Liturgical Calendar

WEJANGAN PAUS LEO XIV KEPADA PARA PENDIDIK DALAM YUBILEUM DUNIA PENDIDIKAN 31 Oktober 2025

Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

 

Damai sejahtera besertamu!

 

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi dan selamat datang!

 

Saya sangat senang bertemu denganmu, para pendidik yang datang dari seluruh dunia dan bekerja di setiap jenjang, mulai dari sekolah dasar hingga universitas.

 

Sebagaimana kita ketahui, Gereja adalah Ibu sekaligus Guru (bdk. Santo Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961, 1), dan kamu berkontribusi dalam mempersonifikasikan wajahnya bagi banyak murid dan mahasiswa dengan membaktikan dirimu bagi pendidikan mereka. Berkat beragam karisma, metodologi, pedagogi, dan pengalaman yang kamu tawarkan, serta keterlibatan "polifonik"-mu dalam Gereja, keuskupan, kongregasi, institut keagamaan, lembaga, dan gerakan, kamu menjamin jutaan orang muda sebuah pembinaan yang tepat, dengan senantiasa menempatkan kebaikan pribadi sebagai pusat penyaluran pengetahuan humanis dan ilmiah.

 

Saya juga pernah menjadi guru di lembaga pendidikan Ordo Santo Agustinus. Oleh karena itu, saya ingin berbagi pengalaman saya denganmu dengan berfokus pada empat aspek ajaran Doctor Gratiae yang saya anggap fundamental bagi pendidikan kristiani: interioritas, kesatuan, kasih, dan sukacita. Inilah prinsip-prinsip yang ingin saya jadikan unsur pokok perjalanan kita bersama, menjadikan pertemuan ini sebagai awal dari perjalanan bersama menuju pertumbuhan dan pengayaan bersama.

 

Mengenai aspek interioritas, Santo Agustinus mengatakan bahwa "bunyi kata-kata kita menusuk telinga, Sang Guru ada di dalam" (In Epistolam Ioannis ad Parthos Tractatus 3,13), dan ia menambahkan: "Mereka yang tidak diajar oleh Roh Kudus secara batiniah akan pergi tanpa mempelajari apa pun" (idem). Dengan demikian, ia mengingatkan kita bahwa kelirulah jika menganggap kata-kata yang indah atau ruang kelas, laboratorium, dan perpustakaan yang baik sudah cukup untuk mengajar. Semua itu hanyalah sarana dan ruang fisik, yang tentu saja bermanfaat, tetapi Sang Guru ada di dalam. Kebenaran tidak menyebar melalui suara, dinding, dan koridor, melainkan dalam perjumpaan mendalam antarmanusia, yang tanpanya setiap upaya pendidikan pasti akan gagal.

 

Kita hidup di dunia yang didominasi oleh layar dan filter teknologi yang seringkali dangkal, sementara peserta didik membutuhkan bantuan untuk berhubungan dengan diri mereka. Dan bukan hanya mereka, tetapi juga para pendidik, yang sering kali lelah dan terbebani dengan tugas-tugas birokrasi, menghadapi risiko nyata melupakan apa yang dirangkum Santo John Henry Newman dalam ungkapan: cor ad cor loquitur (“hati berbicara kepada hati”) dan apa yang dikatakan Santo Agustinus: “Jangan melihat ke luar, kembalilah pada dirimu sendiri, karena kebenaran berdiam di dalam dirimu” (De Vera Religione, 39, 72). Kata-kata ini mengundang kita untuk memandang pembinaan sebagai jalan yang ditempuh guru dan murid bersama-sama (bdk. Santo Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae, 15 Agustus 1990, 1). Mereka sadar bahwa mereka tidak mencari dengan sia-sia, dan pada saat yang sama tahu bahwa mereka harus terus mencari bahkan setelah menemukan sesuatu. Hanya upaya yang rendah hati dan bersama ini – yang dalam konteks sekolah berbentuk projek pendidikan – yang dapat membawa siswa dan guru lebih dekat kepada kebenaran.

 

Hal ini membawa kita pada kata kedua: kesatuan. Seperti yang mungkin kamu ketahui, moto saya adalah: In illo uno unum. Ini juga merupakan ungkapan Agustinian (bdk. Ennaratio in Psalmum 127, 3), yang mengingatkan kita bahwa hanya di dalam Kristus kita sungguh menemukan kesatuan: sebagai anggota yang bersatu dengan Sang Kepala dan sebagai rekan dalam perjalanan pembelajaran berkelanjutan dalam kehidupan.

 

Dimensi "bersama" secara konsisten hadir dalam tulisan-tulisan Santo Agustinus, dan merupakan hal mendasar dalam konteks pendidikan sebagai tantangan untuk "menurunkan pusat" diri dan sebagai rangsangan untuk bertumbuh. Karena alasan ini, saya memutuskan untuk meninjau kembali dan memperbarui proyek Pakta Global tentang Pendidikan, yang merupakan salah satu wawasan kenabian pendahulu saya yang terhormat, Paus Fransiskus. Bagaimanapun, keberadaan kita bukanlah milik kita, sebagaimana diajarkan oleh sang guru dari Hippo: "jiwamu bukan hanya milikmu, tetapi milik saudara-saudarimu" (Ep. 243, 4). Jika hal ini benar dalam arti umum, maka hal ini lebih benar lagi dalam timbal balik yang merupakan ciri khas pendidikan, di mana pembagian pengetahuan hanya dapat dilihat sebagai tindakan cinta kasih yang besar.

 

Sungguh, kata ini – kasih – adalah kata ketiga kita. Kata ini mendorong kita untuk merefleksikan secara mendalam ajaran Agustinian yang menyatakan: “Kasih kepada Allah adalah perintah pertama, kasih kepada sesama adalah praktik pertama” (In Evangelium Ioannis Tractatus 17, 8). Oleh karena itu, dalam ranah pendidikan, kita masing-masing dapat bertanya pada diri kita sendiri, komitmen apa yang kita buat untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendesak; upaya apa yang kita lakukan untuk membangun jembatan dialog dan perdamaian, bahkan di dalam komunitas pengajar; keterampilan apa yang kita kembangkan untuk mengatasi prasangka atau pandangan sempit; keterbukaan apa yang kita tunjukkan dalam proses pembelajaran bersama; dan upaya apa yang kita lakukan untuk memenuhi dan menanggapi kebutuhan mereka yang paling rapuh, miskin, dan terpinggirkan? Berbagi pengetahuan saja tidak cukup untuk pengajaran: kasih dibutuhkan. Hanya dengan demikian pengetahuan akan bermanfaat bagi mereka yang menerimanya, dalam dirinya sendiri dan terutama, karena kasih yang disampaikannya. Mengajar tidak boleh dipisahkan dari kasih. Salah satu kesulitan saat ini dalam masyarakat kita adalah kita tidak lagi tahu bagaimana menghargai kontribusi besar yang diberikan guru dan pendidik kepada masyarakat. Namun kita perlu berhati-hati, karena merusak peran sosial dan budaya pendidik berarti membahayakan masa depan kita sendiri, dan krisis dalam penyampaian pengetahuan membawa serta krisis pengharapan.

 

Hal ini membawa kita pada kata kunci terakhir: sukacita. Guru sejati mendidik dengan senyuman, dan tujuan mereka adalah membangkitkan senyuman di lubuk jiwa peserta didik mereka. Saat ini, dalam konteks pendidikan kita, sungguh memprihatinkan melihat semakin meluasnya gejala kerapuhan batin, di segala usia. Kita tidak bisa menutup mata terhadap seruan minta tolong yang terpendam ini; sebaliknya, kita harus berusaha mengidentifikasi akar penyebabnya. Kecerdasan buatan, khususnya, dengan pengetahuan teknisnya yang dingin dan terstandarisasi, dapat semakin menjauhkan peserta didik yang sudah terasing, memberi mereka khayalan bahwa mereka tidak membutuhkan orang lain atau, lebih buruk lagi, perasaan bahwa mereka tidak layak bagi orang lain. Peran pendidik, di sisi lain, adalah upaya manusiawi; dan sukacita dari proses pendidikan itu sendiri adalah keterlibatan yang sepenuhnya manusiawi, sebuah "api untuk meleburkan jiwa kita, dan dari banyak menjadi satu" (Santo Agustinus, Pengakuan-pengakuan, IV, 8, 13).

 

Oleh karena itu, sahabat-sahabat terkasih, saya mengajakmu untuk menjadikan nilai-nilai ini – interioritas, kesatuan, kasih, dan sukacita – sebagai “unsur kunci” misimu kepada para peserta didik, dengan mengingat sabda Yesus: “Segala sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Saudara-saudari, saya berterima kasih atas karya berharga yang kamu lakukan! Saya memberkatimu segenap hati, dan saya akan mendoakanmu.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Oktober 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM PERTEMUAN DENGAN INSAN PENDIDIKAN DALAM YUBILEUM DUNIA PENDIDIKAN 30 Oktober 2025

Orang muda terkasih, selamat pagi!

 

Senang sekali bertemu denganmu! Terima kasih! Saya telah menantikan momen ini dengan penuh semangat. Berada bersamamu mengingatkan saya pada masa-masa ketika saya mengajarkan matematika kepada orang muda yang bersemangat sepertimu. Terima kasih telah menerima undangan untuk datang ke sini hari ini serta berbagi refleksi dan harapanmu, yang akan saya sampaikan kepada teman-teman kita di seluruh dunia.

 

Saya ingin memulai dengan mengenang Pier Giorgio Frassati, seorang mahasiswa Italia yang, sebagaimana kamu ketahui, dikanonisasi pada Tahun Yubileum ini. Dengan cintanya yang membara kepada Allah dan sesama, santo muda ini menciptakan dua frasa yang sering ia ulangi, hampir seperti sebuah moto: "Hidup tanpa iman ... bukanlah hidup, melainkan sekadar bertahan" dan "Menuju puncak." Kata-kata yang sangat tepat dan menyemangati. Maka saya juga berkata kepadamu: Milikilah keberanian untuk menjalani hidup sepenuhnya. Jangan puas dengan penampilan atau kecenderungan sesaat; hidup yang dikekang oleh kesenangan sesaat tidak akan pernah memuaskan kita. Sebaliknya, perkenankanlah kamu masing-masing berkata dalam hati: "Aku memimpikan lebih banyak, Tuhan; aku merindukan sesuatu yang lebih besar; berilah aku inspirasi!" Kerinduan ini adalah kekuatanmu dan dengan tepat mencerminkan komitmen kaum muda yang membayangkan masyarakat yang semakin baik dan menolak untuk hanya menjadi penonton. Oleh karena itu, saya mendorongmu untuk terus berjuang "menuju puncak," menyalakan mercusuar pengharapan di masa-masa gelap sejarah. Alangkah indahnya jika suatu hari nanti generasimu dikenang sebagai “generasi plus”, dikenang karena dorongan ekstra yang kamu bawa kepada Gereja dan dunia.

 

Namun, orang muda terkasih, hal ini tidak bisa hanya menjadi impian satu orang saja. Marilah kita bersatu untuk mewujudkannya, bersama-sama bersaksi tentang sukacita beriman kepada Yesus Kristus. Bagaimana kita dapat mencapainya? Jawabannya sederhana: melalui pendidikan, salah satu sarana terindah dan ampuh untuk mengubah dunia.

 

Lima tahun yang lalu, Paus Fransiskus yang kita kasihi meluncurkan proyek besar Pakta Global tentang Pendidikan, sebuah aliansi semua pihak yang, dengan berbagai cara, bekerja di bidang pendidikan dan kebudayaan, untuk melibatkan generasi muda dalam persaudaraan universal. Kamu, sesungguhnya, bukan sekadar penerima pendidikan, melainkan pelaku utamanya. Itulah sebabnya hari ini saya mengajakmu untuk bergabung membuka masa baru pendidikan, di mana kita semua — orang muda dan dewasa — menjadi saksi kebenaran dan perdamaian yang dapat dipercaya. Saya katakan kepadamu: kamu dipanggil untuk menjadi pewarta kebenaran dan pembawa damai, orang-orang yang teguh pada kata-katanya dan merupakan pembangun perdamaian. Libatkanlah rekan-rekanmu dalam pengupayaan kebenaran dan pengembangan perdamaian, ungkapkan kedua hasrat ini dengan hidup, perkataan, dan tindakan sehari-harimu.

 

Dalam hal ini, saya ingin menambahkan teladan Santo Pier Giorgio Frassati, sebuah refleksi dari Santo John Henry Newman, seorang santo terpelajar yang akan segera diangkat sebagai Pujangga Gereja. Beliau mengatakan bahwa pengetahuan bertumbuh ketika dibagikan, dan melalui percakapan batin api kebenaran dinyalakan. Demikian pula, kedamaian sejati lahir ketika banyak kehidupan, bagaikan bintang, berkumpul dan membentuk sebuah pola. Bersama-sama, kita dapat membentuk rasi pendidikan yang menuntun jalan ke depan.

 

Sebagai mantan guru matematika dan fisika, perkenankan saya melakukan beberapa perhitungan denganmu. Mungkin kamu akan segera mengikuti ujian matematika. Kita lihat saja nanti. Tahukah kamu berapa banyak bintang yang ada di alam semesta yang dapat diamati? Sebuah angka yang mengesankan dan menakjubkan: sekstiliun bintang — yaitu, angka 1 diikuti oleh 21 angka nol! Jika kita membaginya di antara 8 miliar orang di Bumi, setiap orang akan memiliki ratusan miliar bintang. Dengan mata telanjang, pada malam yang cerah, kita dapat melihat sekitar lima ribu bintang. Meskipun ada miliaran bintang, kita hanya melihat rasi bintang yang paling dekat; namun ini cukup untuk mengarahkan kita, seperti saat berlayar di lautan.

 

Para penjelajah selalu menemukan jalan mereka dengan bintang-bintang. Para pelaut mengikuti Bintang Utara; orang Polinesia menyeberangi lautan dengan menghafal peta bintang. Menurut para petani Andes, yang saya kenal ketika saya sebagai misionaris di Peru, langit adalah buku terbuka yang menandai musim menabur, mencukur bulu domba, dan siklus kehidupan. Bahkan orang Majus mengikuti bintang untuk mencapai Betlehem dan menyembah Bayi Yesus.

 

Seperti mereka, kamu juga memiliki bintang penuntun: orang tua, guru, imam, dan sahabat, yang bagaikan kompas yang membantumu agar tidak tersesat di tengah pasang surut kehidupan. Seperti mereka, kamu dipanggil untuk menjadi saksi gemilang bagi orang-orang di sekitarmu. Namun, seperti yang telah saya katakan, sebuah bintang tunggal tetaplah sebuah titik cahaya. Namun, ketika ia bergabung dengan bintang-bintang lain, ia membentuk sebuah rasi, seperti Salib Selatan. Begitulah adanya denganmu: kamu masing-masing adalah bintang, dan bersama-sama kamu dipanggil untuk menuntun masa depan. Pendidikan menyatukan orang-orang ke dalam komunitas yang hidup dan mengorganisasikan gagasan-gagasan ke dalam rasi makna. Sebagaimana ditulis Nabi Daniel, "Orang-orang yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bintang-bintang untuk selama-lamanya" (Dan. 12:3). Sungguh luar biasa! Kita memang bintang, karena kita adalah percikan-percikan Allah. Mendidik berarti menumbuhkan karunia ini.

 

Pendidikan, sesungguhnya, mengajarkan kita untuk memandang ke atas, selalu lebih tinggi. Ketika Galileo Galilei mengarahkan teleskopnya ke langit, ia menemukan dunia-dunia baru: bulan-bulan Jupiter, pegunungan Bulan. Pendidikan bagaikan sebuah teleskop yang memungkinkan kamu melihat lebih jauh dan menemukan apa yang tak akan kamu lihat sendiri. Jadi, jangan terpaku pada gawaimu dan rentetan gambarnya yang cepat berlalu; sebaliknya, pandanglah ke langit, ke ketinggian.

 

Orang muda yang terkasih, kamu sendiri yang mengusulkan tantangan baru pertama yang menuntut komitmen kita dalam Pakta Global tentang Pendidikan, dengan mengungkapkan keinginan yang kuat dan jelas. Kamu berkata, "Bantulah kami dalam pendidikan kehidupan batiniah kami." Saya sungguh tersentuh oleh permintaan ini. Memiliki banyak pengetahuan tidaklah cukup jika kita tidak tahu siapa diri kita atau apa arti hidup. Tanpa keheningan, tanpa mendengarkan, tanpa doa, bahkan cahaya bintang pun padam. Kita bisa mengetahui banyak hal tentang dunia namun tetap mengabaikan hati kita. Kamu juga mungkin pernah mengalami perasaan hampa atau gelisah yang menghantuimu. Dalam kasus-kasus yang paling serius, kita melihat episode-episode tekanan, kekerasan, perundungan, dan penindasan — bahkan kaum muda yang mengasingkan diri dan tidak lagi ingin berinteraksi dengan orang lain. Saya pikir di balik penderitaan ini juga terdapat kekosongan yang diciptakan oleh masyarakat yang telah melupakan bagaimana membentuk dimensi spiritual manusia, dan hanya berfokus pada aspek-aspek teknis, sosial, atau moral kehidupan.

 

Semasa muda, Santo Agustinus memang brilian, tetapi sangat tidak puas, sebagaimana kita baca dalam autobiografinya, Pengakuan-pengakuan. Ia mencari ke mana-mana — dalam kesuksesan dan kesenangan — dan terlibat dalam segala macam hal, tetapi ia tidak dapat menemukan kebenaran maupun kedamaian. Ketika ia menemukan Allah di dalam hatinya, ia menulis sebuah frasa yang sangat mendalam yang berlaku bagi kita semua: "Hatiku gelisah sampai ia beristirahat di dalam Engkau." Inilah arti mendidik diri kita sendiri untuk kehidupan batin: mendengarkan kegelisahan kita dan tidak melarikan diri darinya atau mengisinya dengan hal-hal yang tidak memuaskan. Kerinduan kita akan yang tak terbatas adalah kompas yang memberitahu kita: "Jangan berpuas diri — kamu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar;" "jangan hanya berdiam diri, tetapi hayatilah."

 

Tantangan kedua pendidikan baru adalah komitmen yang memengaruhi kita setiap hari dan di mana kamu adalah pengajarnya: pendidikan digital. Kamu hidup di dalamnya, dan pendidikan digital bukan hal yang buruk; ada banyak sekali peluang untuk belajar dan berkomunikasi. Namun, jangan biarkan algoritma menulis kisahmu! Jadilah penulisnya; Gunakan teknologi secara bijak, tetapi jangan biarkan teknologi menggunakanmu.

 

Kecerdasan buatan juga merupakan hal baru yang luar biasa — salah satu rerum novarum, atau "hal baru", di zaman kita. Namun, menjadi "cerdas" dalam kenyataan virtual saja tidak cukup; kita juga harus memperlakukan satu sama lain secara manusiawi, memelihara kecerdasan emosional, spiritual, sosial, dan ekologis. Karena itu, saya katakan kepadamu: belajarlah memanusiawikan dunia digital, membangunnya sebagai ruang persaudaraan dan kreativitas — bukan kurungan tempatmu mengurung diri, bukan kecanduan atau pelarian. Alih-alih menjadi turis di dunia maya, jadilah nabi di dunia digital!

 

Dalam hal ini, kita memiliki teladan kekudusan yang sangat tepat waktu: Santo Carlo Acutis. Ia adalah seorang pemuda yang tidak menjadi budak internet, melainkan menggunakannya dengan terampil untuk kebaikan. Santo Carlo memadukan imannya yang indah dengan kecintaannya pada komputer, menciptakan situs web tentang mukjizat Ekaristi dan dengan demikian menjadikan internet sebagai alat evangelisasi. Prakarsanya mengajarkan kita bahwa dunia digital bersifat mendidik ketika ia tidak menutup kita pada diri sendiri tetapi membuka diri kita terhadap orang lain — ketika ia tidak menempatkan kita di pusat tetapi mengarahkan kita kepada Allah dan orang lain.

 

Sahabat-sahabat terkasih, akhirnya kita sampai pada tantangan besar ketiga yang saya percayakan kepadamu hari ini — tantangan yang menjadi inti Pakta Global Pendidikan yang baru: pendidikan untuk perdamaian. Kamu dapat melihat betapa masa depan kita terancam oleh perang dan kebencian, yang memecah belah manusia. Bisakah masa depan ini diubah? Tentu! Bagaimana? Dengan pendidikan untuk perdamaian yang terlucuti senjata. Nyatanya, tidak cukup hanya membungkam senjata: kita harus melucuti hati, meninggalkan segala kekerasan dan kekasaran. Dengan cara ini, pendidikan yang terlucuti senjata menciptakan kesetaraan dan pertumbuhan bagi semua orang, mengakui martabat yang sama dari setiap orang muda, tanpa memecah belas orang muda di antara segelintir orang yang memiliki akses ke sekolah mahal dan banyak orang yang tidak memiliki akses ke pendidikan. Dengan keyakinan yang besar terhadapmu, saya mengundangmu untuk menjadi pembawa damai, pertama dan terutama di tempat tinggalmu — di keluargamu, di sekolah, dalam olahraga, dan di antara teman-temanmu — menjangkau mereka yang berasal dari budaya lain.

 

Sebagai penutup, sahabat-sahabat terkasih, janganlah memandang bintang jatuh, yang kepadanya pengharapan yang rapuh dititipkan. Pandanglah lebih tinggi lagi, kepada Yesus Kristus, “surya kebenaran” (bdk. Luk 1:78-79), yang akan selalu menuntunmu di sepanjang jalan kehidupan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Oktober 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 29 Oktober 2025 : KATEKESE DALAM RANGKA PERINGATAN 60 TAHUN PERNYATAAN KONSILI VATIKAN II NOSTRA AETATE

Saudara-saudari terkasih, para peziarah iman dan perwakilan berbagai tradisi keagamaan! Selamat pagi, selamat datang!

 

Dalam Audiensi Umum yang didedikasikan untuk dialog antaragama ini, saya ingin menempatkan sabda Tuhan Yesus kepada perempuan Samaria: "Allah itu Roh dan siapa saja yang menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran" (Yoh. 4:24) sebagai pokok refleksi hari ini. Dalam Bacaan Injil, perjumpaan ini mengungkapkan hakikat dialog keagamaan yang autentik: sebuah pertukaran yang terjalin ketika orang-orang saling terbuka dengan tulus, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan saling memperkaya. Sebuah dialog yang muncul dari kehausan: kehausan Allah akan hati manusia, dan kehausan manusia akan Allah. Di sumur Sikhar, Yesus mengatasi hambatan budaya, jenis kelamin, dan agama. Ia mengundang perempuan Samaria itu kepada pemahaman baru tentang ibadah, yang tidak terbatas pada tempat tertentu – "bukan di gunung, bukan juga di Yerusalem" – tetapi diwujudkan dalam Roh dan kebenaran. Momen ini menangkap inti dialog antaragama itu sendiri: penemuan kehadiran Allah yang melampaui segala batasan dan undangan untuk bersama-sama mencari Dia dengan rasa hormat dan kerendahan hati.

 

Enam puluh tahun yang lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1965, Konsili Vatikan II, dengan diundangkannya Pernyataan Nostra Aetate, membuka cakrawala baru perjumpaan, rasa hormat, dan keramahtamahan rohani. Dokumen yang cemerlang ini mengajarkan kita untuk menjumpai para penganut agama lain bukan sebagai orang luar, melainkan sebagai teman seperjalanan di jalan kebenaran; menghormati perbedaan yang meneguhkan kemanusiaan kita bersama; dan menelaah, dalam setiap pencarian keagamaan yang tulus, suatu refleksi satu Misteri ilahi yang merangkul seluruh ciptaan.

 

Secara khusus, jangan dilupakan dunia Yahudi, yang ingin dipulihkan kembali oleh Santo Yohanes XXIII dalam hubungan aslinya, merupakan fokus pertama Nostra Aetate. Pertama kalinya dalam sejarah Gereja, sebuah risalah doktrinal tentang akar Yahudi dari kekristenan dibentuk, yang pada tataran biblis dan teologis menjadi titik balik. Sebuah "ikatan rohani antara umat Perjanjian Baru dan keturunan Abraham ... Sebab, Gereja Kristus mengakui bahwa, menurut rencana ilahi penyelamatan, awal mula iman dan pemilihannya sudah terdapat pada para Bapa Bangsa, Musa dan para nabi" (Nostra Aetate, 4). Selain itu Gereja, "mengingat pusaka warisannya bersama bangsa Yahudi, masih menyesalkan kebencian, penganiayaan, pun juga unjuk-unjuk rasa antisemitisme terhadap bangsa Yahudi, kapan pun dan oleh siapa pun itu dijalankan, terdorong bukan karena motivasi-motivasi politik, melainkan karena cinta kasih keagamaan menurut Injil." (idem). Sejak saat itu, semua pendahulu saya telah mengutuk antisemitisme dengan kata-kata yang tegas. Maka saya pun menegaskan Gereja tidak menoleransi antisemitisme dan menentangnya, berdasarkan Injil itu sendiri.

 

Hari ini kita dapat mensyukuri segala hal yang telah dicapai dalam dialog Yahudi-Katolik selama enam dekade ini. Hal ini bukan hanya berkat usaha manusiawi, tetapi juga berkat pertolongan Allah kita yang, menurut keyakinan kristiani, adalah dialog itu sendiri. Kita tidak dapat menyangkal bahwa telah terjadi kesalahpahaman, kesulitan, dan konflik selama periode ini, tetapi hal-hal tersebut tidak pernah menghalangi dialog untuk terus berlanjut. Bahkan saat ini, kita tidak boleh membiarkan situasi politik dan ketidakadilan yang dialami sebagian orang menjauhkan kita dari persahabatan, terutama karena kita telah mencapai begitu banyak hal sejauh ini.

 

Semangat Nostra Aetate terus menerangi jalan Gereja. Gereja mengakui bahwa semua agama dapat memantulkan "sinar kebenaran, yang menerangi semua orang" (NA, 2) dan mencari jawaban atas misteri-misteri agung keberadaan manusia, sehingga dialog tidak boleh hanya bersifat intelektual, melainkan mendalam secara spiritual. Pernyataan ini mengajak seluruh umat Katolik – uskup, klerus, kaum hidup bakti, dan umat awam – untuk sungguh-sungguh terlibat dalam dialog dan kerjasama dengan para penganut agama lain, dengan mengakui dan mengembangkan segala hal yang baik, benar, dan kudus dalam tradisi mereka (bdk. idem). Hal ini diperlukan dewasa ini di hampir setiap kota di mana, karena mobilitas manusia, perbedaan spiritual dan budaya kita dipanggil untuk saling berjumpa dan hidup bersama dalam persaudaraan. Nostra Aetate mengingatkan kita bahwa dialog sejati berakar pada kasih, satu-satunya landasan perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi, sekaligus dengan tegas menolak segala bentuk diskriminasi atau penganiayaan, dan meneguhkan kesetaraan martabat setiap manusia (bdk. NA, 5).

 

Oleh karena itu, saudara-saudari terkasih, enam puluh tahun setelah Nostra Aetate, kita dapat bertanya pada diri kita sendiri: apa yang bisa kita lakukan bersama? Jawabannya sederhana: kita bisa bertindak bersama. Lebih dari sebelumnya, dunia kita membutuhkan persatuan, persahabatan, dan kerjasama kita. Setiap agama kita dapat berkontribusi untuk meringankan penderitaan manusia dan menjaga rumah kita bersama, planet Bumi kita. Tradisi kita masing-masing mengajarkan kebenaran, kasih sayang, rekonsiliasi, keadilan, dan perdamaian. Kita harus meneguhkan kembali pengabdian kepada kemanusiaan, setiap saat. Bersama-sama, kita harus waspada terhadap penyalahgunaan nama Allah, agama, dan dialog itu sendiri, serta terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh fundamentalisme dan ekstremisme agama. Kita juga harus menghadapi perkembangan kecerdasan buatan secara bertanggung jawab karena, jika dianggap sebagai alternatif bagi manusia, hal itu dapat sangat melanggar martabatnya yang tak terbatas dan menetralisir tanggung jawabnya yang dasariah. Tradisi kita memiliki kontribusi yang sangat besar bagi humanisasi teknologi dan oleh karena itu menginspirasi pengaturannya, untuk melindungi hak asasi dasariah manusia.

 

Sebagaimana kita semua ketahui, agama kita mengajarkan bahwa perdamaian berawal dari hati manusia. Dalam hal ini, agama dapat memainkan peran dasariah. Kita harus memulihkan harapan dalam kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan, sekolah, desa, negara, dan dunia kita. Harapan ini berdasarkan pada keyakinan agama kita, pada keyakinan bahwa dunia baru itu mungkin.

 

Enam puluh tahun yang lalu, Nostra Aetate membawa harapan bagi dunia setelah Perang Dunia II. Hari ini kita dipanggil untuk menyalakan kembali harapan itu di dunia kita, yang hancur akibat perang dan lingkungan alam kita yang rusak. Marilah kita bekerjasama, karena jika kita bersatu, segalanya mungkin. Marilah kita pastikan tidak ada yang memisahkan kita. Dan dalam semangat ini, saya ingin sekali lagi menyampaikan rasa terima kasih saya atas kehadiran dan persahabatanmu. Marilah kita wariskan semangat persahabatan dan kerjasama ini juga kepada generasi mendatang, karena semangat inilah yang menjadi pilar sejati dialog.

 

Dan sekarang, marilah kita berhenti sejenak dalam doa hening: doa memiliki kekuatan untuk mengubah sikap, pikiran, perkataan dan tindakan kita.

 

***

 

[Imbauan]

 

Dalam beberapa hari terakhir, Jamaika dilanda Badai Melissa, badai dahsyat yang menyebabkan banjir bandang. Saat ini, badai tersebut sedang melanda Kuba dengan kekuatan dahsyat. Ribuan orang telah mengungsi, sementara rumah, infrastruktur, dan beberapa rumah sakit rusak. Saya memastikan semua orang akan kedekatan saya, mendoakan mereka yang telah kehilangan nyawa, mereka yang mengungsi, dan penduduk yang, menunggu perkembangan badai, mengalami kecemasan dan kekhawatiran selama berjam-jam. Saya mendorong otoritas sipil untuk melakukan segala yang mungkin dan saya berterima kasih kepada komunitas kristiani, bersama dengan organisasi-organisasi sukarela, atas bantuan yang mereka berikan.

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat seluruh peziarah dan pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi dalam audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari Inggris, Irlandia, Norwegia, Swedia, Ghana, Kenya, Nigeria, Uganda, Zimbabwe, Australia, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Kanada, dan Amerika Serikat.

 

Secara khusus, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih atas kehadiran para pemimpin dan perwakilan agama-agama bukan kristiani.

 

Semoga Allah, yang menciptakan semua pria dan wanita, mencurahkan ke dalam hati kita semangat kasih persaudaraan agar kita dapat mengenali jejak kebaikan dan keindahan Allah dalam diri setiap manusia.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam perayaan enam puluh tahun Nostra Aetate, Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani, kita melihat bagaimana, dalam bacaan Kitab Suci hari ini, perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria menangkap esensi dialog antaragama, yaitu, penemuan yang rendah hati akan kehadiran Allah. Sungguh, Nostra Aetate mengajak kita untuk memandang setiap agama sebagai pencarian kebenaran dan memandang setiap pencari Allah yang tulus sebagai orang yang merefleksikan misteri ilahi-Nya. Karena iman kristiani kita berakar pada rencana keselamatan Allah, yang dimulai dengan umat pilihan-Nya, Gereja memiliki kasih dan penghormatan yang istimewa bagi umat Yahudi. Pada saat yang sama, dunia membutuhkan lebih dari sebelumnya kesaksian yang kuat pria dan wanita dari semua agama yang hidup bersama dalam persatuan, persahabatan, dan kerjasama. Dengan cara yang sejati ini, kita dapat bekerjasama untuk mencapai perdamaian, keadilan, dan rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan saat ini. Oleh karena itu, semoga kita tidak pernah kehilangan harapan bahwa dunia baru tanpa perpecahan itu mungkin.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 26 Oktober 2025

Saudara-saudari terkasih, selamat hari Minggu!

 

Bacaan Injil hari ini (bdk. Luk 18:9-14) menggambarkan dua orang, seorang Farisi dan seorang pemungut cukai, yang sedang berdoa di Bait Allah.

 

Orang yang pertama membanggakan sederet jasa. Ia telah melakukan banyak perbuatan baik, dan karena alasan ini ia merasa lebih unggul daripada orang lain, yang ia nilai dengan nada menghina. Ia berdiri tegak. Sikapnya jelas lancang, menunjukkan ketaatan yang ketat terhadap hukum, tetapi miskin kasih, terdiri dari "memberi" dan "mengambil", utang dan kredit, tanpa belas kasihan.

 

Pemungut cukai juga berdoa, tetapi dengan cara yang sangat berbeda. Ia sangat membutuhkan pengampunan: ia adalah seorang pemungut cukai yang dibayar oleh Kekaisaran Romawi, dan ia bekerja di bawah kontrak yang memungkinkannya untuk berspekulasi atas hasil penjualannya sehingga merugikan orang-orang sebangsanya. Namun, di akhir perumpamaan, Yesus memberitahu kita bahwa pemungut cukailah yang pulang ke rumahnya sebagai "orang yang dibenarkan," yaitu, diampuni dan diperbarui melalui perjumpaannya dengan Allah. Mengapa?

 

Pertama, pemungut cukai memiliki keberanian dan kerendahan hati untuk mempersembahkan dirinya di hadapan Allah. Ia tidak menutup diri dalam dunianya sendiri atau pasrah pada kejahatan yang telah diperbuatnya. Ia meninggalkan tempat-tempat yang ditakutinya, aman, dan terlindungi oleh kekuasaan yang dimilikinya atas orang lain. Ia pergi ke Bait Allah sendirian, tanpa pengawal, meskipun harus menghadapi tatapan tajam dan penghakiman yang tajam, dan ia berdiri di hadapan Tuhan, di belakang, dengan kepala tertunduk, mengucapkan beberapa patah kata: "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini" (ayat 13).

 

Yesus memberi kita pesan yang kuat: bukan dengan memamerkan jasa-jasa kita diselamatkan, juga bukan dengan menyembunyikan kesalahan-kesalahan kita, melainkan dengan mempersembahkan diri kita dengan jujur, apa adanya, di hadapan Allah, diri kita sendiri, dan sesama, memohon pengampunan dan mempercayakan diri kita kepada rahmat Tuhan.

 

Mengulas bagian ini, Santo Agustinus membandingkan orang Farisi dengan orang sakit yang, karena malu dan sombong, menyembunyikan luka-lukanya dari dokter. Pemungut cukai dibandingkan dengan orang lain yang, dengan kerendahan hati dan kebijaksanaan, memperlihatkan luka-lukanya di hadapan dokter, betapapun tidak menyenangkannya luka itu, dan meminta pertolongan. Santo Agustinus menyimpulkan: "Tidaklah mengherankan pemungut cukailah ... yang pergi dalam keadaan sembuh, karena ia tidak malu menunjukkan di mana ia merasakan sakit" (Khotbah 351,1).

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita melakukan hal yang sama. Janganlah kita takut mengakui kesalahan kita, menyingkapkannya, bertanggung jawab atasnya, dan mempercayakannya kepada belas kasihan Allah. Dengan demikian, Kerajaan-Nya — yang bukan milik orang sombong melainkan milik orang rendah hati dan dibangun melalui doa dan perbuatan, dengan mempraktikkan kejujuran, pengampunan, dan rasa syukur — dapat tumbuh di dalam diri kita dan di sekitar kita.

 

Marilah kita memohon kepada Maria, teladan kekudusan, untuk membantu kita bertumbuh dalam kebajikan-kebajikan ini.

 

[Setelah pendarasan doa Malaikat Tuhan]

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Saya menyampaikan rasa kedekatan saya yang tulus kepada rakyat Meksiko timur, yang beberapa hari ini dilanda banjir. Saya berdoa bagi keluarga-keluarga dan semua yang menderita akibat bencana ini, dan saya mempercayakan kepada Tuhan, melalui perantaraan Santa Perawan Maria, jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal.

 

Doa kita untuk perdamaian terus dipanjatkan tanpa henti, terutama melalui doa Rosario Suci bersama. Sambil merenungkan misteri Kristus bersama Perawan Maria, kita menjadikan penderitaan dan harapan anak-anak, ibu, ayah, dan orang lanjut usia korban perang sebagai penderitaan dan harapan kita. Dan dari doa perantaraan yang tulus ini muncul banyak gerakan amal kasih injili, kedekatan nyata, dan kesetiakawanan. Kepada semua orang yang setiap hari menjalankan komitmen ini dengan ketekunan yang penuh kepercayaan, saya katakan sekali lagi, "Berbahagialah orang yang membawa damai!"

 

Saya menyapa kamu semua, umat Roma dan para peziarah dari Italia dan berbagai belahan dunia, terutama mereka yang berasal dari Logroño Spanyol, San Pedro Paraguay, Recreio Brasil, dan komunitas Kuba yang tinggal di Eropa.

 

Saya juga menyapa umat Ginosa, Genoa, Corato, Fornovo San Giovanni, Milan, San Giovanni Ilarione, dan Porto Legnago; kaum muda Scicli; para calon Sakramen Krisma dari Keuskupan Saluzzo; para Suster Reparatrix Hati Kudus yang merayakan 150 tahun berdirinya; kelompok Komuni dan Pembebasan dari Pavia; dan Paduan Suara Polifonik Milazzo.

 

Terima kasih semuanya! Selamat menikmati hari Minggu!

______

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Oktober 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 22 Oktober 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 4. KEBANGKITAN KRISTUS DAN TANTANGAN DUNIA MASA KINI 2. KEBANGKITAN YESUS, TANGGAPAN TERHADAP KESEDIHAN MANUSIA

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi! Dan selamat datang kepada kamu semua!

 

Kebangkitan Yesus Kristus adalah peristiwa yang tak pernah selesai direnungkan dan dimeditasikan, dan semakin kita mendalaminya, semakin kita dipenuhi rasa takjub, seolah-olah ditarik oleh cahaya yang luar biasa namun mempesona. Suatu ledakan kehidupan dan sukacita yang mengubah makna kenyataan itu sendiri, dari negatif menjadi positif; namun, tidak terjadi dengan cara yang mencolok, apalagi dengan kekerasan, melainkan dengan lembut, tersembunyi, bisa dikatakan dengan rendah hati.

 

Hari ini kita akan merefleksikan bagaimana kebangkitan Kristus dapat menyembuhkan salah satu penyakit di zaman kita: kesedihan. Kesedihan yang mengganggu dan meluas, menyertai hari-hari banyak orang. Kesedihan adalah perasaan genting, terkadang keputusasaan yang mendalam, yang menyerbu ruang batin kita dan tampaknya mengalahkan segala dorongan untuk bersukacita.

 

Kesedihan merampas makna dan semangat hidup, mengubahnya menjadi perjalanan tanpa arah dan makna. Pengalaman terkini ini mengingatkan kita pada kisah terkenal dalam Injil Lukas (24:13-29) tentang dua murid Emaus. Kecewa dan putus asa, mereka meninggalkan Yerusalem, meninggalkan harapan yang mereka miliki terhadap Yesus, yang telah disalibkan dan dikuburkan. Dalam ayat pembuka, kisah ini menyajikan paradigma kesedihan manusia: akhir tujuan yang terhadapnya begitu banyak energi telah mereka curahkan, kehancuran dari apa yang tampaknya menjadi esensi hidup mereka. Harapan mereka pupus; kehancuran telah menguasai hati mereka. Segalanya hancur dalam waktu yang sangat singkat, antara Jumat dan Sabtu, dalam rangkaian peristiwa yang dramatis.

 

Paradoks ini sungguh simbolis: perjalanan menyedihkan menuju kekalahan dan kembali ke kehidupan biasa ini terjadi di hari yang sama dengan kemenangan terang, Paskah yang telah digenapi sepenuhnya. Kedua murid itu membelakangi Golgota, pada pemandangan salib yang mengerikan, yang masih terpatri di mata dan hati mereka. Rasanya semuanya telah sirna. Mereka harus kembali ke kehidupan lama mereka, tidak mencolok dan berharap tidak dikenali.

 

Pada suatu ketika, seorang musafir bergabung dengan kedua murid itu, mungkin salah satu dari banyak peziarah yang telah pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah. Ia adalah Yesus yang telah bangkit, tetapi mereka tidak mengenali-Nya. Kesedihan mengaburkan pandangan mereka, menyingkirkan janji yang telah diucapkan Sang Guru beberapa kali: bahwa Ia akan dibunuh dan pada hari ketiga Ia akan bangkit kembali. Orang asing itu mendekat dan menunjukkan minat pada apa yang mereka bicarakan. Teks mengatakan bahwa keduanya "berhenti dengan muka muram" (Luk 24:17). Kata sifat bahasa Yunani ini digunakan untuk menggambarkan kesedihan yang mendalam: kelumpuhan jiwa tampak jelas di wajah mereka.

 

Yesus mendengarkan mereka, membiarkan mereka mencurahkan kekecewaan mereka. Kemudian, dengan sangat terus terang, Ia menegur mereka karena "bodoh, betapa lambannya hati mereka untuk mempercayai segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!" (ayat 25), dan melalui Kitab Suci Ia menunjukkan bahwa Kristus harus menderita, wafat, dan bangkit kembali. Kehangatan harapan kembali berkobar dalam hati kedua murid itu, dan kemudian, ketika malam tiba dan mereka sampai di tempat tujuan, mereka mengundang teman seperjalanan mereka yang misterius itu untuk tinggal bersama mereka.

 

Yesus menerima undangan tersebut, dan duduk di meja bersama mereka. Kemudian Ia mengambil roti, memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu, kedua murid itu mengenal Dia ... tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka (ayat 30-31). Gerakan memecah-mecahkan roti membuka kembali mata hati, sekali lagi menerangi penglihatan yang dikaburkan oleh keputusasaan. Dan kemudian semuanya menjadi jelas: perjalanan bersama, kata-kata yang lembut dan penuh kuasa, cahaya kebenaran... Seketika, sukacita kembali berkobar, energi mengalir kembali ke anggota tubuh mereka yang lelah, dan rasa syukur kembali ke dalam ingatan mereka. Dan keduanya bergegas kembali ke Yerusalem untuk menceritakan segalanya kepada yang lain.

 

"Sesungguhnya Tuhan telah bangkit" (bdk. ayat 34). Dalam kata keterangan ini, sesungguhnya, akhir yang pasti dari sejarah kita sebagai manusia digenapi. Bukan suatu kebetulan bahwa inilah salam yang saling disampaikan umat Kristiani pada Hari Raya Paskah. Yesus tidak bangkit dalam perkataan, melainkan dalam perbuatan, dengan tubuh-Nya yang menanggung tanda-tanda sengsara-Nya, meterai abadi kasih-Nya bagi kita. Kemenangan hidup bukan kata-kata kosong, melainkan bukti nyata dan kasat mata.

 

Semoga sukacita yang tak terduga dari kedua murid Emaus menjadi pengingat yang lembut bagi kita ketika keadaan menjadi sulit. Yesus yang bangkit yang secara radikal mengubah sudut pandang kita, menanamkan pengharapan yang mengisi kekosongan kesedihan. Di jalan hati, Yesus yang bangkit berjalan bersama kita dan untuk kita. Ia menjadi saksi kekalahan maut dan meneguhkan kemenangan hidup, terlepas dari kegelapan Kalvari. Sejarah masih memiliki banyak harapan akan kebaikan.

 

Mengenali kebangkitan berarti mengubah cara pandang kita terhadap dunia: kembali kepada terang untuk mengenali Sang Kebenaran yang telah menyelamatkan kita, dan yang menyelamatkan kita. Saudari-saudari, marilah setiap hari kita tetap berjaga-jaga dalam ketakjuban Paskah Yesus yang bangkit. Hanya Dia yang membuat yang mustahil menjadi mungkin!

 

[Sapaan Khusus]

 

Saya menyapa dengan hangat para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris yang berpartisipasi dalam Audiensi hari ini, terutama mereka yang datang dari Inggris, Skotlandia, Denmark, Finlandia, Belanda, Burundi, Ghana, Nigeria, Uganda, Australia, Bahrain, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Pakistan, Filipina, Taiwan, Thailand, Arab Saudi, Vietnam, Antigua dan Barbuda, Kanada, dan Amerika Serikat. Secara khusus, saya menyapa dan berterima kasih kepada kelompok "Sahabat Bapa Suci" dari Inggris Raya yang telah menyumbangkan studio portabel untuk digunakan oleh Vatican News Services. Saya berharap Yubileum ini akan terus menjadi masa pembaruan rohani dan pertumbuhan dalam sukacita Injil bagi kamu semua. Atasmu dan keluargamu, dengan senang hati saya memohonkan berkat kebijaksanaan, kekuatan, dan kedamaian dari Allah.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam katekese kita tentang tema Yubileum "Yesus Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita akan membahas kuasa kebangkitan yang mengubah rupa. Dalam masyarakat kita, kesedihan dan keputusasaan melanda banyak sekali individu yang berjuang untuk menemukan makna hidup mereka. Dalam perjalanan ke Emaus, kita melihat para murid juga berkecil hati, karena mereka baru saja menyaksikan kehancuran harapan mereka. Setelah memecah-mecah roti bersama mereka, Tuhan lenyap dari tengah-tengah mereka, namun jiwa mereka dibanjiri kesadaran yang tak terduga dan penuh sukacita: Kristus sungguh telah bangkit! Tuhan ingin melakukan hal yang sama bagi kita, dengan menyingkirkan segala kesedihan dan keputusasaan yang mungkin kita rasakan. Oleh karena itu, marilah kita merenungkan luka-luka Yesus yang mulia yang menjadi bukti kasih-Nya yang maharahim bagi kita dan membiarkan diri kita diperbarui oleh sukacita kebangkitan.
_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Oktober 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM AUDIENSI UMUM 15 Oktober 2025 : YESUS KRISTUS PENGHARAPAN KITA. 4. KEBANGKITAN KRISTUS DAN TANTANGAN DUNIA MASA KINI 1. YESUS YANG BANGKIT, SUMBER HARAPAN MANUSIA YANG HIDUP

Saudara-saudari terkasih, selamat pagi!

 

Dalam katekese Tahun Yubileum, hingga kini, kita telah menelusuri kembali kehidupan Yesus, mengikuti keempat Injil, dari kelahiran-Nya hingga wafat dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian, ziarah pengharapan kita telah menemukan landasan yang kokoh, jalannya yang pasti. Kini, di bagian akhir perjalanan ini, kita akan membiarkan misteri Kristus, yang berpuncak pada kebangkitan, memancarkan cahaya keselamatannya dalam kontak dengan kenyataan manusiawi dan sejarah terkini, dengan segala pertanyaan dan tantangannya.

 

Kehidupan kita diwarnai oleh peristiwa yang tak terhitung jumlahnya, penuh dengan nuansa dan pengalaman yang beraneka ragam. Terkadang kita merasa gembira, terkadang sedih, terkadang merasa terpenuhi atau tertekan, merasa puas atau kehilangan motivasi. Kita menjalani kehidupan yang sibuk, kita berkonsentrasi untuk mencapai hasil, dan bahkan mencapai tujuan yang mulia dan bergengsi. Sebaliknya, kita tetap terombang-ambing, bimbang, menunggu kesuksesan dan pengakuan yang tertunda atau bahkan tak kunjung tiba. Singkatnya, kita mendapati diri kita mengalami situasi paradoks: kita ingin bahagia, namun sangat sulit untuk bahagia secara terus-menerus, tanpa bayang-bayang. Kita berdamai dengan keterbatasan kita dan, di saat yang sama, dengan dorongan yang tak tertahankan untuk mencoba mengatasinya. Jauh di lubuk hati, kita merasa selalu ada yang kurang.

 

Sesungguhnya, kita diciptakan bukan untuk kekurangan, melainkan untuk kepenuhan, untuk bersukacita dalam kehidupan, dan hidup berkelimpahan, sesuai ungkapan Yesus dalam Injil Yohanes (bdk. 10:10).

 

Kerinduan terdalam dalam hati kita ini dapat menemukan jawaban akhirnya bukan dalam peran, bukan dalam kuasa, bukan dalam kepemilikan, melainkan dalam keyakinan bahwa ada seseorang yang menjamin dorongan yang membangun kemanusiaan kita ini; dalam kesadaran bahwa pengharapan ini tidak akan dikecewakan atau digagalkan. Kepastian ini sejalan dengan harapan. Ini bukan berarti berpikir optimis: seringkali optimisme mengecewakan kita, menyebabkan pengharapan kita runtuh, sementara harapan menjanjikan dan menggenapi.

 

Saudara-saudari, Yesus yang bangkit adalah jaminan pembebasan ini! Dialah sumber air yang memuaskan dahaga kita, dahaga tak terbatas akan kepenuhan yang dicurahkan Roh Kudus ke dalam hati kita. Sungguh, kebangkitan Kristus bukan sekadar peristiwa sejarah manusia, melainkan peristiwa yang mengubah rupanya dari dalam.

 

Marilah kita renungkan sebuah sumber air. Apa saja karakteristiknya? Air memuaskan dahaga dan menyegarkan makhluk hidup, mengairi lahan, menyuburkan dan menghidupkan apa yang tadinya tandus. Air menyegarkan pengembara yang lelah, memberinya sukacita dari sebuah oasis kesegaran. Sebuah sumber air tampak sebagai anugerah yang diberikan secara cuma-cuma bagi alam, makhluk hidup, manusia. Tanpa air, mustahil untuk hidup.

 

Yesus yang bangkit adalah sumber kehidupan yang tak pernah kering dan tak pernah berubah. Ia selalu murni dan tersedia bagi siapa pun yang haus. Dan semakin kita mengecap misteri Allah, semakin kita tertarik padanya, tanpa pernah merasa sepenuhnya puas. Santo Agustinus, dalam Buku Pengakuan-pengakuan bab kesepuluh, menangkap dengan tepat kerinduan hati kita yang tak habis-habisnya ini dan mengungkapkannya dalam Madah untuk Keindahan-nya yang terkenal: “Engkau mengembuskan wangi-wangian, dan aku menarik napas dan megap-megap mengejar-Mu. Aku mengecap, serta lapar dan haus. Engkau menjamahku, dan aku terbakar oleh damai-Mu” (X, 27, 38).

 

Yesus, dengan kebangkitan-Nya, telah menjamin bagi kita sumber kehidupan yang kekal: Dialah yang hidup (bdk. Why 1:18), pencinta kehidupan, pemenang atas segenap maut. Karena itu, Ia mampu menawarkan kepada kita penyegaran dalam perjalanan hidup kita di dunia dan menjamin kita akan kedamaian sempurna dalam kekekalan. Hanya Yesus, yang wafat dan bangkit kembali, yang menjawab pertanyaan terdalam hati kita: adakah tujuan akhir bagi kita? Apakah keberadaan kita memiliki makna? Dan bagaimana penderitaan begitu banyak orang tak berdosa dapat ditebus?

 

Yesus yang bangkit tidak memberikan kita jawaban "dari atas", melainkan menjadi pendamping kita dalam perjalanan yang seringkali sulit, menyakitkan, dan penuh misteri ini. Hanya Dia yang dapat mengisi bejana kita yang kosong ketika dahaga kita tak tertahankan.

 

Dan Dia juga tujuan perjalanan kita. Tanpa kasih-Nya, perjalanan hidup akan menjadi pengembaraan tanpa tujuan, sebuah kesalahan tragis dengan tujuan yang terlewat. Kita adalah makhluk yang rapuh. Kesalahan adalah bagian dari kemanusiaan kita; luka dosalah yang membuat kita jatuh, menyerah, dan putus asa. Sebaliknya, bangkit kembali berarti bangkit dan berdiri tegak. Yesus yang bangkit menjamin kedatangan kita, menuntun kita pulang, tempat kita dinantikan, dikasihi, dan diselamatkan. Berjalan bersama-Nya berarti mengalami ditopang di tengah segala hal, dahaga kita terpuaskan, dan disegarkan dalam kesulitan dan pergumulan yang, bagaikan batu-batu berat, mengancam menghalangi atau mengalihkan sejarah kita.

 

Sahabat-sahabat terkasih, dari kebangkitan Kristus muncul harapan yang memberi kita sedikit rasa, kendati hidup ini melelahkan, akan ketenangan yang mendalam dan penuh sukacita: kedamaian yang hanya dapat Ia berikan kepada kita pada akhirnya, tanpa akhir.

 

[Sapaan Khusus]

 

Dengan senang hati saya menyapa para peziarah dan para pengunjung berbahasa Inggris pagi ini, terutama dari Inggris, Wales, Irlandia, Malta, Norwegia, Uganda, Australia, Selandia Baru, Cina, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, Kanada, dan Amerika Serikat. Dengan doa dan harapan yang baik, semoga Yubileum Pengharapan ini menjadi masa rahmat dan pembaruan rohani bagimu dan keluargamu. Saya memohonkan sukacita dan damai sejahtera Tuhan kita Yesus Kristus bagi kamu semua.

 

[Ringkasan dalam bahasa Inggris]

 

Saudara-saudari terkasih, dalam katekese lanjutan kita tentang tema Yubileum "Yesus Kristus Pengharapan Kita", hari ini kita merenungkan bagaimana kebangkitan Yesus memenuhi kerinduan setiap hati manusia. Hidup kita ditandai oleh situasi-situasi yang saling bertentangan yang menyingkapkan keterbatasan dan dorongan kita untuk mengatasinya. Kita mencari pengakuan duniawi, dan entah kita menerimanya atau tidak, kita tetap merasa hampa. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak benar-benar puas dengan pencapaian dan kepastian dunia yang fana ini. Hal ini karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan melalui kuasa Roh Kudus, kita menyadari kerinduan yang tak habis-habisnya akan sesuatu yang lebih dalam hati kita. Hanya Yesus yang telah bangkit yang dapat memberikan kedamaian sejati dan abadi yang menopang dan memenuhi diri kita. Di tengah dunia yang bergumul dengan kelelahan dan keputusasaan, marilah kita menjadi tanda-tanda pengharapan, kedamaian, dan sukacita dalam Tuhan yang bangkit.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Oktober 2025)

WEJANGAN PAUS LEO XIV DALAM DOA MALAIKAT TUHAN 12 Oktober 2025

Saudara-saudari terkasih, sebelum mengakhiri perayaan ini, saya ingin menyampaikan salam hangat kepada kamu semua yang telah berkumpul di sini untuk berdoa dalam "senakel" agung ini bersama Maria, Bunda Yesus. Kamu semua mewakili beraneka ragam perkumpulan, gerakan, dan komunitas yang diilhami oleh devosi kepada Maria, yang merupakan ciri khas setiap umat kristiani. Saya berterima kasih dan mendorongmu untuk senantiasa mendasarkan spiritualitasmu pada Kitab Suci dan Tradisi Gereja.

 

Saya menyapa semua kelompok peziarah, khususnya kaum awam Agustinian Italia dan Ordo Sekular Karmelit Tak Berkasut.

 

Dalam beberapa hari terakhir, kesepakatan untuk memulai proses perdamaian telah memberikan secercah harapan di Tanah Suci. Saya mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk berani terus berada di jalan yang telah mereka pilih, menuju perdamaian yang adil dan abadi yang menghormati aspirasi sah rakyat Israel dan Palestina. Dua tahun konflik telah menyebabkan kematian dan kehancuran di seluruh negeri, terutama di hati mereka yang telah kehilangan anak, orang tua, teman, dan harta benda mereka secara brutal. Bersama seluruh Gereja, saya merasakan kepedihanmu yang mendalam. Sentuhan lembut Tuhan ditujukan terutama kepadamu hari ini, dalam keyakinan bahwa bahkan di tengah kegelapan terdalam, Ia selalu bersama kita: "Dilexi te, Aku mengasihi engkau." Kita memohon kepada Allah, sang Damai Sejahtera sejati umat manusia, untuk menyembuhkan semua luka dan membantu kita dengan rahmat-Nya mencapai apa yang sekarang tampaknya mustahil secara manusiawi: mengingat bahwa orang lain bukanlah musuh, melainkan saudara atau saudari yang harus dipandang, diampuni, dan ditawarkan pengharapan akan rekonsiliasi.

 

Dengan penuh duka, saya mengikuti berita tentang serangan kekerasan baru-baru ini yang melanda beberapa kota dan infrastruktur sipil di Ukraina, yang mengakibatkan tewasnya orang-orang tak berdosa, termasuk anak-anak, dan menyebabkan banyak keluarga kehilangan akses listrik dan pemanas. Hati saya turut berduka atas mereka yang menderita, yang telah hidup dalam penderitaan dan kekurangan selama bertahun-tahun. Saya kembali menyerukan untuk mengakhiri kekerasan, menghentikan kehancuran, dan membuka diri terhadap dialog dan perdamaian!

 

Saya dekat dengan rakyat Peru yang terkasih di masa transisi politik ini. Saya berdoa agar Peru dapat terus berada di jalur rekonsiliasi, dialog, dan persatuan nasional.

 

Hari ini di Italia, kita mengenang para korban kecelakaan kerja: marilah kita mendoakan mereka dan keselamatan seluruh pekerja.

 

Dan sekarang marilah kita berpaling kepada Maria dengan penuh kepercayaan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2025)

PESAN PAUS LEO XIV UNTUK HARI ORANG MUDA SEDUNIA KE-40 23 November 2025

Kamu juga harus bersaksi, karena kamu sejak semula bersama-sama dengan Aku” (Yoh. 15:27).

 

Orang muda terkasih,

 

Saat saya memulai pesan pertama saya kepadamu, saya ingin mengucapkan terima kasih! Terima kasih atas sukacita yang kamu bawa ketika kamu datang ke Roma untuk Yubileummu, dan terima kasih kepada semua orang muda yang bersatu dengan kita melalui doa mereka dari seluruh penjuru dunia. Sebuah momen yang berharga untuk memperbarui semangat iman kita dan membagikan pengharapan yang berkobar-kobar di hati kita! Alih-alih menjadi peristiwa yang terasing, saya berharap perjumpaan Yubileum ini menandai bagi kamu masing-masing sebuah langkah maju dalam kehidupan kristiani dan dorongan yang kuat untuk bertekun memberi kesaksian tentang imanmu.

 

Dinamika yang sama menjadi inti Hari Orang Muda Sedunia berikutnya, yang akan kita rayakan pada 23 November, Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, dengan tema: "Kamu juga harus bersaksi, karena kamu sejak semula bersama-sama dengan Aku" (Yoh. 15:27). Sebagai peziarah pengharapan, dengan kuasa Roh Kudus, kita mempersiapkan diri untuk menjadi saksi-saksi Kristus yang berani. Marilah kita memulai perjalanan yang akan membawa kita menuju Hari Orang Muda Sedunia internasional di Seoul pada tahun 2027. Dengan mengingat hal ini, saya ingin berfokus pada dua aspek kesaksian: persahabatan kita dengan Yesus, yang kita terima dari Allah sebagai anugerah, dan komitmen kita untuk menjadi pembangun perdamaian dalam masyarakat.

 

Sahabat, Jadilah Saksi

 

Kesaksian kristiani muncul dari persahabatan dengan Tuhan, yang disalibkan dan bangkit demi keselamatan semua orang. Kesaksian ini jangan disamakan dengan propaganda ideologis, karena merupakan prinsip autentik transformasi batin dan kesadaran sosial. Yesus memilih untuk menyebut murid-murid-Nya "sahabat." Ia memperkenalkan Kerajaan Allah kepada mereka, meminta mereka untuk tinggal bersama-Nya, menjadi komunitas-Nya, dan mengutus mereka untuk mewartakan Injil (bdk. Yoh 15:15, 27). Jadi, ketika Yesus berkata kepada kita, "Jadilah saksi," Ia meyakinkan kita bahwa Ia menganggap kita sebagai sahabat-Nya. Hanya Dia yang sepenuhnya mengenal siapa kita dan mengapa kita ada di sini; orang muda, Ia mengenal hatimu, kemarahanmu dalam menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan, kerinduanmu akan kebenaran dan keindahan, akan sukacita dan damai sejahtera. Melalui persahabatan-Nya, Ia mendengarkan, memberi motivasi, dan menuntunmu, memanggil kamu masing-masing kepada hidup yang baru.

 

Tatapan Yesus, yang selalu menginginkan kebaikan kita, mendahului kita (bdk. Mrk. 10:21). Ia tidak ingin kita menjadi hamba, atau "aktivis" partai politik; Ia memanggil kita untuk bersama-Nya sebagai sahabat, agar hidup kita diperbarui. Dan kesaksian muncul secara spontan dari kebaruan penuh sukacita dari persahabatan ini. Persahabatan yang unik inilah yang menganugerahkan kita persekutuan dengan Allah, persahabatan setia yang membantu kita menemukan martabat kita dan martabat sesama kita, persahabatan abadi yang bahkan tak dapat dihancurkan maut sekalipun, karena Tuhan yang bangkit dan disalibkan adalah sumbernya.

 

Marilah kita renungkan pesan yang disampaikan Rasul Yohanes di akhir Injil keempat: "Dialah murid yang bersaksi tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu bahwa kesaksiannya itu benar" (Yoh. 21:24). Seluruh kisah sebelumnya dirangkum sebagai sebuah "kesaksian", yang penuh rasa syukur dan takjub, dari seorang murid yang tidak pernah mengungkapkan namanya, tetapi menyebut dirinya "murid yang dikasihi Yesus." Gelar ini mencerminkan sebuah hubungan: bukan nama seseorang, melainkan kesaksian ikatan pribadi dengan Kristus. Itulah yang sungguh berarti bagi Yohanes: menjadi murid Tuhan dan merasa dikasihi oleh-Nya. Maka, kita memahami bahwa kesaksian kristiani adalah buah dari hubungan iman dan kasih dengan Yesus, yang di dalam-Nya kita menemukan keselamatan hidup kita. Apa yang ditulis Rasul Yohanes juga merujuk kepadamu, orang muda terkasih. Kamu diundang oleh Kristus untuk mengikuti-Nya dan duduk di samping-Nya, mendengarkan hati-Nya dan ambil bagian dengan erat dalam hidup-Nya! Kamu masing-masing adalah "murid terkasih" bagi-Nya, dan dari kasih inilah muncul sukacita kesaksian.

 

Saksi Injil yang berani lainnya adalah sang pendahulu Yesus, Yohanes Pembaptis, yang datang "untuk bersaksi tentang terang itu, supaya melalui dia semua orang menjadi percaya" (Yoh. 1:7). Meskipun ia sangat terkenal di antara orang banyak, ia tahu betul bahwa ia hanyalah "suara" yang menunjuk kepada Sang Juruselamat ketika ia berkata, "Lihat, inilah Anak Domba Allah" (Yoh. 1:36). Teladannya mengingatkan kita bahwa saksi sejati tidak berusaha menduduki panggung utama, atau mengikat pengikut mereka pada diri mereka sendiri. Saksi sejati rendah hati dan bebas secara batin, terutama dari diri mereka sendiri, yaitu, dari kepura-puraan menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu, mereka bebas untuk mendengarkan, memahami, dan juga mengatakan kebenaran kepada semua orang, bahkan di hadapan orang-orang yang berkuasa. Dari Yohanes Pembaptis, kita belajar bahwa kesaksian kristiani bukan pewartaan tentang diri kita atau perayaan atas kemampuan rohani, intelektual, atau moral kita. Saksi sejati mengenali dan menunjuk kepada Yesus ketika Ia menampakkan diri, karena Dialah satu-satunya yang menyelamatkan kita. Yohanes mengenalinya di antara para pendosa, yang tenggelam dalam kemanusiaan yang sama. Untuk itu, Paus Fransiskus begitu sering menegaskan bahwa jika kita tidak melampaui diri kita sendiri dan zona nyaman kita, jika kita tidak pergi kepada orang miskin dan mereka yang merasa terkucil dari Kerajaan Allah, kita tidak dapat berjumpa dengan Kristus dan menjadi saksi-Nya. Kita kehilangan manisnya sukacita karena diinjili dan menginjili.

 

Sahabat terkasih, saya mengajak kamu masing-masing untuk terus merenungkan secara pribadi sahabat dan saksi Yesus di dalam Kitab Suci. Saat kamu membaca Injil, kamu akan menemukan bahwa mereka semua menemukan makna hidup yang sejati melalui hubungan mereka yang nyata dengan Kristus. Memang, pertanyaan-pertanyaan terdalam kita tidak didengar atau dijawab hanya dengan terus-menerus menggulir layar ponsel, yang memang menarik perhatian kita tetapi meninggalkan pikiran yang lelah dan hati yang hampa. Pencarian ini tidak akan membawa kita jauh jika kita menutup diri atau membatasi diri. Pemenuhan hasrat sejati kita selalu datang melalui upaya melampaui diri kita sendiri.

 

Saksi, Oleh Karena Itu Misionaris

 

Dengan cara ini, orang muda terkasih, dengan pertolongan Roh Kudus, kamu dapat menjadi misionaris Kristus di dunia. Banyak teman sebayamu terpapar kekerasan, dipaksa menggunakan senjata, terpisah dari orang-orang terkasih, dan terpaksa bermigrasi atau melarikan diri. Banyak yang kekurangan pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kamu pun ambil bagian dalam pencarian makna dan rasa tidak aman yang menyertainya, ketidaknyamanan akibat tekanan sosial dan pekerjaan yang semakin meningkat, kesulitan menghadapi krisis keluarga, perasaan pedih karena kurangnya kesempatan, serta penyesalan atas kesalahan yang telah mereka buat. Kamu dapat berdiri di samping orang muda lainnya, berjalan bersama mereka dan menunjukkan bahwa Allah, dalam Yesus, telah dekat dengan setiap orang. Sebagaimana sering dikatakan Paus Fransiskus, “Kristus menunjukkan bahwa Allah adalah kedekatan, bela rasa, dan kasih yang lembut” (Ensiklik Dilexit nos, 35).

 

Memang, tidak selalu mudah untuk bersaksi. Dalam keempat Injil, kita sering menemukan ketegangan antara penerimaan dan penolakan terhadap Yesus: "Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya" (Yoh. 1:5). Demikian pula, murid yang menjadi saksi mengalami penolakan secara langsung dan terkadang bahkan perlawanan yang keras. Tuhan tidak menyembunyikan kenyataan pahit ini: "Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu" (Yoh. 15:20). Namun, hal itu menjadi kesempatan untuk mengamalkan perintah terbesar: "Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat. 5:44). Itulah yang telah dilakukan para martir sejak awal Gereja.

 

Orang muda terkasih, ini bukan kisah yang hanya terjadi di masa lalu. Hingga hari ini, di banyak tempat di seluruh dunia, umat kristiani dan orang-orang yang berkehendak baik menderita penganiayaan, penipuan, dan kekerasan. Mungkin pengalaman menyakitkan ini juga telah membekas di hatimu, dan kamu mungkin tergoda untuk bereaksi secara naluriah dengan menempatkan dirimu pada tingkatan yang sama dengan mereka yang telah menolakmu, dengan bersikap agresif. Namun, marilah kita mengingat nasihat bijak Santo Paulus: "Janganlah dikalahkan oleh kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan" (Rm. 12:21).

 

Maka janganlah berkecil hati: seperti para kudus, kamu juga dipanggil untuk bertekun dengan pengharapan, terutama dalam menghadapi kesulitan dan rintangan.

 

Persaudaraan Sebagai Ikatan Perdamaian

 

Dari persahabatan dengan Kristus, yang merupakan anugerah Roh Kudus di dalam diri kita, muncullah cara hidup yang bercirikan persaudaraan. Orang muda yang telah berjumpa Kristus membawa "kehangatan" dan "cita rasa" persaudaraan ke mana pun mereka pergi, dan siapa pun yang berjumpa dengan mereka ditarik ke dalam dimensi baru yang mendalam, yang terbentuk dari kedekatan tanpa pamrih, bela rasa yang tulus, dan kelembutan yang murni. Roh Kudus memampukan kita untuk melihat sesama dengan mata baru: dalam diri orang lain ada seorang saudara, seorang saudari!

 

Kesaksian persaudaraan dan perdamaian yang dibangkitkan oleh persahabatan dengan Kristus dalam diri kita mengusir ketidakpedulian dan kemalasan rohani, membantu kita mengatasi ketertutupan pikiran dan kecurigaan. Kesaksian ini juga membangun ikatan di antara kita, mendorong kita untuk bekerja sama, dari kesukarelaan hingga "amal politik", untuk membangun kondisi kehidupan baru bagi semua orang. Janganlah mengikuti mereka yang menggunakan sabda iman untuk memecah belah; sebaliknya, buatlah rencana untuk menyingkirkan kesenjangan dan mendamaikan komunitas yang terpecah belah dan tertindas. Untuk itu, sahabat terkasih, marilah kita mendengarkan suara Allah di dalam diri kita dan mengatasi keegoisan kita, menjadi para perajin perdamaian yang aktif. Perdamaian itu, yang merupakan karunia dari Tuhan yang bangkit (bdk. Yoh. 20:19), akan menjadi nyata di dunia melalui kesaksian bersama mereka yang membawa Roh-Nya di dalam hati mereka.

 

Orang muda terkasih, dalam menghadapi penderitaan dan pengharapan dunia, marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada Yesus. Saat Ia wafat di kayu salib, Ia memercayakan Perawan Maria kepada Yohanes sebagai ibu-Nya, dan Yohanes kepada Maria sebagai anaknya. Karunia kasih yang tak terhingga itu adalah untuk setiap murid, untuk kita masing-masing. Saya mengundangmu untuk menyambut ikatan suci dengan Maria, seorang ibu yang penuh kasih sayang dan pengertian ini, dan terutama membinanya dengan berdoa Rosario. Dengan demikian, dalam setiap situasi kehidupan kita, kita akan mengalami bahwa kita tidak pernah sendirian, karena sebagai anak-anak kita selalu dikasihi, diampuni, dan dikuatkan oleh Allah. Jadilah saksi akan hal ini dengan penuh sukacita!

 

Vatikan, 7 Oktober 2025, Peringatan Wajib Santa Perawan Maria, Ratu Rosario

 

PAUS LEO XIV

_____

 

(dialihbahasakan oleh Peter Suriadi)