri adalah Orang Samaria yang baik yang menyembuhkan luka-luka kita dan memulihkan pengharapan kita. Maka, marilah kita beralih kepada Hati Kudus, model kemanusiaan sejati, dan memohon kepada-Nya untuk membuat hati kita semakin seperti hati-Nya.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 Mei 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA RATU SURGA 25 Mei 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Saya masih dalam tahap awal pelayanan saya di antaramu. Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kasih sayang yang kamu tunjukkan serta memintamu untuk terus mendukung saya dengan doa dan kedekatanmu.

 

Melaksanakan apa pun panggilan Tuhan terhadap diri kita, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam perjalanan iman kita, ada kalanya kita merasa tidak mampu. Namun, Bacaan Injil hari Minggu ini (lih. Yoh 14:23-29) memberitahu kita untuk tidak mengandalkan kemampuan kita, tetapi belas kasih Tuhan yang telah memilih kita, serta meyakini Roh Kudus akan membimbing kita dan mengajarkan kita segala sesuatu.

 

Menjelang kematian Sang Guru, para Rasul, dalam kebingungan dan kesedihan mereka, bertanya-tanya bagaimana mereka dapat terus memberikan kesaksian tentang Kerajaan Allah. Yesus kemudian berbicara kepada mereka tentang karunia Roh Kudus. Ia membuat janji yang luar biasa ini: “Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan tinggal bersama-sama dengan dia” (ayat 23).

 

Dengan cara ini, Yesus membebaskan para murid dari kecemasan mereka, dengan berkata kepada mereka, "Janganlah gelisah dan gentar hatimu" (ayat 27). Sebab jika kita tinggal dalam kasih-Nya, Ia akan datang untuk tinggal di dalam diri kita dan hidup kita akan menjadi bait Allah. Kasih-Nya menerangi kita, memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak, menyebar kepada sesama dan merangkul setiap situasi dalam hidup kita.

 

Saudara-saudari, tinggalnya Allah di dalam diri kita ini adalah karunia Roh Kudus, yang menuntun dan memampukan kita mengalami kehadiran dan kedekatan Allah di tengah kehidupan kita sehari-hari, karena Ia menjadikan kita bait-Nya.

 

Sungguh luar biasa memikirkan, ketika kita mempertimbangkan panggilan pribadi kita, situasi yang kita hadapi dan orang-orang yang dipercayakan kepada kita, komitmen dan tanggung jawab kita, dan pelayanan kita di dalam Gereja, kita masing-masing dapat berkata dengan yakin, “Meskipun aku lemah, Tuhan tidak malu terhadap kemanusiaanku. Ia justru datang untuk tinggal di dalam diriku. Ia menyertaiku dengan Roh-Nya; Ia mencerahkanku dan menjadikanku alat kasih-Nya bagi sesama, masyarakat, dan dunia.”

 

Sahabat-sahabat terkasih, atas dasar janji itu, marilah kita berjalan dalam sukacita yang lahir dari iman, agar kita menjadi bait suci Tuhan. Marilah kita bertekad untuk membawa kasih-Nya ke mana-mana, dengan tidak pernah melupakan bahwa setiap saudara dan saudari kita adalah tempat tinggal Allah dan kehadiran-Nya dinyatakan terutama dalam diri orang kecil, dalam diri orang miskin dan mereka yang menderita, yang meminta kita untuk menjadi umat kristiani yang penuh pertimbangan dan berbela rasa.

 

Dan marilah kita memercayakan diri kita kepada perantaraan Santa Maria. Dengan kuasa Roh Kudus, ia menjadi "tempat tinggal yang dikuduskan bagi Allah." Bersama dia, semoga kita juga dapat merasakan sukacita menyambut Tuhan ke dalam hidup kita serta menjadi tanda dan sarana kasih-Nya.

 

[Setelah pendarasan doa Ratu Surga]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Kemarin di Poznań, Polandia, Stanislaus Kostka Streich, seorang imam diosesan yang dibunuh karena kebencian terhadap iman pada tahun 1938 karena karyanya bagi kaum miskin dan pekerja membuat marah para pengikut ideologi Komunis, dibeatifikasi. Semoga teladannya mengilhami para imam terutama untuk memberikan diri mereka dengan murah hati dalam melayani Injil dan saudara-saudari mereka.

 

Kemarin, pada Peringatan Liturgi Santa Perawan Maria Penolong Umat Kristiani, kita merayakan Hari Doa bagi Gereja di Cina, yang ditetapkan oleh Paus Benediktus XVI. Di gereja-gereja dan tempat-tempat suci di seluruh Cina dan seluruh dunia, doa-doa dipanjatkan kepada Allah sebagai tanda perhatian dan kasih sayang bagi umat Katolik Cina dan persekutuan mereka dengan Gereja universal. Semoga pengantaraan Santa Maria mendatangkan bagi mereka, dan bagi kita, rahmat untuk menjadi saksi Injil yang kuat dan penuh sukacita, bahkan di tengah-tengah pencobaan, sehingga kita dapat selalu mengedepankan kedamaian dan kerukunan.

 

Dengan kepekaan perasaan ini, doa kita merangkul semua orang yang sedang menderita karena perang. Marilah kita mohon keberanian dan ketekunan bagi mereka yang terlibat dalam dialog dan pengupayaan perdamaian yang tulus.

 

Sepuluh tahun yang lalu, Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik Laudato Si’, yang ditujukan untuk merawat rumah kita bersama. Ensiklik ini telah memberikan dampak yang luar biasa, mengilhami banyak sekali prakarsa dan mengajarkan semua orang untuk mendengarkan jeritan Bumi dan kaum miskin. Saya menyambut dan menyemangati gerakan Laudato Si’ serta semua orang yang menjalankan komitmen ini.

 

Saya menyapa kamu semua yang datang dari Italia dan berbagai belahan dunia lainnya, khususnya para peziarah dari Valencia dan Polandia, dengan berkat untuk mereka yang berada di Polandia yang sedang mengikuti peziarahan besar ke Gua Maria Piekary Śląskie. Saya juga menyapa umat Pescara, Sortino, Paternò, Caltagirone, Massarosa Nord, Malnate Palagonia, dan Cerello, serta umat Paroki Hati Kudus Yesus dan Maria Roma. Saya menyapa para calon penerima sakramen krisma dari Keuskupan Agung Genoa, San Teodoro, di Keuskupan Tempio-Ampurias, dan para pesepeda dari Paderno Dugnano serta para penembak jitu dari Palermo.

 

Saya mengucapkan selamat hari Minggu kepada semuanya!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 25 Mei 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 21 Mei 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 2. KEHIDUPAN YESUS. PERUMPAMAAN 6. PENABUR

Ia menyampaikan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka (Mat 13:3a)

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya senang menyapamu dalam Audiensi Umum perdana saya ini. Hari ini saya akan melanjutkan rangkaian katekese Yubileum, dengan tema “Yesus Kristus Pengharapan Kita”, yang diprakarsai oleh Paus Fransiskus.

 

Marilah kita terus merenungkan perumpamaan-perumpamaan Yesus hari ini, yang membantu kita untuk mendapatkan kembali pengharapan, karena perumpamaan-perumpamaan itu menunjukkan kepada kita bagaimana Allah bekerja dalam sejarah. Hari ini saya ingin merenungkan sebuah perumpamaan yang agak aneh, karena perumpamaan itu merupakan semacam pengantar untuk semua perumpamaan. Saya mengacu pada perumpamaan tentang penabur (bdk. Mat 13:1-17). Dalam arti tertentu, dalam kisah ini kita dapat mengenali cara Yesus berkomunikasi, yang mengajarkan banyak hal kepada kita untuk mewartakan Injil hari ini.

 

Setiap perumpamaan menceritakan kisah yang diambil dari kehidupan sehari-hari, bahkan ingin memberitahu kita sesuatu yang lebih, merujuk kita pada makna yang lebih dalam. Perumpamaan menimbulkan pertanyaan dalam diri kita; ia mengundang kita untuk tidak berhenti pada penampakan. Sebelum kisah diceritakan atau gambaran disajikan kepada saya, saya dapat bertanya pada diri saya sendiri: di mana saya dalam kisah ini? Apa yang dikatakan gambaran ini kepada hidup saya? Sebenarnya, istilah "perumpamaan" berasal dari kata kerja Yunani paraballein, yang berarti melemparkan di depan. Perumpamaan melemparkan di depan saya sebuah kata yang memprovokasi dan mendorong saya untuk mempertanyakan diri saya.

 

Perumpamaan tentang penabur berbicara secara tepat tentang dinamika sabda Allah dan dampak yang ditimbulkannya. Sesungguhnya, setiap sabda Injil bagaikan benih yang ditabur di tanah kehidupan kita. Yesus menggunakan gambaran benih berkali-kali, dengan makna yang berbeda-beda. Dalam bab 13 Injil Matius, perumpamaan tentang penabur memperkenalkan serangkaian perumpamaan pendek lainnya, beberapa di antaranya berbicara secara tepat tentang apa yang sedang terjadi di lahan: gandum dan lalang, biji sesawi, harta karun yang terpendam di ladang. Lalu, apakah tanah ini? Tanah adalah hati kita, bahkan juga dunia, komunitas, Gereja. Sabda Allah, pada kenyataannya, menghasilkan buah dan menghasut setiap kenyataan.

 

Pada bagian awal, kita melihat Yesus yang meninggalkan rumah dan mengumpulkan banyak orang di sekelilingnya (bdk. Mat 13:1). Perkataan-Nya memikat dan menggelitik. Di antara orang-orang itu, tentu saja ada banyak situasi yang berbeda. Perkataan Yesus ditujukan kepada semua orang, tetapi ia bekerja dalam diri setiap orang dengan cara yang berbeda. Konteks ini memungkinkan kita untuk lebih memahami makna perumpamaan itu.

 

Seorang penabur yang agak tidak biasa pergi menabur, namun tidak peduli di mana benih itu jatuh. Ia menabur benih bahkan di tempat yang kemungkinan kecil akan menghasilkan buah: di jalan setapak, di bebatuan, di antara semak berduri. Sikap ini mengejutkan pendengar dan mendorongnya untuk bertanya: bagaimana bisa?

 

Kita terbiasa menghitung-hitung segala sesuatunya – dan terkadang perlu – tetapi ini tidak berlaku dalam kasih! Cara penabur yang “membuang-buang” ini menabur benih merupakan gambaran cara Allah mengasihi kita. Memang benar bahwa nasib benih juga bergantung pada cara bumi menerimanya dan situasi di mana benih itu berada, tetapi pertama-tama dan terutama dalam perumpamaan ini Yesus memberitahu kita bahwa Allah menaburkan benih sabda-Nya di segala jenis tanah, yaitu, dalam situasi apa pun yang kita hadapi: terkadang kita lebih dangkal dan tidak fokus, terkadang kita membiarkan diri kita terbawa oleh antusiasme, terkadang kita terbebani oleh kekhawatiran hidup, tetapi ada juga saat-saat ketika kita bersedia dan menyambutnya. Allah yakin dan berharap bahwa cepat atau lambat benih itu akan tumbuh. Beginilah cara Ia mengasihi kita: Ia tidak menunggu kita menjadi tanah yang terbaik, tetapi Ia selalu dengan murah hati memberikan sabda-Nya kepada kita. Mungkin dengan melihat bahwa Ia memercayai kita, keinginan untuk menjadi tanah yang lebih baik akan menyala dalam diri kita. Inilah harapan yang dibangun di atas batu karang kemurahan hati dan belas kasih Allah.

 

Dalam menceritakan cara benih berbuah, Yesus juga berbicara tentang kehidupan-Nya. Yesus adalah Sabda, Ia adalah Benih. Dan benih, agar berbuah, harus mati. Jadi, perumpamaan ini memberitahu kita bahwa Allah siap untuk "membuang-buang" kita dan Yesus bersedia mati untuk mengubah hidup kita.

 

Lukisan indah karya Van Gogh, Penabur di Kala Matahari Terbenam, terlintas dalam benak saya. Gambaran penabur di bawah terik matahari itu juga berbicara kepada saya tentang kerja keras petani. Dan menurut saya, di balik penabur, Van Gogh menggambarkan biji-bijian yang sudah ranum. Bagi saya tampak gambaran harapan: dengan satu atau lain cara, benih telah berbuah. Kita tidak yakin bagaimana, tetapi memang demikian. Namun, di tengah pemandangan itu, bukan penabur, yang berdiri di samping; sebaliknya, seluruh lukisan didominasi oleh gambaran matahari, mungkin untuk mengingatkan kita bahwa Allah yang menggerakkan sejarah, meskipun kadang-kadang Ia tampak tidak hadir atau jauh. Matahari yang menghangatkan gumpalan tanah dan meranumkan benih.

 

Saudara-saudari terkasih, dalam situasi kehidupan seperti apakah Sabda Allah saat ini menjangkau kita? Marilah kita mohon kepada Tuhan agar selalu menerima benih yang merupakan Sabda-Nya. Dan jika kita menyadari bahwa kita bukan tanah yang subur, janganlah kita berkecil hati, tetapi marilah kita mohon kepada-Nya untuk lebih banyak bekerja dalam diri kita agar kita menjadi lahan yang lebih baik.


***

[Imbauan]

Situasi di Jalur Gaza semakin mengkhawatirkan dan menyakitkan. Saya kembali memohon dengan sepenuh hati agar memperkenankan masuknya bantuan kemanusiaan yang bermartabat dan mengakhiri permusuhan, yang harganya sangat mahal dan harus dibayar oleh anak-anak, orang tua, dan orang sakit.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris, khususnya mereka yang berasal dari Inggris, Irlandia, Hongaria, Norwegia, Nigeria, Senegal, Tanzania, Australia, Selandia Baru, India, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Filipina, Korea Selatan, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat. Saya khususnya menyapa para Suster Santo Yosef dari Annecy, Suster Misionaris Pallottine dari Kerasulan Katolik, para Putri Santo Jerome Emiliani, kelompok Pasutri untuk Kristus, para peziarah dari Keuskupan Kerry, dan sekelompok relawan muda internasional dari Saint Cassian’s Centre. Dengan harapan yang penuh doa agar Yubelium Pengharapan saat ini dapat menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu, saya memohonkan atas kamu semua sukacita dan damai Tuhan Yesus

.
_____________________________

[Ringkasan Katekese]

 

Saudara-saudari terkasih: Saya senang berada bersamamu dalam Audiensi Umum perdana masa kepausan saya ini. Hari ini, saya ingin membahas rangkaian katekese tentang tema Yubileum “Kristus Pengharapan Kita” yang dimulai oleh Paus Fransiskus, dan merenungkan perumpamaan Yesus tentang penabur dan benih. Kemurahan hati, bahkan kecerobohan, yang dilakukan penabur saat menabur benih di segala jenis tanah, bahkan di tanah berbatu yang tampaknya paling tidak menjanjikan, dapat mengejutkan kita. Yesus menjelaskan bahwa benih adalah sabda Allah, yang dimaksudkan untuk berakar dalam hati semua orang, tidak ada yang dikecualikan. Kita yang mendengar perumpamaan ini, dan menerapkannya dalam kehidupan kita, mungkin merasa tertantang untuk menjadi lahan yang lebih baik dan mau menerima karya anugerah-Nya. Namun perumpamaan tentang penabur juga dapat membuat kita berpikir tentang Yesus sendiri, yang, dalam kematian dan kebangkitan-Nya, menjadi benih yang jatuh ke tanah dan mati untuk menghasilkan buah yang berlimpah. Gambaran tentang penabur – kita dapat mengingat lukisan terkenal karya Van Gogh – merupakan gambaran pengharapan akan datangnya panen. Hari ini, dan setiap hari, marilah kita memohon kepada Tuhan agar membuka hati kita terhadap sabda-Nya yang menyelamatkan serta kuasa-Nya yang mengubah rupa dan memperkaya hidup kita dan dunia tempat kita tinggal.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 21 Mei 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA RATU SURGA 11 Mei 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Saya menganggapnya sebagai anugerah dari Allah karena hari Minggu pertama pelayanan saya sebagai Uskup Roma adalah Hari Minggu Gembala yang Baik, Hari Minggu Paskah IV. Pada hari Minggu ini, kita selalu mendengar dikumandangkan dalam Misa sebuah perikop dari bab 10 Injil Yohanes, di mana Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala sejati: yang mengenal dan mengasihi domba-domba-Nya serta menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka.

 

Hari Minggu ini juga diperingati sebagai Hari Minggu Panggilan Sedunia, yang telah kita rayakan selama 62 tahun terakhir. Hari ini Roma juga menyelenggarakan Yubileum Kelompok Musik dan Hiburan Populer. Saya menyapa semua peziarah ini dengan kasih sayang dan berterima kasih kepada mereka karena, dengan musik dan penampilan mereka, mereka memeriahkan pesta Kristus Sang Gembala yang Baik: Ia yang membimbing Gereja dengan Roh Kudus-Nya.

 

Dalam Bacaan Injil, Yesus berkata bahwa Ia mengenal domba-domba-Nya serta mereka mendengarkan suara-Nya dan mengikuti-Nya (lih. Yoh 10:27). Memang, sebagaimana diajarkan Paus Santo Gregorius Agung, orang-orang “menanggapi kasih dari orang-orang yang mengasihi mereka” (Homili 14:3-6).

 

Hari ini saudara-saudari, oleh karena itu bersamamu dan segenap umat Allah saya bersukacita mendoakan panggilan, khususnya mereka yang dipanggil untuk menjadi imam dan hidup bakti. Gereja sangat membutuhkan mereka! Penting bagi kaum muda dalam perjalanan panggilan mereka untuk menemukan penerimaan, pendengaran, dan dorongan dalam komunitas mereka, serta mereka dapat meneladani model-model yang dapat dipercaya dari pengabdian yang murah hati bagi Allah dan saudara-saudari mereka.

 

Marilah kita tanggapi undangan yang disampaikan Paus Fransiskus dalam pesannya hari ini: undangan untuk menyambut dan mendampingi kaum muda. Dan marilah kita memohon kepada Bapa surgawi kita untuk membantu kita saling melayani dalam kehidupan kita, masing-masing sesuai dengan status hidupnya, menjadi gembala yang sesuai dengan hati-Nya (lih. Yer 3:15) yang mampu saling membantu untuk berjalan dalam kasih dan kebenaran.

 

Semoga Perawan Maria, yang seluruh hidupnya merupakan jawaban atas panggilan Tuhan, selalu menyertai kita dalam mengikuti Yesus.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 11 Mei 2025)