[Sapaan di Aula
Paulus VI sebelum Audiensi Umum di Lapangan Santo Petrus]
Dalam
nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Damai sejahtera bagi kamu!
Selamat
pagi!
Para
peziarah terkasih, selamat pagi! Dengan penuh kasih saya menyapa kamu semua
yang datang dari Jerman ke Roma dengan peziarahan Malteser Hilfsdienst. Terima
kasih, terima kasih, terima kasih!
Sebelum
menuju Audiensi Umum di Lapangan Santo Petrus, saya ingin bertemu langsung
denganmu di Aula Paulus VI. Di sini, kamu dapat mengikuti perkembangan yang
terjadi di Lapangan Santo Petrus melalui layar, dan pada saat yang sama kamu
akan merasa lebih terlindungi.
Sekarang
marilah kita bersama-sama mendaraskan doa Salam Maria, serahkan segala
intensimu dan orang-orang di rumah yang ingin kaudoakan kepada Santa Perawan
Maria, dan kemudian saya akan menyampaikan berkat apostolik.
____________________________
Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!
Pusat
iman kita dan inti pengharapan kita berakar kuat pada kebangkitan Kristus.
Ketika kita membaca keempat Injil dengan saksama, kita menyadari bahwa misteri
ini mengejutkan bukan hanya karena seorang manusia – Putra Allah – bangkit dari
kematian, tetapi juga karena cara Ia memutuskan untuk melakukannya. Sungguh,
kebangkitan Yesus bukanlah kemenangan yang bombastis, juga bukan balas dendam
atau pembalasan terhadap musuh-musuh-Nya. Kebangkitan Yesus merupakan kesaksian
yang luar biasa tentang bagaimana kasih mampu bangkit kembali setelah kekalahan
besar untuk melanjutkan perjalanannya yang tak terhentikan.
Ketika
kita bangkit kembali setelah trauma yang disebabkan orang lain, seringkali
reaksi pertama kita adalah kemarahan, keinginan untuk menuntut seseorang
membayar atas penderitaan yang telah kita alami. Yesus yang telah bangkit tidak
bereaksi seperti itu. Ketika Ia bangkit dari alam maut, Yesus tidak membalas
dendam. Ia tidak kembali dengan gestur kekuasaan, melainkan dengan kelembutan
Ia menunjukkan sukacita kasih yang lebih besar daripada luka apa pun dan lebih
kuat daripada pengkhianatan apa pun.
Yesus
yang bangkit tidak merasa perlu menegaskan kembali atau menegaskan
superioritas-Nya. Ia menampakkan diri kepada sahabat-sahabat-Nya – para murid –
dan Ia melakukannya dengan sangat bijaksana, tanpa memaksakan kecepatan
penerimaan mereka. Satu-satunya keinginan-Nya adalah kembali bersekutu dengan
mereka, membantu mereka mengatasi rasa bersalah. Kita melihat hal ini dengan
sangat jelas di Ruang Atas, di mana Tuhan menampakkan diri kepada
sahabat-sahabat-Nya yang terkepung ketakutan. Sebuah momen yang mengungkapkan
kuasa yang luar biasa: Yesus, setelah turun ke jurang maut untuk membebaskan
mereka yang terpenjara di sana, memasuki ruangan tertutup bagi mereka yang
lumpuh karena ketakutan, membawakan mereka anugerah yang tak berani diharapkan
seorang pun: damai sejahtera.
Salam-Nya
sederhana, hampir biasa: "Damai sejahtera bagi kamu!" (Yoh 20:19).
Namun, salam itu disertai dengan gestur yang begitu indah sehingga hampir
membingungkan: Yesus menunjukkan tangan dan lambung-Nya kepada para murid,
dengan bekas-bekas sengsara. Mengapa memperlihatkan luka-luka-Nya kepada mereka
yang, pada saat-saat dramatis itu, telah menyangkal dan meninggalkan-Nya?
Mengapa tidak menyembunyikan tanda-tanda rasa sakit itu dan menghindari membuka
kembali luka rasa malu?
Namun,
Injil mengatakan bahwa ketika melihat Tuhan, para murid bersukacita (bdk. Yoh.
20:20). Alasannya sangat mendalam: Yesus kini telah sepenuhnya berdamai dengan
segala penderitaan-Nya. Tak ada sedikit pun rasa dendam. Luka-luka itu bukan
untuk mencela, melainkan untuk meneguhkan kasih yang lebih kuat daripada
perselingkuhan apa pun. Luka-luka itu adalah bukti bahwa, bahkan di saat
kegagalan kita, Allah tidak mundur. Ia tidak menyerah pada kita.
Dengan
cara ini, Tuhan menunjukkan diri-Nya telanjang dan tak berdaya. Ia tidak
menuntut, Ia tidak menjadikan kita tebusan. Kasih-Nya tidak merendahkan; damai
sejahtera dari seseorang yang telah menderita demi kasih dan kini akhirnya
dapat menegaskan bahwa penderitaan itu sepadan.
Sebaliknya,
kita sering menutupi luka-luka kita karena kesombongan, atau karena takut
terlihat lemah. Kita berkata, "tidak masalah", "semuanya sudah
berlalu", tetapi kita tidak benar-benar berdamai dengan pengkhianatan yang
telah melukai kita. Terkadang kita lebih suka menyembunyikan upaya kita untuk
mengampuni agar tidak terlihat rentan dan berisiko menderita lagi. Yesus tidak
demikian. Ia menawarkan luka-luka-Nya sebagai jaminan pengampunan. Dan Ia
menunjukkan bahwa kebangkitan bukanlah penghapusan masa lalu, melainkan
perubahan rupanya menjadi pengharapan akan belas kasihan.
Kemudian,
Tuhan mengulangi: "Damai sejahtera bagi kamu!". Dan Ia menambahkan,
"Sama seperti Bapa mengutus Aku, sekarang Aku juga mengutus kamu"
(ayat 21). Dengan kata-kata ini, Ia memercayakan para rasul dengan tugas yang
lebih merupakan tanggung jawab daripada kuasa: menjadi alat pendamaian di
dunia. Seolah-olah Ia berkata, "Siapakah yang dapat mewartakan wajah Bapa
yang penuh belas kasihan, kalau bukan kamu, yang telah mengalami kegagalan dan
pengampunan?".
Yesus
mengembusi mereka dan memberi mereka Roh Kudus (ayat 22). Roh yang sama yang
menopang-Nya dalam ketaatan kepada Bapa dan dalam kasih bahkan sampai di kayu
salib. Sejak saat itu, para rasul tidak akan lagi dapat berdiam diri tentang
apa yang telah mereka lihat dan dengar: karena Allah mengampuni, mengangkat,
dan memulihkan kepercayaan.
Inilah
inti misi Gereja: bukan untuk berkuasa atas sesama, melainkan untuk
mengomunikasikan sukacita mereka yang dikasihi justru ketika mereka tidak
pantas menerimanya. Kekuatan inilah yang melahirkan komunitas kristiani dan
membuat mereka bertumbuh: pria dan wanita yang menemukan keindahan kembali ke
kehidupan untuk dapat membagikannya kepada sesama.
Saudara-saudari
terkasih, kita juga diutus. Tuhan menunjukkan luka-luka-Nya kepada kita dan
berkata: Damai sejahtera bagi kamu. Jangan takut untuk menunjukkan luka-lukamu
yang telah disembuhkan oleh belas kasihan. Jangan takut untuk mendekat kepada
mereka yang terjebak dalam ketakutan atau rasa bersalah. Semoga embusan Roh
Kudus menjadikan kita juga saksi-saksi damai sejahtera dan kasih yang lebih
kuat daripada kekalahan apa pun ini.
[Sapaan Khusus]
Saya
menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi
dalam audiensi hari ini, khususnya kelompok dari Inggris, Skotlandia, Irlandia,
Irlandia Utara, Denmark, Belanda, Norwegia, Australia, Selandia Baru, Kamboja,
Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Lebanon, Malaysia, Filipina, Taiwan,
Tanzania, Vietnam, Kanada, dan Amerika Serikat.
Secara
khusus saya menyapa para seminaris Kolese Kepausan Irlandia, yang sedang
memulai studi mereka, dan kepada para diakon Kolese Kepausan Amerika Utara,
beserta keluarga dan sahabat mereka.
Memasuki
bulan yang didedikasikan untuk Rosario Suci, saya mengajakmu untuk mendoakannya
setiap hari demi perdamaian di dunia kita. Semoga damai Kristus yang bangkit
menyertai kamu semua! Allah memberkatimu.
[Ringkasan
dalam bahasa Inggris]
Saudara-saudari
terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang Yesus, pengharapan kita, hari
ini kita merenungkan kebangkitan Yesus, sumber iman dan pengharapan kita.
Dengan penuh kelembutan, Yesus menampakkan diri kepada para murid untuk
memulihkan persekutuan dan menyatakan kasih-Nya, yang melampaui pengkhianatan,
luka, dan bahkan kematian. Sebagai tanda kasih ini, Yesus memberikan dua
karunia kepada para Rasul: damai sejahtera-Nya dan Roh Kudus. "Damai
sejahtera bagi kamu," kata-Nya sambil menunjukkan luka-luka-Nya kepada
mereka. Hal ini dilakukan bukan untuk mempermalukan mereka yang
meninggalkan-Nya, melainkan meyakinkan mereka akan pengampunan dan kasih-Nya,
serta mengajarkan mereka bahwa kematian-Nya di kayu salib telah diubah menjadi
tanda pengharapan. Dengan memberikan Roh Kudus, Yesus memercayakan para Rasul
tugas untuk menjadi alat-Nya di dunia. Pelajaran ini penting bagi kita
masing-masing: Allah mengampuni, membangkitkan, dan mengutus kita kembali.
Semoga kita juga menjadi saksi kebangkitan yang penuh sukacita dengan membawa
damai sejahtera, pengharapan, dan kasih Kristus kepada dunia yang hancur.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 1 Oktober 2025)